LEGAL OPINION
Apakah Surat Kuasa UMUM dapat Melahirkan Hak Membuat Surat Kuasa KHUSUS? Apakah Penerima Kuasa UMUM Memiliki Hak Membuat Surat Kuasa KHUSUS atas dasar Kuasa UMUM yang diterima olehnya?
Pemberian Surat KUASA UMUM adalah INVALID dan TIDAK SAH, Bukan Mengatur SUATU HAL TERTENTU yang Bersifat KHUSUS, sebagaimana Syarat Sah Perjanjian
Question: Apakah bisa dimaknai, pemberian “kuasa umum” dalam salah satu pasal pada suatu perjanjian kerja sama yang mengatur banyak hal, dijadikan sebagai dasar bagi sang penerima “kuasa umum” itu untuk membuat “kuasa khusus” dari dirinya kepada dirinya sendiri ataupun untuk pihak lain dikemudian hari?
Brief Answer: Perikatan perdata bersifat khusus dan spesifik, baik dari segi objek perikatan maupun “syarat dan ketentuan” yang melingkupinya, bersifat “tertentu”—yang artinya tidak bersifat “umum”, semisal mulai dari pengaturan secara terinci dan tertentu, mulai dari harga, jenis dan jumlah objek perikatan, pihak siapa yang memberi dan diberikan kuasa, kapan dan dimana berlakunya, dan segenap “syarat dan ketentuan” yang melingkupinya.
Suatu pemberian kuasa yang bersifat “UMUM”, adalah suatu pemberian kuasa secara “sumir” dan meluas, tidak secara spesifik, sekalipun pemberian kuasa tunduk pada bab perihal “perikatan” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana “syarat sah perikatan” sebagaimana diatur dalam KUHPerdata mensyaratkan sifat perikatan sebagai “hal yang tertentu”, bukan “hal yang tidak tertentu” sifat pengaturan kuasa yang diberikan—yang karenanya dapat kita sebutkan pula bahwa, surat “kuasa UMUM” adalah invalid dan cacat hukum sehingga tidak sah, karena belum memenuhi “unsur objektif syarat sah perjanjian”.
PEMBAHASAN:
Secara umum, “syarat sah perjanjian” terdapat pengaturannya dalam norma hukum perdata sebagaimana tertuang dalam kaedah Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur sebagai berikut:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: [Note SHIETRA & PARTNERS: Frasa “diperlukan empat syarat”, bermakna sifatnya kumulatif, bukan alternatif.]
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap hukum untuk membuat suatu perikatan perdata.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab / causa yang sahih.”
Menjadi isu hukum yang cukup menarik untuk diulas, pertama-tama ialah perihal apakah “penerima kuasa UMUM” memiliki kecakapan di mata hukum untuk membuat surat “kuasa KHUSUS” atas dasar “kuasa UMUM” yang sebelumnya diterima olehnya oleh pemberi “kuasa UMUM”? Kedua, apakah di dalam “kuasa UMUM” tercantum kesepakatan pemberian kuasa bagi penerima “kuasa UMUM” untuk membuat surat “kuasa KHUSUS” entah bagi dirinya sendiri ataupun bagi pihak ketiga? Ketiga, apakah surat “kuasa UMUM” telah memenuhi syarat sah ketiga dari ketentuan hukum di atas, yakni “suatu hal tertentu”? Keempat, apakah “kuasa UMUM” merupakan atau tergolong “hal / causa yang sahih”? Demikianlah empat buah parameter untuk menentukan apakah seseorang penerima “kuasa UMUM” memiliki hak untuk membuat surat “kuasa KHUSUS” dengan mendasarkan dirinya pada “kuasa UMUM” yang pernah diterima olehnya.
Syarat sah ketiga dan keempat dari Pasal 1320 KUHPerdata, merupakan “unsur objektif” dari “syarat sah perjanjian”, dimana bila salah satu dari kedua “unsur objektif” demikian tidak terpenuhi, maka perikatan menjadi “batal demi hukum” sifat keberlakuannya (null and void). Kita mulai pada parameter keempat, apakah “kuasa UMUM” merupakan “causa yang sahih”? Khusus untuk konteks pertanahan, baik pemberian kuasa untuk menjual ataupun mengagunkan suatu hak atas tanah, sifatnya ialah wajib bersifat “KHUSUS”, yakni Akta Surat Kuasa Menjual dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Jika memang surat “kuasa UMUM” diberikan kebolehan untuk menjual dan mengagunkan suatu hak atas tanah, maka untuk apa negara lewat pembentuk Undang-Undang menggariskan adanya instrumen hukum semacam Akta Surat Kuasa Menjual dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan? Bila memang tidak terdapat pengaturan dalam hukum perihal larangan pemberian “kuasa UMUM”, maka adakah norma hukum yang membolehkan dan membenarkan praktik pemberian “kuasa UMUM” demikian? Itu ibarat memberikan blangko nota cek kosong angka nominal yang tertera di atasnya, yang isi nominalnya dapat ditulis sesuka hati oleh pihak penerima blangko kosong, sehingga menjadi rawan untuk disalah-gunakan oleh penerima kuasa.
Sebagai contoh, bila konstruksi demikian memang dibolehkan oleh hukum pertanahan di Indonesia, maka seluruh kalangan kreditor pemberi fasilitas kredit, dapat dibenarkan untuk seketika membuat dan mencantumkan “kuasa UMUM” dalam Perjanjian Kredit dengan debitornya, maka apakah dapat dibenarkan secara etika bisnis maupun akal sehat orang awam, sang kreditor merasa memiliki “alasan pembenar” untuk menjual, mengagunkan, dan melakukan segala hal terkait hak atas tanah yang menjadi objek agunan dari sang debitor? Secara falsafah, bagaimana mungkin, seseorang menyerahkan seluruh kebebasannya tanpa menyisakan kebebasan apapun lagi dalam dirinya kepada pihak yang diberikan “kuasa UMUM”? Perampasan seluruh kebebasan milik pemberi kuasa, tanpa menyisakan kemerdekaan apapun terkait kepentingan dirinya, sudah jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karenanya bukanlah atau setidaknya tidak dapat kita kategorikan sebagai “causa yang sahih”. Bagaikan seorang “budak” yang menyerahkan seluruh kebebasannya, itu bukanlah kebebasan.
Perihal parameter ketiga, apakah “kuasa UMUM” tergolong “suatu hal tertentu”? Sebagaimana telah terjawab dari istilahnya, “kuasa UMUM”, menjadi lawan kata dari “kuasa KHUSUS”, dimana “syarat sah perjanjian” ternyata mensyaratkan “suatu hal tertentu” alias yang spesifik sifat pengaturannya mulai dari tertentunya objek perikatan dan tertentu sifat kuasa yang diberikan, tertentu kepada siapa kuasa diberikan, tertentu “syarat dan ketentuan” yang berlaku dibaliknya, tertentu batas awal dan batas akhir kuasa diberikan, dan tertentu dalam hal detail dan spesifik segala hal terkait seputar kuasa yang diberikan, terutama tertentu dalam hal “term and conditions” yang berlaku. Tertentu, artinya bermakna “bukan tanpa syarat”.
Beralih pada parameter kedua, apakah di dalam “kuasa UMUM” tercantum serta pemberian kuasa bagi penerima “kuasa UMUM” untuk membuat surat “kuasa KHUSUS” entah bagi dirinya sendiri ataupun bagi pihak ketiga? Tidak terpenuhinya “unsur subjektif” dari “syarat sah perjanjian”, yakni adanya kesepakatan serta memiliki “cakap hukum” (alias berwenangnya untuk melakukan suatu perbuatan hukum), melahirkan hak bagi pihak pemberi maupun penerima kuasa untuk “dapat dibatalkan”-nya pemberian kuasa yang “umum” sifat keberlakuannya (voidable).
Berlanjut pada parameter pertama, apakah sebuah surat “kuasa UMUM”, tergolong atau dimaknai sebagai sudah adanya “kesepakatan” di dalamnya secara inheran bagi penerima “kuasa UMUM” untuk menghadap pihak pejabat umum pembuat akta notariil ataupun membuat “akta dibawah tangan” secara mandiri dalam rangka membuat surat “kuasa KHUSUS”? Paradigma demikian lebih menyerupai “kuasa PAYUNG” atau “kuasa tulang punggung” untuk bertumpunya berbagai “kuasa KHUSUS”, maka berpotensi akan kecenderungannya “kuasa UMUM” yang demikian “tends to corrupt”, dimana “absolute power, corrupt absolutely”.
Dalam rangka menghindari “moral hazard” yang tidak perlu dibuka ruang resikonya untuk disalah-gunakan oleh pihak penerima kuasa, karenanya kebebasan tidak dapat dipasung atas dasar “menyepakati” atau “kesepakatan” surat “kuasa UMUM” demikian, dimana oleh sebab itu harus kita maknai bahwasannya “kuasa UMUM” demikian tidaklah sedemikian umum-nya adanya, namun perlu dibatasi oleh keberlakuan norma hukum peraturan perundang-undangan yang membolehkan dan membenarkan sejauh apa praktik ruang-lingkup batasan dan luasan kuasa yang dapat diberikan oleh seorang pemberi kuasa kepada penerima kuasa, yakni dalam hal ini keberlakuan norma “suatu hal tertentu”, sebagai syarat sah perjanjian yang salah satunya ialah surat pemberian kuasa.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.