LEGAL OPINION
Pidana Penadahan, antara HARGA PASAR, HARGA DISTIBUTOR, dan HARGA PABRIK
Vonis Pidana Penadahan, karena Terdakwa Sengaja atau Lalai untuk Sepatutnya / Seharusnya Mengetahui bahwa Barang (Ternyata) adalah Hasil dari Kejahatan
Question: Saya heran, sebagai seorang trader yang bidang usahanya trading jual-beli produk dalam jumlah besar dari pabrikan ataupun dari pihak distributor besar, untuk kemudian dijual kembali kepada pihak reseller di pasaran pada berbagai daerah, dituduh telah melakukan pembelian barang tadahan berbadarkan pasal pidana penadahan, dengan alasan telah membeli barang-barang itu dengan harga jauh dibawah harga pasaran.
Sudah saya katakan dan jelaskan, harga pasar itu harga untuk pedagang eceran, bukan untuk prefesi seperti seorang trader. Sudah jelas pula bahwa kalangan trader hanya berminat dengan harga pabrik serta harga distributor, agar ada margin keuntungan untuk dijual kembali kepada pihak reseller di pasaran pada berbagai daerah, mengapa juga menyamakan antara harga jual-beli partai besar grosiran dan harga jual-beli eceran yang bukan kulakan sifatnya? Apakah memang seperti itu, praktik hukumnya di Indonesia?
Brief Answer: Tiada satupun pasal pemindaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menggunakan istilah “harga pasar” untuk menjadi parameter tindak pidana penadahan. Istilah “harga wajar” dalam rumusan delik pidana “penadahan”, sifatnya sangatlah kontekstual, antara “harga pasar” bagi pedagang eceran terhadap konsumen “end user”, “harga pabrik”, hingga “harga distributor” yang biasanya diperjual-belikan dalam volume atau kuantiti besar sehingga faktor harga dapat demikian “negotiable” dengan rumusan : semakin banyak kuantiti komoditas jual-beli yang ditransaksikan, maka akan semakin besar diskon potongan harga yang dapat diberikan bagi pihak pengusaha jual-beli komoditas produk dan barang.
Dalam praktik kontemporer peradilan di Indonesia, teori-teori klasik pemidanaan terutama terkait tindak pidana “penadahan”, telah bergeser menjadi lebih rasional mengingat perkembangan zaman telah jauh berubah sejak pembuatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang beberapa abad lampau dilatar-belakangi kondisi ekonomi dan niaga yang masih sangat sederhana, dimana kini telah jauh berkembang mengingat dalam dunia jual-beli modern dapat berlangsung dalam suatu kuantitas produk yang masif, sehingga antara “harga pasar” (eceran) terhadap “harga kulakan” adalah wajar menjadi demikian jauh bersenjang perbedaannya.
Sebagai contoh, “harga pabrik” biasanya memangkas komponen biaya distribusi, sementara “harga distributor” memangkas komponen biaya rantai distribusi hulu ke hilir. Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, pedagang perantara atau semacam “membeli untuk dijual kembali”, bukanlah tergolong sebagai “konsumen”, karena itulah “harga pasar” tidak relevan diberlakukan bagi kalangan profesi yang bukan tergolong “konsumen” demikian. “Harga pasar” hanya relevan dalam konteks harga pembelian yang dilakukan oleh “konsumen” (end user).
Adalah mudah menentukan telah terjadinya unsur-unsur delik tindak pidana “penadahan” suatu peristiwa pidana, bilamana sifatnya ialah sebatas transaksi dalam tataran eceran yang parameternya dapat dengan mudah ditarik dari “harga pasar”. Namun selalu dilematis ketika transaksi jual-beli terjadi dalam jumlah besar, dimana adalah wajar bila harga jual-belinya menjadi jauh dibawah “harga pasar”, bergantung pada keterampilan negosiasi pihak pengusaha jual-beli dalam jumlah besar, dimana semakin besar persentase diskon yang diberikan maka semakin besar margin keuntungan yang diperoleh olehnya.
Sesekali pula kadang pihak produsen melakukan “banting harga pabrik maupun harga pasar” dalam rangka promosi produk, sehingga bahkan “praktik harga dumping dalam rangka promosi” dapat pula terjadi dimana nilai nominal transaksi dilakukan bahkan dibawah “harga pabrik”—semiasl “Buy 1 Get 2” atau seperti “beli satu dapat bonus satu”, dsb.
Karena itu jugalah, dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS, mengingat konteksnya ialah kuantitas produk yang ditransaksikan ialah berjumlah besar dan masif, maka barometer berupa “harga pasar” sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan sebagai penentu telah terjadi delik “penadahan” atau tidaknya. Tidak terkecuali “harga langganan / pelanggan”, “harga tunai keras” (langsung membayar lunas seketika tanpa mencicil), atau derivasi harga-harga lainnya yang sifatnya dinamis serta fleksibel, tidak monoton “harga pasar” yang hanya relevan dalam konteks pembelian oleh “konsumen eceran”.
Mungkin yang menjadi hal terberat paling utama atau resiko paling utama dari kalangan pedagang produk, ialah rumusan delik pidana penadahan dari segi doktrin ilmu pidana di Indonesia, dakwaan sebagai telah melakukan “pidana penadahan” bisa terjadi karena faktor kesengajaan (sudah tahu barang hasil kejahatan, masih juga dibeli), dan bisa juga terjadi karena faktor kelalaian / ke-alpha-an untuk menaruh curiga bahwa produk yang ditransaksikan ialah merupakan hasil dari kejahatan.
Menjadi penyulit bagi kalangan “pedagang perantara”, karena setiap persen diskon yang diperoleh darinya saat bernegosiasi dan membeli dalam jumlah besar, dapat berpotensi berujung pada resiko pidana sebagai “penadahan”—semata dengan tuduhan “lalai untuk seharusnya mengetahui atau patut menduga”. Itulah sebabnya, “positive thinking” dalam konteks hukum pidana, ada kalanya bermuara pada kriminalisasi, bahkan tidak sedikit menjerat kalangan pengusaha jual-beli yang membeli dalam jumlah besar sekalipun.
PEMBAHASAN:
Sebenarnya sudah menjadi pemahaman umum, bahwasannya kalangan “trader” (semacam agen freelance yang bidang usahanya mengambil profit usaha atau laba dari margin selisih harga jual-beli, sebagai penengah mata rantai distribusi), makelar, broker, atau sebutan sejenis lainnya, tidak akan pernah memburu dan menyasar produk-produk dalam jumlah kuantitas besar dengan berpatokan pada “harga pasar”, “harga retail”, terlebih “harga eceran di pelosok”. Harga-harga diluar nilai psikologis memang mungkin akan mengejutkan orang-orang diluar dunia niaga semacam “trading”, semisal bisa mendapatkan diskon hingga 30% atau bahkan 50% seperti yang selama ini dipraktikkan kalangan pebisnis jual-beli buku—sehingga jelas jauh dibawah rate “harga pasar”.
Karena itulah, “tresshold” atau ambang batas nilai harga kewajaran, ialah sangat tentatif dan fleksibel sifatnya, yang bisa jadi jauh dibawah “harga pasar”, yang karenanya “harga wajar” tidak identik dengan “harga pasar”—suatu fenomena bisnis yang tidak terdapat pada era atau zaman Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibentuk berabad-abad lampau saat praktik niaga masih sangat sederhana transaksinya, dimana tanpa mengenal proses logistik maupun transportasi yang demikian masif seperti sekarang ini.
Dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS, tindak pidana “penadahan” terkadang terbentur oleh realita dunia niaga yang mengenal variasi harga barang, seperti “harga pabrik” maupun “harga distributor” bagi pedagang perantara yang membeli dalam jumlah kuantitas barang yang masif, bukan sekadar terminologi “harga pasar” yang selama ini hanya cocok untuk pihak “seller” eceran—bukan dan tidak akan pernah cocok diberlakukan dalam konteks pengusaha jual-beli secara “kulakan” alias “grosiran”.
Dalam praktik pun berkembang pula derivasi lainnya seperti “harga promosi” yang tidak jarang menerapkan harga jual-beli jauh dibawah “harga pabrik” normal sekalipun (dumping dalam rangka promosi), sehingga anomali-anomali “harga pasar” bahkan dalam tataran eceran, terkadang tidak lagi dapat diberlakukan secara demikian normatif-legalistik. Bila parameter tolak-ukurnya semata ialah “harga pasar” sebagai penentu mutlak terjadi atau tidaknya tindak pidana “penadahan” dengan mengatas-namakan alat bukti “petunjuk” berupa “patut menduga” adalah barang hasil kejahatan semata karena dijual dengan harga dibawah “harga pasar”, sementara itu pasar kadang banjir oleh berbagai produk-produk promosi yang sangat rutin dilempar ke pasaran seperti yang tidak jarang kita jumpai pada berbagai minimarket retail eceran maupun supplai produk dari pabrikan kepada pihak distributor, agen, maupun makelar, komisioner, broker, tengkulak, pengepul, dan lain sebagainya.
“Harga pabrik” sudah jelas jauh dibawah “harga distributor” terlebih “harga eceran”. Sehingga dapat dikatakan pula, “harga pabrik” menjadi harga dengan limit terendah harga jual-beli produk manufaktur, meski tidak selamanya, terutama bila terdapat program semacam “promosi produk”—dimana juga margin selisih tertinggi dan terendahnya masih juga relatif sesuai kuantitas ataupun jumlah produk yang ditransaksikan, disamping keterampilan negosiasi para pengusaha jual-beli. Karenanya, yang disebut dengan “harga kewajaran” ialah harga atau nilai jual-beli produk yang harus ditempatkan sesuai konteks masing-masing peristiwa hukum yang terjadi.
Parameter “harga pabrikan”, ternyata telah diakomodir dalam praktik peradilan di Indonesia, sebagai ambang-batas alat bukti petunjuk telah terjadi atau tidaknya tindak pidana “penadahan”, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “penadahan” register Nomor 74 K/Pid/2012 tanggal 30 Juli 2012, dimana Terdakwa didakwakan karena telah melakukan perbuatan membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan, dilakukan ia Terdakwa dalam beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 480 Ayat (1) jo. Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terdakwa merupakan pedagang barang Elektronik pada “Toko Manggis”, dimana Terdakwa telah menerima, membeli, dan menyimpannya kemudian menarik keuntungan dengan menjual dari barang-barang elektronik, mebeuler yang berasal dan diterima dari Sdr. Kartini (sebagai Terdakwa dalam berkas perkara terpisah dan Roy Juliansa oleh pihak Polres Kuningan dinyatakan Daftar Pencarian Orang [DPO]) atas berbagai produk elektronik.
Roy Yuliansa adalah sales dari PT. Columbus dan diketahui barang–barang tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan Sdr. Kartini bersama Roy Yuliansa yang mendapatkan barang-barang tersebut dari PT. Columbus dengan memanipulasi Data konsumen sebagaimana yang didakwakan terhadap Sdr. Kartini dalam berkas perkara terpisah, atau sudah menduga bahwa barang tersebut didapatkan dari hal yang tidak legal atau sepatutnya.
Terdakwa yang mengetahui bahwa Kartini adalah seseorang biasa bukan seorang pengusaha, sementara Roy Yuliansa sebagai sales PT. Columbus, patut menduga bahwasannya barang-barang dari Sdr. Kartini dan Roy Yuliansa tersebut merupakan barang dari hasil kejahatan, namun karena merupakan kehendak Terdakwa untuk mengambil keuntungan, maka Terdakwa menerimanya, menyimpannya dan menjualnya kepada umum.
Sdr. Kartini dan Roy Yuliansa dalam mendapatkan barang-barang tersebut, dilakukan secara bekerja-sama dengan karyawan PT. Columbus lainnya, yaitu mulai dari karyawan analis / surveyer, maupun sopir yang bertugas mengirimkan barang. Sdr. Kartini yang mencari Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) Konsumen, kepada konsumen dengan alasan akan mendapatkan hadiah, untuk selanjutnya KTP dan KK milik konsumen itu diserahkan kepada Roy Yuliansa, sebagai lampiran permohonan (aplikasi) pembelian barang secara kredit kepada PT. Columbus dengan memalsukan tanda-tangan konsumen pada aplikasi.
Permohonan (aplikasi) palsu sebanyak 410, mengatas-namakan nama konsumen yang dilakukan dalam kurun waktu 2008 sampai dengan tahun 2010 itu, oleh pihak PT. Columbus diproses dan oleh karyawan bagian analis / surveyer, dan diketahui oleh para petugas Analis tersebut bahwa aplikasi yang diajukan oleh Roy Juliansa adalah palsu atau tidak benar alias tidak benar-benar diajukan oleh pihak konsumen, semata karena telah adanya kerja-sama persekongkolan karyawan internal PT. Columbus tersebut bersama dengan Sdr. Kartini serta Roy Yuliansa itu. Para petugas analisa memprosesnya dengan justru mendatangi Sdr. Kartini, alih-alih mendatangi para konsumen pemilik data pemohon, dan para petugas Analis tersebut membuat hasil analis / surveyer yang tidak sebenarnya alias memasukkan keterangan palsu ke dalam dokumen laporan ke perusahaan tempat mereka bekerja.
Berdasarkan analis palsu demikian, aplikasi yang diajukan oleh Roy Juliansa itu diproses sampai mendapatkan persetujuan Manager PT. Columbus. Selanjutnya, berdasarkan persetujuan tersebut, dibuatkanlah faktur pengiriman barang dan berdasarkan faktur pengiriman palsu tersebut, pihak sopir ditugaskan mengirim barang sampai pada konsumen. Akan tetapi karena para sopir ternyata berkomplot (bersekongkol) dengan Sdr. Kartini dan Roy Juliansa, mereka justru mengirimkan barang-barang sejumlah 410 unit dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2010, sebagian besar dikirim ke rumah Sdr. Kartini, dimana hanya sebagian kecil yang dikirim ke konsumen yang sebenarnya.
Namun kemudian oleh Sdr. Kartini, barang yang sudah sampai pada Konsumen itu diambil-alih penguasaannya oleh suami serta anak dari Sdr. Kartini. Faktur pengiriman barang yang dikirim kepada Sdr. Kartini, ditanda-tangani oleh Sdr. Kartini dengan memalsu tanda-tangan konsumen dan ada faktur pengiriman barang ditanda-tangani oleh anak dan suami dari Sdr. Kartini.
Selanjutnya, untuk “mengaburkan asal-usul barang hasil kejahatan” demikian, Sdr. Kartini dan Roy sebelum itu sudah pernah membuat persekongkolan dengan Terdakwa, dimana Terdakwa akan menerima dan membeli barang-barang hasil kejahatan tersebut dengan harga dibawah harga Pabrik, telah menerimanya sesuai dengan waktu tidak lama setelah pengiriman dari PT. Columbus, dan Terdakwa membayarnya dibawah harga pabrik, dimana kemudian barang-barang tersebut oleh Terdakwa dijajakan di tokonya sebelum kemudian dibeli oleh pihak masyarakat pengunjung toko dengan keuntungan yang didapat Terdakwa setiap barangnya antara Rp. 300.000.- sampai dengan Rp.400.000.-.
Dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwa karena telah melakukan perbuatan menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan, dilakukan ia Terdakwa dalam beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 480 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Yang menjadi tuntutan Jaksa Penuntut Umum, ialah agar pengadilan menjatuhkan vonis “Menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana PENADAHAN BEBERAPA KALI SECARA BERLANJUT”, serta vonis hukuman “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa AMILAWATI Binti LIE dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan”.
Terhadap tuntutan Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Kuningan No. 36/Pid.B/2011/PN.Kng tanggal 19 Juli 2011, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasakan uraian fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa pada sekitar tahun 2008 sampai dengan tahun 2010, Sdr. Kartini Binti Kasim bersama Sdr. Roy Yuliansa telah mengajukan 410 aplikasi kredit sewa beli fiktif berbagai jenis barang elektronik dan furniture ke PT. Columbus Kuningan;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan barang 24 (dua puluh empat) unit kulkas yang disita dari Terdakwa oleh kepolisian dan Blok Note yang berisikan catatan Terdakwa tentang penyerahan uang kepada Kartini, Tita Pratiwi dan Roy Yuliansa sebagai hutang dan pembayarannya, ...;
“Menimbang, bahwa unsur ini terdiri dari dua unsur : kesengajaan atau unsur Kealfaan. Menurut pendapat Tongat SH, M.Hum, dalam bukunya Hukum Pidana Materil mengemukakan bahwa untuk membuktikan unsur kealfaan ini dapat dilihat dari hal-hal yang tidak wajar di dalam orang melakukan penjualan, dan berdasarkan keterangan saksi Kartini Binti Kasim, Saksi Tita Pratiwi dan Saksi Wiguna Disantra, ...;
“Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa mampu bertanggung jawab, dan tidak ditemukan adanya alasan pemaaf dan Pembenar terhadap perbuatan Terdakwa, maka Terdakwa harus dijatuhi pidana;
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa AMILAWATI Binti LIE terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penadahan yang dilakukan beberapa kali secara berlanjut’;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa AMILAWATI Binti LIE dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
Dalam tingkat banding atas upaya hukum Terdakwa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 319/Pid/2011/PT.Bdg tanggal 26 September 2011, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kuningan tanggal 19 Juli 2011 Nomor : 36/Pid.B/2011/PN.Kng yang dimintakan banding tersebut.”
Pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa segala perbuatan Terdakwa berdasarkan perintah dari Saudara Mikong (sebagai pemilik Toko Manggis) sesuai bukti Surat Ijin Usaha (SIUP) yang diterbitkan oleh pihak Pemerintah. Perbuatan Terdakwa hanya mencatat utang-piutang dalam pembukuan toko, menyerahkan uang pinjaman, menerima 24 unit kulkas dari Sdr. Kartini, Tita Pratiwi, Roy Yuliansa, semua dilakukan Terdakwa semata atas PERINTAH SUAMI bernama Mikong selaku “decision maker” sebagai pemilik SIUP atas nama PD. Manggis Putra, sehingga menurut ketentuan Pasal 77 KUHP yang dapat dimintakan pertanggung-jawaban secara hukum adalah suami Terdakwa yang bernama Mikong selaku pemilik SIUP.
Pasal 77 KUHP mengatur, “Hak menuntut hukuman gugur, lantaran si tertuduh meninggal dunia” Artinya, bahwa penuntutan hukuman harus ditujukan kepada diri pribadi orang, tidak dapat diwariskan. Jika orang yang dituduh melakukan peristiwa pidana kemudian meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa demikian tidak dapat berlanjut, terlebih lalu diarahkan kepada ahli warisnya.
Keseluruh dokumen terkait jual-beli tersebut, ditanda-tangani oleh serta atas nama PD. Manggis milik Mikong, dimana juga tidak ada satu pun saksi-saksi melihat Terdakwa memerintah membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang (yang ternyata) hasil kejahatan.
Justru sebaliknya, Terdakwa mengklaim telah tertipu, diperalat, dan disesatkan oleh Kartini, Tita Pratiwi dan PT. Columbus, sehinga Terdakwa menderita kerugian uang sebesar Rp. 403.962.500, kemudian Terdakwa melakukan gugatan secara perdata perkara Nomor 08/Pdt.G/2010/PN.KNG pada tanggal 13 Oktober 2010, menggugat Kartini, Tita Pratiwi Wiguna juga PT. Columbus, sebelum adanya kasus pidana ini diproses. Demikian juga PT. Columbus ternyata telah melakukan gugatan secara perdata perkara No. 13/Pdt.G/2010 PN.KNG terhadap Kartini CS tentang “wanprestasi”, bukan gugatan “perbuatan melawan hukum”.
Dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar yaitu perbuatan Terdakwa membeli barang-barang dari Kartini dan Roy Yuliansa yang telah diketahuinya hasil dari kejahatan memanipulasi data konsumen;
Bahwa alasan tersebut juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari : Terdakwa / Terdakwa / EMILAWATI binti LIE tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.