ARTIKEL HUKUM
Nilai serta Pesan Moril dalam PANCASILA dan HAK ASASI MANUSIA, Dibentuk untuk Siapa dan menjadi Teguran bagi Siapa?
Ulasan singkat ini berangkat dari pengalaman pribadi penulis, yang merasa begitu keheranan ketika menemukan mata kuliah “hukum hak asasi manusia”, yang penulis nilai sebagai “Mengapa ajaran semacam ini, sampai perlu diajarkan di bangku pendidikan tinggi ilmu hukum?”, bahkan sampai menjadi penjurusan khusus tersendiri dalam program studi hukum strata dua. Bukankah, ajaran-ajaran dalam keyakinan keagamaan sudah begitu kaya mengajarkan perihal konsep-konsep hak asasi manusia?
Telah ternyata, penulis keliru dan baru penulis sadari jauh setelah itu; atau lebih tepatnya, umat agama nonBuddhist wajib untuk mempelajari konsep-konsep semacam Pancasila (terutama sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”) maupun norma-norma hukum terkait konsep hak asasi manusia maupun semacam “Magna Charter” dan “Universal Declaration of Human Rights” yang termasyur itu. Mengapa disebutkan, umat Buddhisme tidak perlu belajar “omong kosong” semacam hak asasi manusia? Seruan perihal konsep hak asasi manusia yang lebih holistik dan lengkap, bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Bangsa Barat, namun dapat kita temukan dan jumpai dalam Buddhisme dimana Tripitaka menjadi sumber rujukan utamanya sejak lebih dari dua ribu lima ratus tahun lampau.
Mengingat, Buddhisme itu sendiri merupakan “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”. Cukup menjalankan dengan konsisten serta penuh komitmen gaya hidup suci dan bersih, maka kita sudah akan menjelma menjadi individu atau pribadi yang “humanis” serta “suciwan”. Kita akan menjadi demikian bertanggung-jawab terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, semata karena Buddhisme menolak tegas konsep-konsep penuh kecurangan seperti “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana konsep “korup” demikian sejatinya telah menistakan hak-hak keadilan bagi pihak korban yang mana tampaknya dirampas dengan mengatas-namakan agama.
Umat Buddhist yang benar-benar patut disebut sebagai “siswa dari Sang Buddha” (bukan umat ritual maupun umat KTP), bisa jadi pernah berbuat keliru terhadap orang lain, namun Buddhisme mengajarkan para umatnya untuk menjadi pribadi yang penuh tanggung-jawab, berjiwa ksatria, sehingga akan terdorong untuk bertanggung-jawab terhadap korbannya tanpa perlu dituntut ataupun dimintakan pertanggung-jawaban, serta tanpa perlu digugat perdata maupun dituntut secara pidana. Korban, tidak perlu sampai mengemis-ngemis agar pelakunya bertanggung-jawab, karena pertanggung-jawaban adalah hak dari korban dan sekaligus menjadi kewajiban dari pihak pelaku.
Semata karena pengetahuan tentang Hukum Karma, adalah percuma lari maupun bersembunyi dari tanggung-jawab, buah Karma Buruk pasti akan berbuah bagi sang pelaku. Bertanggung-jawab seketika itu juga kepada pihak korban, sama artinya menyelamatkan diri sang pelaku itu sendiri dari lembah keterpurukan. Sang Buddha menyatakan secara tegas dalam Tripitaka, yang disebut “pandangan yang keliru”, ialah ketika seseorang tidak meyakini perihal “kelahiran kembali” (rebirth / reborn) maupun perihal Hukum Karma. Seseorang dengan “pandangan yang benar”, karenanya meyakini serta menginsafi betul bahwa dirinya akan mewarisi serta terlahir dari perbuatannya sendiri, karenanya tiada pilihan lain selain bersikap penuh tanggung-jawab.
Buddhisme dikenal sebagai ajaran yang sarat akan “ahimsa” (tanpa kekerasan) serta tanpa adanya pemaksaan terkait keyakinan keagamaan, menghargai kehidupan, bahkan memberikan welas asih kepada makhluk-makhluk malang seperti hewan, hingga model berpikir demokrasi serta kebebasan berekspresi maupun berpendapat ketika Sang Buddha menyatakan bahwa “Dhamma bersifat mengundang untuk dibuktikan” (ehipassiko). Sehingga, mencoba mempelajari konsep-konsep norma perihal hak asasi manusia, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, hanya membuang-buang waktu karena terjadi duplikasi konten atau substansi materi dengan apa yang lama sebelum itu sudah pernah diajarkan dalam Buddhisme serta teladan hidup Sang Buddha itu sendiri—itulah yang penulis maksudkan sebagai, “buang-buang waktu”.
Sebelum itu, perlu kita pahami terlebih dahulu, bahwa sebanyak apapun umat awam dan siswa pengikut dari Sang Buddha, tetap saja Sang Buddha hidup bersahaja dengan makan hanya satu kali setiap harinya, hidup selibat, hanya memiliki jubah serta mangkuk untuk berpindapata. Berikut apa yang diajarkan oleh Sang Buddha Gotama sebagaimana tertuang dalam Sutta Udumbara (sutta pitaka, Tripitaka), dimana Anda dapat menilai sendiri apakah sejalan dengan doktrin-doktrin dalam konsep hak asasi manusia ataukah sebaliknya, dengan kutipan sebagai berikut:
“Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima.”
Bila dalam ajaran diluar Buddhisme, berhasil menyakiti dan merugikan orang lain disebut sebagai sebentuk kemujuran dan keberuntungan karena menjadi “hadiah” karena mendapat izin serta merupakan sebagai kehendak maupun rencana dari “langit”, maka dalam Buddhisme disebutkan bahwa tiada yang dapat kita curangi dalam hidup ini, serta tidak dapat lari dari tanggung-jawab, karenanya penjahat yang paling tidak beruntung ialah penjahat yang berhasil melakukan kejahatan ketika memiliki niat untuk berbuat jahat serta melukai, merugikan, ataupun menyakiti orang lain.
Kita tidak perlu menceritakan hak-hak untuk hidup, hak untuk tidak disakiti, hak untuk tidak dirampas kemerdekaannya sebagaimana norma-norma doktrin perihal hak asasi manusia yang diusung oleh gagasan bangsa Barat, karena kesemua itu telah sejak lama diajarkan serta diwariskan oleh Buddhisme serta menjadi nafas maupun urat nadi Buddhistik—dimana tanpa itu, maka Buddhisme kehilangan esensi dan namanya. Berikut ini jugalah rambu-rambu pedoman hidup yang kerap perlu direnungkan oleh para umat Buddhisme, yakni terhadap sabda Sang Buddha sebagai berikut:
“Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian.
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku.
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri
Pewaris perbuatanku sendiri
Lahir dari perbuatanku sendiri
Berhubungan dengan perbuatanku sendiri
Terlindung oleh perbuatanku sendiri
Apapun perbuatan yang kuperbuat
Baik atau buruk
Itulah yang akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali direnungkan.”
Tidak ada konsep perihal hak asasi manusia modern yang diperkenalkan oleh bangsa Barat, yang mampu mengimbangi maupun menyamai ajaran tentang kebenaran sebagaimana sabda-sabda dan teladan hidup Sang Buddha yang dapat kita jumpai dalam Tripitaka. Warisan lainnya dari Sang Buddha kepada umat manusia, ialah ajaran perihal “gerbang moralitas” yang terdiri dari dua buah rambu untuk dapat hidup penuh harmoni, yakni “malu berbuat jahat” (hiri) serta “takut akan akibat / buah pahit dari perbuatan buruk” (otapa). Sebanyak apapun konsep-konsep serta pengaturan norma perihal hak asasi manusia dalam konstitusi negara maupun diatur dalam sebentuk Undang-Undang hinggga instrumen hukum internasional, adalah percuma bila rakyat suatu bangsa tidak memiliki rasa malu maupun rasa takut untuk berbuat jahat.
Lantas, siapakah yang paling patut untuk dituntut serta diwajibkan untuk mempelajari, mendalami, serta mengingat norma-norma dalam konsepsi hak asasi manusia? Jawabannya ialah mereka yang selama ini memeluk ajaran dogmatis “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” (alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”), dalam beberapa kutipan ideologi sebagai berikut:
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."
- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Bukankah kini telah menjadi jelas, pihak-pihak dan golongan atau kaum manakah yang sejatinya paling perlu untuk diwajibkan memahami, menjiwai, mengakui, mematuhi, serta mengingat betul konsep-konsep serta norma-norma sebagaimana tertuang dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan perihal hak asasi manusia. Sang Buddha dalam teladan hidup maupun ajarannya (lihat Tripitaka), tidak pernah mencuri, berzinah, maupun membunuh”, apapun alasannya serta tidak mencari-cari alasan. Jangankan sekadar mengajar umat manusia, Sang Buddha memiliki gelar sebagai “guru dari para dewa dan para manusia”, sehingga jauh lebih tinggi levelnya ketimbang sekelas konsep seputar hak asasi manusia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.