LEGAL OPINION
PERADILAN SESAT, Pengadilan Membatalkan Perjanjian berdasarkan Kesaksian Satu Orang Saksi yang Tidak Netral
Question: Apakah memang betul, konon ada anekdot di masyarakat bahwa hakim di pengadilan tidak mungkin memutus perkara secara adil dan benar?
Brief Answer: Adil mungkin “YA”, namun belum tentu dan tidak selalu “BENAR”, mengingat bisa jadi sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara (baik perkara pidana maupun perdata) memang bersifat imparsial, dalam artian tidak melakukan kolusi ataupun memihak pihak mana pun. Namun, perihal “benar atau belumnya” apa yang menjadi putusan sang hakim, masih dapat kita pertanyakan, mengingat pembuktian di pengadilan sifatnya sebatas kata-kata, keterangan, bukti-bukti yang notabene penggalan-penggalan atau sepenggal-sepenggal (hanya seseorang dengan “telinga dan mata dewa” yang mampu menangkap seluruh kejadian secara utuh), sehingga konsekuensinya ialah sedikit-banyak terjadi reduksi terhadap latar-belakang detail situasi maupun kondisi kontekstual seluruh kronologi kejadian baik dalam ranah alam fisik maupun alam batiniah dari kejadian dan para aktor yang terlibat di lapangan maupun yang melingkupi di latar-belakangnya.
Terlebih, bila keterangan para pihak hanya dapat dituangkan sebatas kata-kata lisan maupun tulisan tertulis, yang belum tentu didengarkan ataupun dibaca oleh sang hakim, disamping tindak efisiennya proses peradilan yang memakan waktu berbulan-bulan lamanya sehingga memori jangka panjang kalangan hakim berpotensi terdistraksi dan terbias dengan perkara-perkara lainnya, disamping kodrat dari bahasa lisan maupun tertulis (sarana komunikasi) yang terbatas sifatnya dan tidak sempurna adanya, ditambah tidak jarang fakta perihal tidak cakapnya salah satu pihak baik Penggugat, Tergugat, Terdakwa, maupun Jaksa Penuntut Umum dalam berkata-kata maupun menyusun kata-kata (salah satunya para pengidap disleksia), sehingga menjadi tidak menguntungkan bagi posisi hukum maupun kepentingan hukum yang bersangkutan ketika terjebak dalam situasi yang menyulitkan mereka untuk mengilustrasikan fakta sebenarnya.
PEMBAHASAN:
Sebagai contoh praktik “peradilan sesat” yang dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan, dengan merujuk putusan perkara perdata sengketa kontraktual sebagaimana tertuang dalam register Nomor 978 K/Pdt/2015 tanggal 26 Januari 2016, perkara antara:
- CV. SAUDARA SERASI, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
1. PT. YOROZU AUTOMOTIVE INDONESIA; 2. PT. MANDIRI PRATAMA INTILOGAM, selaku Termohon Kasasi, semula selaku Tergugat.
Sengketa bermula dari dibatalkannya secara sepihak oleh pihak Tergugat, surat perjanjian yang sebelumnya dibuat dan disepakati oleh Penggugat dan Tergugat, dimana untuk itu Penggugat mempermasalahkan pembatalan sepihak demikian. Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Karawang menjatuhkan putusannya Nomor 50/PDT.G/2013/PN.KRW tanggal 15 April 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
l. Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan secara hukum bahwa Surat Perjanjian Penunjukkan Dan Pengangkatan Pengolahan Limbah tertanggal 22 Maret 2013 yang ditanda-tangani oleh Masaharu Yoshimatsu selaku Presiden Direktur PT. Yorozu Automotive Indonesia dengan Endang Djunaidi selaku Direktur CV. Saudara Serasi tersebut adalah sah dan mengikat Para Pihak;
3. Menyatakan Surat Pernyataan Pembatalan Penunjukkan Pengangkatan Limbah Industri Sisa Hasil Produksi tertanggal 1 April 2013 yang dibuat dan ditanda-tangani oleh Sdr. Abdul Mukti dalam kedudukannya selaku Staf HRD-GA pada PT. Yorozu Automotive Indonesia adalah tidak sah dan batal demi hukum;
4. Menyatakan bahwa Tergugat I Wanprestasi;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
II. Dalam Rekonvensi:
Menolak gugatan Penggugat I Rekonvensi / Tergugat I Konvensi dan gugatan Penggugat II Rekonvensi/Tergugat II Konvensi;
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan di atas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung lewat Putusan Nomor 347/PDT/2014/PT.BDG tanggal 29 Oktober 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
I. Menerima permohonan banding;
II. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Karawang tanggal 15 April 2014 Nomor 50/Pdt.G/2013/PN.Krw., yang dimohonkan banding tersebut;
MENGADILI SENDIRI
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat Rekonvensi / Para Tergugat Konvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan Surat Perjanjian Penunjukkan dan Pengangkatan Pengelolaan Limbah tanggal 22 Maret 2013 beserta addendum tanggal 27 Maret 2013 batal demi hukum.”
Alibi yang menjadi alasan Pengadilan Tinggi membuat putusan demikian, ialah argumentasi bahwa tekanan yang mempengaruhi kejiwaan Masaharu Yoshimatsu selaku direktur Tergugat, tidak dibuat secara bebas melainkan suatu persetuijuan / kesepakatan dibawah tekanan, dengan demikian perjanjian yang dibuat para pihak tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo. Pasal 1323 dan Pasal 1324 KUHPerdata.
Pada tanggal 25 Maret 2013, massa kurang-lebih lima ratus orang berdemo di pabrik Tergugat I di Karawang untuk mendorong ditanda-tangani surat perjanjian pengelolaan limbah untuk kepentingan pihak Penggugat. Aksi demo dilakukan dengan cara bergerombol di depan kantor Tergugat I. Padahal, surat Perjanjian Penunjukkan dan Pengangkatan Pengelolaan Limbah antara Penggugat dengan Tergugat I telah dibuat pada tanggal 22 Maret 2013 di kantor Tergugat I di Jakarta, yang berarti bukan pada hari ketika demo terjadi pada tanggal 25 Maret 2013 di pabrik milik Tergugat I di Karawang.
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan;
“Bahwa surat perjanjian penunjukan dan pengangkatan pengelolaan limbah tanggal 22 Maret 2013 beserta addendum tanggal 27 Maret 2013 telah dapat dibuktikan oleh Tergugat dibuat dalam keadaan tidak bebas yaitu dalam keadaan tertekan dan ketakutan, sehingga terpaksa mau menuruti apa yang diminta oleh Penggugat;
“Bahwa paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian (Pasal 1325 KUHPerdata);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi CV. Saudara Serasi tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi CV. Saudara Serasi tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Fakta yang sebetulnya terjadi secara lebih utuh (namun disembunyikan oleh pihak Tergugat dan gagal dielaborasi oleh pihak Penggugat) ialah, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri semata karena tertipu dan terkecoh oleh seorang saksi dari pihak Tergugat yang seolah-olah netral, yang bernama “Teruhisa Goto”, seseorang yang sama sekali tidak independen karena “Teruhisa Goto” yang dalam kesaksiannya di persidangan membela dan memihak kepentingan pihak Tergugat, merupakan pemilik dari GLC Consulting sekaligus pemilik dari kantor pengacara Prestigio Lawfirm yang menjadi pengacara / kuasa hukum pihak Tergugat, karenanya ini menyerupai kesaksian dari pihak “bos dari pengacara yang menjadi kuasa hukum pihak Tergugat”.
Disaat bersamaan, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menafikan seluruh kesaksian yang diajukan oleh saksi dari pihak Penggugat, sehingga terlihat jelas indikasi terjadinya kolusi dalam putusan Pengadilan Tinggi, yang mana putusan Hakim Agung pada Mahkamah Agung tampaknya hanya sekedar “latah” dan berasumsi bahwa para Hakim Agung memiliki “mata dewa” yang dapat membaca seluruh rangkaian situasi secara utuh dan jelas, tanpa terbias oleh “fakta rekaan” yang fiktif adanya dan dirancang untuk mengalihkan isu utama.
Karenanya, fakta-fakta persidangan sekedar mereduksi fakta realita yang ada di lapangan, sekedar sebatas tulisan-tulisan dalam berkas, dan secara berpihak memandang berkas-berkas alibi dan argumentasi satu pihak sebagai benar adanya sementara berkas-berkas argumentasi pihak lainnya sebagai keliru adanya. Ketika “peradilan sesat” menjadi justifikasi kegiatan atau perbuatan ideal suatu pihak, sama artinya kejatuhan secara mental dan secara moril dari pihak yang telah dirugikan. Putusan Mahkamah Agung RI di atas, bila menjadi preseden dikemudian hari, akibatnya seluruh Perjanjian Kerja Bersama antara pihak buruh dan pihak pengusaha, yang bermula dari adanya aksi demonstrasi serupa buruh-buruh yang menuntut hak, dapat berujung pada nasib serupa, dibatalkan dengan alasan adanya “pemaksaan”.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.