JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Politik adalah Politik, Bisnis adalah Bisnis, dan Biarkanlah Agama Murni sebagai Agama Tanpa Dicemari oleh Politik ataupun Bisnis

ARTIKEL HUKUM

Mengapa Sang Buddha Tidak Disukai Politikus, dan Membuat Malu Pengusaha Serakah yang Angkuh Arogan Penuh Kesombongan? Ini Penjelasannya

Syarat Utama Politik, Ketidakjujuran. Politik yang Jujur, Sama artinya Menafikan Sifat dari Politik itu Sendiri. Terjun kedalam Politik, artinya Siap untuk menjadi Kotor dan Mengotori Jiwa Diri Sendiri

Politik adalah kotor dan busuk, demikian Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa pada era Orde Lama, menuliskan pengalamannya dalam buku catatan harian pribadinya yang melegenda. Politik, pada dasarnya dibangun dari sifat-sifat yang anti transparansi dan anti akuntabilitas, dimana semuanya dibangun atas dasar kepentingan, kelicikan, selubung, pengelabuan, motif tersembunyi, agenda tersembunyi, tiada integritas, komitmen sebatas kepentingan pragmatis, deal-deal politis, bagi-bagi kekuasaan, penuh “topeng” kepalsuan, citra artifisial, lain di hati namun lain juga di mulut—namun faktor paling dominan dibalik politik, ialah keserakahan, baik keserakahan atas harta materi, keserakahan atas kedudukan, keserakahan atas ketenaran, keserakahan atas kekuasaan, keserakahan atas dirinya sendiri dan atas diri orang lain. Anda keliru bila hendak mencari seorang suciwan di Partai Politik, namun Anda akan mudah menemukan seorang “manusia predator” pada tempat yang sama.

Mungkinkah kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa politik serta tanpa adanya segregasi-segregasi semacam Partai Politik? Dalam hipotesis paling sederhana, kehidupan politis para Partai Politik adalah manifestasi dari budaya dan karakter kolektif bangsa kita itu sendiri, dimana Bangsa Indonesia masih dikuasai oleh mentalitas ketidak-jujuran, tidak berintegritas, korup, pragmatis, ego sektoral, premanis yang kerap berebut kekuasaan, memonopoli pasar, memobilisasi massa, menghimpun kekayaan materi bagi segelintir pihak, meng-“halal”-kan segala cara untuk meraih tujuan, penuh kepentingan yang jahat dan licik, penyalah-gunaan kepercayaan, dan berbagai cerminan “wajah” yang selama ini ditampilkan para Partai Politik sejatinya dapat kita jumpai pula pada para rakyat jelata kita hingga kelas “akar rumput”, bahkan sekelas pedagang gerobakan, pedagang di pasar tradisional, maupun para “office boy” di perkantoran, suatu karakter yang telah “mendarah-daging”.

Partai Politik, hanyalah fenomena gunung es yang muncul menyembul ke atas permukaan air laut, dimana tubuh gunung es tersebut tersembunyi di bawah permukaan air laut, jauh lebih besar lagi. Karena itulah, adalah berlebihan bila mengharapkan Partai Politik diharapkan bersikap jujur dan penuh keadilan terhadap publik dan masyarakat, dimana rakyat jelata kita sendiri yang menjadi pusat kelahiran serta pertumbuhan Partai Politik adalah penuh sikap-sikap “korup” adanya—kebobrokan mental secara struktural dan secara kultural. Menjadi aneh pula, ketika agama dinodai dengan politik, seolah agama dapat ditunggangi menjadi kendaraan politik yang bernama Partai Politik berbasis atribut keagamaan tertentu, dimana keluhuran agama justru dinodai oleh para umatnya sendiri dibawah bendera Partai Politik dengan simbol-simbol atau nama-nama keagamaan tertentu lengkap dengan simpatisannya—tidak terkecuali berbagai organisasi massa (“ormas”) berbasis keagamaan tertentu yang hendak menjadi “polisi moral”, seolah-olah telah mendapat Surat Kuasa dari Tuhan untuk menjadi eksekutornya (baca : upaya untuk mengambil-alih peran dan kekuasaan Tuhan).

Agama adalah agama, agama seyogianya bersih dan bebas dari anasir politik ataupun anasir eksternal apapun, demi menjaga keluhuran martabatnya. Ketika negara diintervensi oleh agama, jadilah agama sebagai kendaraan politik, mengingat “hukum tata negara” adalah produk politik itu sendiri, menjelma “negara agama” dengan kiblat satu agama tertentu yang intoleran terhadap kemajemukan maupun kebhinekaan dan kerukukan antar umat beragama. Agama adalah untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Ketika agama justru melawan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, maka paham radikal intoleran demikian tidak layak disebut sebagai agama, namun sebagai “ideologi narsisme-egoistik” yang perlu diamputasi.

Hanya pada negara-negara sekuler dan negara-negara yang tidak mempolitisir agama, dimana basis negara semata pada hukum negara, agama dapat menjalankan tugas mulianya secara murni, jernih, utuh, bersih, serta bebas dari segala cemaran “noda” apapun—tiada lagi istilah “agama yang dipolitisir” ataupun “politisasi agama”. Ketika agama, hukum, dan negara menjadi tiga hal yang terpisah, maka tidak akan lagi kita jumpai istilah-istilah defensif semacam “stop kriminalisasi pemuka agama”, karena kriminal adalah kriminal dan kriminal wajib dihukum sesuai hukum negara yang berlaku, seolah-olah pemuka agama justru dibenarkan agama untuk berbuat kriminal yang mana mencoreng sifat independensi agama itu sendiri dari dunia percaturan politik. Bagaimana mungkin, seorang kriminal berlindung dibalik “hukum agama”, seolah-olah agama dapat dan membuka dirinya menjadi justifikasi perbuatan kriminal dan menyediakan gua perlindungan bagi seorang kriminil?

Politik, sifatnya selalu dicirikan oleh upaya pemusatan, baik pemusatan kekuatan, pemusatan kekuasaan, hingga pemusatan akses dan pemusatan harta materi pada pihak yang berkepentingan didalam internal tubuh pelaku politik itu sendiri, baik itu politik kampus, politik komunitas warga, politik negara, hingga percikan politik yang bahkan muncul dalam internal rumah-tangga sebuah Partai Politik itu sendiri. Adapun lawan kata dari pemusatan, ialah pelepasan. Karenanya, menjadi mengherankan serta bertolak-belakang dari falsafahnya, ketika seorang pemuka agama justru hendak menghimpun sesuatu alih-alih menjalankan praktik melepas dan melepaskan (“let it go”).

Mari kita simak betapa politik sangat jauh dari kehidupan seorang Buddha. Sang Buddha, sebanyak apapun umat dan pengikutnya, tetap saja hanya makan satu kali sehari. Sang Buddha, sebanyak apapun umat dan pengikutnya, tetap saja hanya memiliki harta berupa jubah dan “bowl” (mangkuk untuk berpindapata). Sang Buddha, sebanyak apapun umat dan pengikutnya, tetap saja tidak memiliki uang terlebih harta materi untuk dihimpun dan dikuasai. Sang Buddha, sebanyak apapun umat dan pengikutnya, tetap saja hidup selibat tidak menikah ataupun berumah tangga. Sang Buddha, sebanyak apapun umat dan pengikutnya, tetap saja hidup secara bersahaja.

Karenanya, ada tidaknya umat ataupun pengikut, Sang Buddha tetaplah seorang Buddha, utuh, penuh, dan telah sempurna, tanpa syarat. Menjadi tidak mengherankan, ketika pada mulanya Pangeran Sidharta Gotama mencapai pencerahan merealisasi tingkat kesucian Arahat, Sang Buddha tidak berminat mengajarkan Dhamma terlebih memiliki umat dan pengikut—beruntung kita, makhluk Brahma dari alam Brahma muncul ke hadapan Sang Buddha untuk memohon agar pemutaran roda Dhamma dibabarkan oleh Sang Buddha bagi kepentingan para manusia dan para dewa. Sehingga, yang ada ialah umat manusia dan para makhluk dewata yang membutuhkan Sang Buddha, bukan sebaliknya.

Meski demikian, tetap saja, ada atau tidaknya umat dan pengikut, Buddha tetaplah Buddha, telah utuh dan sempurna penuh seutuhnya, tidak menjadi kurang ataupun juga tidak menjadi lebih, karena telah sempurna adanya. Itulah juga sebabnya, menjadi patut kita ragukan kemurnian suatu ajaran, ketika digambarkan seolah-olah Tuhan yang membutuhkan umat, bahkan melakukan ancaman dan pemaksaan dengan pamer kuasa secara “tiran” semacam “dilempar ke dalam api neraka” bagi yang tidak bersedia dan pasrah menyerahkan diri menjadi “budak” sembah-sujud Tuhan—seolah-olah Tuhan tidak akan eksis dan punah ketika tiada umat manusia yang menyembah dan mengakuinya, Tuhan yang menyerupai seorang personifikasi raja yang “lalim” yang menuntut puja-puji dan sembah-sujud para rakyat dan para menteri “penjilat”-nya.

Sang Buddha memang membangun Sanggha, yakni persamuan para Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan para Arahat (para makhluk-makhluk suci yang tidak lagi mungkin melakukan tindakan tercela terlebih perbuatan buruk yang jahat), namun Sang Buddha tidak menyertakan kedalamnya umat awam yang masih diliputi kekotoran batin, sehingga asas transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga—disamping bahwasannya Sang Buddha dan para makhluk-makhluk suci tersebut, ada atau tidaknya umat dan pengikut, tetap saja hidup bersahaja dengan praktik “melepas”, tanpa pemusatan kekuasaan ataupun harta materi apapun.

Politikus, menuntut deal-deal politik dengan komisi proyek bernilai miliaran Rupiah, berkolaborasi dengan pengusaha “korup” menjelma simbiosis-koruptis, yang pada pokoknya ialah pemusatan kekuasaan bersimbiosis dengan pemusatan ekonomi pada segelintir pihak yang berkepentingan secara parsial dan terselubung. Bayangkan, ketika seorang pengusaha “korup” maupun politikus “busuk” mencoba membeli dan menyetir pendapat dan pendirian Sang Buddha, dengan iming-iming tawaran diberikan kapal pesiar, mobil mewah, emas dan berlian, hingga uang bernilai miliaran Rupiah, maka Sang Buddha akan menjawab, “Untuk apa semua itu bagi Bhagava, tetap saja seorang Buddha berjalan kaki kemana pun TANPA SANDAL dan hanya memiliki harta berupa jubah bekas kain buangan ini serta bowl di tangan untuk berpindapata. Buat apa uang sebanyak itu, tetap saja Bhagava hanya makan satu kali sehari.” Itulah sebabnya, politikus tidak pernah merapat kepada seorang Buddha, dekat pun tidak.

Kini, kita beralih pada kalangan pengusaha sukses “borju” yang sangat angkuh dan penuh kesombongan menjelma arogan, menganggap dirinya tidak pernah membuat keputusan yang keliru dan selalu benar, karenanya usahanya bisa sukses seperti sekarang. Bila para premanis yang memiliki banyak anak buah pengikut (tukang pukul), sama artinya “menggali lubang kubur sendiri” ketika mencoba menyakiti seorang Buddha, maka seorang pengusaha sukses yang berusaha menyombongkan dirinya di hadapan seorang Buddha, menyerupai seorang anak kecil yang membanggakan permen lolipop di tangannya, dimana bisa jadi Sang Buddha akan memberikan tanggapan secara singkat saja:

Wahai engkau manusia dungu, harta sebanyak satu negara-kerajaan dan istana bahkan kedudukan pangeran pun telah Bhagava lepaskan, demi sesuatu yang lebih tinggi, realisasi Nibbana (kebahagiaan tanpa syarat), engkau justru hidup demi harta, seolah-olah kesemua itu dapat engkau bawa setelah kematian tiba, selain karma yang kalian tanam semasa hidup. Apakah belum cukup realita, harta warisan menjelma kutukan para ahli waris berebut harta?

Bila di mata investor dan pengusaha, investasi artinya merauk keuntungan berupa harta materi yang dapat didepositokan pada rekening di bank, di mata seorang Buddha yang disebut investasi ialah menanam benih karma baik untuk diwarisi dan dapat dipetik pada kehidupan selanjutnya, serta sebagai bekal parami untuk dapat mendukung kelancaran jalan menuju realisasi Nibbana. Hanya seorang Buddha, yang telah berhasil memutus “belenggu rantai karma” (break the chain of kamma), yang tidak lagi tunduk pada “dewa pencabut nyawa” semata karena tiada lagi kelahiran kembali, tiada lagi siklus tumimbal-lahir kelahiran kembali yang tidak lagi terhitung jumlahnya jumlah air mata yang pernah kita cucurkan pada kehidupan-kehidupan sebelumnya, tiada lagi potensi terjatuh pada kelahiran kembali pada alam apaya (alam-alam tanpa kebahagiaan, yakni alam hewan, setan gentayangan, jin raksasa, dan neraka).

Itulah sebabnya, jangan pernah kita mencampur-adukkan terlebih mencemari agama dengan ekonomi, terlebih dengan politik, sebagai pesan terbaik yang dapat kita berikan. Biarkanlah agama berdiri di atas kemurnian dan keluhuran agama, biarkanlah negara dan hukum negaranya tidak membawa-bawa nama agama agar tidak mencemari kesucian agama, biarkanlah politik sebagai politik tanpa menodai agama dengan membawa-bawa bendera keagamaan sebagai kendaraan politik, dan biarkanlah ekonomi sebagai suatu upaya bisnis tanpa menyelubunyinya dengan kegiatan sosial (dua ranah yang saling bertolak-belakang, kecuali tujuannya untuk mengecoh konsumen, semacam “beli produk kami, sama artinya telah berdana kepada fakir miskin”, alias menjadi dana segar “CSR, Corporate Social Responsibility” sebagai sumber pendanaan promosi branding terhadap kepentingan merek pihak korporasi), suatu cara eksploitasi konsumen. Agama bukan untuk dibisniskan, dan bisnis bukanlah agama—kecuali para pengusaha yang menjadikan bisnis sebagai agama, meng-agama-kan bisnis.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.