JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Makna RANGKAIAN KEBOHONGAN dalam Pidana PENIPUAN

LEGAL OPINION

Question: Maksudnya apa dan seperti apakah, ada istilah “serangkaian kebohongan” di pasal tentang penipuan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)?

Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa, adalah DONGENG yang Terlampau Indah bagi Pendosa, dan Terlampau Menyakitkan bagi Korban

SERI SENI HIDUP

DOSA di Mata seorang SUCIWAN dan di Mata seorang PENDOSA, yang Satu Menolaknya sementara yang Satunya Lagi justru Merangkul DOSA

Di Satu Sisi Ada Maksiat (Dosa), di Sisi Lain Ada Penghapusan Dosa dan Penebusan Dosa, Pilih Mana? Tanpa Maksiat, maka Tiada Penghapusan Dosa Maupun Penebusan Dosa

Rupa-rupanya, para manusia dewasa di republik kita maupun di dunia, terutama dua milenium terakhir serta dewasa ini, tidak henti-hentinya mereproduksi dan membaca “Kitab Dongeng” penuh ilusioner dan fantasi yang “kotor” (lawan kata “suci”) bernama ajaran dogmatis perihal “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, sehingga kita patut menyebutnya sebagai “Agama Dongeng” dimana para umat pemeluknya diberi julukan sebagai “Umat Agama Dongeng”. Menjadi ironi sekaligus dagelan, perhatikan ilustrasi kisah berikut yang pastilah benar-benar terjadi pada alam surgawi tempat para dewata berdomisili dan menghuni.

Bila Alam Neraka dapat Dilihat Manusia, Mungkinkah Tingkat Kejahatan Menurun?

ARTIKEL HUKUM

Manusia adalah Makhluk Irasional, Tidak Terlahir Polos seperti Kertas yang Putih Bersih

Fungsi Pembelajaran ialah dalam Rangka Mengikis Kebodohan serta Sifat Irasional dalam Diri Manusia sang Pelajar

Mungkinkah, sekadar berandai-andai, jika saja manusia dapat bertamasya memasuki alam neraka untuk sekadar mengintip atau barangkali “homestay” selama satu atau beberapa hari di alam neraka (tiket masuknya perlu dibuat dengan harga yang tinggi, semata agar tampak berkelas sehingga masyarakat kita yang gemar mencari sensasi kemudian berduyun-duyun antri dan memesan tiket), untuk melihat secara langsung dan secara lebih dekat kehidupan para makhluk penghuni neraka yang dikondisikan menyerupai seekor simpanse ataupun gorilla di balik kandang pada kebun binatan, maka seluruh umat manusia di dunia manusia akan menjelma manusia-manusia yang suciwan dengan menanggalkan “jubah-perilaku dosawan” dirinya seperti yang ditampilkan secara vulgar berjemaah seperti dewasa ini?

Makna MAU-NYA MENANG SENDIRI, Budaya Agamais ala Premanis Bangsa Indonesia

ARTIKEL HUKUM

Modus Putar Balik Logika Moril Preman Pelaku Aksi Premanisme, Menzolimi Teriak Dizolimi

Seolah-olah, Korban adalah Tabu untuk Melawan dan Melakukan Perlawanan Balik terhadap Pelaku, Pelaku Lantas Mengklaim telah Dizolimi dan menjadikannya sebagai Alibi Sempurna untuk Kian Menzolimi Korban

Selain kerap merampas hak orang lain, sikap-sikap semacam “mau menang sendiri”, egoistik, premanis (alih-alih humanis, sekalipun mengaku sebagai bangsa “agamais” berbusana “agamais”), aroganistik (lebih galak yang ditegur daripada yang menegur, sekalipun jelas-jelas telah bersalah atau bahkan melanggar hukum yang mengakibatkan jatuh korban), korup (berbuat dosa namun masih juga yakin dan mengharap masuk alam surgawi), bak “tukang pukul” (menyelesaikan segala hal dengan cara “kekerasan fisik”), tidak berintegritas (berdusta dan berbohong bagaikan menu makanan sehari-hari, seolah sehari tanpa berbohong maka menjadi kelaparan, kelaparan berbohong), munafik (lain di mulut namun lain pula di hati dan di pikiran), sekaligus juga sebagai bangsa yang dikenal kerap menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”. Itulah, cerminan watak atau bisa juga kita sebutkan sebagai telah menjelma kultur (budaya), dari Bangsa Indonesia.

Aspek Hukum Surat Pernyataan / Keterangan TIDAK SENGKETA atas Tanah

LEGAL OPINION

Ambiguitas TIADA SENGKETA Hak atas Tanah, Pernyataan dan Keterangan yang Sumir, Subjektif, Sekaligus Multitafsir

Fakta Empirik Adanya Gugatan dan Sita Pengadilan, adalah Objektif. Klaim Ada atau Tidaknya Sengketa, Subjektif Sifatnya

Question: Keluarga kami sebagai yang punya tanah girik yang hendak mengajukan permohonan pensertifikatan tanah secara sporadik, diminta oleh Kantor Pertanahan untuk meminta Surat Keterangan Tidak Sengketa dan Surat Keterangan Riwayat Tanah ke Kepala Desa (bidang tanah di sebuah kabupaten, bila di kota maka kepada pihak Kelurahan). Masalahnya, Kepala Desa menolak buatkan itu Surat Keterangan Tidak Sengketa, dengan alasan ada tetangga kami yang sudah sejak belasan tahun hingga puluhan tahun lampau yang lalu pernah bersengketa lahan dengan keluarga kami terkait objek tanah.

Yang saat ini perlu keluarga kami ketahui mengenai posisi hukum kami atas kemelut yang berlarut-larut tanpa kepastian semacam demikian, apa untuk seumur hidup kami tanah milik keluarga kami akan dianggap “bersengketa” dan “dipersengketakan” hanya karena ada orang lain yang bilang demikian? Siapa juga otoritas yang sebenarnya paling berwenang menentukan ada atau tidaknya sengketa? Bagaimana mungkin, seseorang atau warga lain mengklaim tanah kami sebagai miliknya, lantas dianggap sebagai “sengketa”? Semua orang bisa melakukan klaim sepihak, semua orang juga bisa klaim semua tanah di dunia ini adalah miliknya, maka apakah artinya semua tanah di dunia ini adalah berstatus “bersengketa”?

Kalau memang begitu maka enak sekali, seseorang bisa asal main klaim, ini dan itu adalah tanah milik dia, lantas oleh pihak Kepala Desa dianggap “bersengketa” untuk kurun waktu kapan sampai kapankah yang tidak jelas. Jika begitu, bukankah ini namanya kesewenangan-wenangan klaim yang menyerupai “blokir” tanah itu sendiri? Memang dulu pernah ada yang gugat tanah kami ini dengan mengakunya sebagai pemilik yang sah, namun gugatan demikian sudah lama berlangsungnya puluhan tahun lampau. Faktanya, status tanah kami hingga saat kini belum pernah disita oleh pengadilan mana pun.

Wanita Terlahir Indah dan Menarik, Bukan Salah Si Cantik, namun Salahkan yang Gagal Mengendalikan Diri Sendiri

ARTIKEL HUKUM

Buruk Perilaku, Jangan Keindahan Tubuh Wanita yang Dibelah. Memangnya Siapa yang Punya Mata untuk Melihat Objek Tubuh yang Indah Milik Wanita Itu? Kendalikan Indera Penglihatan Sendiri, Bukan Kendalikan Tubuh Milik Orang Lain

Terlahir Cantik dan Memukau Memikat Hati, Bukanlah sebuah Dosa ataupun Kesalahan. Menyalah-Gunakan Mata ketika Melihat, dan Menjadikan Alasan yang Dicari-Cari untuk Merenggut Kebahagiaan Orang Lain, Cerminan Gagal Melakukan Kontrol Diri

Ajaran pada keyakinan keagamaan yang baik, akan berfokus pada ajaran yang mampu membuat para umatnya untuk mengelola tubuh dan pikirannya sendiri, bukan mengatas-namakan kegagalan kontrol diri sebagai alasan pembenar untuk melakukan perbuatan yang merugikan pihak lainnya. Sebagai contoh, demi menghindari potensi libido-birahi (hasrat berupa nafsu ragawi) tidak terkontrol seorang kaum pria, maka kaum wanita harus menutupi sekujur tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki?

Penyerang yang Justru Teraniaya akibat Lawan yang Lebih Kuat dan Tangguh dalam Bela Diri

LEGAL OPINION

Mengancam Memukul artinya Meminta untuk Dianiaya-Balik, karena Korban Pengancaman Kekerasan Fisik Berhak untuk BELA DIRI dalam rangka MENJAGA DIRI (the Right to Fight Back)

Bela Diri adalah Hak Asasi Manusia, dan si Penyerang / Pengancam / Pengintimidasi Layak Babak-Belur akibat Serangan Balik Pihak Lawan yang Menggunakan Haknya untuk Bela Diri

Question: Sebenarnya menurut hukum pidana (di Indonesia), jika kita sekadar bela-diri, namun orang yang terlebih dahulu intimidasi dan mengancam akan menyakiti kita justru yang pada akhirnya babak-belur karena perlawanan kita yang (ternyata) lebih kuat dan lebih cepat dalam menghindar, menangkis serangan, serta menyerang balik pihak yang menyerang kita, maka apa yang hanya sekadar bela-diri justru bisa dipidanakan pada akhirnya (dengan ancaman pidana “penganiayaan”) semata karena yang babak-belur pada akhirnya ialah bukan kita, dimana bahkan kita yang sekadar bela-diri tidak terluka sama sekali dalam suatu pertarungan (di atas) jalanan demikian?

Ya lucu bila dinamakan bela-diri, sementara itu kita selaku warga harus membiarkan saja diri kita pasrah terluka bagai sasaran empuk karung samsak (sand sack) untuk ditinju pihak lawan atau jadi “wooden doll” untuk ditinju mereka dengan bodohnya berdiam diri tanpa berkelit maupun mengambil tindakan cepat secara darurat dan seketika ataupun karena faktor reflek karena telah terlatih untuk itu. Tidak ada juga jaminan, membiarkan diri dilukai terlebih dahulu lalu maka pihak berwajib akan menindak mereka ketika kita laporkan sebagaimana mestinya.

Jika ternyata polisi yang kita datangi untuk buat laporan, ternyata mengabaikan atau menelantarkan aduan kita selaku korban yang terluka, itu sama artinya terluka fisik dan hati, merugi dua kali. Lebih baik bela-diri dengan tidak membiarkan diri kita terluka. Daripada organ internal tubuh kita terluka dan sukar disembuhkan, lebih baik kita memilih untuk sigap melakukan bela-diri dengan pertahanan sekaligus serangan penuh dan membuat pihak yang melakukan “ancaman secara dekat” tersebut yang mengalami terluka terlebih dahulu.

Yang namanya seni bela-diri tentu tidak membiarkan diri kita terluka dan dilukai oleh pihak yang melakukan ancaman ataupun melakukan serangan namun berhasil dibuat gagal melukai kita oleh kita yang bisa jadi benar-benar berpotensi menjadi korban jika tidak melakukan bela-diri dalam keputusan yang harus cepat dibuat dalam kondisi tekanan batin yang hebat secara demikian dekat (ancaman yang ada dihadapi) bahkan pelaku yang terlebih dahulu menerjang atau yang mendekati kita dengan bahasa tubuh mengancam hendak menganiaya.

Semisal begini, pengandaian secara filosofis saja, seseorang dengan gilanya lari menerjang lalu menubrukkan tubuh dirinya sendiri ke arah sebuah tembok atau kepada sebuah mobil yang diparkir diam atau yang bergerak melintas dalam kecepatan tinggi. Jadilah, semata karena tembok dan bodi mobil lebih keras dan lebih kuat daripada tengkorak kepala maupun tulang manusia, orang gila tersebut babak-belur dengan remuk tulang-tulangnya disamping darah yang mengucur hebat. Bisakah, si orang gila ini mengklaim dirinya telah dianiaya oleh tembok itu atau oleh mobil yang diam diatas tempat parkir ataupun oleh mobil yang melaju diatas jalan dalam kecepatan tinggi itu?

Pertanyaan itu rasanya menjadi penting (bagi orang awam maupun bagi aparatur penegak hukum itu sendiri), karena membingungkan sekali kita sebagai warga, harus berbuat apa ketika sewaktu-waktu mendapati kenyataan adanya ancaman yang demikian dekat serta butuh respon segera, dan akan sangat “moral hazard” sekali bila ternyata hanya sekadar bela-diri pun masih harus juga dilarang oleh (hukum) negara (di Indonesia) bahkan bela-diri berujung dipidana penjara.

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Bukan Individu yang Bebas, Mandiri, Merdeka, dan Independen

ARTIKEL SOSIOLOGI

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Butuh Komentar Orang Lain serta Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Meminta Izin dari Orang Lain untuk Berbuat ataupun untuk Tidak Berbuat Sesuatu

Sepanjang Kita Tidak Merugikan ataupun Melukai Kepentingan Orang Lain, maka Kita Tidak Pernah Butuh Komentar juga Tidak Meminta Izin dari Orang Lain atas Hidup Kita Sendiri. Bersikaplah sebagai Individu yang Mandiri, Bebas, Merdeka, serta Independen

Bagaikan orang-orang yang menyebutkan bahwa hidup haruslah “positive thinking”, jangan ber-“negative thinking”. Cobalah praktikkan itu di Indonesia, di tengah-tengah bangsa “agamais” yang tidak takut berbuat jahat serta curang terhadap orang lain namun masih juga yakin dan mengharap masuk surga, beranikah Anda ber-“positive thinking”? Justru, kita perlu bejalar dan meniru perilaku orang-orang dengan “negative thinking”. Itulah, paradoks kehidupan. Tidak percaya? Cobalah dan buktikan sendiri, dimana penulis dapat bertaruh bahwa Anda akan mulai berpikir untuk menyewa seseorang asisten yang dapat membantu memberikan bisikan “negative thinking” bagi Anda—dan itulah peran profesi hukum, “prepare for the worst case scenario”.

Perbedaan antara SITA JAMINAN dan SITA EKSEKUSI

LEGAL OPINION

Jenis Objek Harta Kekayaan Tergugat yang Paling Mudah Dieksekusi karena Liquid, yakni REKENING TABUNGAN BANK ATAS NAMA TERGUGAT

Apakah Rekening Bank Milik Tergugat, dapat Disita lewat Gugatan Perdata?

Question: JIka pada saat di persidangan (perkara gugatan perdata), hakim dalam putusannya tidak mengabulkan sita jaminan yang kami mohonkan. Apakah nantinya, jika putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang memenangkan (mengabulkan) gugatan kami agar pihak lawan membayar ganti-kerugian sejumlah uang, apakah kami masih diberi kesempatan menyita harta dan aset milik tergugat yang sudah kalah namun tidak mau patuh dan tunduk pada isi amar putusan pengadilan?