JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Adakah yang Lebih Penting daripada Hukum Negara?

ARTIKEL HUKUM

Optimis, Optimisme, dan Optimistik Tanpa Mengandalkan Nasib Seluruhnya kepada Hukum Negara yang Apatis dan Pesimistik

Tiada yang lebih pesimistis, daripada para pesimis yang selama ini hanya berkutat dan mengandalkan hukum negara, seolah-olah supremasi jenis hukum lainnya (semisal hukum adat, hukum karma, hukum sosial, dsb) tidak dapat diandalkan sebagai solusi yang paling rasional. Yang hidup dari hukum negara, akan mati karena hukum negara. Itulah kodrat bagi kalangan profesi hukum yang selama ini terjebak dalam “legal minded”. Dunia yang sempit di kalangan hukum, mengakibatkan cara pikir mereka yang juga tidak kalah sempit—gawatnya, justru kaum hukum itulah yang memiliki kewenangan monopolistik sebagai regulator yang menyusun regulasi aturan-aturan hukum terkait kehidupan masyarakat luas di akar rumput sekalipun mereka hidup di atas “menara gading” yang tidak tersentuh oleh rakyat jelata.

Kontras dengan itu, masyarakat awam hukum terkadang lebih dinamis, tidak memakai “kacamata kuda” selayaknya para praktisi dan Sarjana Hukum kebanyakan, dimana “satu pintu tertutup baginya, maka yakin itu artinya pintu lain akan terbuka baginya”, sehingga menjelma pribadi yang optimistik sebagai kaum optimis. Itulah sebabnya, penulis merasa perlu menjadi pribadi yang pada satu sisi berprofesi sebagai praktisi serta Sarjana Hukum, disisi lain juga hidup dalam tataran nonhukum, semisal sebagai kolumnis, sosiolog, termasuk spiritualis. Klien maupun diri pribadi yang memiliki masalah hukum, namun terbentur faktor politis sehingga keberlakuan hukum menjadi tidak lagi relevan untuk dapat dijangkau, maka tidak akan sungkan penulis rekomendasikan untuk : Serahkan saja pada Hukum Karma, untuk menjadi Hakim sekaligus Eksekutornya, yang akan bekerja sekalipun tanpa perlu kita mintakan.

Dalam pandangan pribadi penulis, ilmu hukum adalah ilmu yang bersifat “supra”, dalam artian bukan ilmu pengetahuan maupun keterampilan yang bersifat primer, namun sekunder saja sifatnya untuk dapat menopang hidup kita sebagai praktisi maupun bagi kelangsungan hidup masyarakat luas. Bidang disiplin ilmu terapan lainnya-lah, yang memiliki kehormatan untuk menjadi ilmu pengetahuan primernya, sebagai pilar penopang dari ilmu hukum. Sosiologi, bahkan menjadi ilmu primer, sehingga ilmu hukum bukanlah ilmu yang lebih tinggi sifat hierarkhinya seperti diyakini secara “delusif” oleh beragam kalangan hukum. Itulah sebabnya, penulis tidak akan hidup demi ilmu hukum, juga tidak akan mati karena ilmu hukum. Ilmu hukum adalah demi kehidupan, namun hidup bukan demi ilmu hukum.

Tanpa ilmu ataupun norma hukum sekalipun, dunia ini tidak akan pernah punah, dan akan masih terus berjalan serta berlangsung dengan segenap masyarakatnya, sepanjang rambu-rambu moralitas dipegang teguh oleh para umat manusia, tatkala sendi-sendi agama dan budi pekerti dijiwai oleh setiap insan, maka sejatinya ilmu dan norma hukum sama sekali tidak diperlukan, namun cukup berupa norma kesusilaan dan norma kebiasaan. Kita tidak perlu Undang-Undang semacam Undang-undang Lalu Lintas, cukup norma kebiasaan berjalan di jalur kiri, memberi penghormatan terhadap pejalan kaki dan pengguna sepeda, dsb.

Bila etika masyarakat suatu bangsa adalah buruk adanya, percuma saja mengatur masyarakat tersebut dengan segudang “rimba belantara” norma-norma hukum, pelanggaran akan kian masif terjadi dimana-mana, lengkap dengan segala modus baru untuk mengakali keberlakuan norma hukum yang ada. Bila kita sepakat, bahwa surga adalah alam dimana filterisasi terjadi, dalam artian hanya orang-orang yang baik dan unggul serta tinggi kualitas moralitasnya yang dapat memasuki dan menjadi penghuni alam surgawi, maka pertanyaannya ialah : Apakah betul, dibutuhkan berbagai aturan selayaknya “rimba belantara aturan hukum” seperti yang terjadi di dunia manusia? Karena rendahnya tingkat moralitas, maka negara dan bangsa membutuhkan rambu-rambu hukum negara, memakai sistem “reward and punishment” dari luar diri alias eksternal diri sang pelaku. Semakin rusak moralitas suatu bangsa, semakin “gemuk” regulasi hukum dibentuk dan diberlakukan untuk mengatur bangsanya sendiri.

Ironisnya, Bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang “agamais”, namun telah ternyata aturan-aturan hukum negara dibentuk secara demikian produktif, selalu saja kita diperdengarkan berita basi betapa kondisi berbagai penjara kita telah penuh sesak sehingga otoritas negara terpaksa mengumbar kebijakan “obral remisi”, dan kondisi moralitas masyarakat kian “korup”, degradasi moral yang kian terkikis seiring kian “agamais”-nya citra masyarakat kita. Itulah salah satu gambaran, bahwa hukum, baik itu ilmu hukum maupun norma hukum, bukanlah segala-galanya dan segala sesuatunya tidak dapat mengandalkan keberlakuan hukum yang sangat kental dengan ketergantungan itikad milik pihak aparatur penegak hukumnya itu sendiri yang tidak jarang tidak kalah “korup” dengan masyarakat pelanggar.

Banyak hal dan dalam beragam aspek serta dimensi, di tengah-tengah masyarakat yang perlu pembenahan struktural, dimana norma dan ilmu hukum bukanlah menjadi segala-galanya juga bukan akhir ataupun pangkal dari segala-galanya. Kita tidak perlu mendesak lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memberantas korupsi yang tumbuh subur di republik “agamais” bernama Indonesia ini, adalah tugas utama kalangan guru pendidik dan para pemuka agama untuk mengindoktrinisasi nilai-nilai kebajikan dan keluruhan karakter. Bukanlah kegagalan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mencegah dan menanggulangi aksi-aksi korupsi hingga terkendali, namun adalah kegagalan kalangan yang disebut sebagai profesi guru selaku tenaga pendidik, peran teladan orangtua dalam keluarga, serta kejujuran ajaran para pemuka agama.

Bila ada yang bertanya kepada penulis, adakah yang lebih penting daripada supremasi hukum negara “the rule of the law”? Bilamana ada diantara kita yang terobsesi terhadap hukum negara, dimana bila hukum negara tidak ditegakkan maka seolah-olah langit akan runtuh dan kita tidak bisa “survive” bila ternyata “wajah” dari hukum negara pada kenyataannya “bopeng sebelah” karena tidak seindah dan tidak seideal bunyi peraturan perundang-undangan maupun “text book” ilmu hukum yang ada, maka alhasil yang ada ialah “jalan buntu” (proses pembentukan degradasi internal batin menuju “mental blocking”), frustasi, dan keputus-asaan—alias terjerumus serta terjebak pada alam batin “pesimistik”. “Rule of the games” kehidupan umat manusia, tidak sesempit “the rule of the law” yang demikian sempit dan dangkal sedangkal norma-norma peraturan perundang-undangan yang selalu jauh dari kata sempurna.

Akan kita bahas bersama, dunia tidak selebar “daun kelor” dan hidup juga tidak sesempit hukum negara, dimana berbekal pemahaman berikut diharapkan kita akan tetap bisa melanjutkan hidup dan berjalan maju, tanpa terpaku di tempat dan juga tidak terlumpuhkan-terbekukan (paralyze). Jangan taruh semua harapan serta andalan diri kita pada satu keranjang bernama hukum negara, masih banyak keranjang lain untuk kita menaruh “telur-telur” milik kita tersebut, demikian adagiun pernah berpesan dari ilmu ekonomi—agar kita mampu hidup secara optimistik, dunia yang penuh warna sekalipun hukum negara yang ada pada praktiknya demikian mengecewakan, praktik akses hukum yang tidak pro terhadap korban dan penegakan hukum yang seolah diskriminatif disamping “tebang pilih”.

Kita tidak perlu terobsesi untuk munculnya keadilan sebagaimana ditawarkan hukum negara, itu tidak akan pernah datang, sama seperti salah kita sendiri ketika kita mengharapkan datangnya kondisi yang sempurna (sebuah delusi). Tidak ada keadilan dalam konteks hukum negara, yang ada ialah “delusi” bahwa hukum negara menawarkan adanya sebentuk kepastian hukum terlebih keadilan bagi setiap warganegara-nya, tanpa terkecuali. Bila terdapat kalangan profesi hukum maupun penegak hukum yang menyatakan bahkan menjanjikan akan adanya keadilan dalam hukum negara, maka itu sama artinya mereka sedang mencoba membodohi dan memperdaya Anda.

Untuk dapat mengakses penegakan hukum, secara perdata seorang warga perlu menempuh proses gugat-menggugat yang tidak efisien, belum lagi kendala dalam hal eksekusi putusan bila telah dimenangkan dan dikabulkan hakim di pengadilan, sebelum kemudian menemui fenomena “menang diatas kertas”. Secara pidana, akses menuju keadilan pidana jauh lebih berliku dan berlubang-lubang penuh tambal sulam—betapa tidak, kita selaku warga korban pelapor yang mana hak untuk “main hakim sendiri” dan melakukan pembalasan, memenjarakan, maupun penggunaan senjata api dirampas oleh negara sejak terbitnya hukum negara, justru diposisikan harus “mengemis-ngemis” kepada pihak aparatur penegak hukum agar sang penyidik kepolisian bersedia bersungguh-sungguh melakukan penyidikan dan penindakan (lebih sering aduan / laporan warga diabaikan dan ditelantarkan, bahkan korban pelapor dalam banyak kasus dijadikan “sapi perahan”), belum lagi korban pelapor perlu memodali diri untuk melakukan proses visum kepada rumah sakit rujukan (rekanan) pihak penyidik sekalipun luka fisik luar tubuh terlihat jelas, aparatur penegak hukum yang menyalah-gunakan kekuasaan dan kewenangannya dengan bersikap korup-kolusi seperti pemerasan, pungutan liar, maupun arogansi, kondisi yang tidak manusiawi (ruang penuh asap bakaran tembakau dan ditelantarkan berlarut-larut menunggu tanpa kepastian sehingga membuang-buang waktu produktif).

Sekalipun kemudian sang pelaku kejahatan selaku terlapor benar-benar disidik dan dituntut dengan dimajukan sebagai seorang terdakwa di persidangan, lagi-lagi harus menghadapi kenyataan pahit dakwaan yang lemah sekaligus minim tuntutannya, ditambah potensi resiko seperti putusan berupa vonis hukuman yang tidak membuat jera pelakunya, sebelum kemudian sang terpidana diberikan remisi dan pembebasan bersyarat—yang mana artinya, “cuci dosa” dengan hukuman yang minimal demikian, lebih ideal dan lebih efisien menyerahkan penghakiman serta penghukumannya kepada Hukum Karma, yang efektif pasti berbuah atas setiap perbuatan, tanpa resiko tidak berbuah, tanpa resiko ditelantarkan ataupun diabaikan, jaminan mutu ditindak-lanjuti secara adil dan setimpal, dimana Hukum Karma yang akan menjadi hakim serta eksekutornya tanpa perlu kita mintakan (terlebih mengemis-ngemis) ataupun bayarkan untuk bekerjanya proses penghukuman hal-hal semacam pemerasan terselubung.

Secara pribadi, penulis yang mendapati banyak pengalaman betapa melaporkan ataupun mengadukan kepada pihak berwajib kepolisian maupun pemerintah, atas kasus-kasus korupsi, kolusi, kejahatan-kejahatan aksi premanisme, pelanggaran terhadap zonasi peruntukan tata ruang, hingga berbagai kejahatan karena penganiayaan, pencurian, pengancaman, pengrusakan, dan sebagainya yang tidak terhitung lagi jumlah serta pengalaman tiadanya itikad baik pihak otoritas untuk menindak-lanjuti berbagai laporan yang penulis sampaikan dengan pengorbanan waktu dan energi pikiran, hanya berbuah fakta pahit betapa seluruh laporan dan aduan demikian sama sekali tidak dihargai terlebih ditindak-lanjuti, seolah-olah aparatur penegak hukum dan pemerintahan kita meremehkan serta menyepelekan berbagai pelanggaran yang terjadi secara masif di tengah-tengah masyarakat kita, bagai “angin lalu”, dimana bahkan salah satunya ialah penulis pernah melaporkan kebocoran dan kecurangan massal ujian nasional (bukan hal yang sepele untuk laporan sekaliber kebocoran massal ujian nasional), melaporkan tindak kejahatan pencurian, penganiayaan, pelanggaran terhadap tata-ruang, pembangunan rumah tanpa Izin Mendirikan Rumah, pelanggaran norma Peraturan Daerah, dan lain sebagainya, telah ternyata tidak satu pun berbuah manis dengan serius ditindak-lanjuti secara selain hanya merugi untuk kesekian kalinya, dimana masih harus pula menanggung kerugian waktu, kerugian harga diri, serta berbagai kerugian lainnya akibat “pemberi harapan palsu” demikian.

Secara pribadi, alam bawah sadar penulis telah mencatat perbagai pola pengalaman yang selalu berulang, bermuara pada satu buah kesimpulan yang selalu terbukti dalam realitanya : Tidak perlu melaporkan pelanggaran apapun, karena dapat dipastikan akan merugi dua kali, tiada itikad baik aparat penegak hukum maupun pemerintah yang serius berkomitmen menegakkan aturan hukumnya sendiri selain sekadar “pasal-pasal mati di atas kertas”. Cukup menjadi orang yang suci, luhur, dan baik, maka para pelaku yang menyakiti, merugikan, dan melukai kita sebagai korban, akan mendapatkan buah karma buruk yang sangat mengerikan untuk dipetik oleh pelakunya itu sendiri. Hanya orang-orang bodoh, yang mencoba melukai seorang Buddha.

Sang Buddha itu sendiri tidak akan membalas perbuatan pelakunya, terlebih melaporkan, karena “hanya penjahat yang paling malang yang selalu berhasil berbuat kejahatan, terlebih yang dijahati adalah seorang Buddha yang luhur nan suci”, garuka-kamma, dapat dipastikan pelakunya terlahir kembali di alam neraka paling dalam. Semakin suci seseorang korban, semakin celaka pelakunya. Semakin rendah moralitas dan kesucian diri korbannya, semakin minimal buah karma buruk bagi pelakunya, dimana kelak pelakunya cepat atau lambat akan menjadi korban dari perbuatannya sendiri dan dijadikan korban oleh penjahat lainnya, sebagai kodrat yang dapat kita prediksi sekaligus “vonis” bagi kalangan jahat yang berbuat jahat.

Slogan pemerintah, “negara hadir untuk melindungi dan mengayomi”, faktanya selama ini negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, kecuali pada saat menilang kendaraan di jalan, sehingga telah sejak lama penulis secara pribadi menjadi sosok individu yang memandang apatis terhadap keseriusan penegakan hukum di Indonesia (hukum yang dibuat oleh negara kita sendiri), yang karenanya juga tidak lagi tertarik membuang-buang waktu untuk melaporkan agar tidak kembali menjadi “korban perasaan untuk kedua dan kesekian kalinya” oleh sistem penegakan hukum negara kita yang separuh hati dalam tataran penindakan dan penegakannya.

Apatisme mana, terbentuk oleh realita yang selalu berulang membentuk suatu pola, yakni pola pengabaian dan penelataran oleh pihak pemerintah maupun aparatur penegak hukum itu sendiri, sebuah apatisme yang rasional karena dilandasi oleh berbagai fakta empirik berdasarkan pengalaman pribadi, apatisme mana juga dialami oleh tidak sedikit kalangan masyarakat kita yang memilih untuk tidak melapor dan mengadukan berbagai pelanggaran hukum yang mereka alami mengingat tiadanya jaminan tindak-lanjut terhadap aduan maupun laporan, pengalaman pahit yang lebih menyakitkan daripada pelanggaran yang mereka alami selaku korban karena diabaikan oleh negara dan aparatur yang memonopoli penegakan hukum (menjadi sebentuk ketidak-adilan itu sendiri, karena negara merampas hak sipil untuk “main hakim sendiri” maupun untuk menyandang senjata api dalam rangka membela-diri, namun disaat bersamaan pemegang monopoli penegakan hukum mengabaikan laporan / aduan sang korban, atau bahkan meminta pungutan liar terhadap warga pelapor sekalipun penegakan hukum adalah tugas mereka, dimana juga sumber gaji mereka ialah uang pajak yang dibayar oleh rakyatnya itu sendiri, justru kemudian sang pemegang kewenangan monopolistik memeras rakyat), sebelum kemudian pengalaman-pengalaman tersebut mengkristal dan tertanam dalam alam bawah sadar.

Tiada yang benar-benar ideal dibalik hukum negara, terlebih tawaran “keadilan” dibaliknya yang hanya menjadi “pemanis” dan “polesan bibir” kegenitan para “aparatur penegak hukum” yang justru “menguburkan hukum” (baca : aparatur pengubur hukum). Hukum negara, karenanya, menjadi menjelma menyerupai jargon-jargon ataupun slogan-slogan umbar janji-janji palsu yang sekadar untuk menipu rakyat karena tidak ditepati dan tidak menepati janji pihak penyelenggara negara, yang bernama hukum negara, dimana pemerintah menjanjikan rakyat untuk menyerahkan haknya “main hakim sendiri” dengan janji bahwa otoritas negara yang akan menegakkan hukum sebagai aparatur penegak hukum—itulah yang menjadi asal muasal sejarah teori “kontrak sosial”, dimana pemerintah selaku otoritas negara memiliki kewajiban akibat janji serta pelimpahan kewenangan dari rakyat sehingga memiliki kekuasaan monopolistik untuk menegakkan hukum bagi segenap rakyatnya.

Keadilan dalam hukum, bila memang ada, sifatnya ialah korup, menyakitkan, menyedihkan, tidak sepadan, harus dibayar dengan “harga” yang tidak jarang jauh lebih mahal (kehilangan sapi, melapor justru kehilangan mobil), harus merendahkan derajat martabat diri dengan seolah mengemis-ngemis apa yang menjadi haknya atas keadilan pidana sekaligus memohon agar keseluruh aparatur penegak hukum tersebut melaksanakan dan menunaikan tugas-tugas serta apa yang menjadi kewajibannya dalam melayani masyarakat sebagai “public servant” tanpa melakukan pungutan liar ataupun pemerasan—sekalipun mereka secara falsafah telah merampas hak-hak warga sipil untuk “main hakim sendiri”.

Kita selaku warga sipil, tidak perlu melecehkan diri kita sendiri, seperti “mengemis-ngemis” terhadap apa yang sejatinya memang menjadi hak kita dari aparatur penegak hukum agar mereka bersedia menunaikan kewajiban tugasnya, yakni menegakkan hukum dan keadilan, mengingat tiada jaminan dan belum tentu laporan ataupun aduan kita selaku warga korban pelapor akan ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh yang bersangkutan. Kita tidak perlu mengambil resiko harga diri kita pun turut terlecehkan dan terinjak-injak kembali, yang justru kemudian dilakukan oleh abai dan absensinya aparatur penegak hukum dalam kewajiban tugasnya sekalipun korban telah melaporkan.

Kontras dengan hukum negara, dalam konteks Hukum Karma, tanpa perlu merepotkan diri untuk menuntut ataupun melaporkannya sekalipun, sang pelaku berkilah ataupun tidak berkilah, kita tidak lagi perlu pusing ataupun memusingkan perihal keadilan, apa itu adil ataukah tidak adil, adil atau belum adil, setimpal ataukah tidak setimpal, sepadan ataukah tidak sepadan, ataupun menuntut keadilan, terlebih mendesak-desak agar pelakunya ditindak dengan hukuman serta dieksekusi oleh algojonya secara sendirinya—bagaikan “hukum alam”, menjadi ada pula kaitannya antara aksi dan reaksi, seperti menyakiti akan disakiti sebagai buahnya, merugikan akan dirugikan, merusak akan dirusak, secara bertimbal-balik, perbuatan besar maupun perbuatan kecil, diakui ataupun tidak diakui, dipungkiri maupun tidak dipungkiri, masih diingat maupun sudah dilupakan, adil maupun tidak adil, benar maupun tidak benar, perbuatan itulah yang akan ditanggung dan dipetik sendiri oleh pelakunya, tanpa dapat disuap ataupun diintervensi buahnya yang akan matang sesuai waktunya hingga berbuah bagi sang pelaku yang menanam dan memetiknya.

Berbagai pengalaman lahir serta tumbuh besar di Indonesia, telah mengajarkan kepada penulis, selama hampir separuh abad usia penulis hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia, tidak ada yang lebih “omong-kosong” daripada klaim klise pihak pemerintah semacam “silahkan laporkan bila ada korupsi ataupun kejahatan, ini negara hukum, jangan main hakim sendiri, yang melanggar hukum pasti ditindak”. Melapor sebagai pelapor, namun tiada kepastian terlebih jaminan akan ditindak-lanjuti, sama artinya merugi sendiri sebanyak dua kali ataupun lebih. Pengalaman yang sama terus terjadi secara berulang-ulang, sekalipun peristiwa kejahatan dan ilegal yang terjadi bukanlah hal sepele untuk dilaporkan, yang karenanya timbul antipati, sinisme, dan apatis untuk kembali menaruh harapan semu terlebih membuang-buang waktu melaporkan suatu kejahatan ilegal dan perbuatan jahat lainnya kepada aparatur penegak hukum manapun. Cukup merugi satu kali, tidak perlu merugi dua kali oleh harapan semu.

Katakanlah, Anda memiliki keterampilan argumentasi yang luar biasa sengit dan membuat lawan Anda di persidangan bahkan merasa takjub tanpa dapat mereka bantah. Tetap saja, yang membuat keputusan ialah pihak hakim, yang bisa jadi berkolusi dengan lawan Anda. Katakanlah, seluruh bukti yang Anda miliki memadai untuk mendukung tuduhan Anda. Tetap saja, yang berkuasa untuk mengakses keadilan pidana ialah sang penyidik kepolisian yang memonopolir akses menuju lembaga peradilan pidana, yang bisa jadi hendak memeras Anda (dijadikan sebagai objek “sapi perahan”) sehingga laporan atau aduan tidak kunjung diproses sebagaimana mestinya. Karenanya, menggantungkan kebahagiaan hidup pada “keadilan hukum negara”, sama artinya menggantungkan nasib dengan ber-spekulasi pada “bola” yang menggelinding sangat liar tanpa dapat diprediksi maupun dipastikan bahwa hukum akan benar-benar dtegakkan tanpa diskriminasi.

Namun demikian, diatas kesemua itu, kita tidak perlu merasa langit telah runtuh ketika “keadilan hukum negara” tidak pernah atau belum berpihak kepada diri kita pada kesempatan sekrang ini. Sekalipun hukum negara berhenti bergerak, jarum jam terus berputar dan dunia serta kehidupan terus berputar tanpa pernah menunggu kita. Life goes on, make a living, kehidupan berlanjut terus. Kita akan tertinggal di belakang, bila kita berjalan di tempat akibat terobsesi pada hukum negara yang tidak kunjung tampil dan hadir di tengah-tengah kita. Karenanya, jadikanlah hukum negara sebagai sekadar sebuah persipangan atau persinggahan sejenak untuk sesaat, sebelum kita melanjutkan perjalanan pada tujuan utama kita, yakni hidup yang damai, sehat, dan berbahagia tanpa saling mengganggu maupun saling merugikan

Alkisah, seorang warga dianiaya secara berkeroyokan oleh kalangan kriminal. Sekalipun menjadi seorang korban dan tidak mendapatkan keadilan terlebih perlindungan apapun oleh hukum negara, namun sang korban tidak terpaku di tempat pada momen kejadian yang penuh tragedi traumatik demikian, dan terus melanjutkan hidupnya secara produktif, secara kreatif, secara penuh semangat, penuh warna, penuh gairah, antusiasme yang menular, secara cerdas, secara berdaya, berfokus pada apa yang mampu dikendalikan dan dikerjakan olehnya alih-alih terhadap apa yang tidak bisa dikendalikan olehnya, mencetak berbagai prestasi.

Artinya, dunianya tetap luas dan tanpa batasan, semata karena dirinya tidak terpaku (tidak terobsesi membuta) pada tiadanya “keadilan hukum negara” terhadap dirinya selaku korban pada kejadian masa lampau, tanpa membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan berupa kejadian traumatik, namun tetap menyongsong masa depan yang penuh peluang tidak terbatas secara optimistik. Itulah yang disebut sebagai jiwa optimis, yakni optimisme sekalipun secara tidak mengandalkan eksis atau tidaknya hukum negara, tetap mampu menyongsong hari esok serta masa depan dengan pintu hati terbuka lebar dari segala peluang serta kemungkinan.

Hidup dan dunia tidak sesempit hukum negara yang penuh ketidak-sempurnaan dan segala keterbatasannya (terutama keterbatasan itikad baik pihak aparatur penegaknya). Itulah sebabnya, dirinya mampu terhindar dari jebakan mental bernama “kenangan traumatik” maupun terhadap obsesi adanya “keadilan hukum negara” yang memang hanya “delusi” alias tidak pernah benar-benar ada sehingga sejatinya juga tidak perlu kita cari. Seni hidup, jauh lebih berdaya daripada seni hukum.

Kisah pribadi yang penulis alami berikut, mungkin juga dapat memberikan ilustrasi. Kediaman penulis memiliki seorang tetangga yang kerap berbuat jahat kepada keluarga penulis, mulai dari menyerobot tanah, menganiaya, mencuri, mengintimidasi, melakukan pengancaman, hingga berbagai aksi tidak etis dan tidak senonoh untuk dipertontonkan selama hampir separuh abad keluarga penulis bertempat-tinggal pada kediaman kami, sekalipun keluarga penulis tidak pernah mengganggu pihak mana pun maupun tetangga mana pun.

Ketika masih muda, sang pelaku yang merupakan tetangga dari kediaman keuarga penulis tersebut, adalah sosok yang disegani dan ditakuti masyarakat karena menjadi pula pemuka agama yang kerap berceramah pada mimbar kegiatan agama. Namun demikian, ketika dirinya memasuki usia lanjut usia (“lansia”), barulah dirinya menunjukkan tanda-tanda pelemahan fisik khas penuaan, menjadi kurus dan lemah, bahkan untuk sekadar berjalan, tidak mampu lagi bertindak bak premanisme yang mengandalkan kekuatan otok fisiknya untuk melakukan intimidasi dan kekerasan fisik kepada keluarga penulis seperti sebelumnya, sebelum kemudian sang tetangga meninggal dunia akibat sakit atau mungkin akibat faktor usia yang sudah uzur “bau tanah”.

Pemimpin Orde Baru, Presiden Suharto, ketika masih berusia muda adalah sosok yang juga disegani dan ditakuti oleh rakyat karena cenderung bersikap otoriter, diktator, serta sadistik yang karenanya sangat berkuasa di mata rakyat karena pernah menjabat sebagai Kepada Negara selama beberapa dekade lamanya. Namun, ketika menjelma pria usia tua, “dimakan & digerogoti umur” tanpa lagi menyisakan kedigdayaan seperti pada era jayanya ketika masih muda, sang presiden Orde Baru tercampakkan di dalam kursi roda, tanpa dapat menikmati berbagai harta, pangkat, ataupun kedudukan yang sebelumnya telah berhasil sang presiden himpun dan timbun. Arogansi dan kesombongan penuh keangkuhan yang bersangkutan dikala muda, berubah menjadi memprihatinkan, sekalipun atas satu sosok individu yang sama namun berbeda rentang usia, berakhir pada kondisi separuh lumpuh duduk di kursi roda.

Sesombong dan seangkuh apapun seseorang pada masa-masa keemasan (masa muda) dan era kejayaannya, pada akhirnya akan tetap juga diadili oleh Hukum Karma pada saat waktunya tiba, atau setidaknya hukum alam berupa rambut yang memutih dan badan yang mulai melemah perlahan namun pasti akan jatuh pula kedalam kondisi tubuh yang lemah, renta, lunglai, digerogoti usia tua, dan tidak berdaya, atau bahkan lumpuh, lengkap dengan serangkaian pelemahan dari segi fisik maupun mentalitas dan daya pikiran untuk berpikir.

Kesombongan dan keangkuhan, tidaklah permanen, hanya temporer semata belaka. Yang tersisa akhirnya hanyalah tabungan karma baik maupun karma buruk yang akan kita warisi sendiri sebagaimana perbuatan kita semasa masih muda dan sehat-kuat, untuk kita petik sendiri pada kehidupan mendatang. Kita pun, tanpa terkecuali, tunduk sebagai subjek dari hukum alam yang sama, karenanya untuk apa pula kita mempertunjukkan sikap-sikap arogan dibalik aksi yang tidak simpatik terhadap sesama manusia, terlebih kesombongan dan keangkuhan, bila pada gilirannya akan bernasib sama terhadap tokoh-tokoh yang hanya mampu duduk dan terjebak di dalam kursi rodanya tanpa berdaya, sebelum akhirnya harus menyerah dan takluk di tangan “dewa pencabut nyawa” alias “dewa kematian”.

Sebuah kesombongan dan arogansi, bukanlah suatu prestasi, namun suatu cacat noda dalam sejarah kehidupan kita, sesuatu yang temporal saja sifatnya, sebelum cepat atau lambat akan tergantikan dengan rasa tidak berdaya akibat hukum alam maupun bekerjanya hukum karma pada gilirannya yang mengambil-alih kesemua harapan atas keadilan bagi korban-korban di tengah-tengah masyarakat. Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian—bukan sebaliknya, akibat arogansi, kesombongan, dan keangkuhan, menyalah-gunakan kondisi tubuh yang masih sehat dan muda untuk melakukan kejahatan ataupun keburukan lainnya yang dapat dicela oleh para bijaksana.

Merekalah, kaum-kaum yang patut pesimis dalam hidup dan kehidupannya, menyia-nyiakan masa muda untuk menanam benih-benih karma buruk semata. Namun prinsip yang sama, berlaku sebaliknya, adalah suatu kesia-siaan bila masa muda dibiarkan terkungkung dalam traumatik akibat pengalaman buruk yang pernah kita alami. Dengan bersikap optimistik, kita tidak akan membiarkan waktu kita terbuang percuma untuk sesuatu hal yang tidak positif dan tidak produktif, karena kita memandang dunia dan masa depan sebagai ruang untuk kita isi dengan kuas penuh warna dari tangan kita secara optimis.

Itulah yang kita sebut sebagai jiwa optimisme, sekalipun hukum negara tidak membalas perbuatan sang diktator Orde Baru, namun tetap saja sang pemimpin Orde Baru pada gilirannya hanya dapat duduk di kursi roda, lumpuh, dan tidak berdaya dimana segala keangkuhannya semasa muda luntur seutuhnya. Singkatnya, hukum negara yang cacat dan korup disamping tidak sempurna adanya, dapat membuat kita terpaku di tempat dan terlumpuhkan. Sebaliknya, jiwa dan semangat optimistik dapat membuat terus memandang dunia dengan kacamata penuh warna, disamping terus bergerak maju serta berkarya sepanjang hidup kita secara optimis, sekalipun pengalaman hidup kita tidaklah lancar dan tidaklah “mulus” dari kerikil-kerikil menyakitkan seperti arogansi oleh warga lainnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.