JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Bahaya Dibalik Konsep PENGHAPUSAN DOSA, ABOLITION OF SIN. Tuhan Berpihak pada KORBAN, Bukan pada Penjahat

ARTIKEL HUKUM

Jika PENGHAPUSAN PENGHUKUMAN PIDANA bagi Penjahat, adalah Terlarang dan Tercela, Bagaimana dengan PENGHAPUSAN HUKUMAN BAGI PENDOSA?

Manusia yang Beradab Semestinya Malu Menjadi seorang PENDOSA, Alih-Alih Merasa Bangga dan Mengoleksi serta Menabung Setumpuk DOSA yang Menggunung Tidak Terlunasi. Tidak Ada yang Benar-Benar dapat Kita Curangi dalam Hidup Ini, Hukum Karma Tidak Tebang Pilih, Segala Hutang Akan Ditagih. Berani Berbuat, Berani Bertanggung-Jawab sebagai Prinsip seorang Manusia Ksatria yang Tidak akan Melarikan Diri

Dalam konsep Hukum Karma, tiada “favoritisasi”, tiada kompromi, tiada tolerir atas perbuatan jahat yang disengaja, sekecil apapun, karena buah Karma pasti akan diwarisi, dipetik, serta diterima oleh pelakunya itu sendiri. Singkat kata, dalam konsepsi Hukum Karma, “tiada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini”. Karena tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini, maka apanya lagi yang dapat kita tutupi ataupun hapus sejarah perbuatan buruk yang pernah kita lakukan? Apa yang pernah kita berhutang, harus tetap kita bayarkan, dengan tangan kita sendiri. Karena kita tidak pernah dapat lari bersembunyi untuk selamanya dari bayangan kita sendiri.

Karenanya pula, tiada pilihan lain untuk hidup selayaknya seorang kesatria (a knight), dimana harus siap menanggung setiap konsekuensi dari perbuatan yang kita pernah serta akan lakukan. Dengan begitulah, kita dilatih untuk menjadi pribadi yang penuh pertanggung-jawaban, yang mampu bertanggung-jawab terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, ternyata mereka yang telah melahirkan dan mengasuh kita, serta bertanggung jawab terhadap alam semesta serta terhadap langit dan bumi.

Sebaliknya, dalam konsepsi yang tidak “pro” serta tidak ramah terhadap Hukum Karma (unfriendly to karmic law), semisal ideologi terkait “PENGHAPUSAN DOSA”, “PENGHAPUSAN HUKUMAN” (atau bahkan “kebal hukum” dan “imun terhadap hukum”), “PENGHAPUSAN TANGGUNG-JAWAB”, “PENGHAPUSAN SEJARAH”, “PENGHAPUSAN KEWAJIBAN”, “PENGHAPUSAN TANDA-TANGAN & JANJI DALAM KONTRAK”, “PENGHAPUSAN UCAPAN YANG DIJANJIKAN”, “PENGHAPUSAN HUTANG”, serta segala bentuk penghapusan-penghapusan lainnya yang sifatnya menyerupai aksi “kabur” atau semacam “tabrak lari”, adalah bertentangan terhadap konsep modern mengenai “Kewajiban Asasi Manusia” maupun sifat peradaban suatu bangsa beradab—kecuali kita mengakui bahwasannya bangsa kita belum benar-benar beradab, bahkan masih sangat biadab dan jauh dari kata “beradab” para praktik sehari-harinya.

Bila dalam konsep Hukum Karma, yang berlaku ialah prinsip utama berikut : Yang semestinya takut, ialah orang-orang yang hendak berbuat jahat atau menjahati / merugikan / melukai / menyakiti orang lain—bukan korban yang harus merasa takut disakiti / dilukai / dirugikan / dijahati. Sebaliknya, kontras dengan itu, secara berkebalikan konsep-konsep semacam “Penghapusan Hukuman” ataupun “Penghapusan Dosa” dan penghapusan-penghapusan sejenisnya, yang berlaku ialah pembalikan (shifting) aturan main sebagai berikut : Yang menjadi takut, ialah korban karena takut sewaktu-waktu dapat disakiti / dirugikan / dilukai / dirampas / dianiaya / difitnah / diperkosa / dizolimi / dihina / dicuri / dirampok / dilecehkan maupun derita-derita lainnya secara tidak adil oleh para pelaku kejahatan.

Konsekuensi dampingan dari bahaya dibalik konsepsi “penghapusan dosa” atau “abolition of sin” demikian, ialah si pengemban ideologi “penghapusan dosa” menjadi tumpul “rasa malu” maupun “rasa takutnya” untuk berbuat kejahatan—alias menjadi tidak lagi mampu mengontrol dan membatasi diri. Orang-orang dengan ideologi hidup “dosa dapat dihapus lewat penghapusan dosa”, ibarat orang-orang dengan penyakit berbahaya semacam “mati rasa”, dimana dirinya tidak lagi memiliki hati nurani, meski secara egoisnya dan secara “mau menang sendiri” menolak dan keberatan ketika pihak korban membalas menyakiti dan melukai sang pelaku. Bahkan, tidak jarang terjadi, korban yang melakukan perlawanan, berontak, dan menolak dirugikan ataupun menolak dilukai, akan membuat sang pelaku kejahatan menjadi marah dan lebih “galak-beringas” daripada korbannya.

Sebagai contoh, orang-orang yang sangat menjiwai prinsip Hukum Karma, akan takut berhutang, karena menyadari bahwa tiada yang dapat dicurangi dalam hidup ini, sehingga hutang harus dibayar, kabur dan membawa lari hutang tidak pernah menjadi hal untuk terbersit dalam pikiran. Sebaliknya, orang-orang dengan ideologi “penghapusan dosa”, akan menganggap dan hidup dalam asumsi “semu” bahwa tidak membayar hutang ialah sebuah keberuntungan bagi yang berhutang, terutama bila yang berpiutang gagal untuk menagih janji pelunasan dari sang berhutang yang melarikan diri atau bahkan membuat takut korbannya dengan bersikap “lebih galak daripada korbannya”.

 Sama halnya, pengemudi kendaraan mobil roda empat berukuran besar maupun pengemudi kendaraan motor roda dua berukuran besar (“moge”, motor gede), di jalanan umum dapat kita jumpai terbagi menjadi dua golongan tipe kepribadian pengemudi. Ketika terdapat pejalan kaki di jalanan, pengendara yang bermoral mengikuti Hukum Karma akan bersabar dan mengalah terhadap eksistensi pejalan kaki, takut menabrak pejalan kaki, takut mengejutkan pejalan kaki, takut merugikan hak-hak pejalan kaki, takut di-“kutuk” oleh pejalan kaki karena merampas hak jalan umum secara arogan, sehingga pejalan kaki tidak akan pernah merasa khawatir berada dan berjalan di jalanan umum.

Sebaliknya, pengendara-pengendara yang telah “dicuci-otak” janji-janji “penghapusan dosa”, seolah berbuat seburuk apapun telah terjamin “tiket masuk surga”, maka yang harus merasa takut tertabrak dan di-klakson ataupun diintimidasi ialah kaum pejalan kaki, hanya dapat menonton sikap vulgar yang dipertontonkan arogansi pengendara kendaraan bermotor yang serakah seolah hanya mereka seorang yang berhak memakai jalanan umum dengan menjadikan pejalan kaki sebagai “kasta” rendah yang tidak berhak berjalan di jalan umum. Demikianlah cara penulis dapat menilai kepribadian masing-masing pengendara kendaraan bermotor yang melintas di jalanan milik umum, ragam karakternya dapat semudah mengamati perlakuan mereka masing-masing terhadap pejalan kaki.

Karenanya, tiada yang lebih menyusahkan dan lebih mengkhawatirkan daripada berhadapan dengan orang-orang yang telah dikuasai ideologi “penghapusan dosa”—seolah-olah berbuat dosa bukanlah lagi hal yang patut untuk ditabukan, tanpa konsekuensi, tidak harus dibayar, tidak akan berbuah benih keburukan dan kejahatan yang ditanam olehnya, dengan senang hati dan tanpa rasa malu berbuat kejahatan, merasa bangga alih-alih malu, mendekati dan memeluk kejahatan alih-alih menjauhinya, hingga tidak lagi merasa takut untuk berbuat kejahatan ataupun perbuatan-perbuatan buruk lainnya.

Yang berbuat jahat, disebut sebagai “penjahat” dan perbuatannya disebut sebagai “penjahat”. Sebaliknya, kontras dengan itu, orang disebut “suci” dan “suciwan”, ketika perbuatannya jauh dari sifat-sifat perbuatan jahat yang tercela ataupun yang buruk, sekecil apapun. Orang-orang yang disebut sebagai “kesatria”, ialah mereka yang bisa jadi pernah beruat kesalahan dan keburukan, namun bersedia bertanggung-jawab atas dosa-dosa yang telah diperbuat olehnya dengan menerima hukuman ataupun bertanggung-jawab terhadap para korbannya. Tuhan dan surga, adalah murni, bersih, dan suci. Adalah mustahil, mengharap yang kotor, busuk, buruk, dan tercela, dapat bersatu dengan Tuhan ataupun surga. Karenanya, asumsi “penghapusan” dosa adalah logika yang keliru dan cenderung menyesatkan (false logic which cann’t be happen), sebuah “harapan semu” (false hope) yang merusak moralitas seorang umat manusia disamping mendegrasai sifat humanis seorang anak manusia.

Contoh, mengapa pengendara “moge” identik dengan arogansi? Stigma demikian timbul di tengah-tengah masyarakat karena memang aktualnya demikian, tidak terkecuali pengendara mobil yang berukuran besar, kian mewah dan kian besar maka kian arogan perilaku pengemudinya. Namun, masalah utamanya bukanlah di situ letaknya. Orang-orang dengan watak yang menjiwai “Hukum Karma”, tidak akan pernah berminat mengendarai terlebih membeli kendaraan semacam “moge”. Mereka yang menjiwai “Hukum Karma” sangatlah bersahaja. Motor “moge”, dibeli pengendaranya memang sejak atau sedari awal memiliki niat untuk menyalurkan hasratnya untuk bersikap arogan bak preman, dimana sarana penyaluran sarananya ialah “moge” itu sendiri.

Ketika masyarakat suatu negara mengetahui, memahami, dan menyadari betul bahwa hukum negaranya lebih kerap mengabaikan dan menelantarkan aduan ataupun laporan warga yang menjadi korban, sehingga ibarat negara lewat otoritas aparatur penegak hukumnya “memelihara” preman-preman pelaku aksi premanisme yang mengatas-namakan usaha legal, pemerasan, organisasi massa, atau apapun itu “embel-embel”-nya, maka cobalah untuk mengancam sang pelaku kejahatan dengan kalimat sebagai berikut : “Akan saya laporkan kepada polisi jika kalian masih menyakiti, mengganggu, dan merugikan kepentingan ataupun keselamatan kami.” Bila konteksnya ialah Indonesia, maka para pelaku kejahatan serta para pelaku aksi premanisme tersebut yang kemudian akan memberikan respons berupa tertawa terbahak-bahak dan membuat warga yang mengancam terlihat “konyol” sendiri, atau bahkan menantang balik : “Ayo, laporkan sekarang ke polisi, kami tunggu di sini. Ayo, tunggu apa lagi, laporkan!

Sama halnya, ketika sebuah atau bahkan “segunung dosa” dapat dikompromikan, dapat dihapuskan, dapat dimanipulasi, dapat ditutupi atau bahkan direkayasa seperti layaknya catatan sejarah yang dapat ditulis ulang oleh pihak penguasa, dapat dinegosiasikan, dapat dipertukarkan dengan uang atau bahkan sembah-sujud (dosa seolah menjadi komoditas yang dapat ditransaksionalkan), dapat ditolerir, seolah dapat dilupakan dan terlupakan maka artinya terhapus, dapat disepelekan, dapat membohongi diri sendiri seolah berdosa bukanlah hal tabu, dapat diatasi dengan “vaksin dosa”, bangga meng-koleksi dan menumpuk dosa, antara dosa dan jati dirinya sudah melakat menjadi satu (menyatu) tidak dapat dipisahkan dari “dosa”, dosa yang menjadi “menu” sehari-hari, mencari makan dengan cara berbuat “dosa”, mencetak dosa sebagai prestasi diri, kesenangan “gila” berupa berbuat dosa, egois terhadap diri sendiri dengan tidak memperdulikan buah karma buruk yang akan dipetik olehnya sendiri dikemudian hari, maka ketika kita mengancam mereka dengan skenario kalimat dialog sebagai berikut:

Tidak takut dosa?

Jawab mereka secara kompak penuh percaya diri, ialah : “SAMA SEKALI TIDAK!

Mengapa?

Bisa minta amnesti, grasi, remisi, dan abolisi dosa!

Minta amnesti, grasi, dan abolisi dosa, kemana dan kepada siapa?

Minta kepada bos saya, Tuhan di surga!

Kok, minta ke Tuhan, bukannya minta penghapusan dosa dari korban perbuatan jahat kalian?

Karena Tuhan maha pengampun dan maha pengasih!

Mengapa Tuhan tidak mengasihi korban, dan justru memihak penjahat berdosa? Memangnya pendosa yang kotor dan bau, dapat bersatu dengan surga dan Tuhan yang murni-suci dan bersih, ibarat minyak hendak bersatu dengan air murni, api hendak bersatu dengan air?

Tiada yang lebih meletihkan dan “memakan hati” karena harus senantiasa waspada dan menjaga diri dalam “siaga penuh”, agar tidak menjadi korban-korban kejahatan dan perbuatan buruk orang-orang sesama warga, dimana pelakunya berbuat kejahatan tanpa rasa takut ataupun rasa malu berbuat buruk dan jahat, bahkan secara senang dan bangga melakukannya, seolah sebagai prestasi untuk dibanggakan dan ditimbun—sehingga tertimbun oleh dosa.

Pada kondisi suatu bangsa dengan mental “curang” disertai persepsi “dosa dapat dihapus” akibat iming-iming “penghapusan dosa”, maka menjadi korban adalah seolah “tabu” dan “rugi sendiri”, dimana juga adalah rugi tidak menjadi “pendosa” yang “berdosa” atau “penuh dosa”, alias adalah merugi bila tidak berbuat kejahatan dan menjadi penjahat yang memiliki dosa-dosa bertumpuk-tumpuk, alias pula merugi menjadi orang baik, rugi menjadi orang suci, rugi menjadi orang mulia, rugi menjadi orang yang tidak berbuat jahat, rugi sendiri menjadi orang-orang yang sama sekali tidak berani dan malu berbuat kejahatan. Rugi menjadi pencinta kebaikan.

Orang-orang dengan falsafah hidup “dosa dapat dihapus” atau seolah-olah “angin surga” bernama “penghapusan dosa” ialah benar adanya, memiliki karakter yang dapat dipastikan tidak malu dan tidak takut berbuat kejahatan. Adalah mustahil, dalam satu sosok individu dapat memiliki pandangan hidup takut dan malu berbuat jahat, namun disaat bersamaan juga meyakini adanya “penghapusan dosa” seolah-olah hidup dan kehidupan ini dapat dicurangi, seolah-olah hak korban atas keadilan dapat dicurangi, seolah-olah kebenaran dan keadilan dapat dicurangi, seolah-olah hakim pengadil di alam baka dapat dicurangi, dan seolah-olah Tuhan adalah sosok yang “penuh kecurangan” (suatu penghinaan terhadap Tuhan, alih-alih sebagai pujian ketika seorang umat menyatakan “dosa dapat dihapus oleh Tuhan, “Tuhan yang KORUP”). Itulah sebabnya, prisnip serta pedoman hidup paling utama dalam Buddhisme ialah “malu berbuat jahat” (hiri) serta “takut berbuat jahat” (otapa)—tiada prinsip yang lebih tinggi dari kebenaran ajaran Buddhisme demikian.

Dalam sebuah bangsa atau negara yang memiliki budaya atau kesadaran kolektif bernama “dosa dapat dihapus” atau “penghapusan dosa” sebagai “konstitusi” atau tulang-punggung serta nafas paling utama sendi-sendi kehidupan serta urat nadi warga penghuninya, maka orang-orang baik akan senantiasa menjadi “mangsa empuk”, dimana orang-orang baik harus pandai menyembunyikan dirinya agar tidak menjadi “target mangsa buruan” pada “pendosa” yang demikian beringas dan buas (bagai manusia primitif ala “bar-bar”), para kaum “ahimsa” hanya dapat menjadi korban penganiayaan semata karena para penganiayanya ialah para “pengecut” yang hanya berani menganiaya seoang “ahimsa”—yang mana diketahui betul oleh pelakunya bahwa aniaya yang dilakukan oleh sang penjahat tidak akan dibalas secara kekerasan fisik oleh korbannya, yang semata karena korbannya berhaluan ideologi “ahimsa”.

Karenanya, tidak mengherankan bila orang-orang baik dan ahimsa demikian langka di Indonesia, negara dimana bangsanya demikian inheren menjiwai mental “tidak takut berbuat dosa” bahkan juga “tidak malu berbuat dosa”, dimana penjara selalu penuh “overload”-“overcapacity” oleh para narapidana penjahat dimana penjahat jalanan yang tidak tersentuh hukum lebih banyak lagi, dimana aparatur penegak hukumnya tidak kalah korup dengan para penjahat jalanan demikian, sekalipun “obral remisi” telah diumbar oleh otoritas negara yang mengklaim penjara tidak lagi sanggup menampung penjahat-penjahat yang demikian produktif dicetak dan diproduksi oleh republik yang notabene “agamais” dimana rakyatnya mengaku “ber-Tuhan” NAMUN DISAAT BERSAMAAN TIDAK TAKUT MENANAM DAN MENIMBUN DOSA.

Ekses berikutnya dari paham / ideologi / keyakinan “dosa dapat dihapus” ataupun “penghapusan dosa” ialah, fenoemena yang amat masif dan mencolok bahkan dapat kita saksikan atau alami sendiri di depan umum : Menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik. Fenomena “selalu menyelesaikan setiap masalah dengan cara aniaya dan pengeroyokan” demikian, masif penulis temukan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, dengan latar-belakang pelakunya demikian beragam, mulai dari “preman pasar”, “tukang parkir yang bak preman”, “pengusaha ilegal berkulit putih bak preman”, hingga ibu-ibu rumah tangga, hingga para agamais yang memakai atribut keagamaan—yang disebut paling akhir, bahkan lebih parah lagi derajat keparahannya, oleh sebab dengan memakai atribut keagamaan maka seolah dirinya “kebal hukum” dan “kebal dosa”, seburuk dan se-tercela apapun perbuatannya dalam menyakiti dan melukai keselamatan hingga harkat dan martabat pihak lain yang berbeda kaum dan berlainan golongan. Penulis adalah salah satu korban dimaksud, berulang-kali terjadi sepanjang hidup penulis yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia, dimana akan sangat panjang bila harus penulis uraikan dalam kesempatan ini.

Relevan dengan itu, Sang Buddha pernah bersabda : Ada atau tidaknya Tuhan, orang jahat tetaplah orang yang jahat adanya, tercela. Ada atau tidaknya Tuhan, seorang Buddha tetaplah orang yang baik adanya, mulia. Bila Tuhan memang ada, memuliakan Tuhan ialah dengan cara menjadi manusia yang mulia. Bagaikan seorang anak yang memuliakan orangtuanya, dengan menjadi anak yang berbudi luhur, bukan dengan cara menjadi anak yang hanya pandai bertutur-kata yang manis di hadapan orangtuanya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.