LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya mantan suami yang telah bercerai, apa bisa dituntut tetap memberikan biaya hidup untuk mantan istri serta bagi anak-anaknya yang masih kecil? Bila cerainya kesepakatan para pihak, tentu istri tidak lagi berhak menuntut biaya hidup mantan istri karena sama-sama sukarela bercerai secara baik-baik, atau bercerai baik-baik dengan kesepakatan internal bahwa suami tetap beri nafkah hingga mantan istri mampu mencari nafkah sendiri atau telah menikah kembali dengan suami barunya.
Namun bagaimana bila suami yang menggugat cerai dan pengadilan benar-benar menceraikan? Atau sebaliknya, istri yang TERPAKSA dan mendesak menggugat cerai suami sehingga belum ada persiapan untuk mandiri dari segi ekonomi? Tidak ada istri yang ingin bercerai dengan suaminya, kecuali karena terpaksa. Istri yang menjadi ibu rumah-tangga, bukan istri yang masih berkarir atau usaha kerja seperti saat melajang, menjadi sangat bergantung pada ekonomi suami, sehingga pertimbangan utamanya kini ialah mengkhawatirkan bila cerai tanpa adanya lagi sumber nafkah, ancaman yang “maju kena” dan “mundur juga kena”.
Brief Answer: Hakim di pengadilan dapat saja mengabulkan serta menjatuhkan hukuman bagi seorang mantan suami untuk memberi nafkah kepada mantan istrinya yang dicerai-gugat baik akibat gugatan perceraian yang diajukan oleh sang suami ataupun oleh sang istri, namun hakim dapat juga tidak mengabulkan serta tidak menjatuhkan perintah bagi sang mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya, sehingga sifat dari kewajiban mantan suami kepada mantan istri adalah tentatif alias fakultatif bergantung pada substansi putusan hakim dari perkara masing-masing pasangan suami-istri yang saling menggugat cerai.
Meski demikian, “nafkah biaya alimentasi” dalam rangka tumbuh kembang seorang anak, sifatnya hampir dapat disebut sebagai imperatif, dimana bila ternyata sang anak masih dibawah umur dan belum bisa mandiri secara ekonomi, maka seluruh putusan pada praktik peradilan memperlihatkan bahwa kewajiban seorang ayah kandung tidak dapat disimpangi oleh alasan apapun, sekalipun akibat perceraian dengan ibu dari sang anak.
PEMBAHASAN:
Pasal 41 Huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah ternyata memiliki norma hukum yang mengatur secara “tentatif” konsekuensi hukum perceraian seorang mantan suami terhadap mantan istrinya : “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”
Sementara itu, secara spesifik bila sang mantan suami berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil ataupun “yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil”, terdapat normatif hukum secara lebih terperinci sebagaimana ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990:
(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.
(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.
(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
(5) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri minta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
(7) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.”
Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 : “Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.”
Sebagus apapun bunyi Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990, tetap saja pengadilan bisa tidak memutus demikian dengan tidak memberi hak nafkah kepada istri, karena frasa “dapat” Undang-Undang Perkawinan yang lebih tinggi hierakhirnya daripada Peraturan Pemerintah, yang artinya “dapat diberi” juga “dapat tidak diberikan”—karenanya antara “dapat” dan “wajib” sebagaimana ketentuan “Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya”, kewajiban demikian ialah hanya relevan dalam konteks “biaya alimentasi” bagi / terhadap anak, sementara nafkah bagi mantan istri sifatnya “fakultatif” belaka sebagaimana ditentukan lewat putusan hakim di pengadilan.
Masih perihal salah satu pengaturan dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990, apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya, kecuali apabila istri minta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, ketentuan demikian dapat pula secara analogi digunakan oleh seorang istri yang hendak menggugat cerai suaminya sekalipun konteksnya ialah warga sipil umum yang bukan Pegawai Negeri Sipil.
Perihal sampai sejauh mana kewajiban seorang ayah kandung atas nafkah / “biaya alimentasi” anak kandungnya sekalipun sang ayah telah putus hubungan perkawinannya akibat perceraian, terdapat sebuah perseteruan hukum yang sangat mengharukan, dimana seorang anak menggugat ayah kandungnya sendiri demi mendapatkan hak-haknya atas nafkah hidup disamping biaya pendidikan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 2504 K/Pdt/2011 tanggal 13 Desember 2013, perkara antara:
- Drs. MARULAM SITOHANG, MA., sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- Drh. WENDEILYNA, M.Si, dalam hal ini bertindak sebagai wali dari VERONICA berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 110/Pdt.G/1999/PN.Jak.Bar., selaku Termohon Kasasi, semula sebagai Penggugat.
Terhadap gugatan sang anak yang diwakili oleh ibu kandungnya tersebut, Pengadilan Negeri Bogor kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 06/Pdt.G/2009/PN.Bgr tanggal 20 April 2010, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
"Eksepsi Tergugat butir 1 mengenai Gugatan Penggugat ‘Nebis in idem’ tidak beralasan hukum dan harus ditolak dengan alasan yang pada pokoknya menerangkan bahwa yang diminta oleh Penggugat untuk diputus oleh Majelis Hakim dalam perkara No.06/Pdt.G/2009/PN.Bgr., hanyalah nafkah bagi Veronica;
“MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menghukum Tergugat untuk membayar biaya hidup dan biaya pendidikan bagi VERONICA sejak Mei 2006 sampai dengan Januari 2009, yaitu 33 bulan x Rp1.000.000,00 sehingga berjumlah Rp33.000.000,00, dan selanjutnya setiap bulannya sebesar Rp1.000.000,00 hingga VERONICA berusia 21 tahun atau telah menyelesaikan pendidikan sarjana strata 1;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan sang ayah kandung, putusan Pengadilan Negeri Bogor di atas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung lewat Putusan Nomor 255/Pdt/2010/PT.BDG tanggal 8 Desember 2010. Sang ayah kandung masih pula mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa agar Penggugat tidak berulangkali mengajukan gugatan biaya alimentasi kepada Tergugat, maka petitum Penggugat agar Tergugat dihukum untuk membayar biaya hidup dan biaya pendidikan bagi VERONICA selanjutnya setiap bulannya dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim.
“Namun oleh karena tidak dimintakan sampai kapan Tergugat harus membayar biaya hidup dan biaya pendidikan bagi VERONICA tersebut, maka Majelis Hakim ex aequo et bono menetapkan bahwa biaya tersebut dibayarkan oleh Tergugat hingga VERONICA berusia 21 tahun atau telah menyelesaikan pendidikan sarjana strata 1;
“Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bogor sudah menerapkan hukum secara tepat dan benar mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, karena Penggugat telah dapat membuktikan bahwa Tergugat tidak pernah membayar biaya hidup anak kandung hasil perkawinannya dengan Penggugat bernama Veronica selama 33 bulan;
“Bahwa Putusan mengenai besaran biaya hidup dan biaya pendidikan untuk VERONICA dalam perkara a quo telah didasarkan pada pertimbangan yang tepat yaitu nilai kewajaran dan kemampuan Tergugat secara ekonomi;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Drs. MARULAM SITOHANG, MA. Tersebut.”
Rekomendasi SHIETRA & PARTNERS:
Meskipun putusan pengadilan di atas mengandung amar putusan “menghukum” (to condemn) berupa perintah bayar, namun putusan di atas tidak mudah untuk dapat dieksekusi secara efisien karena harus melampaui tahapan permohonan eksekusi ke hadapan Ketua Pengadilan Negeri, belum lagi perihal birokrasi pihak Jurusita di pengadilan terlampau rumit dan berbelit disamping koruptif.
Solusi yang dapat direkomendasikan oleh SHIETRA & PARTNERS, buat rumusan “petitum” (pokok permintaan / tuntutan di dalam gugatan ataupun dalam gugatan-balik) yang bisa dieksekusi secara mudah dan sederhana tanpa bergantung serta tanpa membutuhkan peran pihak Jurusita pengadilan, dengan menambahkan satu butir berikut dalam “petitum” gugatan:
“Mengizinkan Pelawan untuk menghadap kantor tempat terlawan berkerja untuk memotong upah bulanan sesuai hak alimentasi sebagaimana besarnya disebutkan dalam putusan ini, dimana bila Tergugat menolak menjalankan putusan maka putusan ini berlaku sebagai surat kuasa bagi Penggugat untuk memotong upah bulanan Tergugat pada kantor Tergugat bekerja.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.