ARTIKEL HUKUM
Peran Konsultan Hukum sebagai Rekan Hukum dan Konselor dengan “HUMAN TOUCH”
Saat membawakan konseling seputar hukum kepada klien pengguna jasa layanan konsultasi hukum yang penulis bawakan, tidak jarang penulis perlu menempatkan diri sebagai seorang konselor nonyuridis, karenanya kebutuhan serta pentingnya pembekalan diri atas ilmu-ilmu diluar ilmu hukum, terutama ilmu sosiologi serta ilmu psikologi yang mendasar, terkadang sama pentingnya dengan penguasaan ilmu hukum itu sendiri, dimana itulah tepatnya fokus bahasan sekaligus tema utama kita dalam kesempatan ini yang akan kita kupas bersama secara praktikal.
Terkadang, konseling hukum menjelma konseling interpersonal antar manusia, dimana klien sedikit-banyak akan bercerita perihal kehidupan pribadinya disamping kehidupan rumah-tangganya, anak-anaknya, suami atau istrinya, keluarganya, pekerjaannya, kondisi kota tempat tinggalnya, kecemasannya, espektasinya, tanpa semata berbincang mengenai masalah hukum yang dihadapi oleh mereka, terutama telah terjalin hubungan saling percaya dan dapat dipercaya untuk bertukar pendapat dan pandangan hidup yang bukan menyerupai sesi konseling dengan kalangan psikater maupun psikolog—namun lebih menyerupai seorang “teman bicara” yang secara profesional saling bertukar pendapat.
Tidak jarang, penulis dalam sesi konsultasi mendapati bahwa yang sebenarnya paling “bermasalah” ialah pada diri sang klien itu sendiri—dalam artian, sekalipun lawan yang bersengketa dengan sang klien sekalipun ialah saudara kandung dari sang klien, sebagai contoh, dan secara hukum telah tergolong melakukan tindak pidana penggelapan maupun perbuatan melawan hukum yang dapat digugat perdata maupun dituntut secara pidana, namun demikian sang klien tidak juga kunjung berniat mempidana ataupun menggugat saudara kandungnya sendiri yang menjadi pokok sentral masalah hukum yang melanda sang klien. Sehingga pula, apapun pendapat hukum, kesimpulan, serta hasil analisa hukum hingga rekomendasi langkah ataupun upaya hukum yang bisa penulis sampaikan dan kemukakan sebagai bahan pertimbangan, pada gilirannya sang klien tetap tidak akan beranjak dari tempatnya untuk menggugat ataupun mempidana saudara kandung sang klien.
Penulis menyebutnya sebagai tipikal klien yang “bahkan tidak tahu yang sebetulnya dikehendaki olehnya sendiri”. Dari pengalaman penulis selaku Konsultan Hukum selama membawakan sesi konsultasi terhadap beragam latar-belakang klien pengguna jasa, kendala terbesar selalu terletak pada diri sang klien itu sendiri, dalam artian sekalipun yang bersangkutan sebenarnya setelah dilakukan kajian serta observasi secara hukum, benar merupakan korban tindak pidana maupun korban modus-modus perbuatan melawan hukum, akan tetapi demikian pasif dan terkesan seolah telah pasrah menerima kenyataan—meski disaat bersamaan menghendaki sesi konsultasi seputar hukum dan meminta pandangan hukum dari seorang Konsultan Hukum, sehingga nuansa “ambigu” sangat kental mewarnai alam batin sang klien, dimana pada satu sisi menolak untuk mengambil aksi langkah hukum secara tegas, namun disaat bersamaan selalu mengambil langkah mundur, sehingga menyerupai gerakan “mundur-maju-mundur-maju”.
Jika mendapati klien dengan alam batin “maju-mundur” demikian, maka pendekatan yang penulis tempuh ialah strategi untuk sejenak beralih dari opini-opini hukum, dan untuk sementara waktu meng-komunikasikan kajian psikologi serta sosiologi guna menguatkan dan mempersatukan keutuhan mental serta pikiran maupun jiwa dari sang klien—dimana menurut penulis secara pribadi, justru itulah tantangan terbesar kalangan profesi Konsultan Hukum, mengingat yang dihadapi bukan sekadar semudah mencari pasal-pasal dan dasar-dasar hukum untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh sang klien, akan tetapi berhadapan dengan seorang manusia lengkap dengan segala kompleksitas psikologi individu yang sangat “dalam” serta tidak jarang “tidak tembus pandang”, sehingga perlu “meraba-raba” lewat tanya-jawab penuh teka-teki selama sesi konseling berlangsung.
Tantangan besar demikian selalu menjadi menarik, yang pada gilirannya mendorong pula keterampilan profesi penulis untuk mulai turut mengasah keterampilan penopang profesi hukum, yakni dari segi ilmu psikologi karakter dan perilaku, atau setidaknya ilmu sosiologi terapan, sebagai modal dampingan dari basis ilmu hukum yang disaling-persilangkan satu sama lain memjelma keluwesan tersendiri ketika membawakan sebuah sesi konsultasi (konseling, plus opini serta analisa hukum).
Tidak jarang terjadi, seorang Konsultan Hukum berperan atau memposisikan dirinya sebagai seorang “pengayom” atau seorang “guru”, “pembimbing”, atau istilah lainnya, sekalipun apa yang akan dikemukakan oleh seorang Konsultan Hukum bisa jadi tiada kaitannya dengan norma-norma pasal hukum legal-yuridis. Sebagai contoh, seorang debitor yang status fasilitas kreditnya telah mengalami “macet”, datang mencari layanan sesi konsultasi hukum dari seorang Konsultan Hukum, meminta pandangan hukum terkait hutang-hutangnya yang tidak mampu ia bayarkan. Apakah seorang Konsultan Hukum yang profesional, akan seketika itu juga memberikan rekomendasi “menyesatkan” seperti “gugat kreditor Anda dengan biaya dari uang kredit pinjaman yang diberikan oleh kreditor Anda” layaknya tendensi kalangan profesi Pengacara / Advokat / Lawyer?
Seorang Konsultan Hukum, setidaknya berdasarkan Kode Etik Profesi Konsultan Shietra, bersifat netral dan OBJEKTIF ketika membawakan pelayanan jasa konseling seputar hukum. Karenanya, selalu penulis kemukakan pada awal pembuka sesi konsultasi, bahwasannya pandangan hukum yang akan penulis sajikan dan kemukakan bersifat “apa adanya”, dimana bila klien ternyata memiliki kontribusi kesalahan terhadap masalah hukum yang dihadapi olehnya, maka akan disampaikan “apa adanya” agar dapat klien maklumi bila seorang Konsultan Hukum bersifat “pahit di muka daripada pahir di kemudian hari”.
Pertanyaan yang selalu penulis ajukan bagi klien yang datang dengan latar-belakang sebagai seorang debitor berstatus “kredit macet”, ialah pertanyaan introspektif sederhana sebagai berikut : “Sekalipun Anda menang ketika menggugat kreditor Anda, apakah artinya hutang-hutang Anda akan terhapuskan? Apakah artinya hutang tidak harus dibayarkan? Menurut Anda, mungkinkah seorang hakim akan mengabulkan gugatan dengan tujuan mencurangi hutang-piutang seperti untuk menghapus kewajiban pembayaran sejumlah hutang?”
Dengan cara bergitulah, seorang klien diajak untuk mampu bercermin diri, introspeksi, mulai bersedia untuk berpikir secara logis dan lebih rasional, serta mengukur posisi hukumnya sendiri apakah realistis atau tidaknya di mata hukum bila hendak “lari” dari tanggung-jawab melunasi segala hutang-hutangnya yang tertunggak, serta apa yang akan terjadi bila keadaan lebih memburuk tanpa segera ditangani, opsi mitigasi, alternatif langkah hukum yang memungkinkan, “amicable solution” yang peluangnya mungkin terbuka lebar, serta prediksi hasil “output” bila salah satu pihak baik debitor ataupun sang kreditor mengajukan upaya hukum semisal gugatan perdata atau bahkan tuntutan pemidanaan.
Nasehat bukan hanya sekadar berupa opini serta rekomendasi dari segi “kacamata” hukum yang diberikan oleh seorang Konsultan Hukum, namun juga dapat sesekali diselingi oleh nasehat layaknya seorang sahabat karib yang mampu melihat seluruh gambaran duduk perkara secara netral—dimana menurut hemat penulis secara pribadi, itulah yang paling dibutuhkan oleh pihak klien, untuk mengetahui duduk masalah sebenarnya, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bersengketa, siapakah yang sebenarnya benar dan manakah pihak yang telah bersalah secara hukum, tidak lain tidak bukan yakni opini hukum yang OBJEKTIF sifatnya sehingga tiada lagi “harapan semu” serta tiada pula “duri dalam daging”, terlebih berharap dan mengandalkan speksulai bernama “gugatan asal gugat” yang bersemboyan “siapa tahu menang”.
Kerap pula penulis sampaikan, menggugat bukan dimaknai sebagai selalu akan lebih menguntungkan pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan—sebagaimana kerap terjadi, klien menggebu-gebu hendak mengajukan gugatan secara perdata, sekalipun dari pandangan hukum penulis menilai bahwa yang bersangkutan tidak layak untuk menggugat karena kontribusi kesalahannya demikian dominan sebagai “causa prima” pencetus sengketa hukum yang dihadapi olehnya.
Alhasil, bila niat membara untuk menggugat demikian tidak diredam dengan pandangan hukum yang netral serta objektif, dikhawatirkan niat “menggebu-gebu” demikian akan bersifat kontraproduktif terhadap kepentingan hukum yang bersangkutan itu sendiri, seperti justru “membuka aib sendiri” atau bahkan “di-gugat balik” (rekonpensi) oleh pihak lawan. Tanpa pandangan hukum yang OBJEKTIF, dapat dipastikan klien pengguna jasa akan menyesal dikemudian hari karena terburu-buru mengambil manuver hukum yang tidak tepat dan terlampau tidak rasional. Niat “menggebu-gebu” untuk menggugat, bila menjumpai kalangan pengacara, sangat menyerupai menyiram api dengan minyak alih-alih “cool down”.
Tidak jarang pula klien menanyakan perihal “celah hukum”, entah dengan maksud utama untuk berniat mengambil keuntungan ditengah kesempitan keadaan, ataupun untuk berkelit dari kemelut hukum yang dihadapi olehnya akibat selama ini mengandalkan sikap kuratif ketimbang preventif. Tentulah, seorang Konsultan Hukum yang semata menjalankan konseling dengan “kacamata kuda” hukum, tidak akan segan melontarkan berbagai modus untuk menerobos serta memanfaatkan berbagai kelemahan instrumen ataupun pengaturan norma hukum yang ada, demi kepentingan dan keuntungan sang klien pengguna jasa, seolah tidak memiliki beban moril memberikan nasehat hukum berupa edukasi moril untuk tidak menyalah-gunakan “hukum yang jauh dari kata ‘sempurna’” disamping mengeksploitasi berbagai “celah hukum” yang ada.
Sebagai seorang Konsultan Hukum yang humanis, penulis tidak dapat melangkah terlampau jauh dengan memasuki zona dimana rambu-rambu moralitas ditabrak secara tidak adil—terlagipula, tarif jasa konsultasi tidak seberani nilainya, namun peran karma-nya sangat signifikan sebagai “penganjur” (turut-serta bersalah). Bila seorang klien memiliki niat untuk mengambil keuntungan dari kerugian pihak lain, penulis secara terbuka akan menyampaikan dalam sesi konsultasi, bahwasannya “tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini”, “berikanlah hak dan kewajiban masing-masing”, “kita bisa hidup dan mencari laba usaha sekalipun tanpa cara-cara curang yang membuat pihak lain menderita kerugian”, “harta yang didapat tidak secara etis, sebanyak apapun, tidak akan mampu kita bawa mati”, “yang lurus-lurus saja, fairness, agar hidup dan mati pun tenang dan dapat tidur beristirahat dengan pulas tiada mimpi buruk yang menghantui”, “ada hukum karma disamping hukum negara”, “kita tidak perlu memasuki area dimana kita bisa saja memakai aturan hukum untuk mencurangi pihak lain, namun kelak pasti kita yang akan dicurangi”, “menang dan kalah tidak penting, yang terpenting ‘bermain bersih’”, dan berbagai nasehat yang pada pokoknya mengajak klien untuk sama-sama mengedepankan etika serta rambu-rambu moralitas dalam setiap usaha maupun masalah hukum yang dihadapi.
“Demi kebaikan diri pribadi sang klien itu sendiri”, itulah pedoman utama penulis setiap kali membawakan sesi konsultasi bagi klien berlatar-belakang apapun. Karena falsafah paradigma yang ditanamkan oleh benak penulis, ialah demi kebaikan sang klien itu sendiri, maka pendekatannya ialah pendekatan persuasif-humanis, memanusiakan dengan personalisasi bernama “human touch”, tidak semata legalistis-formil yang kaku dan linear.
Untuk itu, penulis mengumpulkan keberanian diri untuk membuat klien merasa “tersinggung” sekalipun sang klien adalah pembayar tarif jasa, akibat secara tersirat / implisit menegur sang klien agar tidak “mencetak laba besar dengan cara menggali lubang kubur bagi dirinya sendiri”. Mungkin pada mulanya sang klien akan cukup “tersinggung”, dan dapat penulis pastikan merasa sedikit banyak “terlecehkan” harga diri ataupun kesombongan / keangkuhan karakternya oleh pernyataan penulis. Meski demikian, penulis meyakini bahwa suatu saat dirinya akan mulai memahami makna dan tujuan utama dibalik pesan dan “sindiran” demikian, dan akan berterima-kasih telah “membuka mata hatinya” serta tertolong karenanya jauh setelah itu.
Penulis menyadari, seorang Konsultan Hukum adalah seorang manusia juga, sang klien pun adalah seorang manusia pula, tidak terkecuali lawan hukum dari sang klien pula adalah seorang manusia. Karenanya, berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum tidaklah dapat menjadi semacam robot berisi ensiklopedi pasal-pasal terkait hukum yang legalistis-formil saja sifat opini hukumnya. Terdapat “human touch” dalam setiap aspek pendapat pada setiap sesi konseling yang penulis bawakan, yang karenanya juga penulis mencoba menempatkan diri penulis sebagai merangkap pula sebagai seorang “psikolog” atau setidaknya seorang “sosiolog” yang bersedia mendengarkan curahan hati (curhat), keluh-kesah, luapan kekecewaan, espektasi, ekspresi, amarah, harapan, kesedihan, ketakutan, kegundahan, ketidak-tahuan harus melangkah bagaimana, kebingungan dalam membuat keputusan, kecemasan akan masa depan dalam ketidak-pastian, merasa tertindas dan tidak berdaya serta “terzolimi” hak-haknya, hukum yang tidak adil dan tidak konsisten serta tidak menawarkan perlindungan yang dapat diandalkan lengkap dengan aparatur penegaknya yang patut diragukan, serta disaat bersamaan pendapat dan nasehat seorang konsultan ditunggu-tunggu oleh sang klien yang merasa mulai terbuka pemikirannya untuk saling berdialog dari “hati ke hati”.
Keberhasilan seorang Konsultan Hukum, bukan hanya ketika seorang klien berhasil keluar dari kemelut masalah hukumnya, namun ketika sang klien berhasil “memanusiakan” dirinya sendiri, sekalipun masalah hukum tetap pada tempatnya. Sebagai contoh, seorang klien akan menjadi berbesar jiwa siap untuk melepaskan segala sengketa hukum, yang artinya melepaskan semua hak-hak yang dirampas oleh lawan hukumnya, namun “mundur mengalah bukan berarti kalah”, oleh sebab selalu terdapat “Hukum Karma” yang akan mengadili sekaligus menjadi eksekutornya, dimana sang klien cukup melanjutkan hidupnya dan berfokus pada apa yang dapat diperbuat dibawah kendalinya secara optimal, berfokus pada yang lebih terpenting semisal keutuhan dan keharmonisan keluarga, serta berfokus pada upaya merancang masa depan dengan membangunnya kembali dari awal, tanpa lagi merasa terbebani oleh bayang-bayang sengketa hukum yang sama sekali tidak produktif yang mana akan menjadi bagian dari masa lampau.
Dengan cara demikian-lah, sang klien akan merasa lebih berdaya terhadap hidup dan mulai lebih mampu memegang kendali terhadap dirinya sendiri, lebih optimis dan menyadari bahwa dirinya selalu memiliki pilihan bebas atas hidup serta masa depannya sendiri, mampu membuat keputusan, mulai menyadari ternyata dirinya memiliki banyak dan demikian beragam opsi dalam hidupnya untuk dipilih dan dijalankan secara sadar, serta mampu melihat yang jauh lebih penting serta jauh lebih berharga untuk diperjuangkan dan diraih daripada sekadar berkutat dan berputar-putar pada kemelut hukum yang bisa jadi “lebih banyak mudarat daripada faedahnya bila berlarut-larut”.
Singkat kata, seorang Konsultan Hukum yang ideal, tidak semata berbicara soal “hukum”, “menang”, atau “kalah”. Namun tidak jarang juga berbicara aspek-aspek diluar hukum, semisal konsekuensi sosiologis dan konsekuensi psikologis sang klien serta latar-belakang yang melingkupinya. Pernah terjadi, pada satu sesi konsultasi yang penulis bawakan, klien yang berlatar-belakang seorang pekerja, diputus kontrak kerjanya ditengah jalan sekalipun masa berlaku pekerjaan kontraknya belum benar-benar usai.
Artinya, terdapat hak-hak sang klien selaku pekerja yang dilanggar oleh pihak pemberi kerja. Apakah penulis akan memberikan pandangan hukum semata secara legal-formil, dan apakah itu yang memang benar-benar terbaik bagi masa depan yang bersangkutan? Apa yang sang konsultan inginkan dan yang sang klien inginkan, belum tentu sejalan, karenanya komunikasi yang penuh pengertian dan saling memahami saat sesi konsultasi berlangsung, menjadi penting sebagai sarana untuk saling bertukar gagasan serta informasi disamping pandangan dan pertimbangan.
Saat sesi konsultasi berlangsung, sampai tibalah pada kesimpulan, bahwa apakah sang klien siap atau tidak untuk memulai karir sendiri sebagai wirausahawan, alias untuk mandiri serta berdikari dari segi profesi. Sebab, bila sang klien tidak siap untuk memulai karir sendiri secara mandiri, untuk itu tidak direkomendasikan untuk menggugat perusahaan tempat dirinya dulu bekerja, sebab pastinya nama bersangkutan akan ter-“blacklist” oleh calon penerima kerja lainnya pada era keterbukaan informasi “online” dewasa ini dimana segala sengketa hukum akan mudah terlacak pada dunia maya. Siapa juga pengusaha atau perusahaan yang bersedia menerima pekerja yang pernah menggugat perusahaan tempatnya dahulu bekerja, terlepas siapapun yang menang dan yang kalah?
Setelah dilakukan kalkulasi plus dan minus dibalik opsi menggugat, ternyata pertimbangan sosiologis dari sang klien yang menyatakan “belum siap untuk bekerja sendiri sebagai wirausahawan”, membawa pada kesimpulan oleh dirinya sendiri, bahwa opsi menggugat tidaklah “worthed” untuk dipilih dan ditempuh, semata karena mengancam kerugian yang lebih besar pada masa depan pekerjaannya yang masih membutuhkan pekerjaan dari pemberi kerja lainnya—dengan kata lain, setelah ditimbang-timbang ternyata akan jauh lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya.
Bukanlah penulis yang memberikan kesimpulan demikian, namun sekadar memfasilitasi pertimbangan-pertimbangan diluar aspek pertimbangan yuridis bagi sang klien yang penulis suguhkan konsekuensi dibalik setiap opsi hukum yang ada. Pada akhirnya, sang klien merasa bersyukur, meski telah merugi hak-hak kepegawaian yang sebenarnya dapat dituntut olehnya ke pengadilan, semata demi masa depan sang klien yang masih panjang sebagai faktor utama penentunya. Mungkin cerita akan berbeda, bilamana sang klien seketika “termakan” oleh keinginan serta kemarahannya hendak menggugat tempatnya dahulu bekerja, semata demi hak-hak berupa Upah yang setara beberapa bulan masa kerja. Kemenangan terkadang tidak semanis yang kita bayangkan, karena selalu terdapat bahaya dibalik setiap kekalahan maupun dibalik setiap kemenangan itu sendiri. Untuk apa memilih “menang sementara waktu”, namun pada gilirannya “menyesal dikemudian hari”?
Konsultan Hukum yang baik, akan mengajak sang klien untuk “berpikir panjang”, bukan “berpikir pendek”. Mungkin hal ini dapat diumpamakan dengan menjadi seorang lawan main di atas papan catur, akan jadi seperti pada akhirnya bila opsi langkah hukum ini yang ditempuh, sementara akan jadi seperti inilah bila opsi langkah lainnya yang dipilih dan diambil. Selebihnya, menjadi pilihan dan keputusan sang klien itu sendiri. Seorang Konsultan Hukum, hanya sekadar menjadi “konselor” yang memfasilitasi pertimbangan demi pertimbangan dalam alam batin sang klien.
Pernah pula terjadi, dalam sesi konsultasi seorang klien bertanya pandangan hukum penulis setelah sang klien bercerita bahwa calon istrinya selama ini merupakan pegawai pada toko tempat usaha milik sang klien, dan mensyaratkan agar tetap diberi gaji sekalipun nantinya mereka telah melangsungkan pernikahan sebagai sepasang suami-istri. Bila kelak, peran seorang Konsultan Hukum hendak digantikan oleh sebuah mesin atau robot dengan “Kecerdasan Buatan” (artificial intelligence, “AI”), maka inilah yang akan menjadi tanggapan sang “konsultan robot” : “Gaji adalah hukum perburuhan, sementara pernikahan adalah hukum perkawinan, NOT MATCH, masalah tidak teridentifikasi, ERROR!” Jika Anda yang menjadi sang Konsultan Hukum, kira-kira apakah yang akan menjadi tanggapan dan opini Anda bagi sang klien atas isu hukum “istri yang meminta gaji bulanan disamping uang belanja rumah-tangga”?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.