JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Perihal TANGGUNG JAWAB MORAL Agen / Broker Properti terhadap Konsumen Produk Jual-Beli Rumah dan Real Estate

ARTIKEL HUKUM

Paradigma Berpikir “Yang Penting Laku”, diartikan “Selebihnya cukup HIT AND RUN”, alias Mengorbankan Kepentingan Pembeli demi Keuntungan Pribadi pihak Broker Properti

Pada suatu kesempatan, penulis bertemu seorang top manajemen Century 21 Indonesia yang merupakan salah satu unit bisnis milik Grup Usaha Ciputra di Ciputra World, Jakarta. Sebagaimana yang telah kita ketahui, Century 21 Indonesia bergerak dibidang agen penjualan properti real estate, dan francise dari luar negeri. Bergulir diskusi perihal tanah dengan beban HPL (Hak Pengelolaan) yang seringkali “menyaru” Sertifikat Hak Guna Bangunan di lokasi-lokasi tanah yang memang cukup strategis—marketable, namun terkandung bahaya laten dibalik “tanah HPL dibawah HGB”. Kasus “Koe Sheng Sheng Vs. PT. Duta Pertiwi (anak usaha Sinar Mas)”, ditengarai akibat minimnya informasi bagi pembeli unit toko perihal status SHGB yang dijual dan dibeli olehnya, yang ternyata SHGB berdiri diatas tanah HPL di kawasan pusat niaga Mangga Dua, Jakarta.

Perusahaan broker / agen properti yang TIDAK BERMORAL, itulah yang penulis dapatkan dari hasil diskusi dengan top manajemen Century 21 Indonesia. Pembicaraan antara penulis dengan top manajemen Century 21 Indonesia tersebut di DBS Tower Ciputra World, Jakarta, sekitar tahun 2015, dimana penulis sampaikan bahwa menjual tanah yang dibawahnya terkandung HPL (Hak Pengelolaan), sama artinya MENIPU KONSUMEN, mengingat asumsi masyarakat awam hukum pertanahan ialah, sertifikat hak atas tanah yang beredar di luar sana jika bukan SHM maupun SHGB, tiada SHGB “murni” dan “NONmurni”!

Mudahnya, jika sedari awal mereka tahu bahaya dibalik tanah HPL, atau bahkan jika mereka tahu dibawah HGB tersebut terdapat HPL, tentu mereka tidak akan memaksakan diri untuk membeli, berpikir dua kali, dan memilih mencari “SHGB murni” di lokasi lain tanpa memaksakan diri. Kecuali, mereka telah diinformasikan serta dikomunikasikan plus serta minus membeli tanah dengan keadaan HPL dibawahnya, dan calon konsumen tetap berminat membeli dan siap menghadapi serta menanggung resikonya di kemudian hari, maka itu lain soal dan telah sesuai etika bisnis seorang agen properti yang profesional—salah satunya dilandasi sikap penuh keterbukaan tanpa bersikap parsial saat memberikan informasi termasuk perihal faktor resiko legal yuridis dibaliknya.

Contoh konkret yang tidak terbantahkan bahaya dibalik HPL, di Tanjung Perak, Surabaya, puluhan hingga ratusan pemilik ruko (rumah toko) HGB (yang mana teranyta berdiri diatas HPL, alias “HGB diatas HPL”) kini menyesal besar telah membelinya, SHGB tidak bersedia diperpanjang oleh otoritas pemegang HPL, kecuali membayar sejumlah “upeti” setiap tahunnya dengan nilai yang tinggi dan memberatkan, barulah izin usaha bagi pemilik gedung ruko di atasnya diberikan oleh pemerintah daerah setempat. Selama ini kita, masyarakat umum, berasumsi bahwa tanah SHGB dapat diperpanjang masa berlakunya dengan mudah serta tanpa resiko, namun TIDAK DENGAN TANAH “SHGB diatas HPL”, butuh izin khusus dari otoritas pemegang HPL dan pemegang HPL berhak menolaknya—itulah resiko terbesar membeli tanah jenis hak apapun yang dibawahnya terkandung / tersembunyi HPL.

Kita tidak pernah membaca iklan maupun selebaran pihak marketing developer ataupun pihak broker, yang menyebutkan secara terperinci seperti : “Dijual, SHGB NONmurni!” Semuanya pasti hanya akan mencantumkan “Dijual, SHGB di kawasan strategis ...”. Bila ditambahkan frasa secara demikian transparan, pihak marketing kerap mengkhawatirkan pertanyaan yang timbul dibenak calon konsumen, sehingga ketika dijelaskan artinya “NONmurni” maka mereka akan berpikir dua kali, menaruh curiga serta waspada, sebelum kemudian menyadari bahaya dibaliknya, dan memutuskan untuk menaruh pilihan pada yang “MURNI HGB”.

Namun demikian, perusahaan broker properti bukanlah marketing pihak developer yang ditugaskan untuk menjual habis properti yang dibangun oleh sang developer itu semata. Broker properti bebas menjual properti mana saja dari pihak pemilik tanah / rumah mana pun yang bekerja sama dengan sang broker properti, karenanya pilihannya menjadi beragam serta luas, yang artinya pula tiada alasan untuk “mencari-cari alasan” terlebih mencari-cari “alasan pembenar” ketika bersikap tidak transparan kepada calon peminat produk properti.

Inilah kritikan terbesar penulis terhadap perusahaan broker properti Century 21 : Janganlah “hit and run”, berprinsip “yang penting laku, selebihnya masak bodoh”, bukan “win win solution, namun yang penting dapat fee broker”, yang penting terjual, yang penting laku. TIADA TANGGUNG JAWAB MORIL APAPUN, SUNGGUH CERMINAN TIADANYA ETIKA BISNIS dari Century 21 Indonesia, terlebih memikirkan kepentingan konsumennya yang memberikan kepercayaan kepada agen-agen maupun nama besar Century 21. Yang dipertontonkan ialah semata mentalitas “yang penting laku terjual, selebihnya ‘masak bodoh’.”

Perlu masyarakat luas sadari, Century 21 Indonesia akan MENUTUPI informasi penting, alias TIDAK TRANSPARAN kepada calon konsumennya ketika menawarkan produk properti dan real estate. Mereka tidak akan memperlihatkan atau menginformasikan cacat tersembunyi dari properti yang dijualnya secara gamblang, karena inilah yang dikatakan oleh sang top manajemen di Century 21 Indonesia : “Gimana kami bisa jualan kalau kami beri tahu calon konsumen bahaya dibalik properti yan ada HPL-nya ini?” Mengapa justru bertanya kepada penulis, memang untuk apa mereka dibayar dan diupah sebagai agen marketing? Marketing yang tidak kreatif. Rupanya, ketakutan sang petinggi perusahaan broker properti Century 21 Indonesia ialah, sama seperti mentalitas kalangan marketing developer, bila diungkap secara transparan seterang-terangnya, bisa jadi calon konsumen akan kabur.

Inilah yang ada di benak penulis ketika mendengar tanggapan tidak profesional semacam itu dari seorang pemimpin perusahaan broker properti (yang lebih cocok menjadi tenaga merketing perusahaan developer ketimbang broker properti) : ITU BUKAN ALASAN YANG DAPAT DIPERTANGGUNG-JAWABKAN! ITU BUKAN PULA ALASAN PEMBENAR! MEMANGNYA TIDAK ADA PILIHAN PROPERTI LAIN YANG LEBIH AMAN DAN TIDAK MENGANDUNG CACAT TERSEMBUNYI UNTUK DIJUAL BROKER? MEMANGNYA DOSA DAN KIAMAT, JIKA HANYA MENJUAL “SHGB MURNI”, DAN JIKA BERJUALAN SECARA TUJUR, TERBUKA, TRANSPARAN, SERTA AKUNTABEL? TIDAK BISAKAH ANDA SEDIKIT LEBIH KREATIF DALAM BERJUALAN TANPA SIKAP KORUP DEMIKIAN? JANGANLAH BERSIKAP SEOLAH-OLAH TIADA PROPERTI LAIN YANG BISA UNTUK DIJUAL SECARA AMAN DAN TENANG BAGI KONSUMEN.

Berarti, selama ini Century 21 Indonesia mencari keuntungan pribadi dengan cara mengorbankan kepentingan konsumennya atas informasi yang benar, utuh, akurat, serta transparan! Itu namanya “MAU UNTUNG SENDIRI”, dan “hit and run” ketika dikemudian hari konsumen menemukan kesulitan akibat terbentur masalah HPL di atas tanah yang dibeli yang sebelumnya ditawarkan oleh Century 21 Indonesia. Singkatnya, TIADA TANGGUNG JAWAB MORIL APAPUN DARI Century 21 Indonesia selain “RUN SETELAH HIT”—karena memang itulah visi dan misi yang menjadi arahan top manajemen mereka.

Memangnya untuk mencari untung, harus dengan cara TIDAK JUJUR (tidak transparan, artinya tidak jujur)? Itulah budaya bisnis Century 21 Indonesia, KETIDAK-JUJURAN, TIDAK TRANSPARAN, TIDAK BERMORAL, TIDAK ETIS, TIADA BER-KODE ETIK, MENJEBAK, MENYESATKAN, disamping TIDAK PROFESIONAL. Etika bisnis seyogianya dikedepankan, bukan hanya tampil rapih dengan setelan jas namun busuk di dalam pikirannya. Ulasan ini dapat kami pertanggung-jawabkan secara etika, secara moril, maupun secara hukum negara disamping HUKUM KARMA dan sanggup penulis konfrontir bila petinggi Century 21 Indonesia hendak berkonfrontasi secara tatap muka maupun secara tertulis dengan penulis—serta akan kembali penulis publikasikan agar masyarakat luas terhindar sebagai calon KORBAN membeli properti yang mengandung “cacat tersembunyi” yang selama ini ditutup-tutupi oleh Century 21 Indonesia, sang perusahaan broker agen properti yang berfilosofi “yang penting laku”—jika motonya ialah demikian, tidak heran bila bersikap tidak transparan dalam menawarkan dan menjual produk properti kepada konsumennya, alias semata kepentingan sang broker.

Semoga Century 21 Indonesia dan para petingginya tersebut akan dibalas segala perbuatannya dengan segala sikap TIDAK TRANSPARAN sebagaimana sikap mereka selama ini terhadap masyarakat dan calon konsumen. Kepada masyarakat luas di luar sana, masih banyak perusahaan broker properti lain yang lebih profesional dan lebih etis menawarkan produk properti, tidak perlu memaksakan diri menggunakan jasa Century 21 Indonesia—kecuali para top manajemen mereka telah diganti dan filosofi usaha mereka tidak lagi “yang penting laku, selebihnya HIT AND RUN, silahkan mintakan pertanggung-jawaban kepada pihak pemilik tanah / rumah”.

Singkatnya, jangan bersikap seolah-olah di Indonesia ini hanya ada broker satu ini, dan seolah-olah tiada tanah lain yang lebih aman untuk dibeli daripada yang dijual oleh broker Century 21 Indonesia yang jelas-jelas TIDAK BERTANGGUNG-JAWAB DEMIKIAN. Singkatnya pula, penulis siap sedia dikonfrontir perihal bahaya atau resiko dibalik “SHGB NONmurni” Vs. “SHGB murni”, suatu pengetahuan legal formil perihal hukum pertanahan yang jarang diketahui masyarakat awam di luar sana—yang mana pastilah diketahui para broker properti namun mereka bungkam dan tidak memberi edukasi kepada calon konsumennya, dan memilih untuk menempatkan posisi mereka tidak ubahnya marketing pihak developer.

Sebetulnya, menjual barang secara bebas dari “cacat tersembunyi” bukan hanya “tanggung jawab moral”, namun “tanggung jawab hukum” pula, karena norma hukum perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, telah menegaskan bahwa pengual harus serta wajib memastikan produk yang dijual olehnya bebas dari segala “cacat tersembunyi”, serta bertanggung-jawab atas segala “cacat tersembunyi” atas produk yang dijual olehnya. Pihak perusahaan broker properti akan berkilah, “Kami bukan penjualnya, kami hanya broker!” Tunggu dulu, penulis belum selesai menguraikan pandangan hukum perihal broker.

Adalah tanggung jawab moril sebagai seorang penjual (maupun kuasanya), ketika kita mengetahui bahwa diatas sebidang tanah terkandung HPL, untuk diinformasikan di muka kepada calon pembeli, alih-alih “manis di muka lalu pahit di kemudian hari”. Bukanlah “yang penting laku terjual sebanyak-banyaknya”, namun “yang penting kepuasan konsumen”, itulah perusahaan broker properti yang bonafid, kompeten, serta memiliki etika bisnis yang penuh tanggung jawab untuk dapat disebut sebagai profesional serta patut diakui kepiawaiannya mencetak kesepakatan tanpa merugikan serta tanpa mengorbankan kepentingan siapapun.

Artikel berupa ulasan hukum pertanahan terkait HPL ini dipersembahkan bagi para masyarakat umum secara luas agar terhindar dari praktik agen / broker properti yang tidak bertanggung-jawab saat menawarkan atau memasarkan produk-produk properti kepada publik, dimana relevansi dan kebenaran ulasan hukum ini adalah masyarakat luas yang menjadi “juri”-nya serta para konsumen (terutama kalangan konsumen tanah-tanah HGB NON-Murni yang selama puluhan tahun ini telah pernah dijual oleh Century 21 Indonesia) yang menjadi “hakim” pemutusnya—karena merekalah pemangku kepentingan yang paling merasakan dampaknya dikemudian hari.

Bila agen atau perusahaan broker property seperti Century 21 hanya “mau untung besar” namun tidak mau menanggung beban “resiko usaha”, itu manyalahi etika bisnis berikutnya, yakni postulat : “High gain, HIGH RISK!”, atau bila kita balik secara argumentum a contrario menjadi : “NO RISK, NO GAIN!” Tanggung-jawab moril pihak pelaku pemasaran produk-produk properti kepada konsumennya untuk memastikan produk yang dibeli oleh konsumennya ialah bebas dari segala cacat tersembunyi, aman, dan utuh serta tidak merugikan pihak konsumennya.

Sangatlah tidak etis, bila para pelaku usaha broker properti, setelah berhasil menjual produk properti, lantas dikemudian hari, sebagai contoh, pihak developer gagal dan abai memecah sertifikat untuk dapat dibalik-namakan ke atas nama konsumen selaku pembeli, maka apa serta sampai sejauh apakah beban tanggung-jawab moril pihak broker properti yang bekerjasama dengan pihak developer selaku tenaga pemasarannya, selain seketika lempar tanggung jawab kepada pihak developer sekalipun sejatinya mereka menikmati fee jasa penjualan dari konsumen maupun dari pihak pemilik tanah dan/atau bangunan yang diperjual-belikan?

Secara hukum, broker / agen properti adalah penerima kuasa untuk menjual / memasarkan dari pihak pemilik tanah / rumah selaku pemberi kuasa kepada pihak broker / agen properti. Karena sifatnya secara perdata ialah wakil yang menerima kuasa dari pemilik tanah / rumah untuk menawarkan, memasarkan, dan/atau menjual, maka menjadi wajar bila fee marketing dipungut oleh pihak broker kepada pihak pemilik tanah / rumah, karena ia diutus atau dipekerjakan oleh pihak pemilik tanah / rumah. Kedua, calon konsumen selaku calon pembeli wajib meminta bukti Surat Kuasa tersebut, setidaknya berupa surat perjanjian yang secara tegas dan khusus menerangkan bahwa sang agen / broker bertindak selaku wakil yang ditunjuk secara sah dan sahih secara hukum untuk menjual dan menawarkan dalam rangka memasarkan tanah / rumah milik pihak pemberi kuasa.

Artinya, secara legal yuridis formal, pihak perusahaan broker properti memiliki tanggung-jawab yang sama seperti tanggung jawab seorang pemilik objek tanah / rumah jual-beli saat melakukan penjualan, penawaran, pemasaran, dsb, terhadap calon pembeli maupun kepada pembeli, antara lain menjamin bahwa objek jual-beli bebas dari cacat tersembunyi, dapat dinikmati bebas dari segala jenis masalah maupun gangguan dikemudian hari, tidak terkecuali termasuk pada kewajiban bersikap transparan serta akuntabel.

Kedua, yang paling menarik ialah, karena sifatnya sebagai kuasa penjual, maka calon pembeli berhak menanyakan dan meminta klarifikasi segala sesuatunya seolah-olah sang broker / agen properti ialah pemilik objek tanah / rumah yang diperjual-belikan, semisal meminta diperlihatkan ASLI kelengkapan dokumen legalitas objek tanah / rumah, seperti sertifikat hak atas tanah, Izin Mendirikan Bangunan, bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain sebagainya. Bila pihak broker / agen menolak memperlihatkan, dengan alasan semata sebagai agen properti, maka itu artinya broker yang tidak profesional disamping “tiada guna” karena sejatinya calon pembeli dapat langsung menghubungi dan bertemu pihak pemilik tanah / rumah untuk klarifikasi, negosiasi, dan transaksi tanpa diperantarai seorang penerima kuasa menjual semacam broker properti.

Ketiga, ialah perihal profesionalisme profesi broker properti. Sekaligus statusnya ialah sebagai penerima kuasa menjual dari pihak pemilik objek tanah / rumah yang diperjual-belikan, namun ia tidak boleh semata berdiri hanya demi kepentingan pihak pemilik tanah / rumah, namun juga sebagai seorang profesional perlu memberi edukasi dan memerhatikan kepentingan pihak calon konsumen, seperti menerapkan asas keterbukaan serta akuntabilitas sebagaimana telah kita bahas di muka.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.