LEGAL OPINION
Mengancam Memukul artinya Meminta untuk Dianiaya-Balik,
karena Korban Pengancaman Kekerasan Fisik Berhak untuk BELA DIRI dalam rangka
MENJAGA DIRI (the Right to Fight Back)
Bela Diri adalah Hak Asasi Manusia, dan si Penyerang
/ Pengancam / Pengintimidasi Layak Babak-Belur akibat Serangan Balik Pihak Lawan
yang Menggunakan Haknya untuk Bela Diri
Question: Sebenarnya menurut hukum pidana (di Indonesia),
jika kita sekadar bela-diri, namun orang yang terlebih dahulu intimidasi dan
mengancam akan menyakiti kita justru yang pada akhirnya babak-belur karena
perlawanan kita yang (ternyata) lebih kuat dan lebih cepat dalam menghindar,
menangkis serangan, serta menyerang balik pihak yang menyerang kita, maka apa
yang hanya sekadar bela-diri justru bisa dipidanakan pada akhirnya (dengan
ancaman pidana “penganiayaan”) semata karena yang babak-belur pada akhirnya
ialah bukan kita, dimana bahkan kita yang sekadar bela-diri tidak terluka sama
sekali dalam suatu pertarungan (di atas) jalanan demikian?
Ya lucu bila dinamakan
bela-diri, sementara itu kita selaku warga harus membiarkan saja diri kita
pasrah terluka bagai sasaran empuk karung samsak (sand sack) untuk ditinju pihak lawan atau jadi “wooden doll” untuk ditinju mereka dengan
bodohnya berdiam diri tanpa berkelit maupun mengambil tindakan cepat secara
darurat dan seketika ataupun karena faktor reflek karena telah terlatih untuk
itu. Tidak ada juga jaminan, membiarkan diri dilukai terlebih dahulu lalu maka
pihak berwajib akan menindak mereka ketika kita laporkan sebagaimana mestinya.
Jika ternyata polisi yang kita
datangi untuk buat laporan, ternyata mengabaikan atau menelantarkan aduan kita
selaku korban yang terluka, itu sama artinya terluka fisik dan hati, merugi dua
kali. Lebih baik bela-diri dengan tidak membiarkan diri kita terluka. Daripada
organ internal tubuh kita terluka dan sukar disembuhkan, lebih baik kita
memilih untuk sigap melakukan bela-diri dengan pertahanan sekaligus serangan
penuh dan membuat pihak yang melakukan “ancaman secara dekat” tersebut yang
mengalami terluka terlebih dahulu.
Yang namanya seni bela-diri
tentu tidak membiarkan diri kita terluka dan dilukai oleh pihak yang melakukan
ancaman ataupun melakukan serangan namun berhasil dibuat gagal melukai kita
oleh kita yang bisa jadi benar-benar berpotensi menjadi korban jika tidak
melakukan bela-diri dalam keputusan yang harus cepat dibuat dalam kondisi
tekanan batin yang hebat secara demikian dekat (ancaman yang ada dihadapi)
bahkan pelaku yang terlebih dahulu menerjang atau yang mendekati kita dengan
bahasa tubuh mengancam hendak menganiaya.
Semisal begini, pengandaian
secara filosofis saja, seseorang dengan gilanya lari menerjang lalu menubrukkan
tubuh dirinya sendiri ke arah sebuah tembok atau kepada sebuah mobil yang
diparkir diam atau yang bergerak melintas dalam kecepatan tinggi. Jadilah, semata
karena tembok dan bodi mobil lebih keras dan lebih kuat daripada tengkorak
kepala maupun tulang manusia, orang gila tersebut babak-belur dengan remuk
tulang-tulangnya disamping darah yang mengucur hebat. Bisakah, si orang gila
ini mengklaim dirinya telah dianiaya oleh tembok itu atau oleh mobil yang diam
diatas tempat parkir ataupun oleh mobil yang melaju diatas jalan dalam
kecepatan tinggi itu?
Pertanyaan itu rasanya menjadi penting
(bagi orang awam maupun bagi aparatur penegak hukum itu sendiri), karena
membingungkan sekali kita sebagai warga, harus berbuat apa ketika sewaktu-waktu
mendapati kenyataan adanya ancaman yang demikian dekat serta butuh respon
segera, dan akan sangat “moral hazard”
sekali bila ternyata hanya sekadar bela-diri pun masih harus juga dilarang oleh
(hukum) negara (di Indonesia) bahkan bela-diri berujung dipidana penjara.