JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Akar Penyebab Kegagalan Deradikalisme di Tanah Air dan Dunia Global

ARTIKEL HUKUM

Mampukah Program Deradikalisme Mengalahkan Dogma Keagamaan? Upaya Deradikalisme yang Gagal Akibat Menutup Mata terhadap Fakta Realita tentang Musuh dan Letak Akar Penyakit yang Sesungguhnya

Gagal Menentukan dan Mengidentifikasi Lawan, Strategi Derakalisme yang Spekulatif serta Penuh Fantasi, Jebakan Delusi Tiada Akhir

Mengapa deradikalisme yang ditempuh oleh pihak pemerintah, bukan hanya menemui kendala dan hambatan hebat, namun selalu mengalami kegagalan serta “titik buntu”? Fenomena sosial-politis demikian bukan hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh dunia. Mungkin, memang satu-satunya faktor pencetus, pemicu, serta pemantik ideologi intoleransi dan fanatisme berlebihan semacam aksi teror!sme yang tumbuh subur di Indonesia dan di belahan dunia lainnya bahkan di Timur Tengah itu sendiri yang menjadi kiblat sekaligus “miniatur dunia agama tertentu”, bukanlah “agama sebagai salah satu faktornya”, namun satu-satunya ialah karena faktor dogmatis keyakinan keagamaan.

Bila kita menyebutnya sebagai faktor politis sebagai akat penyebab aksi-aksi radikal intoleran semacam teror!sme, maka hal berbau politis tidak pernah terdapat legitimasi semacam “dasar politis”-nya selain politik itu sendiri yang tidak pernah dilandasi “hitam di atas putih”. Sementara itu norma hukum negara memiliki “dasar hukum” berupa norma-norma tertulis berupa undang-undang, maka dasar falsafah dan ideologi teror!sme telah ternyata memiliki “dasar agama” yang otentik sifatnya, yang karenanya mempertanyakan dan menolak teror!sme hampir sama artinya dengan menentang dan menolak agama itu sendiri—dimana upaya-upaya yang mencoba memungkirinya menjadi mustahil untuk berhasil sama sekali, selain memperlihatkan kepada publik upaya pengingkaran oleh pihak pemerintah.

Memungkiri faktor dominan keyakinan keagamaan yang membuat para pelaku aksi teror bahkan tidak segan membiarkan nyawanya hilang serta menghilangkan nyawa orang lain, dengan penuh keyakinan melakukan kejahatan demikian, serta masih pula menaruh harupan “too good to be true” akan masuk surga pasca melakukan aksi tercela penuh pertumpahan darah demikian, sama artinya mencoba memungkiri realita yang selalu terjadi setiap bulannya belasan para anggota jaringan teror!sme ditangkap dan diringkus oleh pihak berwajib, bukan lagi satu atau dua kasus kejadian dalam tempo kurun waktu satu dekade dan sebatas pada satu negara saja.

Jika kita melakukan kalkulasi akumulasi, dalam satu tahun dapat menghasilkan ratusan masyarakat yang terjaring dan memenuhi ruang-ruang sel pada berbagai Lembaga Pemasyarakatan, tempat dimana rekruitmen anggota teror!sme dapat berlangsung tanpa halangan berarti—atau bilamana satu narapidana teror!sme ditempatkan pada satu sel khusus, dapat dibayangkan biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membangun berbagai penjara baru untuk dapat menampung keseluruh anggota teror!sme yang terjaring setiap bulannya.

Seseorang kriminal, bisa jadi memiliki setitik keengganan untuk melakukan aksi kriminalitas maupun premanisme bilamana tidak terdapat sebentuk legitimasi ataupun pembenaran diri baginya semacam “alasan pembenar” atas sikapnya yang hendak atau memiliki niat buruk seperti merugikan, melukai, hingga merugikan pihak lainnya. Namun, ketika (memang eksis adanya) norma keagamaan lewat dogma-dogma keyakinan keagamaannya sebagai sumber keyakinan yang di-iman-i oleh para umat pemeluknya, justru memberikan legitimasi bagi aksi-aksi kriminalitas demikian, itulah yang dalam ilmu kriminologi disebut sebagai “religion as a tool of PERFECT, ABSOLUTE, & UNSTOPABLE CRIME!”—sifat kejahatannya menjadi bersifat laten, permanen, dan eksis selama dogma-dogma keyakinan keagamaan demikian tetap ada dan eksis.

Sehingga aksi-aksi radikalisme dan intoleransi sejatinya merupakan ekses, gejala, ataupun fenomena gunung es (puncak gunung es yang menyembul di atas permukaan air laut, hanya sebagian kecil dari tubuh gunung es yang berada di bawah permukaan air laut) belaka, sehingga mencoba “mengobati gejala” fenomena aksi-aksi semacam teror!sme dengan menangkap dan memenjarakan fisik-tubuh para anggota sindikat jaringan teror!sme, hal demikian ibarat upaya represif pemerintah selaku penyelenggara negara yang menyerupai “mesin pemotong rumput”, bukan mencabut rumput hingga ke akar-akarnya, sehingga pada beberapa waktu kemudian akar-akar teror!sme akan kembali menumbuhkan tunasnya dan meraja-lela tanpa terbendung perkembangan serta pertumbuhannya.

Bila memang teror!sme bersumber pada dogma-dogma keyakinan keagamaan, maka kita perlu mengkaji sumber otentik dari dogma-dogma dimaksud, yang tidak lain ialah sumber utama agama, yakni Kitab Suci keyakinan keagamaan bersangkutan. Adapun dogma-dogma berlabel “perintah ‘Tuhan’”, yang menjadi akar pemicu mentalitas penuh permusuhan, penuh kebencian, penuh intoleransi, disamping penuh akan propaganda “perang melawan kemajemukan dan kebhinekaan”, dapat kita jumpai di dalam Kitab Suci agama kaum radikal tersebut, antara lain wahyu-wahyu sebagai berikut yang dipandang serta dianggap sebagai perintah langsung dari “Tuhan”:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Ideologi demikian ialah “cuci otak” itu sendiri terhadap para umatnya, menjelma “mesin pembunuh”. Ketika pihak penyuluh dari pihak pemerintah, hendak melakukan program deradikalisasi dengan menggunakan langkah pendekatan persuasif dan dialogis, mungkin kurang lebih sebagai berikut skenario dialog antara seorang penyuluh program deradikalisasi ketika beradu argumentasi dengan seorang narapidana kasus teror!sme yang mendekam di penjara menjalani masa hukumannya.

Penyuluh:

“Jangan membunuh, itu tidak baik.”

Teror!s:

“Perintah Tuhan harus diikuti! Anda ingin menggurui dan mengkritisi perintah Tuhan?”

Penyuluh:

“Undang-Undang dan hukum negara serta Konstitusi Negara, melarang pembunuhan antar umat beragama.”

Teror!s:

“Hukum agama adalah hukum tertinggi! Yang menciptakan negara dan hukum negara, adalah Tuhan!”

Penyuluh:

“Janganlah membunuh, itu tidak baik.”

Teror!s:

“Kamu itu siapa, Tuhan? Tuhan sudah menyampaikan wahyu-Nya, berisi perintah dan larangan untuk dipatuhi dan diikuti. Anda bukan Nabi, dan yang saya ikuti hanyalah isi dalam Kitab Suci. Kata-kata Anda, tidak laku di telinga maupun di mata saya. Ini ada, buktinya, perintah-perintah untuk itu di Kitab Suci. Coba Anda baca sendiri isinya, benar atau tidak perbuatan saya. Jika perbuatan saya hanya sekadar menjalankan perintah sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci, maka mengapa saya yang disalahkan? Saya hanya sekadar menjalankan perintah Tuhan, misi yang mulia. Saya adalah umat yang patuh pada perintah Tuhan sebagaimana isi Kitab Suci, dan sekadar menjalankannya. Anda ingin menyalahkan Tuhan dan melarang saya membaca Kitab Suci? Anda ingin melarang saya beribadah dengan menjalankan perintah Tuhan saya?”

Penyuluh:

“...” Diam seribu kata, bungkam, tidak dapat membantah ataupun memberi tanggapan apapun.

Teror!s:

“Coba Anda baca sendiri isinya, benar tidak kata-kata saya, dan sudah benar atau belum perbuatan saya melakukan aksi-aksi yang telah saya lakukan. Justru negara telah melanggar perintah dalam Kitab Suci, bahkan memenjarakan saya yang sekadar menjalankan perintah dalam Kitab Suci. Negara ini seolah hendak menentang Tuhan dan melawan Kitab Suci!”

Penyuluh:

“Wah betul, ternyata memang ada landasan ideologinya dalam Kitab Suci!” Sang penyuluh merasa terkejut, dan seperti membentur tembok tebal yang menjadi tampak mustahil bagi dirinya untuk dapat menerobosnya dalam rangka deradikalisasi.

Teror!s:

“Anda mau belajar isi perintah Tuhan, akan saya ajarkan. Berminat mendengarkan ceramah mengenai isi-isi perintah Tuhan untuk kita sama-sama jalankan bersama? Ini semua ada buktinya, sehingga bukanlah kata saya.”

Penyuluh:

“Oh begitu, jadi semua ini boleh ya, ternyata, karena merupakan perintah Tuhan itu sendiri untuk kita ikuti dan jalankan dengan patuh?”

Teror!s:

“Kalau Sarjana Hukum memakai dalil-dalil sumber hukum dan dasar hukumnya dalam semacam Kitab Undang-Undang, maka sumber agama yang paling otentik ialah Kitab Suci. Ini bisa dilihat sendiri, saya tidak mengarang juga tidak berbohong, bisa dilihat dan dibuktikan sendiri memang adanya perintah itu di Kitab Suci. Bukan kata saya, akan tetapi Kitab Suci. Bila Kitab Suci sumber agama saya tidak dilarang pemerintah, maka mengapa umat yang sekadar menjalankan isi sebagaimana dalam Kitab Suci, justru dilarang dan dipenjarakan?”

Penyuluh:

“Benar juga.”

Teror!s:

“Selamat datang menjadi umat yang lebih sejati, sudah saatnya Anda patuh dan turut serta bersama kami untuk menjalankan segala perintah Tuhan, menegakkan ‘jalan Tuhan’.”

Penyuluh:

“Jadi, sebetulnya tidak bersalah dan tidaklah salah aksi-aksi semacam teror!sme, justru harus diberi hadiah dan penghargaan ketika kita mencoba menegakkan kehendak dan ‘jalan Tuhan’ sebagaimana memang ada di dalam Kitab Suci.”

Teror!s:

“Anda mulai paham tampaknya sekarang ini. Mulai sekarang, saya yang akan menjadi ‘guru spiritual Anda’. Ujian pertama, apakah membunuh dan merampok dari sesama umat beragama lainnya, adalah tabu ataukah justru haru dijalankan bila masih mengaku ber-iman kepada Tuhan?”

Penyuluh:

“Jika memang sudah ada perintahnya dan diperintahkan oleh Tuhan dalam Kitab Suci untuk menegakkan jalan-jalan Tuhan demikian, maka menjadi aneh bila menyalahkan umat yang sekadar menjalannya.”

Teror!s:

“Jawaban Anda, Benar. Saya berikan nilai SERATUS bagi Anda.”

Penyuluh:

“Ternyata membunuh dan merampas hak orang lain, tidaklah dilarang dan bukanlah hal tabu. dalam hukum agama yang bersumber dari Kitab Suci. ”

Teror!s:

“Tidak perlu banyak bicara, mulailah sesegera mungkin untuk merekrut calon anggota dan simpatisan maupun donatur lainnya. Coba saya tanya kepada Anda, untuk menguji logika berpikir Anda. Apakah salah dan patut dipersalahkan, hanya karena sekadar menjalankan perintah Tuhan sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci yang menjadi sumber utama agama? Itu sama seperti pemerintah mencoba memenjarakan Tuhan pula, jika umat yang sekadar menjalaninya dipenjarakan. Lalu, apakah semua ini telah berjalan secara benar, pemerintah justru menyatakan saya bersalah dan dihukum hanya karena menjalankan perintah sesuai isi perintah Tuhan saya dalam Kitab Suci? Ini bukan ideologi pribadi, namun perintah dalam Kitab Suci agama yang otentik adanya dan benar-benar eksis isi perintah wahyu di dalamnya.”

Penyuluh:

“Saya rasa pemikiran Anda ada benarnya.”

Teror!s:

“STOP kriminalisasi umat yang taat beribadah dan yang sekadar menjalankan perintah Tuhan.”

Tidak sedikit diberitakan, bukan para sipir yang membina para narapidana kasus teror!sme, namun para sipir tersebutlah yang kemudian “dibina” oleh para premanis demikian. Demikianlah, akar dibalik sebab-musabab praktik-praktik intoleransi dengan fanatisme berlebihan yang disertai dengan “justifikasi diri” untuk melancarkan aksi-aksi yang pada pokoknya “asal Tuhan senang”, sementara itu yang menjadi korban sesungguhnya mungkin adalah sang pelaku aksi teror!sme, mengingat dirinya memiliki “dasar agama” dimana hanya sekadar menjalankan isi perintah dalam Kitab Suci agamanya, namun kemudian dikriminalisasi oleh negara oleh otoritas pemerintahnya.

Ketika pencurian tidak dijadikan sebagai hal yang “tabu”, maka terlebih penipuan. Ketika pembunuhan tidak dijadikan sebagai hal yang “tabu”, maka terlebih penganiayaan. Ketika perampokan tidak dijadikan sebagai hal yang “tabu”, terlebih pengrusakan dan perampasan hak milik orang lain. Sungguh mustahil mampu hidup berdampingan dengan ideologi bagi kaum “serigala” demikian, dimana sesama “serigala” mungkin dapat hidup berdampingan. Namun ketika seekor “kelinci” masuk ke sarang “serigala” dan mencoba hidup berdampingan bersama dengan kawanan “serigala” tersebut, maka tiada kata lagi untuk toleransi bagi sang “mangsa empuk”—yang benar-benar akan dijadikan sebagai “sasaran empuk” dan dimakan hidup-hidup tanpa menyisakan tulang korban mangsanya sekalipun.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.