SENI PIKIR & TULIS
Orang Baik, Membela dan Memihak HUKUM KARMA. Orang Jahat (Pendosa yang Berdosa), Membuta Mengimani PENGHAPUSAN / PENEBUSAN DOSA
Para pembaca dengan ini penulis ajak untuk mengikuti tantangan berupa memasuki ranah permainan jawab-menjawab pertanyaan sederhana yang terdiri dari tiga buah ragam pertanyaan, singkat namun mampu memutar-balikkan dunia, dengan rincian sebagai berikut : Pertama, apakah yang akan Anda lakukan, bila seandainya di dunia ini tidak ada Hukum Negara? Kedua, apakah yang akan Anda lakukan, bila seandainya di dunia ini tidak ada Hukum Karma? Ketiga, apakah yang akan Anda lakukan, bila seandainya di dunia ini ADA atau eksis perihal “too good to be true” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”? Mungkin, sebagai pelengkap, ialah pertanyaan keempat berikut, dunia semacam apakah, yang akan tercipta bilamana satu atau lebih “andaikata” di atas, benar-benar terjadi dalam realita?
Cobalah untuk merenungkannya sejenak, dan jawab di benak Anda sejujur mungkin serta secara spontan untuk melihat tendensi dorongan hati diri kita masing-masing, hal-hal apa saja yang akan Anda lakukan seandainya satu atau lebih “andaikata” di atas, benar-benar terjadi adanya saat kini atau mungkin juga di masa mendatang. Faktanya, antara jawaban atas pertanyaan pertama, kedua, maupun terhadap pertanyaan ketiga (serta keempat), kita akan menemui realita bahwa jawaban kita akan mengerucut membentuk suatu keseragamam, alih-alih beragam.
Ketika Hukum Negara belum eksis dan dibentuk, yang berlaku ialah “Hukum Rimba”, dimana yang kuat memakan yang lemah, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus) dalam arti yang sesungguhnya, tanpa lagi rambu-rambu maupun batasan yang mampu menghentikan nafsu dan kebuasan mereka. Sekalipun demikian, sekalipun pasa masa “zaman batu purbakala” yang berlaku ialah “Hukum Rimba”, telah ternyata nenek-moyang kita meski tidak sekuat Hercules ataupun tidak sebesar Dinosaurus T-rex sang karnivora yang gagah berkasa serta menakutkan, tetap dapat “survive” serta bertahan hidup, dimana justru dinosaurus T-rex yang mengalami kepunahan karena tidak lolos seleksi alam ala “survival of the fittest”. Mengapa dapat terjadi demikian? Karena masih berlaku Hukum Karma, dimana yang berbuat kejahatan sama artinya mematikan dan menggali lubang kubur bagi dirinya sendiri sehingga perlahan namun pasti mendegradasi eksistensi diri mereka sendiri.
Hukum Karma, dengan demikian menjadi “jaring pengaman” (safety nett) serta berfungsi sebagai “garda terdepan” bagi peradaban manusia untuk memastikan yang lemah dan kurang dominan, tetap dapat eksis serta bertahan hidup, sementara yang kuat dan dominan tidak tergoda untuk menyalah-gunakan kekuatan dan posisi dominannya. Bahkan, dengan menyadari dan menginternalisasi kesadaran perihal Hukum Karma, masing-masing dari kita akan berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan menghindari perbuatan jahat (menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain) sekecil apapun. Bilamana seluruh warganegara menyadari dan memahami perihal eksistensi Hukum Karma, maka Hukum Negara tidak lagi memainkan peran sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, alias cukup mengatur seperlunya saja dan tidak membutuhkan pengaturan yang “gemuk” norma hukum pidana dalam suatu negara.
Namun, ancaman terbesar justru datang dari munculnya ideologi berbau dogma semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, yang mana menegasikan atau menihilkan peran sentral eksistensi Hukum Karma sebagai hukum yang mengatur setiap bentukan makhluk hidup di alam semesta dan di muka bumi, tanpa terkecuali. Saat sebelum terbitnya ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, setiap orang baik secara otomatis akan masuk alam surgawi, dan orang jahat akan memasuki alam neraka, apapun agamanya atau bahkan tidak beragama sama sekali. Namun setelah terbitnya ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, orang-orang baik tersisihkan bahkan orang-orang jahat yang notabene berdosa dan pendosa justru memonopoli jalan menuju “surga”—menjadi “kabar baik” bagi siapa, dan menjadi “kabar buruk” bagi siapa?
Apapun itu, bilamana memang benar adanya hal “too good to be true” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka kita juga akan menemui jawaban serupa seperti ketika kita menjawab pertanyaan pertama dan pertanyaan kedua, yakni segala macam jenis kejahatan paling kecil hingga paling besar, paling licik, paling serakah, paling tidak manusiawi, paling serakah, paling kejam, paling keji, hingga paling jahat yang dapat kita bayangkan, yang pada pokoknya ialah menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain serta makhluk hidup lainnya.
Mengapa ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, disebut sebagai ideologi “korup”? Jawabnya ialah semata karena korban tidak diberikan haknya untuk menuntut keadilan serta bahkan juga tidak didengar suara-suara dan aspirasi tuntutannya bagi sang pelaku, sekalipun selama hidupnya telah banyak disakiti, dilukai, dan dirugikan oleh para pendosa demikian. Menjadi mulai dapat kita maklumi, bahwasannya ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” merupakan musuh peradaban sekaligus “virus” yang membajak cara berpikir manusia menjadi sebentuk “hewanis” yang “predatoris” terhadap sesamanya—namun, sesama serigala adalah wajar saling akur, namun tidak terhadap seekor kelinci maupun biri-biri, si “mangsa empuk”.
Sebaliknya juga berlaku, bilamana terdapat Hukum Karma, maka ideologi “korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” tidak mungkin eksis disaat bersamaan bersama Hukum Karma, karena Hukum Karma menegasikan ideologi-ideologi “korup” semacam demikian. Hukum Negara boleh runtuh, boleh mengandung muatan pasal-pasal yang patut kita ragukan itikad baiknya, namun pilar terakhir “standar moral” umat manusia ialah prinsip emas “perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, dan jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan” yang mana notabene pengejewantahan dari Hukum Karma.
Bila Hukum Negara merupakan “standar hidup” antar warganegara dalam suatu bangsa yang hidup saling berdampingan, berbagi ruang gerak dan sumber daya alam, maka Hukum Karma merupakan “standar moral” yang mengatur antar individu satu sama lainnya, baik pada ruang terang-benderang maupun pada ruang temaram sekalipun. Sementara itu, bagaikan pil beracun yang manis rasanya, ideologi “korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” merupakan sebentuk “standar kecurangan” yang menggerogoti sendi-sendi kemanusiaan bangsa beradab, dimana seorang manusia terdegradasi keluhuran eksistensinya dari “manusia humanis” menjelma menjadi menyerupai “manusia iblis”. Beragama dan ber-Tuhan, seharusnya menjadikan seorang umat manusia menjadi lebih “humanis” serta “ksatrianis” disamping “Tuhanis”, alih-alih “hewanis” ataupun “premanis” yang “aroganis” serta “kanibalis”.
Ketika Hukum Negara runtuh, peperangan (dari segi mentalitas) yang muncul ialah antara kaum pembela Hukum Karma versus kaum pengikut ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, bukan dalam konteks paksa-memaksa keyakinan maupun perang fisik, namun para pengikut ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” tidak akan ragu ataupun sungkan untuk berbuat jahat kepada kaum “ahimsa” (kaum pengikut ajaran mengenai Hukum Karma), yang dipandang sebagai “mangsa empuk”. Sementara kaum pengikut Hukum Karma cenderung mengendalikan dan mawas diri, maka kaum penyembah ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” lebih cenderung tidak lagi memiliki kontrol atas kendali diri, terlebih menaruh waspada terhadap niat dan perbuatannya sendiri, tidak lagi terhentikan untuk berbuat jahat dengan melukai, merugikan, ataupun menyakiti pribadi lainnya.
Sebagai jawaban atas pertanyaan “pamungkas”, akan menjadi dunia seperti apakah alam semesta ini, baik dunia manusia maupun dunia surgawi dan alam baka lainnya, bilamana Hukum Karma tidak eksis, sementara itu yang berlaku ialah ideologi “korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”? Kondisi dunia manusia sekarang ini, sudah merupakan cerminan atau miniatur alam surgawi ketika para pendosa tersebut dihapus / ditebus dosa-dosanya dan diberi “karpet merah” menjadi penghuni alam surgawi, yakni saling berperang satu sama lainnya, saling melukai satu sama lainnya, saling merugikan satu sama lainnya, serta saling menyakiti satu sama lainnya—alias saling menjahati satu sama lainnya, tanpa rasa malu terlebih rasa takut berbuat kejahatan demikian. Itukah, dunia yang hendak kita yakini, pupuk, bentuk, bangun, lihat, dan ciptakan serta wariskan kepada generasi penerus kita?
Ketika kejahatan (dosa) menjadi suatu hal yang dapat dikompromikan oleh keberlakuan ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka apanya lagi yang tersisa dari istilah seorang “manusia” selain sekadar nama dan bentuk fisik namun tidak memiliki jiwa seorang manusia yang humanis? Terlebih mengerikan dan menyerupai “neraka dunia”, ketika umat manusia demikian kompromistis terhadap dosa maupun maksiat, namun disaat bersamaan sangat tidak toleran serta tidak kompromistis terhadap kaum pemeluk keyakinan keagamaan yang berbeda secara majemuk, sebagaimana dapat kita lihat pada sejarah berbagai keyakinan keagamaan yang terus mewariskan konflik berdarah tidak berkesudahan, sebuah “kebiadaban” (lawan kata “peradaban”), yang “haus darah”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.