JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Mengembalikan Kerugian Negara lewat Mekanisme Gugatan Perdata, Kejaksaan sebagai Pengacara Negara, Tidak Harus Berupa Pidana

LEGAL OPINION

Kejaksaan adalah Pengacara Negara, namun Tidak Pernah Menggugat seorang Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Diamnya Tergugat, Diartikan Membenarkan Segala Dalil Penggugat?

Question: Bukankah katanya dalam sebuah gugatan, beban pembuktian ditumpukan oleh hakim di persidangan kepada pihak penggugat, dimana yang menggugat dan mengklaim-lah, yang wajib untuk dapat membuktikan segala dalil dan klaimnya tersebut dalam surat gugatan yang diajukan olehnya? Mengapa faktanya bisa sampai terjadi, bahkan tidak jarang terjadi, hakim di persidangan (perdata) dalam putusannya, membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa mengingat pihak Tergugat tidak membantah dalil Penggugat dalam butir ke-... surat gugatan, maka Tergugat dianggap (diasumsikan) membenarkan sehingga karenanya dalil Penggugat oleh Majelis Hakim dapat dianggap benar serta diasumsikan telah dapat dibuktikan kebenarannya.”

Bukankah itu sama artinya, hakim sedang bermain asumsi bahwa “diam artinya menyetujui, meng-iya-kan, dan membenarkan” segala klaim-klaim tidak berdasar pihak penggugat yang jelas-jelas sedang berusaha menjatuhkan dan menjungkalkan kita yang diposisikan sebagai tergugat? Bila dalam terminologi ilmu hukum pidana ada istilah semacam “non self incrimination”, maka mengapa diamnya pihak tergugat (dalam perkara perdata), dimaknai sebagai mengorbankan kepentingan dirinya sendiri? Bukankah praktik hukum, semestinya logis dan menggunakan akal sehat sebagai dasar berpijaknya?

Mengapa kesannya, hakim menjadi tidak netral dan cenderung memihak, jika praktiknya seperti itu? Bukankah akan lebih logis, bila tergugat tidak membenarkan klaim atau tuduhan ataupun dalil penggugat, maka diartikan tergugat menolak dan tidak membenarkan dalil-dalil pihak penggugat tersebut, karena memang itulah kepentingan pihak tergugat manapun dalam gugatan manapun? Mana ada maling yang mau mengaku, dan mana ada pula orang digugat lantas membenarkan segala klaim sepihak orang yang menggugat?

Bangsa yang Baik, Belajar dari Pengalaman Sejarah Bangsanya Sendiri Sebelum Banyak Bicara

SERI SENI HIDUP

Sudah Sepatutnya Penjahat mendapatkan Kejahatan, Bukan Masalah untuk Dipermasalahkan

Sebagaimana kata pepatah yang menyebutkan, bahwa orang bodoh yang dungu agar tidak bermulut besar dan seyogianya menutup mulutnya rapat-rapat (agar seekor lalat tidak terbang masuk ke dalam mulutnya yang besar dan terbuka menganga). LBH Jakarta, sebagai contoh, tidak jelas sedang membela “korban” ataukah “pelaku kejahatan”, ketika beberapa tahun lampau membuat release penuh kehebohan berjudul “Indonesia, Selamatkan Pengungsi Rohingya!”, sebagaimana dipublikasikan dalam https:// bantuanhukum .or.id/indonesia-selamatkan-pengungsi-rohingya/, dengan uraian sebagai berikut:

Gelar Akademik Kesarjanaan, Membebaskan ataukah Membatasi dan Mengamputasi Dunia serta Potensi Seseorang?

SERI SENI HIDUP

Bahaya Dibalik Obsesi Mengejar Gelar Akademik yang Perlu Anda Ketahui dan Pahami, sebelum Benar-Benar Terjerumus Tanpa Titik untuk Kembali

Tanyakan kepada anak kecil yang masih bocah di bangku Taman Kanak-Kanak, hendak menjadi apakah mereka kelak? Mereka akan menjawab, mau menjadi apa saja yang mereka sukai, tanpa batasan. Jika sudah bosan menjadi petugas pemadam kebakaran, mereka bisa beralih profesi menjadi seorang presiden, lalu menjadi seorang pelaut, menjadi seorang pilot, seorang dokter, dan lain sebagainya. Kita, terkadang perlu memiliki semangat serta kepolosan seorang bocah yang masih duduk di taman kanak-kanak, yakni bebas dari segala label bernama “gelar kesarjanaan” agar dunia kita tetap terbuka lebar untuk segala peluang yang tidak terbatas—tidak terkungkung layaknya katak dalam tempurung.

Perihal TANGGUNG JAWAB MORAL Agen / Broker Properti terhadap Konsumen Produk Jual-Beli Rumah dan Real Estate

ARTIKEL HUKUM

Paradigma Berpikir “Yang Penting Laku”, diartikan “Selebihnya cukup HIT AND RUN”, alias Mengorbankan Kepentingan Pembeli demi Keuntungan Pribadi pihak Broker Properti

Pada suatu kesempatan, penulis bertemu seorang top manajemen Century 21 Indonesia yang merupakan salah satu unit bisnis milik Grup Usaha Ciputra di Ciputra World, Jakarta. Sebagaimana yang telah kita ketahui, Century 21 Indonesia bergerak dibidang agen penjualan properti real estate, dan francise dari luar negeri. Bergulir diskusi perihal tanah dengan beban HPL (Hak Pengelolaan) yang seringkali “menyaru” Sertifikat Hak Guna Bangunan di lokasi-lokasi tanah yang memang cukup strategis—marketable, namun terkandung bahaya laten dibalik “tanah HPL dibawah HGB”. Kasus “Koe Sheng Sheng Vs. PT. Duta Pertiwi (anak usaha Sinar Mas)”, ditengarai akibat minimnya informasi bagi pembeli unit toko perihal status SHGB yang dijual dan dibeli olehnya, yang ternyata SHGB berdiri diatas tanah HPL di kawasan pusat niaga Mangga Dua, Jakarta.

Resiko Hukum Terbesar Membeli Tanah Girik, Rawan Digugat Pihak Ketiga

LEGAL OPINION

Minimnya Perlindungan Hukum bagi Pembeli Tanah Girik

Question: Apa mungkin, pembeli tanah girik sekalipun saat pertama kali beli pihak penjual menyertakan prasyarat adanya surat keterangan riwayat tanah dan surat ukur dari pihak kepala desa sebagai alat bukti kepemilikan, namun surat-surat yang terbitkan pihak kantor desa tersebut masih bisa dibatalkan orang lain?