LEGAL OPINION
Question: Ada salah satu saudara kami yang mencoba mencurangi hak-hak ahli waris lain, caranya ketika orangtua kami masih hidup namun sudah sangat lemah kesadarannya, salah satu dari saudara kami itu mendesak orangtua kami untuk menghibahkan tanah-tanah miliknya kepada dirinya seorang diri, mungkin dengan harapan agar ketika orangtua kami meninggal, budel waris yang tersisa hanya sedikit untuk dapat dibagikan kepada seluruh anak-anak yang menjadi ahli waris. Bagaimana pandangan hukumnya?
Brief Answer: Bagi yang memahami hukum waris dengan baik, tidak akan termakan oleh “harapan semu” seperti mencoba mengambil secara lebih banyak daripada hak-hak para ahli waris lainnya, mengingat secara normatif hukum di Indonesia telah menyebutkan bahwa semua hibah yang penah diterima olah seorang anak selama orangtua (pemberi hibah) masih hidup, maka segala hibah tersebut diperhitungkan sebagai bagian hak warisan sang anak, sehingga “legitieme portie” atau hak mutlak paling minimum atas pembagian harta warisan bagi masing-masing ahli waris, tidak akan berkurang untuk dapat dituntut haknya saat pemberi warisan meninggal dunia dikemudian hari.
PEMBAHASAN:
Adapun ketentuan hukum mengenai “hibah”, terdapat pengaturannya dalam norma Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Kewajiban penggunaan “akta otentik” dalam konteks hibah “benda tidak bergerak”, pengaturannya dapat kita jumpai dalam norma Pasal 1682 KUHPerdata:
“Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”
Sementara pengecualian menggunakan “akta otentik” dalam hibah, semisal dalam konteks objek hibah berupa “benda bergerak” semacam kendaraan roda empat ataupun kendaraan roda dua, dimana bahkan hibah semacam ini dapat terjadi secara lisan, pengaturannya dapat kita temukan sebagaimana norma Pasal 1687 KUHPerdata:
“Pemberian-pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari tangan satu ke tangan lain, tidak memerlukan suatu akta, dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama si penerima hibah.”
Pasal 611 KUHPerdata:
“Cara memperoleh hak milik karena perwarisan menurut undang-undang atau menurut surat wasiat, akan dibicarakan dalam bab keduabelas dan ketigabelas buku ini.”
Pasal 830 KUHPerdata:
“Perwarisan hanya berlangsung karena kematian.”
Pasal 832 KUHPerdata:
“Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan yang tertera di bawah ini.”
Dalam sebuah Akta Hibah sekalipun, “bagian mutlak” alias “legitieme portie” masing-masing hak ahli waris tidak akan berkurang, sebagaimana pengaturannya dapat kita jumpai dalam Pasal 913 KUHPerdata:
“Bagian mutlak atau legitieme portie, adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.”
Seorang atau lebih ahli waris yang mendapatkan hibah, akan diperhitungkan sebagai bagian hak waris “legitieme portie” ahli waris bersangkutan, sebagaimana secara ekplisit tertuang lewat norma Pasal 916a KUHPerdata:
“Dalam hal-hal, bilamana guna menentukan besarnya bagian mutlak harus diperhatikan adanya beberapa waris, yang kendati menjadi waris karena kematian, namun bukan waris mutlak maka, apabila kepada orang-orang selain ahli waris tak mutlak tadi, baik dengan suatu perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, telah dihibahkan barang-barang sedemikian banyak, sehingga melebihi jumlah yang mana, andaikata ahli waris tak mutlak tadi tidak ada, sedianya adalah jumlah terbesar yang diperbolehkan, dalam hal-hal demikian pun, haruslah hibah-hibah tadi mengalami pemotongan-pemotongan sehingga menjadi sama dengan jumlah yang diperbolehkan tadi, sedangkan tuntutan itu harus dilancarkan oleh dan untuk kepentingan para waris mutlak, beserta sekalian ahli waris dan pengganti mereka.”
Perihal “legitieme portie”, ialah adalah konstruksi “post factum”, bukan “pre factum”, sehingga sifatnya pun berupa hak untuk mengajukan gugatan pembatalan hibah yang sebelumnya pernah diterima salah seorang ahli waris yang melampaui “legitieme portie” hak warisnya, sebagaimana secara eksplisit diatur dalam norma Pasal 920 KUHPerdata:
“Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilamana warisan itu jauh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka. Namun demikian, para ahli mutlak tak diperbolehkan menikmati sedikit pun dari sesuatu pengurangan atas kerugian para berpiutang si meninggal.”
Inventarisasi aset pemberi waris menjadi penting, untuk menentukan berapakah besaran masing-masing ahli waris sesuai “legitieme portie”, yang diperhitungkan serta dengan hibah-hibah yang sebelumnya masing-masing dari ahli waris pernah mereka peroleh. Ketentuan “aturan main” dari inventarisasi harta kekayaan pemberi waris, terdapat pedomannya secara eksplisit sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 921 KUHPerdata:
“Untuk menentukan besarnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, hendaknya dilakukan terlebih dahulu penjumlahan akan segala harta peninggalan yang ada di kala si yang menghibahkan atau mewariskan meninggal dunia; kemudian ditambahkannyalah pada jumlah itu, jumlah dari barang-barang yang telah dihibahkan di waktu si meninggal masih hidup, barang-barang mana harus ditinjau dalam keadaan tatkala hibah dilakukannya, namun mengenai harganya, menurut harga pada waktu si penghibah atau si yang mewariskan meninggal dunia; akhirnya dihitungnyalah dari jumlah satu sama lain, setelah yang ini dikurangi dengan semua utang si meninggal berapakah, dalam keseimbangan dengan kederajatan para ahli waris mutlak, besarnya bagian mutlak mereka, setelah mana bagian-bagian ini harus dikurangi dengan segala apa yang telah mereka terima dari si meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dari wajib pemasukan.”
Penegasan serupa dapat kita jumpai kembali secara konsisten sebagaimana pengaturan Pasal 924 KUHPerdata:
“Segala hibah antara yang masih hidup, sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan, tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan itu harus dilakukan mulai dengan hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua dan demikian selanjutnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.