(DROP DOWN MENU)

DAMPAK SOSIAL Maraknya Jual-Beli ONLINE dan Minim / Absennya Regulasi Pemerintah bagi Perlindungan Warga Pemukiman dari DAMPAK SOSIAL Akibat Gangguan Kegiatan Usaha Ilegal

ARTIKEL HUKUM

“Usaha ILEGAL” tetaplah “Usaha ILEGAL”, Sekalipun sang Pengusaha Ilegal Memakai Wadah Berjualan Penawaran Jual-Beli lewat “Marketplace

Prinsip bangsa beradab “SIC UTERE”, bermakna “good neighbourliness” atau “No harm rule” yang mengamanatkan kepada segenap warga maupun pengusaha untuk : “Use your own PROPERTY in such a manner as NOT TO INJURE THAT OF ANOTHER

Maraknya jual-beli via “online” pada berbagai “marketplace”, mengakibatkan “bencana sosial” yang mana membawa ekses berupa pelanggaran terhadap berbagai tata ruang wilayah pemukiman yang beralih fungsi menjadi tempat usaha berskala besar yang mana tentunya : ILEGAL—dimana praktik usaha ilegal demikian seolah dibiarkan, dipelihara, dan dilestarikan oleh Pemerintah Daerah yang tidak menertibkan para pelanggar Peraturan Daerah tentang zonasi wilayah tata ruang yang diterbitkan sendiri oleh Pemerintah Daerah kita di Indonesia, realita di perkotaan sekelas ibukota terlebih di pedesaan.

Begitupula kalangan pengelola “marketplace” yang berbisnis tanpa dilandasi “etika bisnis”, bahkan demi keuntungan pribadi sang pengusaha ilegal lantas secara tidak bermoral merampas hak-hak warga pemukim atas pemukiman yang tenang serta aman bebas dari gangguan, mengakibatkan hanya mengejar perolehan profit semata dengan menutup mata terhadap berbagai fenomena pelanggaran tata ruang yang sedikit-banyaknya disebabkan oleh maraknya transaksi jual-beli “online” yang difasilitasi atau diwadahi oleh pihak pengelola “marketplace” di Tanah Air.

Bila produk-produk yang dinilai tidak ramah lingkungan, seperti “minyak sawit” (crude palm oil yang kerap diplesetkan oleh para “aktivis lingkungan hidup” sebagai CRUEL palm oil) terutama yang bersumber dari negara dengan tata kelola lingkungan yang buruk, maka negara-negara di Uni Eropa akan memboikot produk-produk “minyak sawit” dari negara tidak ramah lingkungan maupun produk turunannya. Cara seperti itulah, Uni Eropa selaku konsumen, berkontribusi serta berperan nyata dalam melindungi ekosistem dan kesimbangunan alam serta lingkungan hidup “global village sustainability”.

Begitupula produk kayu bulat tanaman industri (log), guna menghindari praktik “ilegal logging” yang menyalah-gunakan sumber daya alamnya sendiri dengan cara mengeksploitasi secara tidak sehat (eksploitatif, tidak berkesinambungan) sehingga merusak ekosistem negara sumber asal produk kayu itu sendiri, negara-negara Uni Eropa juga menerapkan kebijakan “NO ILEGAL LOGGING” dengan cara “prohibited” terhadap kayu-kayu tanpa sertifikat kelestarian lingkungan dari pihak otoritas yang melakukan sertifikasi.

Keseluruhan kebijakan “ramah lingkungan” dalam rangka “pro” terhadap kesehatan dan keselamatan biota, satwa, flora agar tidak punah, maupun pangan dan kehidupan serta kelangsungan hidup generasi penerus para warga dari negara asal produk, ialah cara-cara penekanan secara diplomatis-ekonomis agar negara sumber produk-produk tersebut bersedia untuk menjadi lebih “beradab” dan “ramah lingkungan” terhadap warganegaranya sendiri, dimana bila tidak demikian maka negara yang tergabung dalam Uni Eropa akan secara kompak menolak masuknya produk-produk “tidak ramah lingkungan” demikian ke dalam wilayahnya, yang secara politis akan memaksa negara sumber produk untuk lebih memperhatikan kondisi lingkungan hidup dan kesehatan serta keberlangsungan kesehatan hidup rakyat dan ekosistem alam lingkungannya sendiri.

Kita dapat merujuk pula pada produk permata yang sangat tinggi nilai jualnya di pasaran, yakni batu mulia yang tersohor di mancanegara semacam “Blood Diamond” yang termasyur dari Sierra Lone di Afrika, wajib diperjual-belikan dengan menyertakan sertifikat bebas dari “mineral konflik”, dimana tanpa sertifikat bebas dari “mineral konflik”, maka patut dicurigai oleh para kolektor batu mulia bahwa batu mulia tersebut bersumber dari wilayah dengan konflik komunal berdarah dimana para warga saling memperebutkan ladang-ladang permata dengan kekerasan bersenjata lengkap dengan pertumpahan darah—itulah latar belakang permata yang bewarna merah delima dan bernilai jual mahal tersebut dinamai sebagaimana kondisi daerah asal batu mulia tersebut ditambang, “BLOOD Diamond”, alias “permata darah”, karena memang ditambang pada negara yang terbelit sejarah peperangan berdarah perebutan ladang-ladang tambang permata yang menjelma kutukan “perang saudara” yang saling “angkat senjata” disaat bersamaan ironinya para penduduk negara kaya ladang permata namun senantiasa dijerat kemiskinan akut serta konflik komunal.

Begitupula untuk mengantisipasi tindak pidana pencurian ataupun penggelapan dan penadahan, pihak kepolisian ketika merazia kendaraan pengangkut muatan, akan memeriksa apakah muatan yang diangkut olah armada yang dikendarai oleh pihak pengangkut dan pengirim, disertai kelengkapan dokumen seperti “surat jalan” dari pihak pengirim yang menjelaskan asal sumber barang, identitas pemilik / pengirim, rincian muatan, serta tujuan pengiriman. Banyak sekali berbagai jenis tindak kriminal, pelanggaran hukum, maupun kegiatan ilegal, yang sejatinya dapat dibendung dan diantisipasi lewat rezim perizinan yang ketat serta tegas disamping efektif dalam penegakannya—hal mana, sayangnya keseriusan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tampaknya masih “separuh hati” seolah-olah tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat yang dilarang untuk “main hakim sendiri”.

Idealnya, demi melindungi warga terutama para pemukim pada wilayah perumahan yang merupakan zona peruntukkan untuk pemukiman, dimana warga pemukim berhak serta memiliki hak mutlak atas pemukikan yang aman serta tenang sebagai tempat untuk beristirahat dan berlindung bebas dari segala jenis polusi—baik polusi suara, polusi parkir liar, polusi udara, polusi air, polusi kerusakan jalan, tidak terkecuali polusi sosial, maupun berbagai polusi lainnya—negara untuk itu harus hadir ditengah-tengah masyarakat dengan membuat regulasi yang tegas bagi pihak pengelola “marketplace” untuk memastikan pihak penjual yang berjualan pada portal penawaran dan pembelian online yang dikelola oleh pihak pemilik “marketplacewajib atau harus dilengkapi surat semacam izin “clean and clear” dari kegiatan usaha ilegal terutama pelanggaran zonasi wilayah seperti praktik alih-fungsi wilayah pemukiman seperti yang saat kini kian marak terjadi pada era penawaran dan pemesanan secara daring pada berbagai “marketplace”.

Praktis, selama ini warga masyarakat terutama para pemukim pada wilayah perumahan hanya dapat mendapati bahwa Negeri Indonesia seolah tidak memiliki hukum yang dapat diandalkan untuk melindungi hak-hak seorang dan para warga pemukim (lawless, seolah bukan “negara hukum”), dimana para warga harus bergerilya sendiri untuk menghadapi segala sikap ilegal melanggar hukum para pelaku usaha ilegal “serakah” yang mengorbankan serta merampas hak-hak warga pemukim demi kepentingan / keserakahan usaha ilegalnya yang mengalih-fungsikan wilayah pemukiman, dimana para aparatur pemerintah setempat lebih kerap mengabaikan dan menelantarkan aduan warga pemukim sekalipun telah terjadi pelanggaran secara “vulgar dan seronok” terhadap Peraturan Daerah terkait Tata Ruang Wilayah secara terang-benderang di depan umum serta pada tengah “siang terik”—terutama ketika pengusaha ilegal “serakah” tersebut cukup kuat secara ekonomi sehingga mampu menyuap aparatur pemerintah setempat untuk “tutup mulut” serta “tutup mata”.

Perlu diatur dalam sebuah regulasi, pihak-pihak yang hendak berjualan atau berdagang pada medium daring semacam portal yang dikelola oleh sebuah “marketplace”, bila hanya sekadar sekelas “penjual online” rumahan tanpa pegawai dengan kondisi luasan rumah yang tergolong skala kecil, dimana pekerjanya hanya anggota keluarga, memiliki tempat parkir yang memadai serta volume atau kuantitas transaksi yang tidak besar, maka dibolehkan “usaha rumahan” demikian menjual produknya pada suatu “marketplace”.

Namun ketika pihak penjual / pedagang ternyata berjualan dari wilayah yang tergolong zona pemukiman, padat penduduk berjalan sempit, bahkan dengan mempekerjakan pegawai atau terlebih hingga belasan atau puluhan pegawai, dengan intensitas transaksi yang besar serta masif, tanpa menyediakan tempat parkir yang memadai, kerap memanggil ratusan kurir hingga hilir-mudik mobil boks dan mobil kontainer pengangkut barang setiap harinya, jalanan umum maupun halaman perumahan warga yang dijadikan ladang “pakir liar” oleh kendaraan pribadi milik sang pemilik usaha, pegawai, ataupun kendaraan milik kurir-kurir pesanannya, maka pihak “marketplace” memiliki tanggung-jawab hukum disamping tanggung-jawab moril untuk memastikan tipe atau jenis pedagang semacam itu tidak diperkenankan, dilarang, serta di-“banned” untuk berjualan pada “marketplace” yang dikelola oleh pihak pemilik / pengelola “marketplace”, oleh sebab usaha ilegal” tetaplah “usaha ilegal”, sekalipun memakai wadah berupa “marketplace” sebagai medium perpanjangan tangan dalam rangka menjaring konsumen dan berjualan produk.

Sebuah “marketplace” tidak semestinya menjadi fasilitas bagi ajang “cuci kegiatan ilegal para pelaku usaha ilegal” menjelma seolah-olah “legal” semata hanya karena berjualan pada sebuah “marketplace” yang tidak memiliki ruang fisik, karena senyatanya tempat usaha fisiknya adalah berdiri secara “ilegal” alias “melanggar hukum” pada wilayah pemukiman wilayah yang membawa “dampak sosial”, “merampas hak-hak warga pemukim”, serta “mengakibatkan kerugian bagi warga pemukim yang (dapat dipastikan sedikit atau banyaknya akan) terganggu”.

Metode “self declare” atau “self assessment” oleh pelaku usaha yang berjualan pada medium “marketplace”, tidaklah dapat diandalkan, karena seorang / kalangan “pengusaha ilegal” tentunya akan memasukkan keterangan palsu pada dekralasi surat keterangan yang dibuatnya sendiri bahwa usahanya tidaklah ilegal seperti berkegiatan usaha secara melanggar tata ruang wilayah pemukiman, sekalipun skala usahanya tergolong mengandung “Dampak Lingkungan Sosial” terutama arus hilir-mudik kendaraan dan kurir mulai dari ratusan kurir bersepeda motor, mobil boks, mobil kontainer, dan sebagainya yang mengakibatkan ajang parkir liar, kebisingan, keberisikan, sampah kotoran berserakan, jalan milik warga yang cepat rusak,, keterkejutan akibat mobil-mobil pengantar barang membuka-tutup pintu kendaraan secara keras mengejutkan warga pemukim, jalan umum yang tersita oleh kegiatan usaha sang pelaku usaha ilegal yang merampas hak-hak pejalan umum maupun atas fungsi perumahan warga pemukim, sehingga karenanya pengawasan harus dipikul oleh pihak pengelola “marketplace” itu sendiri seperti membentuk sebuah tim surveyor internal pihak pengelola “marketplace” dalam memberi izin atau penolakan terhadap penjual yang hendak berjualan pada portal daring yang dikelola oleh pihak “marketplace” berdasarkan kondisi lapangan sang pelaku usaha yang hendak berjualan secara daring demikian. Hasil “assessment” oleh pihak surveyor terhadap profil sang pelaku usaha terutama terkait “dampak sosial” kegiatan sosialnya, menjadi serupa dengan sertifikasi bebas dari “dampak sosial” dalam rangka perlindungan maksium bagi warga pemukim dari kegiatan usaha ilegal yang berpotensi merampas hak-hak warga pemukim.

Sebagai analogi serta perbandingan, dalam perizinan “AMDAL” (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), fungsinya bukan hanya untuk atau dalam ragka menganalisa dampak lingkungan terpusat pada lokasi objek kegiatan usaha, namun bisa berupa analisis berupa dampak transportasi dalam rangka kegiatan usaha. Sebagai contoh, sebuah lokasi proyek pembangunan membutuhkan pasokan ribuan sak semen, dimana moda transportasinya bisa berupa mobil truk yang berpotensi merusak kondisi permukaan jalan milik warga, atau bisa pula berupa debu-debu yang beterbangan ketika kendaraan logistik melintas hilir-mudik, hingga potensi ancaman berupa tanah longsor, muatan yang tercecer dan mencemari udara warga, hingga potensi-potensi ancaman bencana dan kecelakaan ataupun polusi lainnya.

Karenanya, AMDAL bisa berupa analisis dampak transportasi, parkir kurir, daya dukung jalan umum, kondisi tempat usaha, karakter konteks wilayah padat penduduk atau tidaknya, fasilitas yang dibangun atau dimiliki sang pemilik tempat, dan lain sebagainya, bukan hanya sekadar daya dukung lingkungan hidup semata—sehingga bisa berupa pengujian testing, pengukuran, observasi, serta analisa terhadap “dampak sosiologis” alias “dampak sosial”. Negara yang baik, akan lebih berpihak serta pro-aktif melindungi kepentingan warga dan penduduknya dari kegiatan usaha yang tidak bertanggung-jawab—dimana sayangnya, pemerintah maupun para pelaku usaha di Negara Indonesia belum se-beradab itu meski mengklaim sebagai bangsa yang “beradab”, “berpendidikan”, dan “agamais”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.