SENI PIKIR & TULIS
Patuh, Moderat, Pelanggar yang Menyimpangi Ajaran, Lihat Konteksnya, Bukan Teksnya
Semua kalangan teror!s, tumbuh dari latar belakang keluarga umat beragama yang moderat. Pertanyaannya, mengapa salah satu anggota keluarganya tersebut dapat menjelma menjadi seorang teror!s yang radikal serta ekstrem perilakunya? Bila pemeluk ekstremis “agama komun!sme”, tidak akan menjadi se-ekstrim dan se-radikal kaum teror!sme, maka mengapa “agama komun!sme” dilarang dan di-“brendel” di negeri kita?
Sama halnya, para pemeluk ekstremis “agama liberalisme”, se-fanatik apapun terhadap konsep Adam Smith tentang pasar bebas ala “the invisible hand” si “tangan-tangan tidak kasat mata” yang mengatur ekuilibrium harga yang terbentuk di pasar sesuai hukum permintaan dan penawaran, tidak akan menjelma menyerupai para kaum radikal semacam aksi teror!sme penuh pertumpahan darah, sehingga mengapa “agama liberal!sme” justru ditabukan serta terlarang oleh negara kita, meski umat pengikut dari kedua agama yang disebutkan terakhir, banyak yang cukup baik alias cukup moderat dengan bersikap “tidak terlampau l!beral” serta “tidak terlampau komun!s”?
Karenanya pula, ancaman terbesar bagi dunia dan peradaban manusia, bukan bersumber dari kedua “agama” dimaksud yang saling bertolak-belakang serta tidak pernah “akur” antar kubu, setidaknya mereka tidak saling “membunuh” hanya demi memperjuangkan keyakinan mereka. Bila itu murni sentimen keagamaan Komun!sme Vs. Liberal!sme, maka yang ada ialah sejauh dan sebatas “perang dagang” maupun “perang dingin”, berbeda halnya dengan politik yang membonceng isu keagamaan dan menjadikannya sebagai tunggangan sebagai “alasan pembenar” atau alibi untuk mengerahkan pasukan bersenjata untuk menginvasi suatu negara tetangga dengan kiblat keagamaan yang berbeda.
Baik sang Bapak pencetus agama sejuta umat “liberal!sme” maupun “komun!sme”, memiliki Kitab “Sakral”-nya masing-masing serta “nabi”-nya masing-masing yang diagungkan oleh para pengikutnya, yakni Adam Smith yang menuliskan buku berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”, serta Karl Marx sebagai penulis Kitab berjudul “Das Kapital” (Marx dan rekannya, Friedrich Engels, menuliskan Kitab berjudul “The Communist Manifesto”). Masing-masing pun memiliki simbol “Tuhan” yang mereka sembah, yakni “uang” ataupun “buruh” yang di-Tuhan-kan oleh para pengikutnya masing-masing. Karenanya, bila kita menyebut keduanya sebagai sekadar “ideologi”, maka sejatinya tiada istilah “agama” di dunia ini.
Kini tidak masuk pada fokus bahasan utama, yang mana pada mulanya hanya hendak mengulas secara ringan dan sederhana, namun agar lebih elaboratif dan lugas, uraian berikut akan dapat cukup ampuh membuka khazanah berpikir dan sudut pandang baru bagi para pembaca yang budiman. Terdapat tiga derajat sikap iman dan sikap lahiriah dari seorang umat, berupa tiga buah derajat dimensi berupa : patuh, moderat kepatuhannya, menyimpang serta melanggar alias tidak mengindahkan apa yang tertuang di dalam Kitab sumber agama mereka. Namun, titik berat penentunya bukanlah ketiga dimensi di atas, melainkan kedua poros berikut, yakni “Agama SUCI” ataukah justru “Agama DOSA”.
Kita mulai dari tiga gradasi pada “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”, dimana para pengikutnya yang patuh akan menjadi seorang “ahimsa” serta “suciwan”, yang mana sama sekali tidak membutuhkan iming-iming “too good to be true” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Gradasi atau derajat kedua seorang umat dari “Agama SUCI”, ialah disebut sebagai para kaum ksatria. Mereka mendapat julukan demikian, bukan tanpa sebab, yakni fakta bahwa mereka masih dapat berbuat keliru dan salah sepanjang hidupnya, namun mereka memilih untuk kemudian bertanggung-jawab disamping mengakui segala kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat olehnya sepanjang hidup terhadap orang lain yang pernah mereka sakiti, lukai, maupun rugikan—tanpa berkelit ataupun lari dari tanggung-jawab, sekecil apapun, dan sekalipun tanpa dimintakan pertanggung-jawaban oleh pihak korban, sang ksatria akan proaktif mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Derajat ketiga dari “Agama SUCI”, yakni para umat “pembangkang”, yang justru melanggar dan berperilaku menyimpang, dengan menjadi seorang pelaku kejahatan seperti melukai, menyakiti, ataupun merugikan orang lainnya. Para umat pembangkan inilah, yang pada gilirannya mencoreng nama “Agama SUCI” yang diklaim sebagai agama yang secara resmi dipeluk olehnya secara administrasi kependudukan, sekalipun “Kitab Agama SUCI” sama sekali tidak mempromosikan perbuatan buruk dan jahat sekecil apapun, sebagaimana tertuang dalam kutipan ayat di bawah ini:
“Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian.
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku.
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri,
Pewaris perbuatanku sendiri,
Lahir dari perbuatanku sendiri,
Berhubungan dengan perbuatanku sendiri,
Terlindung oleh perbuatanku sendiri,
Apapun perbuatan yang kuperbuat,
Baik atau buruk,
Itulah yang akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali direnungkan.”
“Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima.” (Buddha Gotama, Sutta Udumbara)
Karenanya, umat dari “Agama SUCI” yang patuh maupun moderat, bukanlah sebuah ancaman bagi peradaban maupun “standar moral” umat manusia, oleh sebab semakin patuh mereka maka mereka akan kian menjelma “ahimsa” serta “suciwan”. Hanyalah oknum-oknum pelanggar yang menyimpang, yang menjadi ancaman berbahaya bagi kelangsungan hidup anggota masyarakat lainnya yang saling berbagi ruang gerak dan ruang nafas bersama sebagai komunitas makro bernama bangsa ataupun sebagai sesama tetangga dalam “global vilage”—dimana seringkali tipe manusia pelanggar tersebut hanyalah sekadar “umat KTP” alias sekadar mencantumkan nama “Agama SUCI” pada Kartu Tanda Penduduk mereka, namun sama sekali tidak menjiwai terlebih mengimani.
Konstras serta berkebalikan dengan yang di atas, umat pengikut dari “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”, justru mempromosikan serta berkompromi terhadap perbuatan-perbuatan jahat (dosa maupun maksiat) sehingga pelakunya disebut sebagai seorang pendosa yang telah berdosa. Semakin fanatik dan percaya membabi-buta, maka semakin ia akan cenderung menjelma radikal dan ekstremis dari segi kekerasan fisik hingga tanpa kompromistis terhadap kaum yang berbeda keyakinan—namun disaat bersamaan justru bersikap penuh kompromi terhadap dosa dan maksiat.
Derajat atau gradasi menengah dari “Agama DOSA”, itulah yang kemudian dikenal dengan istilah “moderat”, alias tetap berbuat jahat (seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lain), namun setidaknya mereka tidak menjelma aksi teror!sme yang sangat intoleran dan haus pertumpahan darah hingga merenggut nyawa hidup kaum yang berbeda sebagai tujuan spiritual keagamaan mereka, dimana kerajaan “Tuhan” (versi mereka) barulah tegak ketika kemajemukan umat beragama dibumi-hanguskan. Baik yang radikal ekstremis maupun kaum “moderat”, sama-sama menjadi penyembah sekaligus pelanggan setia iming-iming dogmatis penuh propaganda terhadap perbuatan jahat, buruk, tercela, berdosa, serta kotor seperti “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Tipe derajat atau gradasi ketiga dari “Agama DOSA”, ialah mereka yang tergolong “ahimsa”, semata karena selama ini mengimani “agama versi fantasi” mereka sendiri, sehingga hidup secara toleran serta menjauhi diri dari perbuatan-perbuatan jahat agar tidak menjadi seorang pendosa, yang mana disaat bersamaan artinya diri mereka telah melanggar serta menyimpang dari apa yang diperintahkan oleh “Agama DOSA” sebagaimana perintah-perintah dalam “Kitab DOSA”, yakni dengan tidak mengindahkan ayat-ayat berikut:
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."
- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Demikianlah telah kita petakan bersama tiga corak ragam gradasi masing-masing kutub, antara “Agama SUCI” Vs. “Agama DOSA”, dimana makna beriman, patuh, dan penyimpang menjadi sama sekali kontras sebagai perbandingan antara keduanya. Singkatnya, dalam perspektif “Agama DOSA”, semakin fanatik dan semakin beriman sang umat pemeluknya, maka akan semakin membahayakan eksistensinya bagi keberlangsungan hidup umat manusia pada suatu komunitas negara. Namun sebaliknya, dalam perspektif “Agama SUCI”, semakin patuh pada ajaran dalam “Kitab SUCI”, maka semakin “ahinsa” serta semakin “suci” diri yang bersangkutan dan tidak menjadi ancaman bagi pihak manapun di muka bumi.
Antara moderat yang satu, “Agama DOSA”, umat pengikutnya cenderung berbondong-bondong hingga berlomba-lomba berbuat jahat, semata-mata karena termakan oleh iming-iming dogma “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Sebaliknya, kontras dengan itu, para ksatria (kaum moderat versi “Agama SUCI”), juga memiliki kecenderungan berbuat buruk, namun mereka akan senantiasa memilih untuk bertanggung-jawab dan bersedia dimintakan pertanggung-jawaban tanpa berbelit-belit, tanpa berkelit, tanpa beralibi, serta tanpa banyak alasan, dalih, ataupun pembenaran diri.
Antara pelaku penyimpang, yang satu dalam perspektif “Agama DOSA” justru menjelma manusia yang moralis serta anti kekerasan fisik, semata karena kurang beriman atau karena mengimani “Agama DOSA versi fantasi” mereka yang kurang memiliki rujukan kepada “Kitab DOSA”. Sebaliknya, kontras dengan itu, kaum pelanggar pada “Agama SUCI”, justru bertindak berseberangan dengan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh “Agama SUCI” dalam “Kitab SUCI”, semata karena sekadar mencatut nama agama sebagai bagian dari identitas Kartu Tanda Penduduk atau sekadar menjalankan ritual keagamaan semata namun minim esensi penjiwaan dan keyakinan terhadap ajaran “Agama SUCI” yang dipeluk oleh sang pelanggar yang menyimpang.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.