(DROP DOWN MENU)

Kiat Mengatasi Kesulitan Hibah, Hibah Bernuansa Jual-Beli

LEGAL OPINION

Bila Orangtua yang Hendak Menjual Tanah Tidak Butuh Izin Anak, Mengapa Orangtua Bila Hendak Menghibahkan Tanah maka Butuh Izin Seluruh Anak?

Question: Sebagai orang awam saya tidak habis pikir, jika saya ingin jual rumah saya ke orang, tidak diminta oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) izin anak-anak saya untuk menjual rumah milik saya sendiri. Namun mengapa ketika saya berniat menghibahkan atau memberikan sebagai hibah rumah saya tersebut kepada salah seorang anak saya sendiri, maka pihak PPAT mewajibkan saya selaku penghibah untuk meminta izin dari seluruh anak saya sendiri? Entah saya yang tidak paham, atau PPAT di Indonesia yang “konyol”?

Akhirnya saya “akali” (mengkreasikan solusi serta strategi) sendiri dengan cara membuat AJB (Akta Jual-Beli) saja rumah saya kepada anak saya, dengan harga yang semurah mungkin meski juga harus saya sendiri yang membayarkan jual-beli ini, sehingga ibarat saya bayar dari kantung saku baju saya untuk kemudian masuk ke kantung saku baju saya sendiri, menyerupai permainan berputar-putar, dimana “cost” yang real saya keluarkan ialah PPh (Pajak Penghasilan) karena seolah saya mendapat dana penjualan dari pembelian yang dilakukan oleh anak saya sendiri yang masih dibawah umur usianya. PPAT bilang jika hibah itu ada kaitan dengan hak waris para ahli waris, toh anak-anak saya masih kecil dan usia saya masih muda, sudah bicara warisan itu PPAT, seolah menyumpahi saya untuk segera “tutup usia”.

Brief Answer: Regulasi pertanahan di Indonesia tidak pernah menjadikan “izin dari para calon ahli waris (anak-anak)” ketika seseorang warga hendak menghibahkan harta milik maupun hak atas tanah yang dimiliki olehnya. Norma terkait “legitime portie” (hak mutlak para ahli waris), ialah hal berbeda serta merupakan dua hal serta dua domain yang saling berbeda dengan konteks hibah.

Sama seperti akta “hibah wasiat” yang melanggar “legitime portie”, secara hukum tetap dianggap sah dan berlaku sepanjang salah satu atau para ahli waris tiada yang menggugat substansi “hibah wasiat” yang terkandung di dalamnya. Bila kalangan Pejabat Umum seperti profesi Notaris selama ini berani membuat Akta “Hibah Wasiat” yang bisa jadi isinya sekadar menuangkan kehendak almarhum ketika masih hidupnya, sekalipun isi pembagian harta di dalamnya melanggar “legitime portie”, tetap saja Akta “Hibah Wasiat” demikian terbit dan terdaftar pada Kementerian Hukum—serta tidak jarang bermuara pada gugat-menggugat keabsahan muatan akta “hibah wasiat” yang seringkali substansi di dalamnya melanggar kaedah terkait “legitime potie” demikian oleh antar ahli waris.

Menjadi pertanyaan besar, kalangan profesi Notaris yang kerap merangkap jabatan sebagai PPAT, mengapa tidak berani, sungkan, enggan, serta menolak untuk membuat “Akta Hibah” yang sifatnya bisa jadi melanggar dan bisa jadi juga tidak melanggar “legitime portie” dengan semata beralasan bahwa seluruh ahli waris belum memberikan izin bari pemberi hibah untuk menghibahkan harta miliknya sendiri?

Patut diduga kuat, sikap kalangan beragam PPAT demikian ialah dalam rangka berlindung dalam “zona aman” guna menghindari gugat-menggugat antar ahli waris, sekalipun Akta “Hibah Wasiat” pun tidak jarang bermuara pada gugat-menggugat para ahli waris. SHIETRA & PARTNERS menilai praktik kalangan Notaris / PPAT kita selama ini telah menerapkan “standar ganda”—sekalipun, tiada peraturan Badan Pertanahan Nasional yang mewajibkan sebuah “Akta Hibah” untuk menyertakan seluruh izin ahli waris dari penghibah agar hak atas tanah yang dihibahkan dapat diproses peralihan haknya (“balik-nama”).

PEMBAHASAN:

Sebelum kita membahas salah satu solusi guna mengatasi kendala yang kerap dihadapi oleh warga yang hendak mengibahkan harta miliknya di hadapan PPAT, perlu kita pahami terlebih dahulu ketentuan mengenai “hibah”, terdapat pengaturannya sebagaimana norma Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Kewajiban penggunaan “akta otentik” dalam konteks hibah “benda tidak bergerak” seperti hak atas tanah, pengaturannya dapat kita jumpai dalam norma Pasal 1682 KUHPerdata:

“Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Yang bila dikaitkan dengan Undang-Undang terkait profesi PPAT, Akta Notaris sebagaimana ketentuan hibah hak atas tanah telah di-“derogasi” kaedahnya menjadi Akta PPAT.]

Sementara pengecualian menggunakan “akta otentik” dalam konstruksi hukum hibah, semisal dalam konteks objek hibah berupa “benda bergerak” semacam “hak tagih” (surat penagihan utang), dimana bahkan hibah semacam ini dapat terjadi secara lisan atau cukup berupa “akta dibawah tangan”, pengaturannya dapat kita temukan sebagaimana norma Pasal 1687 KUHPerdata:

“Pemberian-pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari tangan satu ke tangan lain, tidak memerlukan suatu akta, dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama si penerima hibah.”

Bila masyarakat yang hendak melangsungkan hibah aset miliknya kepada anak, sanak-saudara, ataupun kerabatnya, terutama dalam konteks objek hibah berupa “hak atas tanah” yang merupakan “benda tidak bergerak”, akan tetapi terbentur oleh permintaan atau prasyarat yang disyaratkan sebagian besar kalangan profesi PPAT, yakni izin dari seluruh anak-anaknya (alias seluruh “calon” ahli waris sang penghibah), maka terdapat satu buah solusi alternatif “Made in SHIETRA & PARTNERS” sebagai langkah alternatif sehingga warga masyarakat tidak perlu merepotkan diri ber-argumentasi dengan kalangan PPAT yang hendak berdiri di dalam “confort zone” demikian, yakni dengan panduan sebagai berikut langkah per langkah:

1. Buat Akta Jual-Beli atau setidaknya berupa Surat Kuasa Jual (notariil) jika lokasi PPAT berbeda wilayah kerja dengan objek tanah hibah, antara “pemberi hibah” (yang diposisikan sebagai pihak “penjual”) dan pihak “penerma hibah” (yang diposisikan sebagai “pembeli”). Tidak terdapat ketentuan hukum yang melarang praktik pembuatan Surat Kuasa Jual kepada pembeli selaku penerika surat kuasa menjual.

2. Saat menghadap PPAT, pihak “penghibah” (dalam hal ini diposisikan sebagai “penjual”) menyatakan kepada PPAT agar dinyatakan di dalam Akta Jual Beli bahwa harga jual-beli senilai sekian Rupiah, telah dibayar “LUNAS” oleh pihak “pembeli” (yang sebenarnya ialah sang “penerima hibah”)—sekalipun senyatanya tidak peranh ada pembayaran harga jual-beli apapun oleh “pembeli” kepada “penjual”, mengingat konstruksi hukum jual-beli demikian sejatinya ialah “hibah dengan kemasan jual-beli”.

3. Pihak “penjual” (dalam hal ini sang “penghibah”) terpaksa merogoh kocek dana berupa kewajiban pembayaran PPh dalam rangka peralihan hak atas tanah akibat “jual-beli”. Sementara itu perihal BPHTB (bea perolehan hak atas tanah), baik hibah maupun jual-beli tetap berlaku ketentuan BPHTB, sekalipun ahli waris garis lurus satu derajat ke bawah mendapat keistimewaan berupa diskon ketentuan BPHTB 50% bila konstruksi peralihan haknya ialah “hibah”.

4. Selanjutnya dalam rangka dana jual-beli yang dalam Akta Jual Beli telah dinyatakan “LUNAS”, konstruksi selanjutnya ialah pembuatan “akta dibawah tangan” bernama “Surat HAK TAGIH”—dimana “Hak Tagih” itulah yang pada tepatnya, akan kemudian di-hibah-kan kepada pihak “penerima hibah” (yang disaat bersamaan berkedudukan sebagai “pembeli” hak atas tanah). Ingat kembali ketentuan Pasal 1687 KUHPerdata, hibah objek berupa “surat penagihan utang” cukup berupa akta “dibawah tangan”.

5. Tuntas sudah prosesnya, dimana itulah yang SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai “hibah (namun) bercita-rasa (kemasan) jual-beli”—dimana syarat kalangan PPAT berupa izin dari seluruh ahli waris di-konversi menjadi sejumlah dana / biaya bernama PPh terhadap Akta Jual-Beli (formalitas) yang sejatinya merupakan hibah (secara esensi).

Kesimpulan dan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Memang menjadi suatu upaya “berputar-putar” yang kurang dapat diterima oleh akal sehat, jual-beli tidak butuh izin para ahli waris, akan tetapi disaat bersamaan hibah dipersyaratkan adanya izin dari seluruh ahli waris oleh kalangan PPAT (sekalipun pihak BPN tidak mensyaratkan prasyarat semacam demikian untuk menindak-lanjuti sebuah Akta Hibah dalam rangka “balik-nama” hak atas tanah kepada pihak penerima hibah).

Namun, demikianlah adanya prosedural hukum dalam praktik lapangan kalangan PPAT, terutama ketika warga harus menghadapi birokratisasi politis kalangan profesi PPAT di Tanah Air, terkadang warga masyarakat perlu “bergerilya” dengan memainkan permainan “biliard”—dengan memukul bola lain dari sudut lain dalam rangka menyasar bola yang sejak semula dijadikan tujuan utama—dengan cara sedikit atau banyak melakukan “manuver” dari jalur utama menuju jalur yang tampak sama sekali berbeda dengan tujuan akhir yang sama. Itulah yang pada tepatnya, SHIETRA & PARTNERS berikan julukan sebagai “banyak tahu (hukum) maka banyak bisa (bermain) hukum”. Kreativitas secara swadaya menjadi solusi ketika prosedural-formalistis bersifat tidak solutif kepada warga masyarakat.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.