JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apakah Pasal Aturan Hukum Harus Mencantumkan Kata WAJIB atau DILARANG, Barulah menjadi Wajib Sifatnya untuk Dipatuhi Warga?

LEGAL OPINION

Norma Hukum Bersifat Imperatif (Tanpa Kompromi), Berisi Perintah dan Larangan, Bukan Fakultatif Selayaknya Norma Sosial yang Sekadar Menghimbau, Menyarankan, dan Mengusulkan Tanpa Daya Pemaksa Eksternal Diri

Question: Apabila suatu aturan peraturan perundang-undangan, entah itu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, di dalam pasal-pasal pengaturannya tidak terdapat atau tidak tercantum kata “WAJIB”, maka apakah itu artinya “tidak wajib”, jadi boleh tidak ikut aturan itu?

Brief Answer: Norma hukum, bukanlah norma “anjuran” sifat karakternya, namun bersifat koersif dan imperatif. Dengan demikian, norma hukum sudah melekat sifat kewajiban dan keharusan itu sendiri (“ought to”). Norma hukum mengandung tiga kemungkinan pengaturan, yakni unsur “perintah”, “larangan”, serta “kebolehan”. Namun, khusus untuk norma hukum (yang sekaligus menjadi pembeda dengan norma sosial seperti norma budaya maupun norma kebiasaan), setiap regulasi dalam peraturan perundang-undangan dianggap melekat sifat “perintah” berupa keharusan serta larangan bersikap sebaliknya, dimana pengecualian untuk keberlakuannya hanya dimungkinkan bila ditegaskan secara eksplisit adanya “kebolehan” untuk melakukan lain daripada apa yang diatur.

Sebagai contoh, dalam rezim hukum Penanaman Modal Asing, terdapat regulasi mulai dari tingkat Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing maupun Peraturan Pemerintah mengenai bidang-bidang usaha apa saja yang dimungkinkan (“dibolehkan”) untuk dimasuki oleh pihak investor asing dan bidang usaha apa yang tidak dimungkinkan (“larangan”) untuk dimasuki oleh investor asing ataupun yang berupa kemitraan dengan pelaku usaha lokal (“kewajiban” atau “mewajibkan”).

Seluruh pengaturan di dalamnya tidak mencantum frasa “WAJIB” ataupun “DILARANG”, mengingat sifatnya dari koridor hukum sebagaimana diatur dalam norma-norma hukum yang ada, ialah membatasi disamping melimitasi kemungkinan untuk berjalan diluar dari koridor hukum yang ada. Sepanjang tidak diatur secara eksplisit untuk menyimpangi ketentuan hukum yang diatur di dalamnya sebagai pengecualian, maka artinya seluruh norma hukum tersebut tidak dibolehkan untuk disimpangi dan wajib hukumnya untuk dipatuhi seta ditaati.

Sama halnya, dalam regulasi dibidang perpajakan, tidak perlu pihak pembentuk Undang-Undang mencantumkan frasa “WAJIB” dalam setiap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang terkait Perpajakan, tidak perlu juga mencantumkan frasa “DILARANG MENYIMPANG” dalam setiap pengaturannya. Pengecualian, hanya dimungkinkan bila dibolehkan secara eksplisit untuk menyimpanginya sebagaimana perlu diatur dalam norma hukum peraturan perundang-undangan itu sendiri.

PEMBAHASAN:

Contoh yang lebih mudah dapat kita jumpai, ialah norma-norma hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sangat prosedural sehingga tidak membuka toleransi untuk menyimpangi prosedur hukum acara pidana sebagaimana ketentuan yang berlaku. Kita tidak akan menjumpai pengaturan norma hukum di dalam KUHP seperti “Setiap orang WAJIB tidak mencuri barang milik warga lainnya”, atau seperti “Setiap orang DILARANG mencuri barang milik warga lain”. Cukup tercantum dalam norma hukum, kalimat sebagai berikut : “Barangsiapa mencuri, diancam dengan hukuman penjara paling singkat sekian tahun dan paling lama sekian tahun.”—sifat pengaturan norma hukum demikian, sudah secara inheren mengandung frasa “WAJIB” serta “LARANGAN”, karenanya setiap warganegara tidak diberi ruang kemungkinan untuk menyimpang daripadanya.

Sama halnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dapat kita jumpai, pengaturan seperti “Cakap hukumnya seseorang untuk mengikatkan diri dalam suatu perikatan perdata kontraktual, ialah ketika telah mencapai usia MINIMAL delapan belas tahun”, sebagai contoh. Tidak-lah perlu regulasi hukum melakukan repetisi, norma hukum dalam KUHPerdata mencantumkannya secara mubazir sebagai “Bagi warga yang hendak membuat kontrak atau tanda-tangan perjanjian, WAJIB paling sedikit telah memiliki umur delapan belas tahun, dan umur dibawah delapan belas tahun DILARANG mengikatkan diri dalam kontrak atau perjanjian apapun.”

Kebolehan untuk menyimpangi, dapat kita jumpai dalam bentuk semacam “dispensasi”, semisal “dispensasi” usia cakap hukum untuk melangsungkan perkawinan. Undang-Undang tentang Perkawinan cukup mengatur dan menyatakan, usia cakap hukum untuk dapat melangsungkan perkawinan, baik laki-laki maupun wanita, ialah setidaknya telah mencapai usia sembilan belas tahun—tanpa perlu menyertakan frasa “WAJIB” ataupun “DILARANG” (bagi yang berusia kurang dari itu maupun bagi calon mempelai yang belum mendapatkan “dispensasi” usia perkawinan). Namun demikian, dibuka “escape clause” oleh undang-undang yang sama bersangkutan, suatu kebolehan sebaliknya dengan mengajukan permohonan “dispensasi” usia perkawinan bagi pria maupun wanita yang belum genap berusia sembilan belas tahun ke hadapan pengadilan.

Begitu pula dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, diatur ketentuan mekanisme diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang didahului oleh pemanggilan atau undangan bagi para pemegang saham, hingga perihal jumlah kuantitas kuorum dan voting dari jumlah peserta yang hadir dengan “hak suara”, untuk agenda acara tertentu. Sekalipun Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas telah mengatur perihal jumlah minimum kuantitas peserta yang hadir dalam kuorum maupun voting, namun dalam ketentuan yang sama diberikan peluang atau kemungkinan “kecuali diatur lain dalam Anggaran Dasar”—suatu “kebolehan” untuk menyimpangi ketentuan yang ada, yang mana tanpa dibukanya peluang penyimpangan tersebut maka artinya norma hukum yang diatur tersebut bersifat  “WAJIB” serta inheren serta “DILARANG untuk menyimpangi”.

Dengan demikian, hanyalah regulator (pembentuk peraturan perundang-undangan) yang “dungu” ketika masih juga menyertakan frasa “WAJIB” ataupun “DILARANG” dalam suatu rumusan norma hukum peraturan perundang-undangan, ataupun untuk menyatakan bahwa “norma hukum tidak bersifat WAJIB karakternya keberlakuannya”. Hanyalah norma hukum dengan disertai frasa “kebolehan” yang menjadi “alasan pembenar” terhadap penyimpangan pengaturan dalam norma hukum yang ada, dimana tanpa frasa “dibolehkan” semacam demikian, maka diartikan tiada dibuka peluang untuk berjalan diluar koridor hukum yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan—istilah “koridor” dalam terminologi “koridor hukum”, ialah simbolisasi atau cerminan karakter norma hukum yang sejatinya membatasi ruang gerak warganya agar tidak menjelma “chaos” tanpa tertib sosial (social order) akibat ketiadaan “kepastian hukum”—“kepastian hukum” merupakan suatu pendirian hukum yang menjadi lawan kata dari istilah “standar ber-ganda”.

Sebaliknya, ketika suatu peraturan perundang-undangan mencantumkan frasa semacam “dihimbau”, “disarankan”, “himbauan”, “diharapkan”, “direkomendasikan”, “diminta”, “diusulkan”, “didorong”, dan istilah lain sejenisnya yang menyiratkan sifat “tidak mengikat”, maka itu bukanlah “norma hukum”, namun lebih tepatnya ialah “norma sosial” yang tidak pada tempatnya ditempatkan pengaturannya dalam suatu peraturan perundang-undangan. “Norma hukum”, sifat hakikinya ialah imperatif dan preskriptif, bukan sesuatu yang sifatnya menyerupai “norma sosial” yang sebatas fakultatif sifat keberlakuannya.

Untuk dapat memahami peristiwa konkret perihal “norma hukum” berfungsi sebagai “alat pemaksa” yang imperatif sifat keberlakuannya (“WAJIB” alias “LARANGAN untuk menyimpang”), dapat kita jumpai ketika BBC News Indonesia merilis laporan berjudul “Saya lepas jilbab dicap bermoral buruk, diintimidasi, dikucilkan lingkungan”—tantangan dan perlawanan siswi yang menolak berjilbab di sekolah negeri, https:// www. bbc .com/indonesia/indonesia-56425516, diakses pada tanggal 19 Maret 2021, dengan potret empirik lapangan yang memperlihatkan betapa “aturan tidak tertulis” dapat menihilkan “aturan tertulis” sekaliber Konstitusi Negara sekalipun:

Peraturan wajib jilbab yang sewenang-wenang dan diskriminatif di sejumlah sekolah negeri di Indonesia telah menyebabkan tekanan psikologis bagi siswi dan guru perempuan yang menolaknya, demikian laporan organisasi Human Rights Watch (HRW).

Bahkan ada beberapa korban — diantaranya ada yang beragama Islam — dilaporkan mengalami depresi dan berusaha bunuh diri setelah mendapat tekanan keluarga dan lingkungan.

Dalam laporan setebal 150 halaman, berjudul “Aku ingin lari jauh” : Ketidak-adilan aturan berpakaian bagi perempuan di Indonesia, yang diliris Kamis (18/03), HRW mendokumentasikan para siswi dan guru perempuan di beberapa kota di Indonesia yang menolak berjilbab telah mengalami perundungan yang meluas.

“Anak yang tidak patuh dengan jilbab dipaksa keluar sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan,” kata Elaine Pearson dari HRW, Kamis.

“Sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan terus-menerus memakai jilbab.”

Laporan ini diterbitkan hampir sebulan setelah pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang melarang aturan busana sekolah, menyusul protes siswi Kristen yang dipaksa berjilbab di sebuah sekolah negeri di kota Padang.

“Pemerintahan Jokowi harus memegang teguh dan menegakkan SKB Tiga Menteri ini yang melarang pemaksaan jilbab, dan kemudian melangkah lebih jauh dengan mengakhiri semua peraturan yang diskriminasi gender di sekolah atau tempat kerja,” kata Elaine Pearson.

Sejak 2014 hingga tahun ini, HRW melakukan wawancara antara lain 140 siswi, guru perempuan di beberapa sekolah negeri di kota di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang sebagian besar mengalami tekanan psikologi, bahkan dilaporkan ada yang berusaha bunuh diri.

Laporan ini juga merekam kasus remaja dan perempuan yang mengalami body dysmorphic disorder — gangguan psikologis dengan perasaan merasa kurang pada penampilan diri akibat perundungan dan intimidasi terus-menerus.

“Peraturan-peraturan ini merupakan serangan atas hak dasar kebebasan beragama, berekspresi, dan privasi,” kata Andreas Harsono dari HRW Indonesia.

Aturan busana yang dianggap diskriminatif itu juga disebutnya sebagai serangan atas kemampuan perempuan memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial.

Menurut Andreas, tidak semua korban diskriminasi aturan busana ini menyatakan siap apabila jati dirinya diungkap dalam laporan HRW. “Sebagian korban takut, trauma,” katanya.

Berikut kesaksian dua orang korban dan satu orang yang merekam kasus-kasus perundungan dialami beberapa korban. Mereka memberikan kesaksian kepada HRW dan BBC News Indonesia, kemudian mewawancarai mereka secara terpisah.

“Saya lepas jilbab, karena ini tubuh saya sendiri” — Kisah Nadya Karima Melati.

“Hei, jilbabnya mana!” Ucapan sang guru saat dirinya menjadi siswa SMA Negeri II di Cibinong, Kabupaten Bogor, terus membekas — hingga kini, 10 tahun kemudian.

Saat itu, Nadya Karima Melati, kelahiran 1994, mengaku dirinya sudah mempertanyakan mengapa perempuan harus menutup rambutnya dengan sehelai kain. Itulah sebabnya, dia kemudian beberapa kali melepas jilbabnya saat di lingkungan sekolah.

Lalu, “Hei, jilbabnya mana! Itu [guru] sambil nunjuk-nunjuk [ke muka saya],” Nadya — panggilan akrabnya — menghela napas panjang.

“Itu selalu diulang-ulang dan dijadikan alat untuk mendisplinkan murid perempuan di sekolah,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Nadya, yang beragama Islam, mengaku dirinya “dijebak” dengan aturan yang tidak tertulis di sekolahnya yang mengharuskan siswa perempuan harus berjilbab.

“Kata-kata ‘jilbabnya mana’, itu benar-benar jadi alat untuk mendisiplinkan tubuh dan mengunci perempuan dalam ruangnya yang akhirnya membuat dia tidak bisa kemana-mana,” kata Nadya.

Karena tidak suka dan tidak pernah menerima ‘kewajiban’ berjilbab di sekolah, Nadya acap mencopotnya di lingkungan sekolah. Ketika didamprat gurunya, barulah dia memakainya lagi.

“Dan ketika aku ke luar pintu gerbang [saat pulang sekolah], aku buka lagi,” kali ini dia seraya tertawa.

Dia memang menolak mengenakan jilbab, tapi saat itu dia tidak mampu menghadapi tekanan pihak sekolah, keluarga dan teman-temannya yang berjilbab.

Nadya kemudian teringat ucapan teman-temannya saat dia melepas jilbabnya karena kegerahan: “Eh, jangan dibuka, auratnya nanti dilihat cowok...”

Belum lagi, apa yang disebutnya sebagai “sistem penilaian” terkait perilaku siswa yang melepas jilbab.

“Aku merasa kalau lepas jilbab, berarti aku melanggar peraturan sekolah, karena ada poin [nilai], berarti aku dianggap anak bandel.”

Dan, “kalau aku jadi bandel, nanti kalau nilaiku berapa pun, tidak akan ngefek, karena di rapor akan ditulis bahwa moralku buruk.”

Kelak, dia menyebut keterpaksaannya mengenakan jilbab di masa SMA itu sebagai “konformitas”. Itu dilakukannya karena itu satu-satunya “cara untuk (dapat) diterima masyarakat” yang mewajibkan jilbab.

Namun, tekanan masyarakat tentang 'kewajiban jilbab' terus menghantuinya, hingga dia memasuki bangku kuliah di jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

“Puncak depresinya ketika akhir semester, ketika aku memutuskan melepas jilbab,” ujarnya. “Dan itu guncangan besar, karena aku betul-betul dikucilkan lingkungan.”

Kepada tim peneliti HRW, Nadya mengaku dirinya pada masa itu “harus bolak-balik ke psikolog-psikiater” karena “percobaan bunuh diri” karena ditekan dan diintimidasi akibat membuka jilbab.

Toh Nadya terus melawan, “Kita harus memberi pemahaman, bahwa kalau lepas jilbab dan perempuan memiliki tubuhnya sendiri, itu tidak apa-apa. Kalau kamu kelihatan rambutmu, kamu tetap jadi perempuan, dan tidak ada kategori antara perempuan baik dan tidak baik-baik. Semua perempuan adalah manusia.”

Di sebuah kota di pulau Jawa, seorang ibu yang putrinya mengalami perundungan akibat didiskriminasi lantaran menolak berjilbab seperti dituntut sekolahnya, meminta agar jati dirinya dan anaknya disembunyikan.

Di awal wawancara, Rina — bukan nama sebenarnya — menyebut dirinya Muslim, tapi memilih tidak berjilbab, meski dulu sempat mengenakannya.

Kemudian dia menggaris-bawahi bahwa dia dan suaminya tidak pernah memaksa anaknya mengenakan jilbab atau melarang mengenakan jilbab. Mengenakan jilbab adalah pilihan, sebagaimana dia memahami agamanya, ujarnya.

“Ini sekaligus agar anak kami bisa belajar untuk punya pilihan, dan bisa ambil keputusan menyangkut dirinya,” katanya.

Dia kemudian menyebut apa yang disebutnya prinsip bahwa jilbab tidak boleh dilarang dan sebaliknya jilbab tidak boleh dipaksakan.

Dari cara pandang seperti ini, Rina bisa memahami ketika anaknya mau melepas jilbab ketika mau melanjutkan ke sebuah SMP negeri — setelah sebelumnya mengenakannya.

Namun di sinilah awal masalah timbul. Guru agama di SMP negeri itu mendorong putrinya agar mengenakan jilbab.

“Teman-temannya juga mulai bertanya ‘kenapa kamu tidak pakai jilbab?’” Ungkapnya. Situasi ini kemudian membuat anaknya “tidak nyaman”.

Rina dan suaminya kemudian menemui kepala sekolahnya dan memperoleh kepastian bahwa mengenakan jilbab bukanlah kewajiban. “Tetapi disarankan memakai jilbab.”

Akhirnya dicapai kompromi : Putrinya hanya mengenakan jilbab pada saat pelajaran agama. Rina dan anaknya sepakat.

Tetapi, sang guru agama tetap gencar menyatakan ‘dosa kalau perempuan tidak menutup aurat’. Rina menyebut hal ini berlangsung terus-menerus hingga anaknya naik klas dua.

Suatu saat anaknya mencurahkan isi hatinya kepada sang ibu, setelah gurunya menyebut “rambut bisa menimbulkan hasrat seksual” sehingga mengenakan jilbab itu merupakan kewajiban.

Dalam perkembangannya, guru agama — yang juga wali klas — terus mengecek agar sang anak mengenakan jilbab, tidak semata saat mengikuti pelajaran agama. “Ini terus menerus,” katanya.

Akibatnya, “anak saya merasa tidak konfiden, dan selalu mempertanyakan ‘kenapa saya tak mengenakan jilbab, kok jadi masalah’,’'kenapa perempuan yang pakai jilbab dapat mencegah birahi yang memandangnya.’”

“Dia bahkan bertanya ‘kenapa Islam menjadi diskriminatif terhadap perempuan’,” ungkap Rina. Di sini dia memberikan pemahaman bahwa ada interpretasi yang dominan dan represif terhadap agama.

“Anak saja menjadi marjinal dari komunitas sekolahnya itu, dia merasa lain sendiri,” katanya. Dia kemudian hati-hati membangun pertemanan. “Ini berat buat anak seusia dia.”

Hal inilah yang membuat Rina dan suaminya menemui kepala sekolah. Mereka kemudian diminta menemui langsung wali klasnya.

“Oh ibunya yang melarang anaknya mengenakan jilbab,” ujar sang wali kelas, saat melihat Rina tak berjilbab. Di sinilah, suaminya menjelaskan bahwa jilbab tidak wajib bagi muslim.

Menurutnya, wali klas berkilah bahwa penggunaan jilbab adalah aturan sekolah. Rina tidak pernah menemukan aturan itu. Pada titik inilah, Rina kemudian menemui Ombudsman untuk menanyakan apakah jilbab wajib di sekolah negeri.

Ombudsman kemudian mengeluarkan rekomendasi agar kepala sekolah mengawasi sang guru agama tersebut. Kantor dinas pendidikan setempat juga diminta mengawasi sekolah-sekolah di lingkungannya.

Sekolah yang bersangkutan juga diminta merevisi aturan yang menyebutkan jilbab adalah kewajiban. “Setelah itu, anak saya tidak pernah ditekan guru agamanya dan anak saya merasa lebih aman.”

Di penghujung wawancara, Rina mengharapkan agar dunia pendidikan memungkinkan anak-anak untuk belajar menerima perbedaan.

“Yaitu menciptakan anak-anak dari berbagai latar belakang bisa belajar bersama dengan nyaman. Mau kemana lagi, kalau sekolah negeri tidak menyediakan hal seperti itu,” tandas Rina.

‘Identitas sebagai non-Muslim tidak dihargai’

Nur Laeliyatul Masruroh, yang terlibat mewawancarai korban peraturan wajib jilbab di Kota Solok, Padang, Bogor hingga Banyuwangi dalam penelitian HRW, menyebut sebagian besar mereka “yang dipaksa berjilbab” mengalami trauma.

Dia mengungkap seorang siswi Katolik yang dipaksa mengenakan jilbab di sebuah sekolah negeri di Banyuwangi, sehingga dia sempat menolak bersekolah.

“Gurunya mengatakan ‘nanti yang ikut olah raga harus pakai jilbab ya’, padahal itu tidak ada kegiatan keagamaan,” ungkap Nur kepada BBC News Indonesia.

Kepada Nur pada 2018 lalu, siswi itu mengalami trauma karena merasa tidak diterima di lingkungannya.”"Dia akhirnya tidak mau sekolah, dan dia menangis saat saya wawancarai,” katanya.

Di Kota Padang, Nur juga mewawancarai seorang siswi Kristen yang orang tuanya harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kain dan menjahitnya menjadi jilbab yang lebarnya harus bisa menutupi pantat dan rangkap dua.

“Dan ketika tidak memenuhi [syarat] itu, ada guru mencatat poin. Kalau melakukan pelanggaran terus-menerus, itu dapat dikeluarkan dari sekolah,” ujarnya.

Nur juga sempat mewawancarai siswi Kristen di sekolah negeri yang keluarganya masuk kategori miskin. Menurutnya, mereka tidak punya pilihan, karena sekolah swasta biayanya lebih mahal.

“Itu membuat mereka mau-tidak-mau tunduk pada aturan sekolah, dan ini membuat identitas mereka sebagai non-Muslim tidak dihargai,” ungkap Nur.

Dia dipaksa berjilbab sejak SD, SMP hingga SMA. “Tapi mereka takut sekali kasus ini terekspose media. Mereka tidak mau namanya disebutkan, karena minoritas.”

Di Bogor, Nur mengakui ada siswi Muslim yang berani melawan kebijakan pimpinan sekolah negeri yang mewajibkan siswinya mengenakan model jilbab yang lebih ketat.

“Dia tidak menolak jilbab, tapi mempertanyakan kenapa model jilbabnya besar dan menutup dada serta tebal, ‘kan panas’,” kata Nur Laeliyatul menirukan sang siswi.

Dia melawan dengan menggelar lomba semacam ‘jilbab cantik’. “Tapi ini ditegur, karena dianggap jilbab itu tidak sesuai syariat,” ungkap Nur, yang kini aktif di organisasi CSAVE (Civil Society Against Violent Extremism).

Bagaimana evaluasi pelaksanaan SKB tiga menteri?

Aktivis HRW Andreas Harsono mengatakan, sejak SKB tiga menteri tentang larangan mewajibkan jilbab di sekolah negeri diberlakukan, “baru sedikit ada perubahan” di lapangan.

Dia memberikan contoh, baru 23 siswi di sebuah sekolah menengah atas di kota Padang, yang disebutnya “menggunakan hak mereka untuk memilih [berjilbab atau tidak]”.

“Ratusan siswi lainnya tidak memilih. Kenapa ini terjadi? Karena, peraturan sekolah [terkait kewajiban jilbab di sekolah negeri] belum diubah,” kata Andreas kepada BBC News Indonesia, Rabu (17/03).

Faktor lainnya, demikian Andreas, sanksi bagi sekolah yang menolak menjalankan SKB tiga menteri, belum dijalankan sanksinya.

“Jadi kita belum melihat ada perubahan yang substansial, tetapi ini sebuah langkah positif, karena dari semua peraturan [diskriminatif], yang paling besar dampaknya, yang paling melanggar bagi siswi dan guru perempuan, adalah peraturan Kemendikud tahun 2014 tentang aturan seragam sekolah,” jelasnya.

Pada 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan seragam sekolah di mana digambarkan “busana Muslimah” dengan rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab.

Menurut Andreas, peraturan itu memberi kesan bahwa itulah satu-satunya pilihan bagi para gadis Muslim.

Akibatnya, aturan itu kemudian mendorong dinas pendidikan di daerah untuk memperkenalkan peraturan-peraturan baru.

Dia melanjutkan, hal ini lantas mendorong ribuan sekolah negeri, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, untuk menulis ulang tata terbit seragam sekolah, yang mewajibkan jilbab bagi Muslimah.

Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menanda-tangani peraturan tahun 2014, mengatakan kepada Human Rights Watch, peraturan itu memberi dua pilihan: kemeja lengan panjang, rok panjang dan jilbab, atau seragam tanpa jilbab.

Dikutip oleh Andreas Harsono, Nuh mengatakan, “Saya membuat peraturan itu. Tapi jilbab tidak wajib. Tidak ada kata wajib di sana.”

Berikut inilah, bencana dan tragedi kemanusiaan yang timbul akibat kedangkalan berpikir dan cara berhukum pejabat negara, mengakibatkan jatuh korban dari pihak masyarakat secara luas, ketika BBC mendokumentasikan laporan dengan tajuk “Kewajiban jilbab di Riau, antara kearifan lokal dan pelanggaran kebhinekaan”, https:// www. bbc .com/indonesia/indonesia-45319155, diakses pada tanggal 18 Maret 2021:

Sebuah sekolah menengah atas di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, dilaporkan mewajibkan seluruh siswinya mengenakan jilbab, termasuk bagi yang non-Muslim.

Ketentuan itu dianggap tak sesuai dengan kebhinekaan yang diajarkan di bangku sekolah, namun kepala sekolah mengatakan “ini hanya imbauan dan merupakan bagian dari kearifan lokal”.

Peraturan ini diterapkan di SMA Negeri 2 Rambah Hilir di Rokan Hulu.

Pimpinan sekolah, Norman, menyebut ketentuan berpakaian itu bukan keharusan dan tak diatur secara tertulis. [Note : Namun diatur secara tertulis.]

Norman mengatakan sejak lama sekolahnya hanya mengimbau pemakaian jilbab, yang disebutnya sesuai dengan nilai keislaman yang kental di Riau.

“Riau adalah daerah Muslim, tapi memang ada pendatang. Dari 472 siswa kami, hanya 40 yang non-Muslim,” kata Norman kepada BBC Indonesia, Senin (28/08). [Note : “Hanya”? Istilah “hanya” konotasinya ialah patut dan layak disepelekan alias tidak berarti.]

“Jadi arahan kepala sekolah terdahulu, yang non-Muslim juga berjilbab. Kami tidak pernah sampaikan itu hal wajib,” kata Norman. [Note : “Arahan” yang kemudian dibakukan lewat praktik kebiasaan, akibatnya menjadi imperatif dalam tataran praktik di lapangan.]

Ia menganggap aneh keluhan kaidah berjilbab yang muncul belakangan. Ia mengklaim, selama ini sekolahnya tidak pernah menjatuhkan sanksi pada siswi non-Muslim yang tak mengenakan jilbab.

Kalau wajib berarti ada sanksi, selama saya menjadi kepala sekolah, tidak pernah ada yang disanksi, saya juga pernah lihat siswi tidak berjilbab. Ini sekedar motivasi bagi anak didik,” ujarnya. [Note : Sanksi, dapat berupa sanksi hukum maupun sanksi sosial, hingga sanksi politis yang terkadang tidak kalah menakutkan daripada sanksi hukum.]

Isu kewajiban berjilbab muncul di beberapa daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Isu wajib jilbab di sekolah-sekolah Riau sebelumnya pernah muncul tahun 2016. Saat itu, SMP Negeri 3 di Indragiri Hulu mengharuskan seluruh siswi mereka mengenakan jilbab.

Namun ketika itu Dinas Pendidikan Riau segera menegur pimpinan sekolah dan menganulir ketentuan ini.

Bagaimanapun, meski kebudayaan Riau sarat nilai-nilai keislaman, pengamat menilai sekolah tidak seharusnya mewajibkan siswa non-Muslim mengenakan jilbab.

Anggota Dewan Pertimbangan Persatuan Guru Republik Indonesia di Riau, Jakiman, menganggap sekolah merupakan ruang untuk menyemai keberagaman dan kebhinekaan.

“Jilbab untuk menjalankan syariat agama dan demi norma kesopanan tidak masalah. Tapi kalau dipaksakan, saya rasa itu perlu ditinjau kembali,” tambah Jakiman.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah di beberapa kota mengharuskan setiap siswi mereka mengenakan jilbab.

Ketika orang “dungu” diberikan kekuasaan membentuk norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, yang sudah jelas-jelas bersifat imperatif sebagaimana namanya norma peraturan perundang-undangan, jadilah tragedi yang selama bertahun-tahun timbul dan merajalela dalam praktik di lapangan, dimana warga tidak bersalah yang menjadi korbannya. Ketika orang “dungu” berkuasa dan memegang kendali dalam pembentuan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara publik luas bahkan bertahun-tahun lamanya, jadilah bencana kemanusiaan bagi satu bangsa luas, dimana rakyat jelata yang harus membayar “harga” dari ke-“dungu”-an sang pejabat negara selaku pembuat regulasi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.