(DROP DOWN MENU)

Memilih untuk Bertahan Hidup dan Melanjutkan Hidup, Sudah Merupakan Keberanian Hidup. Sebuah Keberanian Hidup, Tidak Pernah Mengenal Banyak Syarat

ARTIKEL HUKUM

Mengapa Aksi Bunuh Diri Bukan Merupakan Opsi, serta adalah Bentuk Ketidak-Adilan terhadap Sesama Umat Manusia?

Orang-orang jahat yang menyakiti dan merugikan orang lain, jelas merupakan jenis-jenis “manusia sampah”, sehingga tidak perlu kita bahas dan mereka dipersilahkan langsung masuk menuju ke “tong sampah”. Orang-orang jahat adalah jahat, buruk, rusak, busuk, dan sifat jahat yang “tidak malu” serta “tidak takut” berbuat jahat seperti merugikan, menyakiti, ataupun melukai orang lain, merupakan “penyakit” itu sendiri—“penyakit” yang sama sekali tidak sedap untuk dipandang ataupun untuk didengar, terlebih untuk dipelihara dan dilestarikan.

Namun demikian, terdapat satu jenis pelaku ketidak-adilan yang tampaknya kerap kali luput dari perhatian, yakni mereka yang menjadikan “bunuh diri” (suicide) sebagai opsi untuk mengakhiri segala ketidak-idealan dan segala ketidak-adilan yang ditawarkan oleh dunia ini. Merasa tidak kuasa menghadapi ketidak-adilan dunia, namun mengakhirinya dengan menggunakan cara yang sama tidak adilnya, yakni “bunuh diri”—ibarat keluar dari mulut buaya untuk masuk ke mulut harimau bernama asumsi “kelewat berani” seolah-olah mengakhiri hidup dengan cara demikian berujung pada “nihilisme” tanpa konsekuensi apapun.

Ketidak-adilan terbesar mereka yang memilih opsi untuk mengakhiri hidup secara tidak wajar, entah “bunuh diri” dengan cara “menggantung diri” (jika menggantung diri sendiri di atas “pohon toge”, masih dibolehkan secara moril serta boleh “do try this at home”), “meminum / meng-konsumsi racun” (mematikan diri sendiri secara perlahan dan gradual, seperti asap tembakau, cairan ber-alkohol, ataupun menghirup obat-obatan terlarang), “melompat ke sungai” (merelakan diri menjadi makanan buaya yang kelaparan, cara mendanakan diri yang baik sekaligus bodoh), “diet secara ekstrim” (alias malas mencari uang untuk makan, ingin instan dengan cara mencuri atau menipu), “menggali lubang kubur sendiri” (dimana kian berbuat jahat, maka kian dalam lubang kubur yang digali olehnya yang akan mengubur dirinya sendiri hingga tenggelam ke dalam tanah), dan berbagai teknik “kelewat kreatif” lainnya untuk mengakhiri hidup (mengapa juga tidak menggunakan kreativitas yang mereka miliki untuk membuat “nasi telah menjadi bubur, maka buatlah bubur ayam yang menyenangkan?”), ialah mereka semua bersikap seolah-olah hanya diri mereka sendiri yang mengalami dukkha kehidupan.

Siapapun ingin semata mengalami “sukha” dalam hidup mereka dan kita semua, tanpa terkecuali. Namun, siapa juga yang dalam hidupnya tidak pernah mengalami baik “sukha” maupun “dukkha” sepanjang hidup kita semua? Tiada seorang pun yang terlahir dalam dunia ini, yang tidak pernah dan sedang mengalami “dukkha” dalam hidup, kecuali para Arahat di Nibbana yang tidak lagi terkondisikan dan tidak lagi “dibelenggu oleh rantai karma”.

“Sukha dan dukkha”, siapa pun mengalaminya, hanya saja derajat “sukha” dan “dukkha” yang saling berbeda antar satu makhluk hidup dan makhluk hidup lainnya, antara manusia yang satu dan manusia lainnya—bergantung pada tabungan buah karma masing-masing, yang pada kehidupan sebelumnya rajin dan tekun menanam karma baik serta menghindari menanam karma buruk maka akan memetik buah manis benih karma baik yang sebelumnya mereka tanam pada kehidupan masa kini. Hukum Karma, pada berbagai sisi dan sudut pandang, sangat linear terhadap prinsip meritokrasi.

Namun kita pun tidak boleh melupakan, bahwa bisa terlahir sebagai seorang manusia, peluangnya sangatlah kecil, dan adalah keberuntungan yang sangat harus kita hargai sehingga tidaklah bijak bila kita sia-siakan selain untuk berjuang menggunakan setiap detik nafas hidup yang kita miliki untuk memutus belenggu rantai karma (breaking the chain of kamma), setidaknya begitulah esensi ajaran Buddhisme.

Tanpa adanya buah karma baik, mustahil kita pada saat kini dapat telah terlahir kembali sebagai seorang manusia. Menyia-nyiakan hidup kita saat kini sebagai seorang manusia, bisa jadi pada kehidupan selanjutnya kita tidak lagi berkesempatan untuk terlahir kembali masih sebagai seorang manusia, terlebih sebagai makhluk dewata di alam dewata, namun terlahir pada “alam Apaya” (alam tanpa kebahagiaan, yakni hewan, setan gentayangan, jin raksasa, dan tidak terkecuali alam neraka).

Karena pada sifatnya adalah “buah karma baik” itu sendiri, kita saat kini dapat terlahir sebagai seorang manusia di alam manusia, maka adalah sebuah “dusta” (kebohongan) bila seseorang meng-klaim bahwa dirinya selalu dirudung “dukkha” dan serentetan atau serangkaian ketidak-beruntungan sepanjang hidupnya sejak dilahirkan (series of unfortunate event). Betulkan demikian? Murung, bukankah semua orang juga sesekali demikian? Putus asa, bukankah semua orang juga pernah demikian? Sedih, bukankah semua orang juga mengalami ketidak-puasan? Kecewa, bukankah semua orang juga pernah mengalami kebingungan penuh dengan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi?

Ibarat kisah Sang Buddha ketika menyarankan seorang ibu yang sangat depresi dan frustasi mendapati bayi yang dilahirkan olehnya meninggal dunia, agar sang ibu mencoba mencari sesuatu benda dari keluarga yang belum pernah ditinggal tewas oleh anggota keluarganya, ternyata sang ibu barulah membuka mata jiwanya ketika menemukan fakta bahwa semua orang atau semua keluarga pernah mengalami hal serupa, sehingga kesedihan demikian menjadi tidak relevan dan tidak rasional bila tidak disikapi secara proporsional sesuai prinsip kebenaran.

Pernah pada suatu ketika, seseorang mengeluhkan hidupnya sebagai “tidak berarti”, monoton, serta serba sederhana, sehingga merasa berhak untuk merasa iri dan cemburu terhadap hidup orang lain yang tampak lebih cemerlang, lebih bersinar, dan lebih membahagiakan, serta tentunya lebih “menyenangkan” (yakin?)—sekalipun pepatah pernah mengingatkan, membanding-bandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain selalu merupakan cara paling efektif untuk merusak kebahagiaan hidup kita sendiri. Tentu saja, rumput di halaman rumah tetangga selalu tampak lebih segar dan lebih indah, daripada rumput di halaman rumah sendiri, dan selalu demikian kita memberikan delusi kepada benak kita pribadi. Adapun respons yang penulis berikan ialah, dengan simpatik menjawab sebagai berikut:

Apakah betul, kita selama ini tidak pernah mencicipi manis madu kehidupan, setidaknya barang secuil atau setitik, sekalipun kecil, seperti menikmati sekotak kue atau sepiring makanan yang benar-benar kita sukai, prestasi-prestasi kecil, kejutan-kejutan kecil, kembang gula-kembang gula manis kecil, senyum-senyum kecil, luapan kegembiraan-kegembiraan kecil, gelak tawa-gelak tawa kecil, kenangan indah-kenangan indah kecil, dan berbagai buah karma baik sekalipun kecil? Seorang pengemis di jalanan sekalipun, pernah mengalami dan mencicipi manisnya kehidupan. Sehingga tampaknya pandangan hidup yang terlampau fatalistis dan secara biner ‘hitam atau putih’, perlu bersama kita tinjau ulang kembali.

Pemikiran ekstrim untuk mengakhiri ketidak-puasan, kekecewaan, kesedihan, ratap-tangis, dan sakitnya kehidupan, dengan cara melakukan aksi “bunuh diri”, merupakan sebuah “penyakit”, dimana tidak jarang merupakan “pengakit” yang notabene sifatnya “dicari-cari sendiri” oleh yang bersangkutan. Seorang pengemis, sekalipun bisa jadi mereka tidak memiliki apapun selain baju lusuh yang melekat di badan, hidup menggelandang di jalanan, dan mengemis makanan dari kemurahan hati pejalan kaki yang melintas di jalanan, namun mereka memilih untuk tetap bertahan hidup dan “survive” ditengah-tengah kerasnya kehidupan. Mereka bisa jadi miskin atau kurang beruntung secara ekonomi, namun mereka tidaklah menjadi “cengeng” bernama “menjelma menjadi seorang pecundang kehidupan” yang melupakan dan melepaskan seluruh cita-cita dimasa kecil untuk menjadi seorang astronot, ilmuan, presiden, dan profesi-profesi hebat lainnya.

Banyak kasus terjadi, para pecandu obat-obatan terlarang (penyalah-gunaan obat bius), tetap merasa tidak puas akan hidupnya sekalipun mereka sanggup membeli obat-obatan terlarang yang harganya jauh lebih mahal ketimbang gram emas logam mulia, tetap juga tidak puas karena “teler” akibat menghirup atau menyuntikkan obat-obatan terlarang perusak sel-sel otak dan tubuh serta jiwa demikian, mencoba dari satu candu ke jenis candu lain (menurut penelitian, seluruh pecandu obat-obatan terlarang berat selalu dimulai dari candu terhadap produk bakaran tembakau maupun minuman beralkohol yang menjadi “pintu gerbang” menuju pemakaian obat-obatan terlarang), belum juga terpuaskan, hingga pada klimaksnya ialah tewas akibat “overdosis” alias “tewas mati KONYOL”—menjadi pelaku “kekonyolan” sekaligus menjadi “korban” dari kekonyolan diri sendiri, yang membawanya terlahir kembali dalam “alam Apaya” karena menyia-nyiakan kesempatan hidup sebagai manusia yang sangat berharga.

Contoh, saat wabah merebak yang diakibatkan pandemik virus menular mematikan antar manusia, dimana bila kita masih bisa hidup sehat maka kita sudah patut bersyukur, alih-alih berkeluh-kesah merasa “bosan” mengunci diri di rumah selama berhari-hari, berminggu-minggu, ataupun berbulan-bulan, menuntut untuk mencari penghiburan “cuci mata” di luar rumah. Dikala wabah merebak, masih bisa makan dua atau tiga kali sehari, sekalipun dengan menu secukupnya dan seadanya, sudah sangat patut disyukuri, alih-alih “menantang wabah demi menyenangkan isi perut”.

Dikala situasi normal, kita patut bersyukur memiliki segala kecanggihan zaman yang kita miliki seperti jaringan listrik, jaringan internet, jaringan air bersih, jaringan televisi kabel serat optik maupun parabola satelit, jaringan transportasi, jaringan perbankan dan keuangan, jaringan distribusi pangan, dan segala kemudahan hidup lainnya yang memanjakan dan sangat amat istimewa, bila kita bandingkan dengan nenek-moyang kita beberapa milenium lampau yang masih harus menimba air dari sungai atau danau yang terpisah gunung dan rangkaian bukit, rumah semi permanen yang dapat diterobos oleh hewan buas dan liar, bumbu dapur dari rempah-rempahan yang sederhana, tiada tabungan yang sifatnya “tidak akan habis untuk dimakan hingga tujuh keturunan”, berjalan kaki menempuh jarak bermil-mil jauhnya, tiada “work from home”, tiada vaksin untuk mencegah penyakit, namun tetap saja mampu “survive” dan terbukti mampu bertahan hidup—serta mungkin lebih bahagia bila dibandingkan dengan generasi penerusnya yang hidup di era kontemporer yang serba digital serta ditopang ketergantungan terhadap mesin berbahan bakar, sekalipun para nenek-moyang kita jelas-jelas hidup ditengah kondisi serba penuh keterbatasan, bersahaja tanpa banyak menuntut serta tidak merepotkan sebagaimana sikap “banyak tuntutan” manusia generasi modern seperti sekarang kini, yang mana tetap saja TIDAK TERPUASKAN serta TIDAK MENGENAL KATA PUAS.

Sebagai contoh lainnya, penulis tidak pernah merayakan tahun baru dengan cara meledakkan petasan, karena memastikan serta menjaga baik-baik kondisi kesehatan jantung (tidak dikejutkan suara ledakan) maupun kondisi kebersihan udara dari polusi udara bakaran mesiu ledakan petasan maupun polusi suara ledakan petasan yang mengejutkan jantung serta memekakkan gendang telinga, masih lebih penting serta membahagiakan ketimbang gegap-gempita warna-warni kembang api yang meledak di angkasa. Dengan menjadi manusia yang bersahaja, penuh pengertian, kita sudah secara sendirinya menghargai kehidupan banyak orang dan banyak makhluk hidup. Kerusakan alam, tidak akan pernah terjadi bila umat manusia memahami dan menjiwai hidup yang bersahaja, jauh dari keserakahan.

Tidak pernah pula penulis memilih untuk menikmati makanan semacam sate ataupun jagung bakar di area perumahan ataupun pemukiman padat penduduk seperti di perkotaan, yang dibuat dengan menimbulkan polusi udara yang bersifat lintas batas dan mampu melewati menyusup sekat ruang, sehingga mengganggu kedamaian maupun ketenangan hidup serta kesehatan pernafasan tetangga dan warga sekitar, terutama orang-orang yang menderita penyakit asma maupun sensitif pernafasan.

Memilih menjadi manusia yang humanis, sudah lebih dari cukup melegakan hati. Memuliakan Tuhan hanya dapat ditempuh dengan menjadi manusia yang mulia—tiada cara lain, Tuhan tidak pernah membutuhkan “lip service”, dimana bila terdapat ajaran yang menyatakan sebaliknya, maka itu sama artinya telah “menista” kebesaran dan keagungan Tuhan yang semestinya telah luhur dan penuh serta utuh, dengan ataupun tanpa pengakuan dari umat manusia.

Singkat katanya, kepada dan bagi seseorang yang ada diantara kita dan diantara para pembaca, yang merasa terdesak untuk mengakhiri hidup lewat aksi kekanakan semacam “bunuh diri”—terkecuali aksi “bunuh diri” demi menjaga kehormatan seorang gadis dari pelecehan asusila—untuk “menyelesaikan” apa yang sejatinya menjadi “never ending strories” ini, mengingat kematian bukanlah akhir dari segalanya dari siklus roda samsara kelahiran kembali yang tidak berkesudahan, dimana masih ada “alam setelah kematian” (after life realms), maka saran paling krusial yang perlu mereka ajukan bagi diri mereka sendiri ialah : Jangan bersikap seolah-olah hanya diri kita sendiri seorang, yang mengalami apa yang disebut sebagai “dukkha” dalam hidup sehingga merasa seorang diri yang paling berhak untuk berkeluh-kesah, dan berhentilah untuk bersikap seolah-olah derita dan ketidak-puasan hidup dimonopoli oleh diri kita sendiri. Semua orang, pada faktanya, menjadi subjek dari “dukkha”, tanpa terkecuali. Serta menjadi subjek dari “hukum karma”, tanpa terkecuali.

Memang mengherankan, bila banyak pelaku usaha hendak memonopoli pasar, bila perlu dengan berbagai cara, namun ternyata secara tidak rasional, tidak sedikit pula diantara masyarakat kita yang hendak memonopoli “dukkha”, sehingga senantiasa bersikap seolah-olah hanya diri mereka sendiri yang paling menderita dan paling mengalami ketidak-puasan hidup serta kekecewaan dalam kehidupan pribadinya. Sikap demikian, perlu kita nyatakan, adalah tidak adil terhadap mereka yang memilih untuk bertahan hidup, sehat, dan selamat, apapun kerasnya kehidupan yang selama mereka hadapi dan tempuh. Yang tidak dapat membunuh kita, maka itu akan menguatkan kita, demikian seorang tokoh pernah menyebutkan.

Mungkin itulah ketidak-adilan terbesar para pelaku aksi “bunuh diri”, yakni sejatinya mereka telah memilih untuk bersikap tidak adil terhadap orang-orang yang memilih untuk tetap bertahan hidup dan “survive”, sekalipun sama-sama merupakan para korban kehidupan, korban kejahatan perilaku manusia lainnya, korban ketidak-puasan, korban ketidak-adilan, korban kekecewaan, korban pelecehan, korban penganiayaan, korban pencurian ataupun perampokan, korban aksi perundungan (bullying), serta sebagai korban-korban ketidak-adilan lainnya.

Melanjutkan hidup, dengan segala konsekuensi resikonya, sudah merupakan tantangan hidup itu sendiri, dan tidak pernah mudah menghadapi kebenaran kehidupan sebagaimana didapati oleh Sang Buddha ketika masih merupakan seorang Pangeran Siddharta Gotama yang melihat realita kehidupan yang tidak henti-hentinya menampilkan corak : menjadi tua, sakit, dan tutup usia meninggal dunia. Memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara “bunuh diri”, adalah pilihan yang sulit dan berat, tanpa dapat kita pungkiri. Namun, memilih untuk tetap melanjutkan kehidupan, sekalipun berat dan penuh ketidak-pastian disamping dipenuhi pula oleh berbagai ketidak-idealan kehidupan, senyatanya jauh lebih berat mengingat butuh kebesaran jiwa, komitmen, dedikasi, konsistensi, serta sifat keberanian itu sendiri.

Memilih untuk tetap melanjutkan hidup dan membangun kehidupan, tanpa merugikan ataupun menyakiti makhluk hidup lainnya, serta tanpa menyakiti diri sendiri, sudah menjadi jalan bagi para pemenang itu sendiri. Mencetak prestasi kehidupan, tidak perlu berupa menjadi tokoh sekaliber dan se-terkenal Albert Einstein. Karenanya, kita tidak perlu tawar-menawar dengan hidup dan kehidupan, seolah kita mengenal dan meminta “syarat” agar memiliki hidup sebanding dengan seorang Albert Einstein agar bersedia terus melanjutkan hidup. Cukup bagi kita untuk bertahan hidup serta melanjutkan kehidupan secara humanis serta bersahaja, tanpa merugikan ataupun menyakiti individu lainnya, maka kita bisa “tutup-usia” secara tenang dan damai.

Dalam derajat yang lebih tinggi lagi, ialah menjalankan praktik latihan hidup seorang manusia, bernama “Ovada Patimokkha” yang menjadi simbolisasi atau representasi Buddhistik, yang bermakna : Menghindari perbuatan jahat (salah satunya tidak menjahati dan tidak bersikap egois terhadap diri sendiri), perbanyak perbuatan bajik (salah satunya tetap bertahan hidup agar memiliki kesempatan untuk banyak menanam benih karma baik), serta menyucikan hati serta pikiran (latihan praktik kontrol dan pengendalian diri).

Biarlah pada kehidupan saat kini, kita sebagai seorang manusia mungkin kurang beruntung. Namun, ibarat peribahasa yang menjadi primadona mereka yang memilih untuk terus berjalan maju melanjutkan hidup tanpa membiarkan ketakutan-traumatik menguasai diri, membekukan yang membuat langkah kita terpaku di tempat, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, kita dapat menabung untuk “masa depan yang lebih baik”, bernama “rajib menanam benih karma baik”, agar dapat terlahir kembali setidaknya sebagai seorang manusia yang “serba beruntung” (yang bahkan tidak dapat tersentuh oleh manusia-manusia jahat diluar diri, untouchable), atau bahkan terlahir kembali di alam dewata.

Sementara itu bagi mereka yang memilih opsi “bunuh diri”, pintu menuju alam kebahagiaan tertutup sepenuhnya, peluang untuk lari dan bersembunyi dari penderitaan pun pupus seutuhnya, menjelma makhluk yang menghuni “alam Apaya” (alam TANPA kebehagiaan). Itulah yang disebut sebagai keberanian untuk terus bertahan dan berjalan hidup, pelita yang memberikan cahaya bagi batin—dimana kita sendiri yang membuat keputusan untuk terus memastikan lampu kehidupan itu tetap hidup atau memadamkannya. Pastikan nyala pelita hidup dalam hati kita, terus tetap terjaga, apapun badai yang menerpa hidup kita. Bagaikan pernyataan Sang Buddha : “Jadilah diri kita bagaikan batu karang yang kokoh, dengan batin yang tidak tergoyahkan, sekalipun dihempas oleh ombak dan badai.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.