LEGAL OPINION
Jenis Objek Harta Kekayaan Tergugat yang Paling Mudah Dieksekusi karena Liquid, yakni REKENING TABUNGAN BANK ATAS NAMA TERGUGAT
Apakah Rekening Bank Milik Tergugat, dapat Disita lewat Gugatan Perdata?
Question: JIka pada saat di persidangan (perkara gugatan perdata), hakim dalam putusannya tidak mengabulkan sita jaminan yang kami mohonkan. Apakah nantinya, jika putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang memenangkan (mengabulkan) gugatan kami agar pihak lawan membayar ganti-kerugian sejumlah uang, apakah kami masih diberi kesempatan menyita harta dan aset milik tergugat yang sudah kalah namun tidak mau patuh dan tunduk pada isi amar putusan pengadilan?
Brief Answer: Ketika perkara belum berkekuatan hukum tetap, itulah yang dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia dikenal dengan istilah “Sita JAMINAN”, dimana fungsi utamanya ialah untuk menjadikan status harta kekayaan tertentu milik pihak “tersita jaminan” yang disita pengadilan menjadi tidak dapat lagi dialihkan oleh pihak tersita dengan tujuan menghindari praktik “pencucian uang” (money laundring) maupun untuk menutup celah potensi penyalah-gunaan waktu yang ada untuk mengalihkan seluruh harta kekayaannya.
Ketika putusan telah berstatus “inkracht”, alias berkekuatan hukum tetap, maka status permohonan eksekusi terhadap putusan yang mengandung jenis amar “condemnatoir”—yakni penghukuman dengan ciri khas berupa amar putusan “Menghukum ...”—maka terhadap harta kekayaan milik pihak Tergugat / Terhukum dapat dilelang-eksekusi dalam rangka memenuhi kewajiban pihak Tergugat terhadap isi amar putusan, akan tetapi istilahnya bukanlah “sita jaminan”, akan tetapi “Sita EKSEKUSI”—terlepas apakah pada saat proses peradilan dan upaya hukum masih berlangsung telah pernah dilakukan “sita jaminan” atau tidaknya.
Secara teoretis-konseptual, ketika putusan telah “inkracht” (berkekuatan hukum tetap), maka tidak lagi dibutuhkan “Sita JAMINAN”, namun cukup sebatas dan sekadar “Sita EKSEKUSI” agar tidak menjadi biaya berganda yang harus ditanggung serta dipikul oleh pihak Penggugat saat mengajukan permohonan eksekusi terhadap amar putusan yang mana dalam hal ini tidak lain ialah eksekusi terhadap harta kekayaan milik pihak Tergugat, sehingga sebetulnya yang dieksekusi ialah pemulihan kerugian yang diderita pihak pemohon eksekusi—semata-mata karena sengketa hukum telah diputuskan dan telah terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap untuk sekadar mengeksekusi dan dieksekusi amar putusannya yang mana konsekuensi yuridisnya ialah ekseksusi terhadap harta kekayaan tereksekusi, tanpa perlu lagi objek eksekusi dijadikan sebagai jaminan (jaminan untuk apakah lagi?).
Fungsi utama antara “Sita JAMINAN” dan “Sita EKSEKUSI”, sejatinya sama saja, yakni dalam rangka memblokir harta-harta milik pihak terhukum, baik benda berwujud maupun tak berwujud, bergerak maupun benda tidak bergerak. Namun letak perbedaan utamanya, bila “Sita JAMINAN” adalah sebatas pembebanan “blokir” terhadap aset tertentu milik tersita, maka “Sita EKSEKUSI” ialah sebuah kondisi yuridis dimana terjadinya “blokir plus LELANG EKSEKUSI” terhadap aset harta kekayaan milik tereksekusi.
Karenanya, dalam “penetapan Sita EKSEKUSI”, menjadi tidak dibutuhkan lagi hal semacam “Sita JAMINAN” semata karena menjadi “overlaping”. Keduanya dan masing-masing sama-sama menjadikan status harta kekayaan milik pihak Termohon Sita sebagai “terblokir” yang konsekuensinya tidak dapat dialihkannya objek harta kekayaan oleh pihak Tergugat kepada pihak mana pun, dalam rangka kepastian pemenuhan terhadap hak-hak pihak Penggugat selaku Pemohon Sita. Jika “Sita EKSEKUSI” saja telah memiliki fungsi yang identik dan menyerupai “Sita JAMINAN”, maka untuk apa lagi (seolah-olah) wajib memohonkan “Sita JAMINAN” (modus yang kerap terjadi oleh para pejabat dan penguasa di lembaga pengadilan, semata agar pemohon eksekusi membayar dua kali untuk satu hal yang sama saja sifatnya.
Karena itulah, sekalipun pada prosesnya gugat-menggugat di persidangan serta upaya hukum masih berlanjut, “sita jaminan” dimohonkan atau tidak dimohonkan oleh pihak Penggugat, ataupun ketika dimohonkan namun ditolak oleh Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara, bukan artinya objek-objek harta kekayaan milik pihak Tergugat tidak lagi dapat diajukan “Sita EKSEKUSI” saat putusan telah memiliki kepastian statusnya bernama “inkracht”. “Sita Eksekusi”, selalu menjadi “adegan” klimaks pamungkas dalam suatu drama peradilan, bukan “Sita Jaminan”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah preseden menarik yang dapat menjadi bukti bahwa tidak di-“Sita JAMINAN” harta kekayaan milik pihak Tergugat bukanlah “kiamat” serta bukan menjadi “harga mati”, dimana muara akhirnya ialah “Sita EKSEKUSI” terhadap aset milik pihak Tergugat ketika putusan telah berkekuatan hukum tetap dimenangkan sebagai langkah pertamanya, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan secara konkret sebagaimana tertuang dalam putusan sengketa perlawanan terhadap eksekusi harta milik terhukum, register Nomor 551/PDT/2014/PT.DKI. tanggal 27 Oktober 2014, perkara antara:
- PT. RUKUN PERSADA MAKMUR (“PT.RPM”), dalam hal ini diwakili oleh FREDERICK RACHMAT sebagai Direktur, sebagai Pembanding semula selaku Pembantah; melawan
- YULIA, selaku Terbanding semula sebagai Terbantah.
Bermula ketika Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerbitkan Penetapan Eksekusi No. 023/2012-Eks atas dasar landasan berupa telah dijatuhkannya putusan Nomor 338/PHI.G/2009/PN.Jkt.Pst jo. Nomor 862 K/PHI/2010, eksekusi mana dimohonkan oleh pihak Terbantah. Adapun latar belakang diterbitkannya Penetapan Eksekusi, yakni didasarkan adanya perkara gugatan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang diajukan oleh pihak Terbantah (dahulu selaku pihak Penggugat) dengan Nomor Perkara 338/PHI.G/2009/PN.Jkt.Pst dan telah pula diputuskan ke tahap final Nomor 862 K/PHI/2010.
Adapun Amar Putusan dari perkara Nomor 338/PHI.G/2009/PN.Jkt.Pst jo. No. 862 K/PHI/2010, yakni:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat pada tanggai 30 Juni 2009 adalah batal demi hukum;
- Menyatakan Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak THR. tahun 2009 dan upah selama proses PHK dari bulan Juli 2009 sampai dengan Nopember 2009 yang seluruhnya sebesar Rp. 35.997.500,-.
Sebagaimana dapat kita saksikan amar putusan di atas, tiada yang menyebutkan perihal “Sita Jaminan” terhadap objek apapun milik pihak Tergugat, baik karena ditolak maupun tidak mohonkan saat proses gugat-menggugat di persidangan. Namun, sebagai tindak-lanjut terhadap amar putusan, diterbitkanlah “Sita Eksekusi” terhadap aset milik pihak Tergugat, dimana salah satunya saat kini tidak terkecuali ialah aset berupa rekening milik pihak Tergugat.
Terhadap adanya Penetapan Aamaning sebagai teguran dari pihak pengadilan, jurusita pengadilan kemudian memanggil pihak Tergugat untuk datang menghadap Ketua Pengadilan Negeri, untuk ditegur, serta agar memenuhi putusan Nomor Nomor 862 K/PHI/2010 yang sudah berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini yakni untuk membayar kepada Penggugat uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak THR dan upah seiama proses PHK yang seluruhnya sebesar Rp. 35.997.500,-.
Dalam proses aanmaning tersebut, kini phak Tergugat telah mengajukan keberatan baik secara lisan dan tertulis yang manyatakan bahwa Tergugat (yang kini berstatus sebagai “Pembantah”) menolak melaksanakan isi putusan perkara No. 338/PHLG/2009/PN,Jkt.Pst jo. No. 862 K/PHI/2010. Pihak Pembantah secara mendadak tanpa diduga-duga, menpapatkan informasi dari pihak bank bahwa rekening Pembantah telah di-blokir akibat adanya penetapan sita No. 023/2012.EKS terkait pelaksanaan (alias eksekusi) terhaadap putusan perkara Nomor 338/PHI.G/2009/PN.JKT.PST jo. 862 K/PHI/2010.
Adapun Jurusita Pengadilan Jakarta Pusat tanggai 14 Desember 2012 telah diperintahkan untuk melaksanakan isi Penetapan Nomor 023/2012.Eks untuk melakukan sita/pemblokiran terhadap rekenlng miiik Pembantah pada suatu kantor cabang pihak perbankan untuk nominal sebesar Rp. 35.997.500,-. Pihak Pembantah dalam proses pelaksanaan sita tersebut tidak mendapatkan pemberitahuan terlebih dahulu, bahkan baru mengetahui dari pihak Bank bahwa rekening miiik Pembantah telah dilakukan sita oleh pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada pokoknya, terhadap proses pelaksanaan sita tersebut, Pembantah mengajukan surat keberatan atas pelaksanaan sita terhadap rekening demikian.
Terhadap perlawanan Pelawan atas “Sita EKSEKUSI” yang bagaikan “serangan mendadak” semacam itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam register perkara perdata Nomor 582/PDT/BTH/2012/PN.JKT.PST tanggal 6 Nopember 2013, membuat pertimbangan hukum serta amar putusan, sebagai berikut:
“Menimbang bahwa bukti T-1 merupakan putusan Pengadilan Hubungan Industrial No. 338/PHI.G/2009/PN.Jkt.Pst tanggal 6 April 2010 dan T-2 adalah putusan kasasi No. 862K/Pdt.Sus/2010 tanggal 4 Nopember 2010 dalam perkara hubungan industrial antara Pembantah dan Terbantah yang telah mempunyai kekuatah hukum tetap;
“Menimbang bahwa bukti T-3, T-4, T-5 dan T-6, merupakan permohonan eksekusi dan penetapan sita eksekusi atas putusan hubungan industrial antara Pembantah dengan Terbantah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata bahwa perlawanan Pembantah adalah terhadap penetapan eksekusi atas putusan hubungan industrial antara Pembantah dengan Terbantah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Menimbang bahwa ternyata Pembantah baru melakukan laporan kepada
“Menimbang bahwa oleh karena penetapan eksekusi tersebut didasarkan atas putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan perlawanan terhadap penetapan eksekusi tersebut didasarkan pada laporan Kepolisian oleh Pembantah terhadap Terbantah yang belum ada putusan pidananya yang telah berkekuatan tetap, disamping itu juga laporan Kepolisian yang dilakukan oleh Pembantah dilakukan setelah perkara hubungan industrialnya diperiksa oleh Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Hubungan Indutrial telah menghukum Pembantah untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, THR tahun 2009 dan upah selama proses PHK dari bulan Juli 2009 sampai dengan November 2009 yang seluruhnya sebesar Rp 35.997.500,- yang telah berkekuatan hukum tetap, oleh karenanya bantahan Pembantah tidak beralasan dan harus ditolak;
“Menimbang bahwa oleh karena bantahan pokok Pembantah ditolak, maka dalil-dalil bantahan dan bukti-bukti selain dan selebihnya tidak perlu dipertimbangkan lagi;
“MENGADILI :
- Menolak bantahan Pembantah seluruhnya.”
Pihak Pelawan mengajukan upaya hukum banding, dengan pokok keberatan bahwa keberatan yang diajukan oleh Pembantah perihal penyitaan / pemblokiran rekening Bank milik Pembantah sebesar Rp. 35.997.500,- yang dilakukan tanpa sesuai prosedur karena Pembantah sebelumnya tidak pernah diinformasikan lebih terlebih dahulu akan adanya sita dan/atau blokir terhadap rekening bank milik pihak Pembantah.
Pembantah tidak pernah ditegur ataupun diberikan “aanmaning” oleh pihak Pengadilan perihal Penyitaan Rekening milik Pembantah. Namun pada kenyataannya tiba-tiba Pembantah langsung mendapatkan Berita Acara Sita Eksekusi. Adapun yang menjadi pokok tuntutan pihak Pelawan, ialah agar pengadilan menyatakan:
- Menyatakan Penetapan No. 023/2012.Eks (penetapan eksekusi) jo. No. 338/PHI.G/2009/PN.JKT.PST jo. No. 862 K/PHI/2012 Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kekuatan hukum dan dibatalkan;
- Menyatakan Sita / Pemblokiran terhadap Nomor Rekening milik Pembantah tidak sah karena tidak sesuai dengan aturan hukum dan prosedur serta etika yang ada hingga harus dicabut sita / blokirnya.
Dari kontruksi serta kronologi persitiwa di atas, menjadi terang bahwa “Sita EKSEKUSI” memiliki muatan fungsi serta peran sebagai “blokir” itu sendiri yang menyerupai peran dan fungsi utama sebuah “Sita JAMINAN”. Sengketa di atas, konteksnya ialah tidak pernah ada “Sita JAMINAN’ pada saat berselisih di pengadilan, dimana “blokir” dalam contoh kasus di atas baru diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap—“blokir” mana dalam rangka menuju eksekusi (terhadap) amar putusan pengadilan, bukan lagi “blokir” yang sekadar untuk sebagai jaminan agar pihak tersita tidak mengalihkan asetnya selama sengketa hukum masih berlangsung.
Tiada gunanya “menyita jaminan” aset milik pihak Tergugat bila tidak dapat dieksekusi, yang karenanya ialah bahwa yang paling penting untuk dicapai dan dituju ialah tatkala telah di-“sita Eksekusi”-nya harta milik pihak Tergugat sebagai realisasi terhadap apa yang memang dinyatakan oleh amar putusan lewat jenis amar “Menghukum...”. barulah menjadi tiada guna, bila dibebankan “Sita Jaminan” terhadap berbagai harta milik pihak Tergugat, namun ternyata tidak dapat dieksekusi dalam konkretisasi dan realisasinya.
Dimana terhadap keberatan-keberatan pihak Tersita (atau lebih tepatnya pihak Tereksekusi), Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama telah memuat dan menguraikan secara tepat dan benar semua keadaan serta alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya oleh karenanya pertimbangan tersebut diambil alih sebagai pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding sendiri dalam memutus perkara ini di tingkat banding;
“M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Pembantah tersebut
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 582/PDT/BTH/2012/PN.Jkt.Pst., tanggal 6 Nopember 2013 yang dimohonkan Banding tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.