ARTIKEL HUKUM
Mungkin, Memang Sudah Sewajarnya dan Sudah Sepatutnya, Setimpal antara Hukum Aksi dan Reaksi
SUDAH ADIL, Bangsa yang Baik mendapatkan Kebaikan, sementara Bangsa yang Buruk mendapatkan Keburukan
Konon, disebutkan oleh masyarakat kita, melemparkan tongkat ke tanah di Indonesia, apapun bisa tumbuh pohon buah apapun dari tongkat tersebut. Kini, melemparkan tongkat ke tanah Indonesia, hanya dapat tumbuh singkong, tumbuhan umbi mana belum tentu kita konsumsi sebulan sekali. Tanah dan permukaan bumi di Indonesia, sudah menyerupai lautan batu. Kekayaan alam melimpah, namun negara lain yang menikmatinya, semisal benih lobster selama ini diekspor ke luar negeri sehingga negara pengimpor yang menikmati nilai tambah budidayanya sebelum dijual ke pasar untuk dibeli konsumen dengan harga yang jauh lebih tinggi berkali-kali lipat. Negara maritim kepulauan, namun ironisnya garam untuk konsumsi rumah tangga pun Negara dan Bangsa Indonesia masih merasa perlu untuk mengimpornya dari negara lain. Subur dan kaya alamnya, namun untuk semua hal hingga bahan baku produksi maupun konsumsi rumah tangga, seperti bawang, sapi, beras, kedelai, dan lain sebagainya, masih diimpor langsung dari negara asing.
Negaranya disebut sebagai “negara agamais”, dimana segala hal berbau “halal lifestyle” serta berbusana agamais, namun mencari orang jujur lebih sukar ketimbang mencari jarum di antara tumpukan jerami, dewasa ini dan lima abad terakhir ini terutama. Penjaranya tidak pernah sepi dari narapidana dan selalu over-kapasitas dari tingkat penghunian narapidana lama maupun narapidana yang baru masuk untuk menjalani masa penghukuman. Ketika kita selaku warga atau penduduk yang hidup di tengah-tengah Bangsa Indonesia, ber-positive thinking akan menjadikan kita sebagai “mangsa empuk”.
Tingkat korupsi, berjemaah dimana para pelakunya notabene rajin dan tidak pernah absen untuk beribadah serta menjaga betul jenis pangan yang masuk ke dalam mulut mereka (namun selalu mengabaikan kata-kata yang terlontar keluar dari dalam mulut mereka). Air bersih kian langka, aksesnya pun telah dikuasai oleh segelintir korporasi asing yang memonopoli sumber-sumber mata air bersih untuk dikomersielkan, dimana kita selaku rakyat harus membayar mahal atas sumber mata air negeri kita sendiri sekalipun air bersih tergolong hajat hidup orang banyak—membuat kita patut ragu terhadap istilah “Tanah Air-ku Indonesia”.
Mengaku sebagai bangsa yang merdeka, namun dari segi sandang, dijajah oleh produk-produk asing yang membanjiri Tanah Air, dan kita bangga menjadi konsumen belaka. Dari segi papan, para pejabat di Kantor Pertanahan tanpa malu sudah menerima gaji dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat, masih juga memeras dan berkolusi mengutip pungutan liar dari warga masyarakat, sungguh durhaka. Bidang-bidang tanah dikuasai para spekulan dan tuan tanah, dimana para petani hanya menjadi petani gurem belaka. Hutan dikuasai oleh pengusaha pemegang Hak Guna Usaha, tidak ubahnya zaman penjajahan kolonial, dimana para petani yang hanya sekadar bercocok-tanam diatasnya kemudian dikriminalisasi. Dari segi pangan, lagi dan lagi kita bergantung pada pangan impor, dimana segala hal berbau pangan di republik ini, baik pangan lokal maupun asing, tergolong jauh lebih tinggi ketimbang harga pangan di negara-negara kawasan sesama ASEAN lainnya.
Hujan tidak turun saat waktunya hujan (karena langit Indonesia telah terlampau jenuh dimanipulasi oleh para “pawang hujan”). Ketika sekalinya hujan turun, terjadilan banjir. Polusi udara menjadi menu sehari-hari, dimana pengusaha sawit menguasai hutan dan melakukan pembakaran hutan rawa, seolah-olah negeri ini dikuasai preman-preman “kerah putih” yang tidak tersentuh oleh hukum. Kekeringan dan kegersangan, menyisakan danau dan sumur yang kering kerontang. Ketika banjir melanda, sayur-mayur musnah, bahkan terjadi tanah longsor dan rumah hanyut. Gempa bumi, gunung meletus, dan sapuan ombak besar tsunami melanda silih-berganti, bertubi-tubi seolah tidak kenal ampun. Ekonomi kian melorot, bila bukan merosot, dikuasai budaya dan sendi-sendi ekonomi asing yang modalnya bercokol dan mencengkeram erat sumber daya alam dan sumber daya manusia hingga sumber daya ekonomi kita untuk mereka serap, hisap, dan himpun secara serakah, menjadikan bangsa kita penonton di negeri sendiri.
Black magic seolah menjadi ritual sehari-hari bangsa “agamais” kita di Indonesia, dimana para jin jahat berkeliaran dan berseliweran di setiap ruas jalan atas perintah maupun pesuruh satu warga pengguna jasa praktik perdukunan yang tidak pernah sepi dari pelangga. Mulai dari urusan mencari pacar, dukun yang bertindak atas permintaan orang “Made in Indonesia”. Urusan bisnis atua berdagang, dukun yang bertindak atas permintaan orang “Made in Indonesia”. Menjadi pekerja agar disukai atasan, dukun yang bertindak atas permintaan orang “Made in Indonesia”. Kalah bersaing dengan kompetitor, dukun yang bertindak atas permintaan orang “Made in Indonesia”. Merasa iri hati dan dengki, dukun yang bertindak atas permintaan orang “Made in Indonesia”. Semuanya, sera dukun, dukun, dan dukun. Alhasil, jumlah sensus penduduk Indonesia berbanding jin jahat, saling seimbang. Profesi dukun di Indonesia, sungguh menggiurkan karena segmen pasar dan pengguna jasanya hampir sejumlah seluruh populasi penduduk di Indonesia.
Polisinya lebih preman daripada preman. Penegakan hukum ditegakkan secara “separuh hati”, ditransaksikan (diperjual-belikan), dikompromikan, sehingga patut diragukan keluhurannya. Lembaga peradilan menjadi lembaga yang bahkan menjadi pusat terbesar dari ketidak-adilan, mengejar kuantitas putusan ketimbang kualitas putusan. Pemerintahnya tidak mempercayai rakyatnya sendiri, dan rakyat memiliki penilaian yang selalu negatif terhadap pemerintah yang mereka tunjuk dan pilih sendiri dalam pemilihan umum. Demokrasinya amat mahal serta “keblablasan”, dimana kepala daerah yang silih-berganti menjabat tidak benar-benar mengubah wajah daerah yang dipimpin olehnya. Aksi intoleransi dan radikalisme terjadi hingga ke tatanan “akar rumput”, bahkan berakar kuat mencengkeram sendi-sendi kehidupan rakyat jelata. Para preman seolah dipelihara oleh negara, karena negara tidak pernah benar-benar hadir untuk melindungi serta mengayomi masyarakat.
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak habis-habisnya memberantas korupsi, namun para koruptor terus direproduksi seolah menjelma menjadi lembaga “mission impossible”, mati satu tumbuh seribu koruptor baru. Stunting terjadi akibat kekurangan gizi secara bertahun-tahun, mengaibatkan tubuh generasi penerus menjadi “kerdil”, terjadi di negara yang dikenal kaya akan sumber daya alamnya, bernama Indonesia, dimana konon satu dari tiga anak terancam mengalami kondisi stunting. Bonus demografi menjelma lebih menyerupai kutukan demografi, dimana anak-anak yang busung lapar tidak akan mungkin tumbuh dengan daya kompetitif menghadapi pesaingan global yang kian ketat, hanya akan menjadi beban bagi negara.
Para guru justru mengajarkan hal yang buruk lewat teladan nyata kepada peserta didiknya. Para orangtua menjadi predator yang memangsa hidup anak-anak kandung mereka sendiri. Aparatur Sipil Negara meminta dilayani, alih-alih melayani rakyat. Para pemimpin negara sibuk berdebat-kusir serta berwacana perihal becak yang tidak usai-usai dijadikan isu politik, sementara bangsa lain sibuk merancang untuk menerbangkan warganya ke planet lain. Para dokter membuat diagnosis yang tidak benar, demi mengeksploitasi ekonomi pasien yang dijadikan “sapi perahan”. Rakyatnya menolak gaya hidup sehat, namun mengharap dan menuntut pelayanan kesehatan optimal dari negara. Yang benar, disalahkan. Yang salah, dibenar-benarkan, semata karena alasan yang bersalah adalah bagian dari mayoritas.
Petani sayur dan buah, namun anak-anak dan keluarganya justru jarang mengkonsumsi buah dan sayur, lebih sering dan lebih suka jajan jananan yang tidak sehat dan tidak bergizi. Bagai tikus mati kelaparan di ladang beras. Mencari bahan pangan yang aman dan sehat, lebih sukar lagi, sudah dinodai dan dicemari bahan pewarna tekstil, bahan pengawet berbahaya yang karsinonegik, hingga kecurangan-kecurangan lainnya yang dapat mencelakai kesehatan serta keselamatan konsumennya sendiri yang telah membayar dan mencederai kepercayaan yang diberikan konsumennya. Berjanji akan melunasi dan mengembalikan, menyalah-gunakan kata “pinjam” saat meminjam sejumlah dana, namun sang kreditor yang harus panik merepotkan diri mengejar-ngejar sang debitor agar menepati janji yang pernah dibuatnya untuk melunasi pinjaman.
Kecanggihan teknologi lebih banyak dinikmati produsen asing, sementara orang “Made in Indonesia” sekadar bangga menjadi pasar konsumerisme (sapi perahan produsen-produsen asing). Kekisruhan politik mewarnai hampir sepanjang tahun roda pemerintahan berjalan, dimana silih-berganti pucuk pimpinan, tetap saja negara ini begitu-gitu saja dan seolah berjalan di tempat dan terpaku di tempat, disamping korupsi serta kolusi di setiap instansi pemerintahan tetap meraja-lela. Para Aparatur Sipil Negara kita alih-alih bermental “civil servant”, justru lebih menyerupai sikap seorang penjajah, penjajah yang menjajah bangsa sendiri. Produk-produk impor membanjiri dan mengusai ceruk sebagian besar pangsa pasar di Indonesia, sehingga praktis tiada lagi slogan semacam “menjadi tuan di dalam negara sendiri”, terjajah secara ekonomi, sosial, budaya, dan pilitik.
Mungkin, jawaban untuk menguak rahasia jawabannya, ialah klise, namun memang terkadang bersikap klise adalah dibutuhkan sifatnya. Yakni, memang sudah sesuai Hukum Karma. Menanam kebajikan, menuai kebajikan. Menanam kejahatan, beruah kejahatan. Buddhisme, menyuburkan Nusantara (para nenek moyang kita di Indonesia) sejak era abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi. Menjadikan negeri kita adalah bangsa maritim yang subur, berdaya serta penuh daya, dihormati, disegani, makmur, sejahtera, subur, kaya akan sumber alam, melimpah dari segi budaya, hingga perilaku yang sarat etika dan keunggulan martabat. Namun, bandingkan dengan kondisi real masyarakat dewasa ini, amat kontras dengan perbandingan abad dimana Buddhistik masih menjadi agama mayoritas yang dipeluk para nenek-moyang kita di Indonesia serta mengasuhnya.
Pertanyaannya ialah, sebetulnya apa yang terjadi dengan bangsa ini, Bangsa Indonesia? Jawabannya, lewat akal sehat paling sederhana sekalipun, sudah dapat terjawab lewat bercermin diri, suatu kebiasaan yang tampaknya belum dimiliki Bangsa Indonesia kecuali menatap cermin sekadar untuk bersolek, yang saat kini lebih banyak hidup dalam delusi bahwasannya seolah-olah mereka telah terjamin oleh tiket masuk surga, seburuk apapun perilaku mereka saat hidup sebagai seorang manusia di dunia manusia. Apa yang dapat kita harapkan, dari kampanye anti kemanusiaan oleh dogmatis “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” (alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”), dalam beberapa kutipan berikut:
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."
- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Menanam benih durian, tumbuh durian. Menanam benih racun, berbuah racun. Menanam benih kejahatan, berbuah kejahatan. Menanam keburukan, berbuah keburukan. Ketika perilaku jahat maupun perbuatan buruk dan tercela tidak lagi tampak menakutkan, berkat iming-iming “penghapusan dosa” maupun “penghapusan dosa”, dan mulai menyepelekan akibat dari perbuatan buruk, maka sejak itulah “standar moral” manusia terjungkir-balik dari takut berbuat dosa, menjadi tidak takut berbuat dosa, terlebih malu berbuat dosa. Bila terhadap dosa maupun maksiat tidak lagi tampak menakutkan, karena diberikan ruang bebas “kompromistis” bernama “penghapusan dosa” maupun “penghapusan dosa”, maka menjadi mengherankan bila terhadap kaum yang berkeyakinan yang berbeda justru seorang umat manusia yang mengaku ber-Tuhan menjelma menjadi demikian tidak toleran, radikal, serta “haus darah”.
Justru, tidaklah mengejutkan mendapati kondisi Indonesia menjelma seperti sekarang ini, serta barulah menjadi aneh bila sejak “Agama DOSA” bagi para umat pendosa yang bersumber dari “Kitab DOSA” tersebut yang penuh ajaran untuk berbuat dosa, mendapati negerinya bak “surga dunia”. Merekalah, yang membawa neraka ke dalam dunia manusia. Menciptakan neraka ke dunia manusia, terutama ke Bumi Pertiwi yang semula subur dan makmur menjadi demikian gersang dan kering-kerontang demikian miskinnya dan memprihatinkan.
Timur Tengah, sekaya apapun minyak buminya, cepat atau lambat, suatu saat akan habis, kemiskinan sudah di depan mata mereka. Sumber daya alam terbarukan, ada di kesuburan tanah permukaan bumi, bukan di bawah permukaan bumi. Sekalinya rusak, punah sudah ekosistem flora dan fauna bagi generasi penerus. Bahari Indonesia kaya akan terumbu karang, dimana masa kecil penulis penuh kenangan indah kehidupan pantai yang diwarnai terumbu karang, kini hampir seluruh pesisir mengalami kerusakan terumbu karang total yang tampaknya mustahil dapat pulih.
Pencemaran laut, danau, gunung, hingga deforestasi hutan dan gambut, cepat atau lambat Indonesia akan menjadi salah satu negeri gersang bak Timur Tengah. Sebagai kesimpulan, memang sudah sewajarnya dan sudah pula sepatutnya, bila kondisi Negeri dan Bangsa Indonesia menjadi terpuruk dan kian terpuruk seperti yang terjadi dewasa ini. Tanda-tanda menuju ke arah itu sudah demikian kasat-mata, kerusakan dan kehancuran dari segi sumber daya alam, moralitas, integritas, budaya, tergantikan oleh ideologi yang menjadikan perbuatan buruk dan jahat seolah tidak perlu ditakutkan, bahkan maksiat dan pertumpahan darah dipromosikan serta dikampanyekan.
Barulah pula menjadi tidak adil, sebagaimana prinsip yang terkandung dalam asas meritokrasi, bilamana Indonesia tetap menjadi negara yang subur dan makmur di tengah kecanduan rakyatnya pada ideologi “penghapusan dosa” maupun “penghapusan dosa”, sementara itu negara-negara tetangga kita di ASEAN yang lebih mengedepankan ajaran dogmatis “ahimsa” yang benar-benar mengkampanyekan gaya hidup suci dan jiwa ksatria dengan memilih untuk bertanggung-jawab terhadap korban perbuatan kita, alih-alih melarikan diri ke dalam lembah hina nan mematikan bernama “penghapusan dosa” maupun “penghapusan dosa”, tidak lebih makmur dan lebih sejahtera daripada republik “Bangsa Pendosa yang penuh dosa, Indonesia”.
Bangsa Indonesia, bangsa “agamais” (yang disaat bersamaan mencerminkan watak “premanis”, “hewanis”, “aroganis”, serta “egoistis”), yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat (menyakiti, melukai, maupun merugikan) orang lain, yang tergila-gila pada ideologi “korup” bernama “penghapusan dosa”, yang menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”, yang dengan serakahnya gemar merampas hak-hak orang lain, yang mencari seribu satu alasan serta lebih sibuk berkelit dari tanggung-jawab, yang berani berbuat namun tidak pernah berani untuk bertanggung-jawab, yang justru lebih “galak” ketika kesalahannya ditegur korban (dimana bahkan korban yang melawan ataupun menjerit disebut sebagai “tidak sopan” dan “zolim”), yang akan tidak senang ketika diperlakukan tidak patut namun sendirinya bersikap tidak patut terhadap pihak lain, yang selalu “maling teriak maling”, yang bersikap “pengecut” dengan memakai cara-cara curang (tidak akan berani “1 lawan 1, tangan kosong”), sekaligus sebagai bangsa yang menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik (alias “primitif”, alih-alih sudah beradab, namun masih “biadab”), namun masih juga mengharap dan yakin-terjamin masuk surga.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.