ARTIKEL HUKUM
Buruk Perilaku, Jangan Keindahan Tubuh Wanita yang Dibelah. Memangnya Siapa yang Punya Mata untuk Melihat Objek Tubuh yang Indah Milik Wanita Itu? Kendalikan Indera Penglihatan Sendiri, Bukan Kendalikan Tubuh Milik Orang Lain
Terlahir Cantik dan Memukau Memikat Hati, Bukanlah sebuah Dosa ataupun Kesalahan. Menyalah-Gunakan Mata ketika Melihat, dan Menjadikan Alasan yang Dicari-Cari untuk Merenggut Kebahagiaan Orang Lain, Cerminan Gagal Melakukan Kontrol Diri
Ajaran pada keyakinan keagamaan yang baik, akan berfokus pada ajaran yang mampu membuat para umatnya untuk mengelola tubuh dan pikirannya sendiri, bukan mengatas-namakan kegagalan kontrol diri sebagai alasan pembenar untuk melakukan perbuatan yang merugikan pihak lainnya. Sebagai contoh, demi menghindari potensi libido-birahi (hasrat berupa nafsu ragawi) tidak terkontrol seorang kaum pria, maka kaum wanita harus menutupi sekujur tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki?
Itu ibarat hendak menghilangkan tikus dengan membakar lumbung padi, atau buruk wajah maka cermin yang dibelah, suatu cara pemikiran pragmatis yang dangkal disamping sekadar menyingkirkan objek eksternal ketimbang berdaya untuk mengontrol faktor internal diri. Kaum wanita, memiliki hak asasi untuk tampil cantik dan memikat hati; karena jika tidak, buat apa mereka terlahir dan dilahirkan dengan kondisi tubuh-fisik yang cantik dan menawan hati? Yang memiliki tubuh serta wajah “tidak sedap dipandang”, silahkan tutupi dan balut sekujur tubuhnya dengan busana, karena “merusak pemandangan”. Namun bagi kalangan wanita yang memiliki tubuh terawat serta indah, mengapa harus ditutupi sekujur tubuhnya, sementara mereka terlahir dalam kondisi tanpa busana?
Ketika itu terjadi, maka pelaku kriminalisasi seperti tindak pidana asusila, yang kemudian menyalahkan pihak korban sebagai telah “menggoda” dirinya sehingga terpicu dan terpicu birahinya sebelum kemudian melampiaskan hasrat nafsu seksuilnya dengan menyetubuhi korban tanpa izin sang korban (pemerkosaan). Untuk apa juga masih meminta izin, sudah jelas tiada satu orang pun kalangan wanita yang akan senang diperlakukan secara tidak terhormat demikian. Begitupula pihak hakim yang tidak humanis, justru menyalahkan pihak korban sebagai “pemicu” alias “biang kerok”-nya sehingga sang pelaku tidak berdaya mengontrol dirinya sendiri.
Faktanya, di negara-negara yang tergolong Timur-Tengah demikian masif kasus-kasus perkosaan terhadap kalangan wanita yang telah membalut dirinya dengan busana serba tertutup, maka apakah artinya kalangan wanita harus dimusnahkan dan dibuat punah dari muka bumi, agar birahi kaum lelaki dapat dibendung? Di Indonesia, kasus pemerkosaan tercatata cukup tinggi, setidaknya sebulan sekali media pers memberitakan kasus seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri, sekalipun mayoritas penduduknya berbusana agamais.
Penulis menyebut fenomena demikian sebagai kegagalan sistemik, yakni kegagalan kalangan guru pendidik, para pemuka agama, dan peran keluarga sebagai sarana edukasi. Semata melimpahkan semua kesalahan kepada tubuh wanita, adalah bentuk “penghakiman” yang tidak pada tempatnya serta tidak proporsional. Jangankan kepada lawan jenis, tidak jarang kita mendengar atau membaca berita kasus-kasus seperti pria memperkosa sesama pria. Maka, apakah artinya kalangan pria pun harus menutupi sekujur tubuhnya dengan busana serba tertutup mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan hanya menyisakan lubang mata untuk melihat?
Konon, kalangan wanita pun merasa tergoda melihat bentuk tubuh pria, sehingga semestinya kaum pria pun menyebut tubuhnya sebagai “aurat berjalan” yang perlu ditutupi dengan busana serba tertutup—hanya saja jarang terdengar berita kalangan wanita memperkosa kalangan pria. Bila memang para penduduk pria kita adalah para “agamais”, semestinya yang dilihat dalam matanya ketika melihat tubuh seorang lawan jenis, “Itu adalah fisik tubuh ciptaan Tuhan, harus dihormati dan dihargai, bukan untuk dilecehkan. Tuhan yang menciptakan. Meng-aurat-kan tubuh ciptaan Tuhan, sama artinya meng-aurat-kan Tuhan.”
Dalam sebuah naskah klasik India, Mahabharata, terdapat sebuah kisah ilustrasi mengenai seorang guru dan tiga orang muridnya yang cukup relevan serta inspiratif. Sang guru sedang melatih murid-muridnya bermeditasi menggunakan seni memanah sebagai sarananya. Setelah sekian lama mengajar para muridnya, dia memberikan sebuah ujian kepada mereka untuk menyingkap kemampuan mereka. Sang guru mengambil seekor burung, bukan burung betulan tetapi hanya boneka burung, dan dengan cermat menggantungkannya di dahan pohon yang jauh dari para muridnya.
Akan diperlukan keahlian tingkat tinggi untuk membidik burung-burungan itu dengan panah dari jarak sejauh itu. Tetapi sang guru membuatnya menjaadi nyaris mustahil dilakukan ketika dia menginstruksikan para muridnya, “Saya tidak ingin kalian memanah burung itu di bagian mana pun di tubuhnya. Untuk lulus dari ujian ini, anak panah kalian harus mengenai mata kiri burung itu. Itulah sasarannya!”
Sang guru lalu memberikan busur dan sebatang anak panah kepada siswa pertama dan memberitahunya bahwa dia harus bermeditasi dulu untuk menyatukan pikirannya. Murid itu dipersilahkan mengambil waktu sesukanya, tetapi sebelum melepaskan anak panah dia harus memberi isyarat kepada gurunya. Tiga puluh menit kemudian si murid memberi isyarat kepada gurunya bahwa dia telah siap memanah. Sang guru memintanya untuk menunggu beberapa detik dan bertanya, “Bisakah kamu melihat burung di pohon itu?”
Tanpa mengalihkan pandangannya yang terpusat, si murid menjawab, “Ya.” Saat itu juga sang guru mendorong si murid ke samping, merampas busur dan anak panahnya, dan berkata, “Murid bodoh! Sana pergi ke belakang dan belajar meditasi lagi!” Lalu sang guru menyerahkan busur dan anak panah tersebut kepada murid kedua dan memberinya instruksi yang sama. Murid ini memerlukan waktu satu jam penuh sebelum memberi isyarat kepada gurunya bahwa dia telah siap menembak.
“Bisakah kamu melihat burung di pohon itu?” tanya sang guru.
“Pohon apa?” tanya si murid.
Sang guru lalu bertanya dengan penuh harap, “Bisakah kamu melihat burung itu?”
Si murid menjawab, “Bisa.”
Lantas sang guru yang kecewa itu mendorong murid kedua ke samping, mengambil busur dan anak panahnya kembali, dan menyuruhnya belajar meditasi baik-baik.
Akhirnya sang guru memberikan busur dan anak panah kepada murid ketiga dengan instruksi yang sama. Si murid perlu waktu dua jam penuh untuk bermeditasi, membuat pikirannya menyatu dengan sasarannya, bola mata kiri burung tersebut.
Lalu dia memberi isyarat bahwa dia siap menembak. Sang buru bertanya, “Bisakah kamu melihat burung di pohon itu?”
Si murid menjawab, “Pohon apa?”
Lantas sang guru bertanya, “Bisakah kamu melihat burung itu?”
SI murid menjawab, “Burung apa?”
Sang guru mulai tersenyum dan melanjutkan, “Apa yang kamu lihat?”
Tanpa mengalihkan pandangannya si murid menjawab, “Guru, yang saya lihat hanyalah sebuah bola mata, itu saja.”
“Keren,” ujar sang guru, “tembak!”
Dan tentu saja anak panah itu langsung melesat ke satu-satunya hal yang tertinggal dalam kesadaran si murid.
Ajahn Brahm, seorang bhikkhu dari tradisi Buddhisme Theravada yang juga menguasai keterampilan meditasi Buddhistik, menambahkan bahwa kisah di atas menjadi sebuah perumpamaan yang akurat tentang cara mencapai langkah ketiga dari anapanasati, mengalami segenap napas, serangkaian kesadaran terhadap napas. Seperti halnya murid ketiga memusatkan seluruh pikirannya pada sasarannya, yang baginya adalah bola mata kiri burung tesrebut, demikianlah kita perlu berlatih memusatkan seluruh perhatian kita pada langkah ketiga anapanasati, yang bagi kita adalah megnalami segenap napas.
Ketika kita telah menuntaskan langkah ketiga ini, jika kita menanyai diri kita sendiri, “Bisakah kamu mendengar suara?” Kita akan menjawab, “Suara apa?” “Bisakah kamu merasakan tubuh?”—“Tubuh apa?” “Apa yang kamu lihat?”—“Hanya napas saat ini.” Keren. (Dikutip dari penulis : Ajahn Brahm, SUPERPOWER MINDFULNESS (Judul Asli : Mindfulness, Bliss, and Beyond) Penerjemah : Chuang, Cetakan 7 : Juli 2011, Ehipassiko Foundation, Jakarta.)
Menjadikan tubuh wanita sebagai “aurat berjalan yang dapat berbicara” (suatu sebutan atau julukan yang mendiskreditkan makhluk ciptaan Tuhan, sama artinya menista pencipta dari sang wanita itu sendiri. melecehkan tubuh wanita lewat “oral-bullying” maupun pelecehan seksuil, sama artinya melecehkan keagungan penciptaan Tuhan itu sendiri), sama artinya mencerminkan keyakinan keagamaan bersangkutan demikian kerdil dan dangkal, hanya mengandalkan cara-cara pintas tanpa mengatasi akar masalahnya, yakni kegagalan si umat bersangkutan untuk mengontrol pikiran dan kelima inderawi miliknya, sehingga hanya mampu mengandalkan pengekangan terhadap tubuh milik kaum berlainan gender.
Seseorang yang telah bahagia, tidak akan melakukan hal-hal konyol seperti mencuri, menipu, berbohong, terlebih melakukan tindak pidana asusila, yang mana pada pokoknya ialah merampas kebahagiaan milik orang lain. Orang-orang yang telah berbahagia dalam hidupnya, justru memancarkan kehangatan kebahagiaan kepada orang-orang di sekitar dan di dekatnya, alih-alih sebaliknya merampas kebahagiaan milik orang lain.
Bangsa Indonesia, bangsa “agamais” (yang disaat bersamaan mencerminkan watak “premanis”, “hewanis”, “aroganis”, serta “egoistis”), yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat (menyakiti, melukai, maupun merugikan) orang lain, yang tergila-gila pada ideologi “korup” bernama “penghapusan dosa”, yang menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”, yang dengan serakahnya gemar merampas hak-hak orang lain, yang mencari seribu satu alasan serta lebih sibuk berkelit dari tanggung-jawab, yang berani berbuat namun tidak pernah berani untuk bertanggung-jawab, yang justru lebih “galak” ketika kesalahannya ditegur korban (dimana bahkan korban yang melawan ataupun menjerit disebut sebagai “tidak sopan” dan “zolim”), yang akan tidak senang ketika diperlakukan tidak patut namun sendirinya bersikap tidak patut terhadap pihak lain, yang selalu “maling teriak maling”, yang bersikap “pengecut” dengan memakai cara-cara curang (tidak akan berani “1 lawan 1, tangan kosong”), sekaligus sebagai bangsa yang menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik (alias “primitif”, alih-alih sudah beradab, namun masih “biadab”), namun masih juga mengharap dan yakin-terjamin masuk surga.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.