LEGAL OPINION
Ambiguitas TIADA SENGKETA Hak atas Tanah, Pernyataan dan Keterangan yang Sumir, Subjektif, Sekaligus Multitafsir
Fakta Empirik Adanya Gugatan dan Sita Pengadilan, adalah Objektif. Klaim Ada atau Tidaknya Sengketa, Subjektif Sifatnya
Question: Keluarga kami sebagai yang punya tanah girik yang hendak mengajukan permohonan pensertifikatan tanah secara sporadik, diminta oleh Kantor Pertanahan untuk meminta Surat Keterangan Tidak Sengketa dan Surat Keterangan Riwayat Tanah ke Kepala Desa (bidang tanah di sebuah kabupaten, bila di kota maka kepada pihak Kelurahan). Masalahnya, Kepala Desa menolak buatkan itu Surat Keterangan Tidak Sengketa, dengan alasan ada tetangga kami yang sudah sejak belasan tahun hingga puluhan tahun lampau yang lalu pernah bersengketa lahan dengan keluarga kami terkait objek tanah.
Yang saat ini perlu keluarga kami ketahui mengenai posisi hukum kami atas kemelut yang berlarut-larut tanpa kepastian semacam demikian, apa untuk seumur hidup kami tanah milik keluarga kami akan dianggap “bersengketa” dan “dipersengketakan” hanya karena ada orang lain yang bilang demikian? Siapa juga otoritas yang sebenarnya paling berwenang menentukan ada atau tidaknya sengketa? Bagaimana mungkin, seseorang atau warga lain mengklaim tanah kami sebagai miliknya, lantas dianggap sebagai “sengketa”? Semua orang bisa melakukan klaim sepihak, semua orang juga bisa klaim semua tanah di dunia ini adalah miliknya, maka apakah artinya semua tanah di dunia ini adalah berstatus “bersengketa”?
Kalau memang begitu maka enak sekali, seseorang bisa asal main klaim, ini dan itu adalah tanah milik dia, lantas oleh pihak Kepala Desa dianggap “bersengketa” untuk kurun waktu kapan sampai kapankah yang tidak jelas. Jika begitu, bukankah ini namanya kesewenangan-wenangan klaim yang menyerupai “blokir” tanah itu sendiri? Memang dulu pernah ada yang gugat tanah kami ini dengan mengakunya sebagai pemilik yang sah, namun gugatan demikian sudah lama berlangsungnya puluhan tahun lampau. Faktanya, status tanah kami hingga saat kini belum pernah disita oleh pengadilan mana pun.
Brief Answer: Memang ambigu, istilah “tiada sengketa” hak atas tanah, dimana bisa jadi bagi warga pemohon tiada sengketa dengan pihak mana pun namun bisa jadi juga pihak lain menganggap terdapat atau masih terdapat sengketa tanah. Pada prinsipnya, bila memang terdapat “sengketa” sekalipun, isu hukum demikian itu bukanlah “blokir” terhadap hak atas tanah. Karena, fakta hukumnya ialah, sang warga yang menyatakan keberatan dan mengklaim adanya sengketa, tidak mengajukan gugatan terkait sengketa demikian dan bisa jadi tiada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa suatu bidang tanah yang dipersengketakan ialah “disita” dan “tersita” baik secara pidana maupun secara perdata.
Oleh karena itulah, hanya “sita” yang menjadi bersifat “blokir” yang sesungguhnya, karena sifatnya ialah permanen untuk selama “sita” tersebut masih melekat di atas bidang tanah dan belum dicabut oleh pengadilan ataupun oleh institusi penyidik kepolisian yang sebelumnya telah membebankan “sita” perdata maupun pidana. Tidak semua hal, dapat kita kategorikan sebagai “sengketa” yang perlu diberikan bobot hukum, semata menimbang agar tidak terjadi kesewenangan-wenangan terhadap properti milik seseorang warga oleh warga lainnya.
Dalam pandangan hukum SHIETRA & PARTNERS, semestinya warga pemohon cukup dimintakan Surat Pernyataan / Keterangan Tidak Ada Blokir dan Surat Pernyataan / Keterangan Penguasaan secara Fisik Objek Tanah, tidak perlu dibebankan perolehan Surat Keterangan ataupun membuat Surat Pernyataan Tidak Sengketa, yang sangat subjektif sifatnya. Yang lebih objektif, ialah fakta hukum perihal ada atau tidaknya gugatan saat kini ataupun yang sudah diputus dan dapat dieksekusi dengan jenis amar “condemnatoir”, serta status tanah apakah terblokir atau tidaknya.
Hak atas properti merupakan hak asasi manusia itu sendiri, sehingga tidaklah dapat suatu pihak mengklaim sebagai pemilik, lantas kemerdekaan dan kebebasan pemilik properti menjadi dirampas dan terpasung untuk selamanya (tanpa batas waktu yang jelas dan tegas) dengan alasan “dipersengketakan”, sekalipun bisa jadi pihak yang mengklaim sebagai pemilik yang paling sah ternyata tidak mengajukan upaya hukum apapun, serta sama sekali tiada putusan pengadilan yang menyatakan objek tanah disita serta terblokir.
Saran yang dapat SHIETRA & PARTNERS berikan sebagai argumentasi yang dapat direkomendasikan ialah, dengan kontra-narasi sebagai berikut : “Bapak Lurah / Kepala Desa, jika saya klaim rumah atau tanah ladang kebun milik Bapak Lurah / Kepala Desa, adalah milik saya, apakah artinya tanah dan ladang milik Bapak juga menjadi berstatus ‘sengketa’ untuk seumur hidup, sekalipun faktanya tidak pernah ada sita ataupun blokir dari pengadilan ataupun dari pihak berwajib? Bila pengadilan bahkan telah ternyata menolak permohonan sita oleh pihak penggugat, maka mengapa lembaga di luar pengadilan justru memperlakukannya menyerupai sebagai sebuah sita secara politis yang permanen sifatnya? Bagi Bapak Lurah / Kepala Desa, mungkin klaim dari warga lainnya demikian bukanlah ‘sengketa’, namun bagi warga lain yang melakukan klaim jelas adalah ‘sengketa’, sehingga frasa ‘tidak sengketa’ atau ‘tiada sengketa’ senyatanya sumir sekali, subjektif sifatnya dan cenderung dapat merampas kebebasan hak-hak pemilik tanah yang sebenarnya atas properti miliknya sendiri dari kesewenangan-wenangan klaim pihak lain.”
PEMBAHASAN:
Terhadap bidang tanah yang masih berupa tanah bekas “hukum adat”, yang biasa kita kenal sebagai tanah girik (atau istilah lain yang sejenis), dimana warga pemilik bidang tanah hendak mengajukan “pengakuan hak” atas tanah girik miliknya untuk diterbitkan sertifikat sebagai alat pembuktian pendaftaran hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat, maka yang dipersyaratkan oleh Kantor Pertanahan ialah dilengkapinya berkas permohonan sang warga dengan dibekali salah satunya berupa “Surat Keterangan Tidak Sengketa” yang diterbitkan atau setidaknya turut ditanda-tangani oleh pihak Kepala Desa atau pihak Lurah beserta Camat. Begitupula, dalam rangka pembuktian menguasai secara fisik, pihak Kepala Desa atau Lurah yang berwenang menerbitkan “Surat Keterangan Penguasaan Fisik”.
Sementara untuk hak atas tanah yang telah tersertifikasi dan hendak dialihkan haknya semisal melalui jual-beli, sebagai contoh, maka pihak pembeli yang hendak mengajukan balik-nama hak atas tanah yang dibeli olehnya membuat atau mengisi formulir “Surat Pernyataan Tidak Sengketa” yang cukup ditanda-tangani oleh subjek pribadi pemohon bersangkutan. Demikian pula dengan penguasaan fisik objek hak atas tanah yang dimohonkan peralihan, cukup berupa “Surat Pernyataan Penguasaan Fisik” objek tanah yang dimohonkan pendaftarannya.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Khusus untuk peralihan hak atas tanah berdasarkan lelang eksekusi Hak Tanggungan yang dibeli oleh pihak pemenang lelang, tidak lagi dipersyaratkan kedua formulir demikian ketika mengajukan permohonan “balik nama”, karena Peraturan Badan Pertanahan Nasional yang mensyaratkan formulir demikian terhadap pembeli lelang eksekusi, telah dibatalkan oleh Konsultan Hery Shietra melalui gugatan uji materiil ke Mahkamah Agung RI dan diputus sejak tahun 2016, semata karena praktik yang selama ini berlangsung, persyaratan berupa kedua pernyataan dalam formulir permohonan demikian adalah mustahil dipenuhi oleh pembeli lelang yang jelas-jelas akan dipersengketakan oleh pihak debitor “kredit macet” yang sebelumnya menjadikan agunannya sebagai jaminan pelunasan hutang.]
Tiada kejelasan oleh pihak instansi dibidang pertahanan maupun regulasi yang ada, perihal makna frasa “sengketa” dalam “Surat Keterangan / Pernyataan Tidak Sengketa”. Seperti apakah, parameter atau kriteria untuk dinyatakan bersengketa atau tidaknya suatu bidang hak atas tanah, menjadi sangat sumir dan ambigu disamping kental nuansa subjektivitas kalangan bersangkutan. Klaim sepihak demikian oleh suatu warga lainnya, dapat menjelma kesewenangan-wenangan yang tentunya tidak boleh dibiarkan oleh hukum menjelma berlarut-larut—semata karena hanya sita perdata maupun sita pidana, yang betul-betul bersifat permanen bernama “blokir akibat sita”.
Bila kita menerapkan metode analogi, tampaknya penjelasan serta rambu-rambu atau koridor hukumnya dapat kita temukan pada regulasi pertanahan yang mengatur perihal “status quo” dan “blokir” terhadap hak atas tanah yang telah bersertifikat dari Kantor Pertanahan, yang juga dapat kita terapkan secara analog terhadap objek tanah berupa tanah bekas “hukum adat”, perihal apa, sejauh bagaimana, serta batasan dari frasa “sengketa” menjadi pokok bahasan ini untuk dikupas secara holistik.
Perhatikan Pasal 126 Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, berikut yang dapat kita analogikan sebagai adanya “sengketa” atau “dipersengketakan” oleh pihak ketiga:
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Penjelasan SHIETRA & PARTNERS atas ketentuan tersebut diatas:
Ad. 1. Penulis hendak menggaris bawahi klausa “minta dicatat” dalam buku tanah bahwa hak atas tanah akan dijadikan objek gugatan di pengadilan. “Meminta dicatat” berbeda dengan “meminta diblokir”, guna melindungi hak dari pemegang hak atas tanah, mengingat setiap pihak dapat mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Saya, dan Anda, pun dapat mengklaim tanah seseorang sebagai miliknya. Jika setiap klaim berujung pada “blokir”, maka apa lagi fungsi sebuah sertifikat hak atas tanah sebagai tanpa bukti kepemilikan sebagaimana dinyatakan Pasal 19 Undang-Undang tentang Pokok Agraria?
Ad. 2. Catatan tersebut hapus dengan sendirinya pada hari ke-31 sejak tanggal pencatatan. Hal ini logis, mengingat kantor Pertanahan tidak dapat mengamputasi hak dari pemegang hak atas tanah. Pada prinsipnya, Kantor Pertanahan dilarang mendahului putusan pengadilan, karena Kantor Pertanahan bukanlah lembaga ajudikasi-yudikatif. Selama pengadilan tidak mengeluarkan putusan provisionil maupun penetapan sita jaminan, maka Kantor Pertanahan tidak memiliki hak untuk memblokir hak atas tanah dan mengamputasi kewenangan pemilik hak atas tanah. Asas kehati-hatian tidak dapat mengorbankan hak pemegang hak atas tanah yang tercantum dalam data yuridis seritikat dan buku tanah hak atas tanah.
Ad.3. dan Ad.4. Bahkan sebuah putusan provisi “status quo” dari hakim pengadilan hanya berumur 30 hari, dan pada hari ke-31, Buku Tanah wajib bersih dari catatan “status quo” demikian. Yang bersifat permanen, semata hanyalah perintah “sita jaminan” berupa penetapan hakim dan berita acara sita jaminan dalam perkara perdata maupun sita pidana—inilah yang disebut sebagai “blokir”, alias ter-segel permanennya hak atas tanah hingga amar putusan akhir menyatakan sebaliknya.
Dapat juga kita tafsirkan, sebagai alternatif sudut pandang:
1. Jika terdapat surat permohonan status quo oleh suatu pihak sipil, Kantor Pertanahan dapat mencatat status quo dalam buku tanah, dimana status quo tersebut gugur secara otomatis dalam tempo 30 hari;
2. Jika surat permohonan status quo tersebut tidak dilanjutkan dengan adanya gugatan yang ter-cap register nomor pengadilan, maka catatan status quo tersebut pada poin pertama berakhir dengan sendirinya pada hari ke-31;
3. Sementara jika surat permohonan status quo dilanjutkan dengan adanya surat gugatan yang disampaikan kepada kantor pertanahan secara resmi via relaas pengadilan, maka status quo ditambah 30 hari, sehingga maksimum total keadaan status quo ialah selama 60 hari, dan dihari ke-61 status quo wajib dihapus dan dibersihkan dari buku tanah.
Bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mana secara tegas-tegas menggunakan peristilahan “sengketa” dan tidak menjadikan fakta adanya “sengketa” sebagai hal “tabu” yang dapat menjadi penghambat proses diberikannya hak bagi warga pemohon untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran hak atas tanahnya maupun untuk tetap diakui hak atas tanahnya yang telah ber-sertifikat:
“Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) hak atas bidang tanah:
c. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke Pengadilan dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut …;
d. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan gugatan ke Pengadilan tetapi tidak ada perintah dari Pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari Pengadilan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan;
e. yang data fisik atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan ke Pengadilan serta ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain yang disengketakan serta mencatat di dalamnya adanya sita atau perintah status quo tersebut.”
Menjadi pertanyaan besar, bila “catatan adanya sengketa” identik dengan “blokir”, mengapa PP No. 24 Tahun 1997 membedakan antara:
- Sengketa tanpa gugatan;
- Sengketa dengan gugatan namun tanpa adanya putusan provisi maupun sita jaminan;
- Sengketa dengan gugatan yang disertai putusan provisi maupun sita jaminan.
Dapat kita tarik kesimpulan, terhadap butir ke-1 dan Ke-2 Kantor Pertanahan justru mencatat “blokir” terhadap Buku Tanah, sementara tiada putusan provisi maupun sita jaminan—berarti Kantor Pertanahan telah melompati pranata fungsi ajudikasi peradilan, dan mengamputasi pemegang hak atas tanah yang sah sebagaimana tercantum dalam Data Yuridis dalam sertifikat hak atas tanah—dimana bahkan seringkali dalam banyak kasus gugat-menggugat, pengadilan dalam putusan menolak permohonan sita jaminan atas objek sengketa yang diajukan oleh pihak penggugat.
Bandingkan pula ketentuan dalam Pasal 167 Ayat (1) Permenag Nomor 3 Tahun 1997 berikut:
b. jika data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan, tetapi tidak diajukan gugatan ke pengadilan: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada keberatan dari …. Mengenai ………………….. dan kepadanya sudah diberitahukan agar mengajukan gugatan ke pengadilan dalam waktu ……. hari dengan surat nomor …….. tanggal ……….“
c. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan tetapi tidak ada status quo dan tidak ada perintah sita: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada gugatan di Pengadilan …………… mengenai data fisik dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor ……… tanggal …………”
d. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan dan ada perintah status quo atau putusan penyitaan : “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan bahwa ada gugatan di Pengadilan …… mengenai data dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor …………. tanggal …………….. dan telah diletakkan sita jaminan berdasarkan putusan pengadilan …………….. Nomor ……….. Tanggal ……. jo Berita Acara Sita Jaminan Nomor ………………. Tanggal ……. / diperintahkan status quo oleh Pengadilan dengan surat Hakim ……………. nomor ……… tanggal ………….”
Pasal 167 Permenag Nomor 3 Tahun 1997 diatas konteksnya ialah dalam rangka “pendaftaran hak untuk pertama kali” (tanah girik yang hendak dimohonkan sertifikat kepada Kantor Pertanahan) pencatatan mengenai kekurang-lengkapan atau masih disengketakannya Data Fisik dan atau Data Yuridisnya sebelum terbit sertifikat hak atas tanah—yang mana pula artinya, adanya sengketa bukanlah hal tabu bagi bidang tanah untuk dimohonkan pendaftaran penerbitan sertifikatnya, yang karenanya pula semestinya “tiada sengketa” tidak dapat dijadikan prasyarat mutlak.
Melihat fakta regulasi bahwasannya ada atau tidaknya sengketa dari pihak ketiga, pemohon tetap berhak mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah tanah untuk pertama kalinya diterbitkan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan. Sehingga, melihat fakta yuridis demikian, semestinya warga pemohon TIDAK LAGI PERLU DIPERSYARATKAN untuk mengantungi berkas semacam “Surat Keterangan Tidak Sengketa”—semata karena, bila tetap dipersyaratkan, sama artinya lembaga Kantor Pertanahan mencoba memungkiri regulasi peraturan yang diterbitkan oleh lembaga induknya sendiri.
Regulasi di atas telah menegaskan, ada atau tidaknya sengketa, sertifikat hak atas tanah tanah tetap diproses dan diterbitkan, hanya saja prosesnya bisa jadi tertunda diserahkan kepada pihak warga pemohon bilamana terdapat sita dari pengadilan, dicirikan oleh klausul berikut dalam regulasi dimaksud : “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan...”—yang bermakna, hak atas tanahnya telah efektif dibukukan, dimana kesemua peristiwa yang melingkupinya menjadi sebuah “catatan” pada Buku Tanah yang diterbitkan bagi kepentingan pihak warga pemohon pendaftaran hak atas tanah.
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG /
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 13 TAHUN 2017
TENTANG
TATA CARA BLOKIR DAN SITA
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pencatatan dan penghapusan blokir dan sita atau adanya sengketa dan perkara mengenai hak atas tanah.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan keseragaman, standarisasi dan tertib administrasi dalam pelaksanaan pencatatan dan penghapusan catatan blokir dan sita atau adanya sengketa dan perkara mengenai hak atas tanah.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Karenanya, “sengketa” tidak identik dengan “blokir seumur hidup”.]
Pasal 3
(1) Pencatatan blokir dilakukan terhadap hak atas tanah atas perbuatan hukum atau peristiwa hukum, atau karena adanya sengketa atau konflik pertanahan.
(2) Pencatatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan:
a. dalam rangka perlindungan hukum terhadap kepentingan atas tanah yang dimohon blokir; dan
b. paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang sama.
(3) Hak atas tanah yang buku tanahnya terdapat catatan blokir tidak dapat dilakukan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Pasal 5
(1) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, wajib mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang dimohonkan pemblokiran. [Note SHIETRA & PARTNERS : Tidak dapat dibenarkan praktik-praktik semacam “asal klaim” dan “asal tunjuk”.]
(2) Pemohon yang mempunyai hubungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. pemilik tanah, baik perorangan maupun badan hukum;
b. para pihak dalam perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan atau kepemilikan harta bersama bukan dalam perkawinan;
c. ahli waris atau kepemilikan harta bersama dalam perkawinan;
d. pembuat perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan, berdasarkan kuasa; atau
e. bank, dalam hal dimuat dalam akta notariil para pihak.
Pasal 13
(1) Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum berlaku untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pencatatan blokir.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dengan adanya perintah pengadilan berupa penetapan atau putusan.
Pasal 25
(1) Pencatatan Sita dilakukan terhadap hak atas tanah dalam rangka kepentingan penyelesaian perkara di pengadilan atau penyidikan.
(2) Pencatatan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang sama.
(3) Hak atas tanah yang berada dalam keadaan disita tidak dapat dialihkan dan/atau dibebani hak tanggungan.
(4) Hak atas tanah yang berada dalam keadaan disita dapat di roya, diperpanjang dan/atau diperbaharui dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan, para pihak yang berperkara dan/atau penyidik.
(5) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan perbuatan administrasi pemerintahan dan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
Pasal 36
(1) Ketentuan pencatatan Sita Perkara atas pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah.
(2) Tata cara pencatatan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri ini.
Pasal 38
Sita Perkara mengikat pihak penggugat dan tergugat, dan berlaku sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang salah satu amarnya menyatakan gugatan ditolak atau tidak dapat diterima atau mengenai pengangkatan sita maupun penetapan penghapusan / pengangkatan sita.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Menjadi mulai dapat kita pahami, adanya “sengketa” tanpa disertai adanya sita pengadilan sekalipun ada gugatan dan putusan (hakim dalam amar putusannya ternyata menolak permohonan “sita jaminan” yang diajukan penggugat), maka tidak bersifat “seumur hidup” yang menyandera pihak pemohon pendaftaran hak atas tanah. Sengketa adalah sengketa, namun blokir adalah blokir dan sita adalah sita, tiga hal yang saling terpisah dan berdiri sendiri sesuai konteks masing-masing.]
Pasal 39
Sita Pidana berlaku sampai dengan perkara yang diperiksa selesai, dan dibuktikan dengan adanya:
a. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan surat permohonan pengangkatan sita dari penyidik; atau
b. perkara dinyatakan selesai yang dibuktikan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 41
(1) Catatan sita hapus apabila jangka waktu berlakunya sita berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40.
(2) Pihak yang berkepentingan, penyidik atau juru sita pajak mengajukan permohonan penghapusan catatan blokir dengan melampirkan persyaratan:
a. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Perkara;
b. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Pidana; atau
c. ...”
Kesimpulan dan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Ada atau tidaknya “sengketa”, mengingat dan menimbang berbagai keberadaan fakta yuridis sebagaimana peraturan-peraturan di atas, bukanlah menjadi “akhir dari segalanya”, dalam artian tidak dibenarkan untuk menyandera seumur hidup kepentingan pihak warga pemohon peralihan hak atas tanah yang telah terdaftar maupun bagi warga yang baru akan memohon pendaftaran hak atas tanahnya agar diterbitkan sertifikat oleh Kantor Pertanahan.
Berhubung telah ternyata “adanya sengketa” bukanlah keadaan yang dapat mengamputasi hak warga pemohon, karenanya fakta empirik yang semestinya diperhatikan oleh pihak Kantor Pertanahan ialah tidak lagi mensyaratkan Surat Keterangan / Pernyataan “Tidak Sengketa”, namun ada atau tidaknya gugatan perdata pada saat kini, amar putusan yang dapat dieksekusi, maupun penetapan sita perdata maupun sita pidana—tanpa kesemua itu, maka “ada sengketa” sekalipun maka pembukuan dan pendaftaran hak atas tanah sejatinya tetap berlangsung prosesnya, sementara untuk peralihan hak atas tanah yang terlah bersertifikat hanya tertunda selama beberapa waktu hingga keadaan “status quo” demi hukum kadaluarsa akibat tiadanya proses upaya hukum gugatan maupun penetapan sita oleh pihak yang melakukan klaim sepihak “ada sengketa” demikian.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.