LEGAL OPINION
Keabsahan Jual-Beli Tanah Hukum Adat, Tanah Girik, Tanpa Akta PPAT
Question: Apakah jual-beli tanah girik (tanah yang tunduk pada Hukum Adat), perlu dan harus selalu dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)? Apa dibolehkan dan dibenarkan oleh hukum pertanahan di Indonesia, jual-beli tanah girik ini dengan akta “dibawah tangan”? Apa negara, memberi perlindungan bagi masyarakat yang beli tanah girik, sejauh apa?
Brief Answer: Perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengalihkan hak atas tanah seperti jual-beli, tukar-menukar, hibah, dsb, dipersyaratkan dengan akta PPAT bila objek hak atas tanah berupa sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Sementara itu khusus terhadap tanah girik (tanah yang tunduk pada “hukum adat”), hukum pertanahan yang berlaku ialah asas-asas dalam “hukum adat”, salah satunya ialah “asas terang” yang bermakna dilakukan di hadapan seorang Kepala Desa ataupun Lurah setempat objek tanah berada dan teregister pada buku tanah desa beserta segala riwayatnya, dimana bahkan jual-beli dapat dilakukan cukup dengan “akta dibawah tangan”—terkecuali dalam konteks hibah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mensyaratkan hibah atas benda tidak bergerak wajib dilakukan dengan akta otentik-notariel, baik hibah tanah girik maupun hibah tanah sertifikat.
PEMBAHASAN:
Tidak seluruh peristiwa hukum peralihan hak atas tanah yang sekalipun berwujud sertifikat hak atas tanah, wajib menggunakan akta PPAT. Sebagai contoh, Akta Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang di Kantor Lelang Negara sebagai “alas hak” bagi pihak pembeli lelang eksekusi Hak Tanggungan terhadap objek tanah berwujud sertifikat hak atas tanah, untuk menjadi dasar ketika menghadap Kantor Pertanahan dalam rangka memohon peralihan hak atas tanah dari atas nama pemilik awal (terlelang eksekusi) untuk “dibalik-namakan” ke atas nama pemenang lelang.
Begitupula akta wasiat yang dibuat oleh almarhum pemberi warisan semasa hidupnya di hadapan pihak notaris yang bisa jadi tidak merangkap profesinya sebagai seorang PPAT. Bahkan, sebagaimana namanya, tanah girik tunduk pada “hukum adat” (asas terang dan tunai, yang hidup dan bertumbuh pada masyarakat “hukum adat” pada mulanya), dimana dapat kita simpulkan pulwa peralhan hak atas dasar jual-beli sekalipun dengan atau secara lisan atau secara verbal semata, sepanjang “asas terang dan tunai” terpenuhi, yakni telah dibayarkannya uang panjar (sekalipun belum lunas) serta dilakukan jual-beli di hadapan Kepala Desa atau Lurah, maka jual-beli antara penjual dan pembeli demikian adalah sahih serta valid, sehingga peralihan hak terjadi secara utuh dan sempurna.
Mahkamah Agung RI lewat Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016, telah menerbitkan aturan hukum kepada seluruh jajaran Hakim Pengadilan Negeri maupun Hakim Tinggi di seluruh Indonesia, dengan judul : “RUMUSAN HUKUM RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016”, yang salah satu butir kaedah pentingnya terkait kriteria “pembeli yang beritikad baik”, ialah sebagai berikut:
“Mengenai pengertian pembeli beriktikad baik sebagaimana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 9 Oktober 2014 pada huruf a disempurnakan sebagai berikut:
“Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
a. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara / prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
- Pembelian tanah melalui pelelangan umum, atau:
- Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, atau;
- Pembelian terhadap tanah milik adat / yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu:
a. dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan / diketahui Kepala Desa / Lurah setempat).
b. didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
- Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
b. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara lain:
- Penjual adalah orang yang berhak / memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;
- Tanah / objek yang diperjual-belikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
- Tanah objek yang diperjual-belikan tidak dalam status jaminan / hak tanggungan, atau;
- Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.”
Dalam ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa untuk terdapat dua rezim hukum agraria yang berlaku secara dualistis di Tanah Air, sesuai masing-masing konteksnya. Untuk jual-beli hak atas tanah yang telah berupa sertiikat hak atas tanah, maka akta jual-beli dibentuk dan dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akan tetapi bila konteksnya ialah tanah girik, maka jual-beli terhadap tanah milik adat / yang belum terdaftar, maka proses peralihan hak perlu dilangsungkan dengan mengikuti ketentuan “hukum adat”, yaitu: Pertama, dilakukan secara “tunai dan terang” (di hadapan / diketahui Kepala Desa / Lurah setempat). Kedua, didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
Lantas, bagaimana dengan perlindungan hukum bagi pembeli tanah girik yang dilakukan tanpa akta jual-beli PPAT? Dengan catatan khusus bahwa sang pembeli tanah “hukum adat” (tanah girik) telah melangsungkan jual-beli dengan memenuhi “asas terang dan tunai”, maka sang pembeli tanah girik telah dikategorikan sebagai pembeli yang beritikad baik seerta patut mendapat perlindungan oleh “hukum negara” sekalipun jual-beli tanah “hukum adat” (girik) dilangsungkan berdasarkan asas yang menjadi “hukum adat” (asas “terang dan tunai”).
Perlindungan hukum terhadap pembeli hak atas tanah yang telah dapat dikategorikan sebagai “pembeli yang beritikad baik” sebagaimana kaedah hukum yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menyatakan:
- Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang ber-itikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (obyek jual beli tanah).
- Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.