ARTIKEL HUKUM
Hukum dan Penegakan Hukum yang Baik, Berbasiskan Fakta serta Rasio, Bukan Berlandaskan Delusi
Apakah Sengketa Hukum merupakan Hal yang Tabu, dan apakah Sengketa Sosial merupakan Hal yang Tidak Sopan?
“Rasional” bermakna, “berpijak pada daratan Bumi”, alias memiliki landasan berdasarkan fakta-faktual yang objektif sifatnya disamping bebas dari anasir “diluar rasio” semacam harapan semu. Apakah untuk dapat disebut sebagai warga yang “sopan”, maka ketika sang warga menjadi korban kejahatan maupun perlakukan tidak patut dari warga lainnya, maka sang warga yang menjadi korban hanya dapat dibenarkan untuk “diam membisu” bagaikan “mayat” yang hanya dapat terbujur kaku di peti jenasah agar tidak disebut sebagai “tidak sopan”—seolah-olah pihak warga yang menyakiti warga lainnya dapat disebut telah sopan dengan melakukan perbuatan tidak patut demikian terhadap seorang korban?
Apakah seorang warga yang menjadi korban disamping dikarenakan sikap diamnya selama ini, sehingga menjadikan dirinya kerap menjadi korban “mangsa empuk” serta aksi “bullying” (perundungan) oleh warga lainnya, dilarang secara hukum, secara moral, maupun secara sosial untuk melakukan perlawanan dengan sengit, menjerit, memekik, berteriak penuh kesakitan dan amarah, memaki, menghujat, mengutuk, melontarkan sumpah-serapah, dimana kemudian sang warga yang notabene merupakan seorang korban yang hanya melakukan aksi perlawanan serta “bela diri” serta “bela kehormatan diri” atau sekadar “memekik” sedemikian, patut disebut sebagai warga yang telah “tidak waras”, seolah-olah warga yang menyakiti sang korban yang sekadar melakukan perlawanan telah bersikap “waras”?
Bukan hanya pelakunya yang “tidak waras”, para komentator yang salah alamat dalam melontarkan komentar tersebut pun tidak kalah “kurang waras”-nya. Bukan hanya penghormatan terhadap harkat dan martabat yang menjadi hak asasi manusia, namun juga untuk melakukan perlawanan ketika “dizolimi” maupun untuk “bela diri” tidak luput menjadi bagian dari hak asasi manusia itu sendiri yang perlu diakui dan diakomodir oleh segenap bangsa yang sudah beradab—yang mana kabar buruknya, Bangsa Indonesia tergolong bangsa yang entah bagaimana, “agamais” namun jauh dari sifat-sifat bangsa beradab. Semestinya secara hierarkhi pertumbuhan karakter manusia, seseorang terlebih dahulu melewati tahap “beradab” sebelum dapat menempuh level yang lebih tinggi, yakni “spiritualis”.
Pernah terjadi pada satu ruang pengadilan, perkara perdata gugatan perceraian, sang hakim tampak murka karena seolah pihak kuasa hukum menjadi agen “adu domba” yang mengakibatkan sang pasangan suami-istri saling gugat-menggugat perceraian, dianggap merusak rumah-tangga orang lain, dimana sang pasangan menangis tersedu-sedu sembari saling berpelukan satu sama lain di ruang sidang ketika hakim hendak membacakan vonis putusan yang akan menceraikan sang pasangan. Apa daya, pihak kuasa hukum hanya bisa diam di tempatnya, terjebak oleh situasi pelik, dimana sang klien tampak begitu saling membenci satu sama lainnya di luar ruang persidangan, namun berakting demikian dramatis ketika di dalam ruang persidangan saat detik-detik terakhir menjelang putusnya hubungan perkawinan kedua belah pihak.
Pernah terjadi para ruang peradilan di Indonesia, dan sungguh “menggelikan” disamping cukup “konyol” (menurut penulis secara pribadi), seorang suami menggugat cerai istrinya dengan alasan “tidak becus mengurus rumah-tangga” (sekalipun bisa jadi sang istri bersikap “ill feel” demikian akibat ulah suaminya sebagai penyebabnya). Di tengah jalannya persidangan gugat perceraian, terjadilah perdamaian, dibentuk “Akta Perdamaian Van Dading” yang dikukuhkan oleh Majelis Hakim di persidangan, sehingga seketika itu juga Akta Perdamaian kedua belah pihak menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht). Tidak lama berselang, sang suami-istri kembali mengalami cek-cok yang hebat dalam rumah-tangganya yang tampaknya “retak” hebat, berdampak pada gugatan perceraian yang kembali diajukan untuk kedua-kalinya oleh sang suami terhadap istrinya yang sama.
Yang menarik dalam kasus tersebut di atas, Majelis Hakim menolak gugatan perceraian yang diajukan oleh sang suami, semata dengan alasan karena gugatan perceraian serupa sebelumnya tersebut sudah pernah diputuskan dalam bentuk “Acta Van Dading” dan telah “inkracht” statusnya, sehingga sang suami tersandera untuk seumur hidupnya tidak dapat menceraikan sang istri. “Van Dading” yang menjadi bumerang bagi sang suami, tersandera untuk seumur hidupnya tidak lagi dapat menggugat cerai sang istri, sekaligus penulis ucapkan selamat kepada sang istri yang cukup “cerdik” serta “brilian” menyikapi gugatan perceraian yang dialami olehnya.
Kalangan istri zaman modern memang harus cerdas, agar tidak “habis manis, sepah dibuang”. Seorang pria yang bertanggung-jawab, akan berprinsip : Sekali bunga telah dipetik oleh tangan seorang pria, maka bunga tersebut akan layu dan karenanya “satu pria satu bunga”. Jika tidak sanggup bertanggung-jawab, jangan memetik bunga itu, secantik apapun rupa dan keharuman atraksi bunga tersebut. Itulah sebabnya bunga sudah sepatutnya “berduri”, untuk menghindari tangan-tangan pria “nakal” yang mencoba memetiknya. Biarlah hanya lebah madu dan kupu-kupu yang sesekali datang hinggap dan saling berinteraksi dalam hubungan mutualisme, tanpa gangguan pria “nakal”.
“Bela diri” bukanlah sebuah opsi, namun sebuah keharusan, karena kita pun memiliki tanggung-jawab untuk menjunjung harkat dan martabat diri kita sendiri ketika diperlakukan secara tidak adil, secara tidak patut, dan secara tidak pantas oleh pihak lainnya. Kita tidak perlu malu ataupun sungkan terlebih ragu untuk menyatakan ketidak-sukaan, protes, komplain, hingga perlawanan sepanjang kita memang berposisi sebagai korban—kita pun tidak pernah butuh izin orang lain untuk proaktif “bela diri”. Menjadi Partai Oposisi pun bukanlah hal yang tabu justru menjadi kebutuhan negara demokratis, sama seperti rakyat yang memiliki kewajiban konstitusi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, bukanlah hal tabu terlebih untuk disebut sebagai “tidak sopan” atau sebagai “rakyat yang sudah stress”.
Perlawanan balik, “bela diri”, makian, jeritan, merupakan “reaksi”, dimana masyarakat lainnya yang menjadi penonton serta komentator, hanya berhak mengkritik dan mencela mereka yang menjadi penyebab (“sebab”) atau siapa yang menjadi “penyebab dari timbulnya reaksi”, alih-alih turut mendiskreditkan pihak korban. Tiada mungkin ada timbul “reaksi” bila tidak didahului oleh suatu “sebab” yang mendahuluinya. Bahkan, seekor anjing sekalipun berhak untuk menggonggong dan menggigit-balik seseorang yang telah menginjak ekor sang anjing. Hanya orang tidak waras, yang melarang dan mengkritik sikap defensif dan reaktif sang anjing. Bila seekor anjing sekalipun berhak untuk menghargai dan menjunjung martabat serta keselamatan diri pribadinya, maka bagaimana dengan martabat seorang manusia yang saling setara harkatnya dengan warga lainnya?
Sepanjang kita mengambil “reaksi” akibat suatu “sebab” yang mendahului dimana “sebab” tersebut diakibatkan oleh pihak lain yang akan kita berikan “reaksi”, maka secara moril maupun secara etika, tiada yang keliru terhadap sikap dan pilihan maupun aksi kita. Kita pun tidak perlu menghiraukan komentar orang-orang yang tidak bijak, karena itu jugalah kita hanya cukup membuka telinga dari celaan orang-orang yang lebih bijaksana dari kita, bukan membuka telinga kepada orang-orang yang tidak lebih bijaksana daripada diri kita—tepat seperti pepatah : “Anjing menggonggong, khafilah berlalu”, yang bermakna : Tidak semua orang memiliki kualitas kebijaksanaan untuk didengar komentarnya.
Apakah itu sopan-santun serta menjadi “anak manis” dalam setiap kondisi serta situasi, adalah hal yang positif serta bijaksana untuk ditiru? Dalam rangka menjawab pertanyaan penting demikian, tepat kiranya kita merujuk pemaparan sebagaimana diuraikan oleh Gill Hasson, “POSITIVE THINKING : Find Happiness and Achieve Your Goals Through the Power of Positive Thought” (Menemukan kebahagiaan dan Meraih Impian Melalui Pemikiran Positif), Penerjemah : Agnes Cynthia, Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua 2019, Jakarta:
PERUNDUNGAN DAN PELECEHAN.
Akan tetapi, menemukan hal positif dibalik sebuah kemalangan, bukan berarti Anda harus menanggung situasi yang buruk, berisiko, atau merugikan hanya supaya bisa menemukan suatu aspek positif darinya.
Jika Anda berada dalam sebuah hubungan atau pertemanan dimana Anda semakin lama menjadi semakin tidak bahagia dan sengsara, jika Anda ditindas atau bahkan dilecehkan oleh seorang kolega, anggota keluarga, atau tetangga, Anda tidak dapat menggunakan pikiran positif sebagai alasan untuk tetap tinggal dalam sebuah situasi yang buruk.
Anda mungkin saja, misalnya, tinggal dalam sebuah hubungan yang diwarnai aniaya karena andaa beralasan bahwa kendati situasinya buruk, hal inilah yang benar untuk dilakukan demi anak-anak; mereka akan lebih baik datang dari keluarga yang utuh daripada keluarga yang bercerai dan setidaknya ada dua penghasilan yang masuk. Atau, barangkali Anda meyakinkan diri sendiri bahwa aspek positifnya adalah pasangan Anda tidak selamanya buruk—pada umumnya dia baik dan menyenangkan dan Anda berdua rukun-rukun saja.
Hal itu bukanlah pemikiran positif, melainkan pemikiran yang delusional. Pemikiran positif tidak berarti mengabaikan kesulitan yang benar-benar ada. Jika seseorang terus-menerus menyusahkan, mendominasi, atau mengintimidasi Anda, seseorang terus-terusan memaksa dan mengancam Anda, mengkritik atau mempermalukan Anda, menjajah Anda atau memberikan komentar-komentar yang melecehkan dan menghina Anda, Anda harus melakukan sesuatu. Orang itu tidak akan pergi menjauh!
Ubah perspektif Anda; gunakan pikiran positif untuk memikirkan hal-hal baik apa saja yang bisa terjadi jika Anda melakukan apa yang Anda ketahui sebagai hal yang benar, dan hal itu berarti keluar dari hubungan tersebut.
Pandanglah bahwa meninggalkan seorang penindas atau orang yang suka menganiaya merupakan tujuan utama. Tujuan utama yang sangat mendesak.
ORANG-ORANG POSITIF.
Tetap membisu dan tidak memberi tahu siapa pun, hanya akan mengisolasi Anda selagi disaat yang bersamaan memperkuat si penindas atau penganiaya tersebut. Jadi, Anda harus mencari pertolongan dan dukungan. Jangan akut melakukannya. Ada orang-orang yang bisa memberi Anda dukungan dan nasihat, khususnya jika mereka pernah ada dalam situasi serupa. Ada berbagai perkumpulan yang mengkhususkan diri dalam mendukung orang-orang yang mengalami perundungan atau aniaya.
Selain mencari pertolongan, dukungan dan nasihat, Anda perlu pergi dari situ secepat mungkin; tinggalkan pekerjaan dan hubungan itu. Berjalan pergi adalah hal terbaik yang perlu dilakukan, karena dengan melakukannya Anda menempatkan diri dalam posisi positif: seseorang yang memegang kendali. Anda merenggut kembali peluang bagi sang penindas atau penganiaya untuk untuk melanjutkan perilaku mereka.
Tentu saja, Anda mungkin harus pergi meninggalkan pekerjaan yang bagus, stabilitas keuangan, rumah yang nyaman, dan lainnya, tetapi berfokuslah pada hal-hal positifnya; bahwa Anda telah meninggalkan si penindas atau penganiaya itu. Sesudah itu, Anda dapat mencurahkan energi untuk mencari pekerjaan baru atau tempat tinggal yang baru ketimbang menghabiskan energi untuk mencoba memuaskan, memenangkan, atau menghindari si penindas atau penganiaya tersebut.
Anda memang bisa memilih cara Anda untuk menanggapinya. Berpikirlah secara positif; pikirkan cara untuk membuat diri Anda tetap aman dan waras serta melangkah maju menuju hidup yang lebih baik.
KEBERANIAN.
Anda akan membutuhkan keberanian. Keberanian akan lebih terasa seperti rasa takut. Namun, keberanian adalah kemampuan untuk menghadapi kesukaran, kendati ada rasa takut dan khawatir. Keberanian memberi Anda kemampuan untuk melakuakn sesuatu yang membuat Anda ‘ngeri’. Hal itu adalah kekuatan untuk menghadapi permusuhan atau intimidasi.
Entah itu meninggalkan pekerjaan atau hubungan Anda, berdiri bagi diri sendiri atau orang lain, berbicara atau tampil di depan umum, keberanianlah yang membantu Anda untuk melangkah maju.
Berpikir positif adalah sifat yang melekat pada keberanian, suatu aspek yang tidak terpisahkan dari keberanian itu sendiri. Hal ini soal berpikir “Aku bisa melakukannya” atau “Aku akan melakukannya” dan “Aku bisa mengatasinya dan aku bisa melewatinya”.
Jangan beranggapan bahwa Anda tidak bisa bersikap berani karena Anda tidak merasa demikian. Keberanian sering kali mengharuskan agar Anda berpura-pura “seolah-olah” Anda percaya diri, tidak perduli seperti apa perasaan Anda yang sesungguhnya. Hal itu berarti mereka takut, tetapi toh tetap melakukannya. Hal itu merupakan proses yang berkembang secara eksponensial—Anda hanya perlu memulai prosesnya; mulailah berpura-pura berani, mulailah dengan satu langkah kecil dan keberanian Anda akan lambat laun akan bertambah.
Manfaatkan keberanian Anda ataupun keberanian yang Anda kumpulkan. Pikirkanlah sebuah situasi saat Anda merasa takut, tetapi tetap menghadapi rasa takut Anda dan mengambil tindakan dan ternyata semuanya pada akhirnya berjalan lancar. Apa yang membantu? Apa yang dilakukan atau dikatakan orang lain yang membantu memberikan Anda keberanian itu? Apa yang Anda pikirkan atau rasakan saat itu?
Sekarang, pikirkan sebuah situasi yang saat itu sedang Anda hadapi, yang membuat Anda takut atau merasa cemas. Apa yang paling Anda takutkan? Anda mungkin, misalnya, takut membahayakan pekerjaan Anda jika mengeluhkan perilaku orang lain. Anda mungkin takut memberi tahu seseorang apa yang Anda rasakan atau mungkin cemas memberi tahu seseorang apa yang Anda kerjakan dan tidak mau itu terjadi dalam situasi tertentu.
Ingatkan diri Anda bahwa Anda pernah bertindak berani sebelumnya dan Anda bisa mengumpulkan keberanian lagi, itulah cara berpikir yang positif!
Berfokuslah pada alasan mengapa Anda melakukan sesuatu dan apa yang ingin Anda capai. Menyimpan hal itu dalam benak Anda dapat membantu mencegah perasaan bimbang, keraguan, ketidakpastian dan rasa takut merayap masuk, karena Anda berpikir secara positif. Milikilah keberanian itu dan segala macam kemungkinan akan terbuka.
“Life shrinks or expands in proportion to one’s courage.”
(Anais Nin)
Adalah sebuah “delusi”, ketika kita mengharap dapat keluar sebagai pemenang, sementara Anda bermain dengan sangat patuh terhadap aturan main di atas papan permainan catur, namun lawan tanding atau lawan main Anda selalu melanggar aturan main percaturan. Bila lawan Anda bertindak secara curang, terbuka beragam opsi untuk Anda pilih : berbuat sama curang dengan mereka (yang artinya menjadi tidak ubahnya dengan mereka), atau keluar dari permainan tersebut. Setidaknya, Anda selalu punya pilihan, daripada kalah secara “konyol” yang bukan merupakan opsi untuk dipilih. Setidaknya, sebagai kabar baik, opsinya lebih daripada satu, dimana itulah yang tepatnya perlu kita sadari selalu, bahwa selalu terbuka beragam ruang opsi untuk kita pilih dan tempuh.
Sama halnya, adalah “delusi” hendak menegakkan hukum, bilamana para penjahat, koruptor, dan para kriminal lainnya di luar sana memakai cara-cara curang untuk menyamarkan, menutupi, dan menyelubungi perbuatan-perbuatan jahat mereka. Ketika para penjahat tersebut “bermain curang”, adalah harapan yang terlampau kelewat berlebihan bila aparatur penegak hukum bermain “tidak curang” menghadapi mereka. Karenanya, upaya penyadapan tanpa izin (melanggar aturan main prosedur penyidikan) dapat saja ditempuh oleh aparatur penegak hukum sekalipun artinya alat bukti dihimpun tidak secara legal.
Ketika seseorang warga melakukan “perbuatan melawan hukum”, maka apakah artinya kita selaku warga lainnya wajib patuh terhadap hukum serta tidak dibenarkan untuk turut pula melakukan “perbuatan melawan hukum” serupa? Bukankah itu menjelma suatu “standar ganda”, bila seseorang warga tertentu dibolehkan melakukan “perbuatan melawan hukum” sementara warga lainnya secara tegas dan keras diwajibkan untuk “patuh terhadap hukum”?
Penjahat selalu memakai cara-cara licik dan curang untuk menutupi segala modus kejahatannya. Karenanya, sekalipun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (baca : Mahkamah Keblinger RI) telah mengabulkan uji materiil yang diajukan oleh seorang Mega-Koruptor bernama Setya Novanto perihal “merekam pembicaraan tanpa se-izin dari pihak yang direkam” merupakan “perbuatan melawan hukum”, maka secara falsafah hukum sebagaimana telah penulis jelaskan secara panjang-lebar tersebut di atas, alat bukti kejahatan berupa rekaman atau suara hasil “sadapan” yang dihimpun dan diperolah secara “melawan hukum” atau secara “bertentangan terhadap prosedur hukum” sekalipun, sejatinya tetap dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah dan memiliki bobot hukum dalam rangka menegakkan keadilan—berdasarkan prinsip “TIDAK ADA PILIHAN LAIN”, mengingat penjahat selalu pastilah menutup rapat perbuatan jahat serta modus maupun jejak kejahatannya, sehingga alat bukti hanya bisa dihimpun dengan cara yang tersamarkan pula dari pandangan pihak tersadap. Adalah “delusi”, hendak bermain dengan cara-cara legal-formil terhadap para pelanggar hukum “kerah putih” yang intelek (white collar crimes).
Demikian halnya, Komisi Pemberantasan Korupsi untuk berhasil mengungkap suatu modus korupsi maupun kolusi, sekalipun penyadapan dilakukan tanpa izin Dewan Pengawas, atau ketika Kepolisian melakukan penyadapan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri, semua alat bukti hasil penyadapan tersebut adalah sah dan berlaku sebagai alat bukti yang memiliki bobot hukum berdasarkan prinsip “TIDAK ADA PILIHAN LAIN”. Pihak penjahat memakai cara-cara curang, maka mengapa kita masih juga dituntut untuk bermain secara patuh terhadap aturan main di atas “papan catur” yang sama dengan yang dimainkan oleh sang penjahat yang dikenal “licin” dan pandai berkelit?
Sebagai contoh lainnya, ketika pihak lain melanggar perikatan di dalam sebuah kontrak yang sebelumnya telah diperjanjikan oleh para pihak, semisal dengan tidak membayar sejumlah “uang muka”, maka apakah artinya dengan “bodoh” serta demikian “naif” pihak lain tetap merasa berwajib untuk mematuhi isi perikatan di dalam kontrak tersebut dengan menyerahkan sejumlah barang yang diperjanjikan untuk diserahkan kepada yang telah terlebih-dahulu melanggar perikatan dan kewajiban di dalamnya? Yang terlebih dahulu ingkar janji, membawa hak bagi pihak lain di dalam surat perjanjian yang sama untuk turut berhak melakukan ajang “pembalasan” bernama “saling balas-membalas wanprestasi” antar para pihak. Karenanya, itikad baik menjadi prasyarat paling utama agar para pihak tidak saling berperang “balas-membalas wanprestasi”.
Benarlah apa yang disebutkan oleh sebuah semboyan klasik geopolitik dengan adagium yang termasyur sebagaimana kerap dikumandangkan oleh para pakar politik dan keamanan transnasional : “Sivis pacem para bellum”—yang bermakna selalu aktual dan sangat mendalam : “Jika ingin hidup damai, maka bersiap-siaplah untuk berperang.” Serupa dengan apa yang pernah disampaikan oleh Sang Buddha, bahwasannya seorang suciwan sekalipun tetap perlu sesekali menampilkan gigi taring yang tajam agar tidak menjadi objek aksi “bullying”, semata karena Sang Buddha memahami betul, bahwasannya tidak semua orang di dunia manusia yang mampu “menghargai ke-jinak-an” terlebih mampu bersikap “humanis” terhadap individu yang lain, karena itulah kita perlu senantiasa menyediakan “taring” diantara deretan gigi dan dibalik senyum kita.
Ini adalah dunia manusia, bukan dunia surga dimana para penghuninya telah terseleksi dipastikan beradab dan humanis. Menjadi “orang baik” di dunia manusia, lengkap dengan wajah yang lugu dan polos tanpa “taring”, sama artinya menjadi “mangsa empuk” yang akan selalu menjadi sasaran target buruan para “manusia Bumi” yang menyerupai “serigala bagi sesamanya”. Menanggalkan “taring” pada gigi seorang individu, sama artinya “menelanjangi” dirinya hingga sama sekali tanpa perlindungan diri yang paling minimum.
Bukanlah “malaikat bersayap” yang menjadi agen kedamaian bagi dunia, namun sosok “malaikat pencabut nyawa” lengkap dengan tongkat bersabit-nya yang menjadi agen atau duta perdamaian bagi dunia, yang membawa pesan diplomatik kepada para umat manusia di Bumi : Siapa yang berbuat jahat, akan dicabut nyawanya. Lantas, bagaimana dengan nasib sang “malaikat bersayap” yang turun ke Bumi? Sang “malaikat bersayap” telah dimangsa hidup-hidup oleh manusia yang hanya menyisakan bulu-bulu putih pada sayap sang malaikat.
Itulah mengapa, “malaikat bersayap” telah tergolong langka atau mungkin telah punah dari dunia manusia, dimana sayangnya, sang “malaikat pencabut nyawa” pun takut terhadap “manusia MADE IN INDONESIA”, karena diolok-olok sebagai “tidak sopan”, “sudah gila”, “sedang stress”, “tidak waras”, dan segala stigma negatif lainnya yang mencerminkan kedangkalan daya berpikir suatu bangsa yang belum layak disebut sebagai bangsa beradab terlebih diakui sebagai bangsa yang “spiritualis”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.