LEGAL OPINION
Menjadi Hakim Pengadilan, apakah Sukar dalam Membuat Putusan?
Question: Sebenarnya menjadi seorang hakim yang berkuasa untuk periksa dan putuskan perkara gugatan perdata ataupun pidana, itu susah atau mudah? Apa mungkin, seorang hakim bisa buat dua versi putusan atas satu perkara yang saling bertolak-belakang isi putusan dan dalil-dalilnya dalam pertimbangan hukum, seperti yang kerap diberitakan adanya hakim yang menjual-belikan (isi amar) putusan (kolusi penyalah-gunaan kewenangan transaksional putusan)?
Brief Answer: Profesi kehakiman merupakan profesi yang paling “sensuil”, mengingat jabatan profesinya sangat dihormati, berkuasa, dapat menentukan nasib para pencari keadilan, dimana disaat bersamaan amatlah mudah bagi seorang hakim untuk membuat putusan berdasarkan “sponsor” pihak-pihak tertentu yang berkolusi dengan sang hakim. Bukanlah persoalan sukar bagi seorang hakim untuk membuat putusan yang “mengabulkan” ataupun sebaliknya untuk “menolak” gugatan maupun untuk mempidana ataupun membebaskan seorang Terdakwa, mengingat dalil-dalil dapat disusun semudah “mencari-cari kesalahan” disamping “mencari-cari pembenaran / justifikasi” sesuai kebutuhan dan sesuai kepentingan pihak “sponsor”.
Masalah utama kalangan profesi kehakiman di Indonesia, seorang hakim dengan palu pemutus begitu berkuasanya, sehingga dapat saja dengan bebasnya memutus secara menyimpang dari “preseden” (praktik kebiasaan pada ruang peradilan) yang telah ada sebelumnya, memutus menyimpang dari norma peraturan perundang-undangan, memutus secara absurd, memutus secara parsial / memihak, hingga memutus secara korup—dengan kata lain masalahnya bukan terletak pada kurangnya independensi kalangan kehakiman, justru karena terlampau berkuasanya kalangan hakim pemeriksa dan pemutus perkara, sehingga tendensi menuju “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” sebagaimana adagium dari Lord Acton, benar-benar relevan dalam konteks profesi kehakiman di Indonesia.
PEMBAHASAN:
Pada negara-negara dengan sistem hukum Common Law (tradisi / budaya hukum Anglo Saxon) dimana daya ikat norma hukum bentukan preseden demikian kuat dan mengikat hakim sehingga kekuasaan kalangan kehakiman di negara-negara Common Law terikat dan terbatas sifatnya karena dibatasi oleh norma bentukan preseden yang telah ada sebelumnya (“the BINDING force of precedent”), tidak sebebas dan terlampau independen seperti sistem “bebas keblablasan” praktik kehakiman di Indonesia, dimana “moral hazard” justru muncul lebih kerap kita jumpai pada sistem hukum kehakiman yang demikian bebas tanpa batasan seperti praktik di peradilan Indonesia.
Memutuskan perkara secara adil, adalah kewenangan, tugas, sekaligus menjadi kewajiban yang dipikul oleh seorang hakim—dimana jika sang hakim menolak memikul beban demikian sebagai konsekuensi profesi kehakiman yang telah di-“sumpah jabatan”, maka mengapa juga melamar sebagai seorang hakim dan membuat putusan? Karenanya, ketika sang hakim telah memutus secara adil dan patut, kita selaku warga pencari keadilan tidak perlu mengucapkan terimakasih kepada sang hakim, terlebih memberikan hadiah berupa “gratifikasi”, dimana itu sudah menjadi tugas dari sang hakim, dimana sang hakim wajib berkata secara tegas sembari menolak ucapan terimakasih apapun dari para pencari keadilan: “Itu sudah menjadi TUGAS dan KEWAJIBAN kami selaku HAKIM.”
Sama halnya seperti ketika seorang kurir tiba di kediaman kita mengantarkan paket pesanan. Kita tidak perlu mengucapkan “terimakasih” kepada sang kurir karena telah menunaikan tugasnya mengantar barang pesanan dengan aman dan cepat, karena itu sudah tugasnya dimana kita telah menunaikan tugas kita dengan memberikan sang kurir hak berupa “ongkos kirim” karenanya timbul kewajiban bagi sang kurir—sehingga, beban moril untuk mengucapkan terimakasih terletak pada atau dipikul oleh pundak sang kurir untuk mengucapkan ucapan “terimakasih” terhadap sang konsumen yang telah membayar “ongkos kirim” sebagai sumber nafkah sang kurir.
Logika sederhana demikian menyerupai seorang pekerja / pegawai yang memiliki tanggung-jawab moril untuk terlebih dahulu mengucapkan “terimakasih” kepada pemberi kerja, bukan sebaliknya. Karenanya, bila sang kurir setelah mengantarkan paket pesanan konsumen, tidak terlebih dahulu mengucapkan “terimakasih” kepada sang konsumen, maka yang “tidak sopan” ialah sang kurir, bukan konsumen pembayar “ongkos kirim”. Pembayar “ongkos kirim” ialah konsumen, dimana konsumen wajib hukumnya dilayani “bak raja” (customers is a King), bukan sebaliknya kurir yang bersikap tidak sabar terhadap konsumen yang notabene pembayar ongkos sumber nafkah sang kurir.
Kini kita masuk pada pokok bahasan utama kita, sebagai ilustrasi betapa mudahnya seorang hakim dalam mempermainkan amar putusan lewat pertimbangan hukum yang penuh bias dan parsial sifatnya. Sebagai contoh, kerap terjadi, dan bukanlah mitos sebagaimana telah penulis eksaminasi ribuan putusan Pengadilan Negeri hingga putusan kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia, untuk menggambarkan betapa upaya mencari-cari kesalahan merupakan urusan mudah, namun disaat bersamaan upaya mencari-cari pembenaran (justifikasi) juga merupakan urusan mudah, karenanya menjadi hakim korup adalah perkara yang mudah saja.
Dalam kasus tindak pidana kolusi yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar maupun Ketua Mahkamah Konstitusi RI Akil Mochtar, bila saja Komisi Pemberantasan Korupsi tidak meringkus kedua hakim tersebut yang terjaring “operasi tangkap-tangan” (OTT), maka dapat dipastikan selamanya sang hakim berprofesi sebagai hakim akan terbit berbagai “putusan korup” yang tidak disadari oleh masyarakat dan tidak mendapat kritik apapun dari praktisi maupun akademisi. Hanya ketika para hakim tersebut terjerat OTT, barulah masyarakat mengetahui dan menyadari bahwa sang hakim adalah “hakim korup” lengkap dengan putusan yang tidak kalah “korup”-nya.
Sebagai contoh yang kerap terjadi dalam praktik litigasi di persidangan peradilan ala “Indonesia”, hanya karena pihak notaris pembuat Akta Otentik tidak turut digugat sebagai Turut Tergugat, sekalipun adalah mustahil bagi sang notaris meski hadir karena turut digugat untuk membuat keterangan atau pernyataan di persidangan secara menyimpang dari Akta Otentik yang sebelumnya dibuat olehnya (karena sama artinya melanggar “sumpah jabatan”), tetap saja praktik hukum acara perdata di Indonesia demikian formalistis yang menjelma “boros” dan “pemborosan” dengan mewajibkan pihak Penggugat turut menggugat sang notaris pembuat Akta Otentik ketika hendak menggugat rekan bisnisnya yang terlibat dan wanprestasi dalam Akta Otentik dimaksud, dengan ancaman gugatan akan dinyatakan sebagai “tidak dapat diterima” (niet onvantkelijk verklaard, “N.O.”) semata karena tidak menjadikan pihak notaris sebagai pihak Turut Tergugat, meski sejatinya sama sekali tidaklah relevan dan tiada faedah ataupun urgensinya untuk menggugat seorang Pejabat Umum pembuat Akta Otentik dimana Akta Otentik dimaksud sudah “the evidence speak for itself”.
Contoh yang lebih ekstrim, gugatan ialah perihal sengketa gugat-menggugat antara seorang pedagang yang membeli bahan dagangan dari seorang supplier atau pemasok, harga pembelian telah dibayar secara penuh lewat transfer melalui fasilitas mutasi dana antar rekening suatu perbankan namun barang pesanan tidak kunjung diserahkan sebagaimana diperjanjikan. Semata karena pihak kurir dari perusahaan ekspedisi maupun pihak lembaga perbankan rekening pihak penggugat maupun perbankan rekening pihak tergugat yang menjadi medium transaksi dana pembelian dan pemesanan tidak turut digugat sebagai pihak “Turut Tergugat”, maka kalangan kehakiman yang telah di-“sponsori” oleh pihak Tergugat dapat semudah “mementahkan” gugatan Penggugat, dengan menyatakan dalam pertimbangan hukumnya yang sumir:
“Menimbang, bahwa telah ternyata gugatan Penggugat telah KURANG PIHAK, dengan tidak menggugat jasa kurir yang biasa digunakan oleh pihak Tergugat untuk mengantarkan barang pesanan (meskipun itu bukan urusan Penggugat mengenai Tergugat hendak memakai kurir dari perusahaan ekspedisi manakah), serta tidak turut digugatnya perbankan rekening Penggugat maupun perbankan rekening Tergugat, maka gugatan Penggugat dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA. Tok tok tok, sidang dibubarkan. Hakim memiliki imunitas, bebas dan independen, tidak dapat diganggu-gugat dalam memutus.”
Ketika pada akhirnya pihak Penggugat mengajukan gugatan ulang di Pengadilan Negeri yang sama namun dengan komposisi Majelis Hakim yang berlainan, pihak hakim maupun pihak kurir dan pihak perbankan sama-sama merasa bingung disamping penuh ke-heran-an, mengapa juga mereka semua yang tidak relevan terhadap pokok perkara, turut digugat? Praktik hukum acara perdata di Indonesia tidak secara tegas-limitatif mengatur, bahwa syarat pihak-pihak yang digugat cukup sebatas pihak-pihak yang akan dibebankan untuk melakukan suatu prestasi dalam amar putusan, baik prestasi “untuk berbuat sesuatu”, “untuk tidak berbuat sesuatu”, dan/atau “untuk menyerahkan sesuatu”. Sepanjang pihak-pihak tersebut tidak dibebankan perintah untuk melakukan suatu prestasi sebagaimana dalam amar putusan, maka tidak perlu digugat ataupun untuk dijadikan pihak Turut Tergugat—idealnya demikian, meski fakta realitanya praktik hukum acara di Indonesia masih demikian primitif.
Contoh sikap “mau menang sendiri” praktik peradilan oleh birokrasinya yang “norak” disamping “narsistik” dan “egoistik”, suatu waktu penulis hendak mem-foto Surat Kuasa milik lawan dalam rangka dokumentasi untuk menyusun argumentasi bantahan, akan tetapi seketika dilarang dan ditegur oleh pihak panitera, dengan menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata tidak mengatur adanya kebolehan mem-foto surat kuasa ataupun alat bukti lawan—meski, disaat bersamaan sang panitera sedang sibuk berasyik-ria mengetik diatas keyboard laptopnya, seolah Hukum Acara Perdata mengatur kebolehan bagi panitera untuk mengetik memakai komputer ataupun kecanggihan teknologi semacam eCourt dan eLitigation. Penulis menyebutnya sebagai “standar ganda” yang lebih berat sebelah.
Surat gugatan maupun surat bantahan seburuk apapun disusun, sepanjang hakim pemeriksa dan pemutus berlatar-belakang hakim yang bijak nan arif, bukan sekadar dipanggil dengan sebutan nama “Yang Mulia Hakim”, maka akan terbit putusan yang adil dan sesuai nurani keadilan para pihak yang saling bersengketa. Pernah terjadi pada klien dari penulis, yang digugat cerai oleh suaminya secara “verstek” tanpa kehadiran klien penulis di persidangan, ternyata sang hakim sekalipun pihak Tergugat tidak pernah hadir untuk memakai haknya guna membantah gugatan Penggugat, Majelis Hakim tetap membuat putusan yang adil dan imparsial bagi para pihak, dimana sang hakim sekalipun menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus akibat gugatan perceraian ini, namun sang hakim membebankan kewajiban bagi Penggugat untuk memberikan biaya alimentasi (nafkah hidup bagi anak) berupa 1/3 dari gaji Penggugat setiap bulannya dalam amar putusan hingga sang anak mencapai usia 21 tahun—putusan mana tidak merugikan pihak mana pun.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.