ARTIKEL HUKUM
Sarjana Hukum VS. Mafia Hukum, Manakah yang akan Menang?
Menjadi seorang profesional dibidang hukum, perlu menempuh demikian banyak pengorbanan dari segi waktu, biaya, tenaga, cucuran air mata, tetesan darah, tulang yang terbanting-banting, komitmen, dedikasi, konsistensi, kesehatan, hingga umur hidup dan nafas yang tidak terhitung lagi jumlahnya! Di dalam sebuah negeri yang menerapkan prinsip meritokrasi secara murni, bebas dari anasir politis maupun koruptif, orang-orang yang berprofesi secara memegang teguh prinsip kejujuran serta integritas profesi dan diri sebagai landasan bertindak maupun berpikir dalam berprofesi, akan mendapatkan insentif serta penghargaan tersendiri, sehingga para penyedia jasa berlomba-lomba berprofesi secara jujur berpegang teguh pada etika profesi serta masyarakat pengguna jasa pun menjadi pengguna jasa yang setiap waktunya dapat meminta pertanggung-jawaban sebagaimana hak-haknya.
Namun, berprofesi dibidang hukum di dalam negeri “agamais” yang ironisnya dimana kejujuran, wibawa, reputasi, integritas, serta moralitas menjadi barang langka dan “aneh sendiri” bahkan dimusuhi oleh mayoritas masyarakat yang hidup dalam lubang hingga jurang ketidak-jujuran dan “korup” (orang-orang jujur dipandang sebagai “ancaman tersendiri” bagi mereka, seolah-olah eksistensi orang-orang jujur telah meremehkan dan melecehkan para “tidak jujur” yang “korup” demikian, sekalipun memang sudah sepatutnya), bermain secara jujur dan patuh pada “aturan main” justru menjadi dis-insentif yang tidak pernah menguntungkan posisi profesi hukum yang jujur, dimana dalam kesempatan ini penulis akan menguraikan praktik hukum yang realitanya dapat kita jumpai sendiri di lapangan secara kasat mata karena memang terjadi secara “vulgar”—yang karenanya menjadi aneh bila terdapat pihak-pihak yang mencoba untuk membantahnya.
Sebagai perumpamaan, ilustrasi berikut dapat cukup mewakili pemandangan yang lumrah terjadi para praktik hukum di lapangan. Bayangkan sebuah papan catur tersuguh di hadapan Anda, sebagai salah satu pemain, menghadapi seseorang pemain lainnya yang kita sebut saja bernama “Mr. Mafia Catur”. Ketika Anda telah melangkahkan bidak catur Anda secara taat terhadap “aturan main” dunia percaturan, tiba giliran pihak lawan untuk melangkahkan bidak catur miliknya namun secara tidak patuh terhadap “aturan main” dengan memakai “aturan main” miliknya sendiri secara seenaknya dan secara sepihak. Dapat kita tebak, siapa yang akan keluar sebagai pemenang bila pihak wasit sekaligus juri dan hakimnya bahkan tidak memahami “aturan main” dalam dunia percaturan atau tahu namun “menutup mata” karena mulutnya telah “disuap”.
Bidak catur berupa “benteng” yang secara “aturan main” hanya dapat bergeser ke arah lurus ke depan dan belakang atau ke samping kanan dan kiri, oleh “Mr. Mafia Catur” digerakkan secara sebebas dan sekehendak hati menyerong ke depan dan ke belakang. Bidak catur berupa “menteri” yang secara “aturan main” hanya dapat bergeser menyerong ke arah tenggara dan sebaliknya, namun oleh “Mr. Mafia Catur” dibuat bergeser lurus ke depan atau ke belakang bahkan melongkapi eksistensi bidak catur lainnya. bidak catur berupa “kuda” yang secara “aturan main” hanya dimungkinkan untuk digeser berbentuk menyerupai “letter L”, oleh “Mr. Mafia Catur” dibuat dapat bergeser menyerupai “letter X”.
Seorang Sarjana Hukum, dilatih dan dibina untuk taat terhadap hukum (aturan main sebagai seorang anggota komunitas bernama warga dan negara, alias hukum adalah “aturan main” itu sendiri). Menegakkan hukum sebagaimana mestinya norma hukum positif yang ada pada suatu negara dimna sang Sarjana Hukum berpraktik, itulah spirit dibalik jiwa seorang Sarjana Hukum. Kontras dengan itu, seorang Mafia Hukum tidak pernah dituntut untuk patuh terhadap hukum, namun “menghalalkan segala cara” untuk meraih keberhasilan demi kepentingan pribadi dirinya sendiri, yang jika perlu “menabrak” dan “menyimpangi” atau “membeli” hingga “merusak” tatanan hukum yang ada dan sekaligus mengangkangi serta menginjak-injaknya.
Karena itulah, tidak ada istilah “aturan main” dalam kamus milik profesi Mafia Hukum. Yang ada ialah, “aturan hukum rimba” seperti siapa yang mampu membayar maka ia yang akan menang, siapa yang berkolusi maka ialah yang akan diuntungkan dan diunggulkan, siapa yang lebih kuat akan memakan yang lebih lemah, siapa yang berkuasa maka ia yang akan menguasai, siapa yang berpunya maka ia yang memiliki segalanya. Bila pada praktik “hukum rimba” di jalanan, dimana tiada hakim ataupun juri terlebih wasit yang mengawasi jalannya “duel” pertarungan antara dua pihak atau lebih yang saling bersengketa agar adil dan seimbang, maka itulah yang disebut sebagai aksi premanisme oleh kalangan profesi “Preman” dan “Tukang Pukul” (atau istilah lainnya semacam gengster, mafia, triad, dsb).
Namun ketika mereka menjelma “penjahat kerah putih” (pelaku dibalik aksi “white collar crime”) dimana kejahatan mereka bersimbiosis dan berkolaborasi secara tersistematis-mutualisme dengan pihak pemegang kekuasaan seperti birokrat maupun hakim dan aparatur penegak hukum, itulah yang kita sebut sebagai “Mafia Hukum”—mereka, antara “preman jalanan” dan Mafia Hukum, sejatinya adalah profesi yang sama, yang pada pokoknya tidak patuh terhadap “aturan main” yang ada.
Sebagai contoh, dalam sebuah pertarungan jalanan (street fighting), yang menjadi “aturan main”-nya ialah satu lawan satu, tangan kosong, sebagaimana pertarungan antara dua orang ksatria yang menjunjung tinggi nilai-nilai pertarungan yang “jantan”. Faktanya, preman pelaku aksi premanisme manakah yang sedemikian jantan berani menantang korbannya untuk bertarung satu lawan satu dengan tangan kosong? Telah begitu banyak penulis menghadapi dan terpaksa atau dipaksa oleh keadaan berjumpa dengan beragam kalangan preman di Indonesia yang berkeliaran di setiap ruas dan sudut jalan, tiada satupun dari mereka yang sejantan itu, mereka semua memiliki satu tipikal karakter yang khas, yakni “PENGECUT tulen” dimana mereka hanya berani dan baru ber-“nyali” serta ber-“taji” ketika didampingi anak buah ataupun bersenjatakan senjata tajam.
Bila Anda berpikir, bahwa Anda telah bersusah-payah belajar hukum selama duduk dibangku perkuliahan selama bertahun-tahun menekuni ilmu hukum, mempelajari ratusan buku ilmu hukum, menekuni riset hukum terhadap ribuan putusan pengadilan, melakukan telaah dan pendalaman materi terhadap jutaan pasal peraturan perundang-undangan, dengan puluhan hingga ratusan ribu “jam terbang” proses pembelajaran dan pengayaan penguasaan ilmu hukum, bahkan membekali diri dengan keterampilan seni argumentasi serta menulis surat gugatan yang yang sangat elaboratif, maka itu menjadi jaminan “kepastian hukum” akan berpihak kepada Anda?
Ilustrasi berikut bukanlah rekaan juga bukan sekadar wacana, namun marak terjadi secara “berjemaah” pada praktik hukum di lembaga kepolisian maupun kejaksaan hingga peradilan di Indonesia. Bayangkan diri Anda, sebagai seorang pengacara yang telah dibekali keterampilan dan pengetahuan ilmu hukum yang luar biasa berbobot, bahkan diberi gelar serta julukan sebagai “Jenius Hukum”, berhadapan dengan pihak lawan yang menyewa seorang “Mr. Mafia Hukum” (ingat kembali perumpamaan dalam permainan catur bersama sang “Mr. Mafia Catur” yang tidak akan patuh tehadap “aturan main”), sementara Anda patuh sepenuhnya dan tunduk seutuhnya kepada hukum yang Anda sakralkan keagungannya secara penuh hormat bak “Kitab Suci”, sementara itu sang “Mr. Mafia Hukum” yang bahkan tidak memiliki gelar Sarjana Hukum, yang bahkan juga tidak pernah membaca buku hukum ataupun Undang-Undang, secara “di bawah meja” menyuap panitera ataupun pihak hakim, untuk memenangkan klien dari sang “Mr. Mafia Hukum”, menurut Anda siapakah yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan antara sang Sarjana Hukum VS. “Mr. Mafia Hukum”? UUD, ujung-ujungnya uang, demikianlah “Kitab Suci” kalangan profesi Mafia Hukum. Undang-Undang melawan UUD, manakah yang kemungkinan menangnya lebih tinggi?
Dalam pertarungan menghadapi seorang Mafia Hukum, Anda yang patuh dan mengikuti “aturan main” ironisnya justru akan tersisih dan mengalami kekalahan telak tidak terperi. Suka atau tidak suka, itulah fakta realita yang benar-benar “real” dapat kita jumpai dengan mata-kepala sendiri, sebagaimana pengalaman pribadi penulis maupun berbagai pengungkapan yang dikisahkan oleh para klien pengguna jasa dalam sesi konsultasi seputar hukum yang mereka hadapi, sehingga menjadi ganjil bila terdapat pihak-pihak yang memungkirinya.
Memang patut kita sayangkan, mengingat bahwasannya hakim, polisi, serta jaksa di republik ini bukanlah diisi dan diduduki oleh para robot dengan kecerdasan buatannya, yang mana dapat dipastikan “kepastian hukum” yang diidealkan, didengung-dengungkan, dan diagung-agungkankan para Sarjana Hukum yang paling profesional, barulah akan mendapatkan tempat serta momentumnya—semata karena robot tidak butuh uang ataupun “uang suapan” (gratifikasi) dan sejenisnya, mereka hanya butuh asupan listrik dan oli minyak pelumas sebagai makanannya dan memutus secara objektif, bukan subjektif layaknya hakim manusia yang masih dapat berpotensi “gelap mata melihat lembaran uang dollar”.
Mungkin perlu sedikit penulis koreksi, telah ternyata terdapat satu buah perbedaan antara “preman pasar” dibandingkan dengan mereka yang benar-benar berprofesi sebagai Mafia Hukum. Ketika seorang “preman pasar”, menemukan dirinya “tersesat” salah arah dan memegang status sebagai seorang pengacara, alih-alih menjadi “preman pasar” dalam artian melakukan aksi premanisme di pasar-pasar tradisional atau di jalan-jalan umum yang mengutip uang recehan dari pengguna jalan yang melintas seolah jalan umum tersebut adalah miliknya, sang preman melakukan aksi premanisme tanpa melihat tempat yang semestinya, yakni DI RUANG PENGADILAN!
Kisah berikut benar-benar pernah terjadi, dimana dahulu kala lama sebelum ini penulis menghadapi seorang “preman pasar” yang merangkap sebagai seorang pengacara yang menjadi lawan penulis di persidangan. Sang preman memaki-maki hakim karena telah memihak penulis, berteriak-teriak bak “Tarzan hutan” kepada sang hakim, menghardik sang hakim, hingga memarah-marahi sang hakim. Harap maklum, namanya juga preman, otaknya lemah dan hanya dapat mengandalkan otot serta badan sebesar “Gorila gunung”, seolah-olah ruang persidangan adalah ajang untuk “hukum rimba” bermain alih-alih menegakkan “hukum acara”.
Sang preman merasa “di atas angin”, karena berhasil mengintimidasi para hakim secara verbal lengkap dengan postur tubuh mengancam sang preman, tanpa mau menyadari bahwa kekuasaan seorang hakim terutama ialah pada saat sang hakim melakukan “pembalasan” atas arogansi sang preman yang telah melecehkan wibawa hakim dan peradilan, yakni lewat putusan hakim, membuat kalangan Mafia Hukum yang bisa jadi turut menyaksikan sekalipun dari bangku penonton di ruang sidang akan “tepuk jidat” atas aksi pamer kebodohan di depan umum sang preman. Itulah sebabnya, Undang-Undang tentang “Contempt of Court” sama sekali tidak terdapat urgensinya untuk diterbitkan, mengingat kekuasan kehakiman telah sedemikian hebatnya, yakni produk hukumnya berupa putusan pengadilan, dimana kalangan Mafia Hukum sekalipun tidak pernah bersikap lancang terhadap para hakim “korup” mana pun, terlebih terhadap hakim yang tidak korup.
Seusai sidang dibubarkan, para pengacara lain yang menunggu giliran sidang perkara yang ditangani olehnya dan duduk di kursi penonton, bergumam kepada penulis yang melangkah keluar ruang persidangan, “Pengacara dari mana itu? Cari mati, itu orang. Sudah bosan hidup rupanya.” Para pengacara yang turut mengaksikan aksi premanisme sang preman, hanya tersenyum keheranan, tiada seorang pun diantara mereka yang berani se-nekad itu “cari mati” dengan menantang dan mengintimidasi seorang (majelis) hakim.
Bahkan, seorang Mafia Hukum tidak akan berani selancang demikian, dimana biasanya kalangan Mafia Hukum pertama-tama akan mengambil hati sang aparatur penegak hukum (menjalin relasi “koneksi” semacam “pertemanan yang sudah sama-sama tahu”), barulah menawarkan sejumlah “uang suap” jika tidak diminta secara proaktif oleh sang aparatur penegak hukum yang menerima gratifikasi terkait jabatan, kewenangan, maupun kekuasaannya.
Yang paling berbahaya dari kesemua itu ialah ketika seorang Mafia Hukum merangkap sebagai seorang Pengacara, dimana di depan publik mereka mengaku-ngaku sebagai pengacara dan benar-benar bersidang layaknya pengacara, namun ketika mereka menginjakkan kakinya dan berada “di balik layar”, barulah wajah asli mereka sebagai seorang Mafia Hukum menampilkan “taring”-nya, melakukan praktik jual-beli hukum serta manipulasi putusan pengadilan. Fakta, pengacara-pengacara semacam Otto Cornelis Kaligis (OC Kaligis) yang dikenal masyarakat luas sebagai pengacara “beken” senior yang termasyur dan memiliki nama tenar dan juga bahkan memiliki gelar akademik “doktor” disamping “professor”, telah ternyata terungkap melakukan aksi kotor dan gelap bernama praktik Mafia Hukum itu sendiri, dimana OC Kaligis-OC Kaligis lainnya di luar sana tidak terhitung lagi jumlahnya, bahkan teman kuliah seangkatan penulis sebagian diantaranya telah menjelma Pengacara plus merangkap sebagai Mafia Hukum.
Mereka selaku pengacara, menang dan memenangkan perkara bukan karena keterampilan maupun pengetahuan hukum yang mereka miliki, namun semata karena aksi Mafia Hukum yang mereka mainkan dan perankan “di balik layar”. Berbagi deretan gelar akademik yang dimiliki sang pengacara senior, Prof. Dr. OC Kaligis, S.H., M.H., adalah semata kamuflase sehingga masyarakat menilainya selalu menang perkara adalah semata berkat pengetahuan dan keterampilan ilmu hukum yang dimiliki sejajar dengan berbagai gelar akademik yang disandang oleh kartu nama dan papan nama kantor milik sang pengacara yang bersangkutan.
Seorang Mafia Hukum, tanpa merangkap sebagai berstatus profesi Pengacara, akan sukar memasarkan jasa bisnis Mafia Hukum-nya kepada publik. Adalah mustahil membuka kantor semacam “biro jasa Mafia Hukum” yang tertampang pada papan nama atau pamflet di pinggir jalan agar dapat dibaca dan dilihat secara terang-benderang oleh masyarakat pengguna jalan yang melintas ataupun yang berada di sekitarnya. Para Mafia Hukum “tulen”, memasarkan jasanya secara “temaram” di tempat-tempat yang gelap-gulita, karenanya mereka menyerupai “binatang malam” yang tidak pernah terlihat dan terungkap ke mata publik. Mereka bekerja dan menawarkan jasanya, bagaikan seorang “hantu” yang tidak kasat-mata.
Berbeda dengan para Mafia Hukum “tulen”, para Mafia Hukum yang merangkap Pengacara, dapat menjadi Mafia Hukum secara “semi” terang-benderang menawarkan jasanya kepada publik dibawah payung papan nama “Kantor Hukum Pengacara Mr. Pasti Menang”, sehingga menarik kepercayaan masyarakat untuk berkunjung dan memakai jasa sang pengacara, tanpa mengetahui “di balik layar” prestasi berupa kemenangan demi kemenangan yang pernah dicetak dan diraih oleh sang Advokat adalah hasil dari praktik Mafia Hukum itu sendiri—yang ditampilkan ke publik dan klien ialah jasa Pengacara yang handal namun “di balik layar” ialah seorang Mafia Hukum yang tengah beraksi.
Itulah sebabnya, di mata mereka, profesi sebagai Mafia Hukum masih lebih “seksi” dan lebih menggoda karena lebih mampu menjamin kepastian memenangkan perkara ketimbang profesi sebagai Pengacara itu sendiri yang hanya diposisikan sebagai sekadar baju pembungkus alias kemasan luar. Para kalangan Pengacara yang murni berkecimpung sebagai Pengacara yang paling profesional sekalipun, akan menemui antiklimaks kebanggaan profesinya ketika menemui kenyataan bahwa dirinya kalah telak tanpa berkutik di tangan seorang Mafia Kasus, dan bertekuk lutut di hadapannya tanpa daya bahkan di lembaga yang penuh sakralitas semacam pengadilan, berakhir dalam kondisi tercampak, “berdarah-darah”, babak-belur, tersia-siakan, dan mengalami kekecewaaan yang membuat frustasi—pada saat itulah, profesi Pengacara menjadi tidak lagi seindah yang semula kita bayangkan. Hanya ada dua kemungkinan ketika itu terjadi, turut menjadi “pragmatis” dengan bersikap bak Mafia Hukum dan merangkap “iblis”, atau putar haluan dengan ganti profesi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.