ARTIKEL HUKUM
Sudah Lunas Cicil KPR, Sertifikat Rumah Belum Diberikan Bank
Bukan cerita ataupun berita baru, namun sudah menjadi momok klasik yang tidak kunjung usai sampai saat kini sejak puluhan tahun lampau dimana setiap tahunnya ditengarai jatuh korban puluhan ribu warga selaku konsumen produk properti sekaligus nasabah debitor KPR lembaga keuangan, seolah negara tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat sekalipun “papan” termasuk satu dari tiga kebutuhan pokok penduduk, dimana para nasabah debitor fasilitas KPR dibiarkan bergelut seorang diri tanpa perlindungan hukum serta tanpa adanya kepastian hukum menghadapi dominasi kalangan lembaga keuangan yang kuat serta “raksasa”, terombang-ambing oleh mekanisme pasar ala “invisible hand” liberalisme (utopia rekaan Adam Smith yang hanya relevan dalam sistem pasar yang sangat sederhana), tanpa daya tawar, bermuara pada dipermainkannya nasib debitor fasilitas KPR dimana sekalipun belasan hingga puluhan tahun kemudian fasilitas KPR telah dilunasi cicilannya, namun telah ternyata sertifikat hak atas tanah dimana rumah yang dibeli debitor berdiri, tidak kunjung dan tidak pernah diberikan / diserahkan oleh pihak kreditor fasilitas KPR.
Beruntung bila sebagai konsumen maupun nasabah debitor, Anda mendapatkan sertifikat tanah yang menjadi milik serta memang sudah merupakan hak Anda. Namun, tidak semua konsumen dan nasabah debitor seberuntung Anda, karenanya negara tidak boleh membiarkan warga masyarakatnya “berspekulasi dengan nasib”, dimana itikad baik bergantung di tangan pihak penjual rumah serta kejujuran pihak lembaga keuangan penyedia fasilitas KPR (Kredit Pemilikan / Pembelian Rumah).
Pertanyaan besarnya, bagaimana bila pihak penjual rumah atau pengembang (developer) perumahan ternyata tidak beritikad baik seperti secara serius dan bertanggung-jawab memecah sertifikat induk hak atas tanah miliknya dan dibalik-namakan ke atas nama pembeli disamping ternyata tiadanya asas transparansi dari pihak lembaga keuangan penyedia fasilitas KPR perihal sudah atau belumnya pihak developer menyerahkan sertifikat hak atas tanah dimaksud, apakah nasib konsumen dan sang nasabah debitor, dibiarkan begitu saja “menggantung” di ujung tanduk?
Negara harus hadir, memberikan perlindungan hukum agar yang kuat tidak memangsa yang lebih lemah, tidak lagi sekadar sebagai “watch dog”. Tidak selamanya pula kita dapat mengusung konsep “equality before the law”, karenanya senyatanya daya tawar antara debitor lembaga keuangan Vs. lembaga keuangan semacam perbankan, jauh tidak berimbang, karenanya negara perlu tampil memberikan “affirmative action” agar ketimpangan tidak jauh bersenjang yang hanya lebih menguntungkan pihak yang lebih dominan daya tawarnya kapitalisasinya.
Realita di lapangan maupun dari teknis peraturan perundang-undangan di Indonesia memperlihatkan, selama ini yang berlaku ialah “hukum rimba”, dimana konsumen produk properti sekaligus nasabah debitor dibiarkan “berspekulasi dengan nasib” ada atau tidaknya itikad baik dari pihak developer dan perbankan, tanpa berdaya menerima kenyataan pahit ketika ternyata fasilitas KPR telah dilunasi namun ternyata nihil diberikan apa yang menjadi haknya, dimana pihak perbankan lepas tanggung-jawab, cuci tangan (semata karena angsuran telah dicicil oleh sang debitor hingga lunas, serta semudah melempar kesalahan kepada pihak developer yang diklaim tidak pernah kunjung menyerahkan sertifikat hak atas tanah, sementara itu saat kini pihak developer sudah tidak jelas keberadaannya disamping tiadanya keterbukaan dari pihak perbankan penyedia fasilitas KPR bahwasannya dari bertahun-tahun atau bahkan dari belasan hingga berpuluh-puluh tahun lampau sejak fasilitas KPR dikucurkan, pihak developer tidak pernah menyerahkan sertifikat tanah milik atas nama sang debitor, sehingga sang nasabah debitor telah “terkecoh” dan “dikecoh” secara sistematis sehingga terus mencicil hingga lunas semata karena “termakan” oleh harapan semu bahwa eksis adanya sertifikat tanah miliknya di tangan pihak perbankan yang menunggu untuk “ditebus” dengan cara melunasi cicilan.
Ditengarai secara kuat, namun tanpa bermaksud menggeneralisir, terdapat sindikat yang terdiri atas pihak developer yang disinyalir berkolusi bersama pihak lembaga keuangan penyedia fasilitas KPR, menawarkan produk properti kepada masyarakat, namun sejak awal telah di-desain atau telah dirancang modus sedemikian rupa, dimana ketika konsumen produk properti tersebut membeli dengan menggunakan fasilitas KPR, maka pihak perbankan akan menutupi informasi bahwa tiada penyerahan sertifikat hak atas tanah apapun kepada pihak perbankan, selama bertahun-tahun hingga berpuluh-puluh tahun selama masa berlakunya fasilitas KPR, sehingga konsumen sekaligus sang nasabah debitor mengalami “distorsi atau bias informasi” (misleading information) dengan terus-menerus diminta dan diwajibkan mencicil fasilitas KPR hingga lunas, sementara itu sang nasabah debitor berasumsi bahwa mereka akan mendapatkan apa yang menjadi haknya ketika telah mencicil hingga lunas, ternyata hingga fasilitas KPR lunas tiada kunjung realisasi penyerahan sertifikat hak atas tanah dimaksud oleh pihak perbankan, yang mana semudah melemparkan tanggung-jawab kepada pihak developer yang kini sudah tidak jelas keberadaan maupun “batang hidung”-nya.
Tidak mengehrankan, bahkan sudah lazim kita dengar, masyarakat konsumen produk properti merangkap nasabah debitor fasilitas KPR, membuat komentar maupun tudingan yang logis, sebagai berikut : “Sudah tidak percaya lagi terhadap KPR-KPR-an-lah. Banyak kongkalikong antara developer dan bank. Harusnya bank tidak memberikan KPR jika sertifikat belum pecah atau belum jadi. Banyak sekali kejadian seperti ini di lapangan. Hingga sudah lunas cicilan KPR, tapi sertifikat entah kemana.”
Bisa jadi, Anda adalah salah satu diantara ribuan (atau bahkan puluhan ribu) masyarakat kita yang setiap tahunnya menjadi korban modus operansi “kongkalikong” antara pihak developer penjual produk properti dan pihak lembaga keuangan selaku penyedia fasilitas KPR. Tudingan demikian bukanlah tanpa dasar, terbukti dari tiadanya asas transparansi dan akuntabilitas dari pihak lembaga keuangan selaku penyedia fasilitas KPR berupa keterbukaan informasi perihal status sertifikat hak atas tanah, apakah telah diserahkan oleh pihak developer selaku penjual produk properti ataukah justru terjadi kendala, dan ketertutupan pihak bank demikian berlangsung selama bertahun-tahun hingga berpuluh-puluh tahun lamanya dan baru diungkap masalah terkait sertifikat objek KPR kepada sang nasabah debitor ketika fasilitas KPR telah dilunasi sepenuhnya.
Testimoni-testimoni pengalaman serupa, sebagai bukti bahwa kejadian-kejadian demikian dibiarkan oleh otoritas negara untuk terus-menerus terjadi tanpa pelindungan hukum yang memadai bagi konsumen produk properti sekaligus merangkap nasabah debitor fasilitas KPR, sebagaimana dapat kita jumpai dengan nada serupa, seperti beberapa diantaranya, sebagai berikut:
- “Kalau beli rumah secara kredit, pastikan sertifikat keluar ketika akad selesai... kejar terus bank dan notarisnya... dulu pengalaman, begitu akad ttd selang 3 bulan saya langsung minta copy perjanjian kredit dan copy sertifikat sekaligus akta hak tanggungannya.” Kita tidak dapat mengandalkan itikad baik pihak bank terlebih developer, mengingat budaya kejujuran masyarakat di Indonesia, meski dikenal “agamais”, namun “tiadanya rasa takut berbuat dosa” lewat sikap tidak bertanggung-jawab.
- “Sama persis kaya saya... tidak ada sertifikatnya.. Lebih parahnya lagi disuruh ttd dokumen yg kesannya lepas tangan disuruh urus sendiri ke developer (pas kasih dokumen ke orang tua saya, ngomongnya tidak jelas dan tidak terperinci dan terburu-buru, modus untuk berkelit dan membuat bingung debitor), tahu gitu gak mau ttd... Sudah ke kepala cabang juga cuma pura-pura mau diurus!! Berdasarkan dokumen tsb, bank akhirnya lepas tangan.. padahal developer sudah tidak aktif lagi.. nasib.” Nasib demikian tidak akan terjadi, seandainya pemerintah hadir dan mengantisipasi lewat regulasi yang tegas.
- “Pengalaman sama persis dengan adik saya di dramaga asri Bogor, selesai KPR 2019, TAPI SAMPAI SAAT INI (juli 2021) sertifikat belum diterima bahkan PIHAK BTN tidak bertanggung jawab alias lepas tangan terhadap masalah ini. BTN Bogor hanya memberikan saran ini itu, tapi sudah 3 tahun masalah ini terus berlarut-larut.”
Kita tidak perlu mengalami pengalaman buruk yang sama dengan yang telah banyak menimpa masyarakat kita selaku korban produk properti yang diperkeruh oleh tiadanya asas transparansi dan akuntabilitas kalangan perbankan selaku penyedia fasilitas KPR, kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah ada sebagai langkah antisipasi. Berikut Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS rangkumkan sejumlah kiat untuk mengatasi dan mengantisipasi agar tidak terjebak menjadi korban “modus” serupa, konsumen produk properti dan nasabah debitor fasilitas KPR perlu bersikap cerdas dan tidak “buta informasi”.
Langkah pertolongan pertama ialah, jangan mau membayar cicilan KPR bilamana pihak bank tidak bisa (ataupun bila tidak bersedia) memberi lihat sertifikat tanah objek KPR yang telah diatas-namakan nama pihak nasabah debitor, semata agar pihak bank “kelabakan” karena tidak punya agunan berupa objek Hak Tanggungan yang dapat dieksekusi dan dijual-lelang sewaktu-waktu debitor cidera janji melunasi fasilitas KPR, sementara itu nasabah debitor mengancam tidak akan mau mencicil, dimana pihak bank sudah terlanjur bayar penuh / utuh / lunas kepada pihak developer selaku penjual produk properti, sehingga yang akan mengejar-ngejar dan membuat tekanan sosio-psikologis kepada pihak developer, ialah pihak bank, bukan lagi pihak debitor yang harus bersusah-payah membuang waktu dan energi psikis untuk mengejar-ngejar mereka semua—bahkan hingga mengemis-ngemis itikad baik pihak penjual maupun bank atas apa yang memang sudah menjadi hak pihak nasabah debitor fasilitas KPR.
Perlu masyarakat di Indonesia maupun konsumen produk properti dan debitor fasilitas KPR ketahui, jika pihak bank tidak transparan memberi informasi sudah ada sertifikat tanah atau belumnya, maka yang “enak-enakan” ialah pihak bank, debitor bayar terus cicilan bulanan sampai lunas (karena termakan asumsi “positive thinking” bahwa sertifikat tanah sudah di tangan bank dan dapat ditebus saat cicilan fasilitas KPR telah dilunasi), sementara itu bisa jadi (dan besar kemungkinan) sertifikatnya tidak pernah ada di tangan bank, atau bahkan masih atas nama developer berupa “sertifikat induk” yang tidak kunjung dipecah dan dibalik-namakan ke atas nama konsumen pembeli properti, dan developer-nya sudah kabur entah kemana atau bahkan sudah bangkrut dan hilang tanpa jejak belasan tahun kemudian karena fasilitas KPR bisa memiliki tempo waktu kredit selama belasan hingga puluhan tahun lamanya—yang disebut terakhir, perlu dipahami betul oleh pihak konsumen produk properti yang dibeli olehnya dengan menggunakan fasilitas KPR.
Hal kedua yang perlu dipahami dengan baik, jika fasilitas KPR sudah lunas, baru mengejar sertifikat, itu namanya sudah “sangat amat terlambat” (alasannya, rujuk kembali paragraf sebelumnya di atas). Bisa jadi saat fasilitas KPR telah usai, belasan hingga puluhan tahun kemudian, besar kemungkinan pihak developer telah “hilang jejak” sehingga sukar hingga bahkan mustahil ditagih kembali kewajibannya, dan pihak perbankan dapat semudah lepas tanggung-jawab semata karena kredit telah dilunasi sang debitor. Idealnya, proaktif dilakukan oleh pihak nasabah debitor sudah dimulai pada bulan-bulan awal paska penanda-tanganan fasilitas KPR untuk menagih realisasi eksistensi sertifikat hak atas tanah objek KPR telah betul berada di tangan pihak perbankan penyedia fasilitas KPR dan telah atas nama pihak nasabah debitor selaku pembeli.
Ketiga, namun hampir dapat dikatakan sebagi mustahil akibat minimnya daya tawar pihak nasabah debitor fasilitas KPR, harus ada tercantum di dalam Perjanjian Fasilitas KPR (Akta Kredit), yang menjadi hak debitor ialah salah satunya diberikan sertifikat objek fasilitas KPR saat fasilitas KPR telah lunas atau setidaknya diperlihatkan kepada pihak nasabah debitor saat masih dalam masa cicilan fasilitas KPR agar nasabah debitor mengetahui bahwa sertifikat hak atas tanah objek rumah yang dibeli olehnya dengan fasilitas KPR telah eksis dan ada di tangan bank disamping kepastian bahwa sertifikat tanah telah atas nama sang pembeli, sehingga nasabah debitor dapat mencicil dengan tenang hingga lunas sebagai cara “menebus” sertifikat untuk dibebaskan dari status sebagai agunan kredit dari tangan pihak bank.
Masalahnya, besar kemungkinan phak bank penyedia fasilitas KPR tidak bersedia mengakomodir kepentingan pihak nasabah debitor, menutup diri dari ruang tawar-menawar, dengan alasan “sudah menjadi kontrak baku” (sikap defensif pihak perbankan yang ingin “aman dan selamat” sendiri), maka bila daya tawar pengguna jasa fasilitas KPR yang dipastikan lebih lemah daripada dominasi “keangkuhan” raksasa perbankan, solusinya ialah:
- Pertama, intervensi pemerinah selaku otoritas dengan menerbitkan regulasi yang ketat dalam rangka melindungan kepentingan hukum pihak konsumen dan nasabah debitor fasilitas KPR, sebagai realisasi konsep negara hadir di tengah-tengah masyarakat untuk melindungi dan menyeimbangkan daya tawar yang timpang-bersenjang.
- Kedua, tagih terus dari bulan-bulan awal fasilitas KPR dicairkan, jika ternyata tidak ada fisik sertifikat tanah objek fasilitas KPR yang sudah atas nama pihak nasabah debitor, artinya pihak bank tidak mempunyai Hak Tanggungan atas objek tanah fasilitas KPR, maka untuk itu solusi paling ideal ialah JANGAN MENCICIL, biarkan bank yang menjelma “kelabakan” karena tidak bisa me-lelang eksekusi rumah yang dibeli oleh sang nasabah debitor, mengingat melunasi pun adalah mubazir disamping percuma, semata karena tiada sertifikat hak atas tanah yang dapat diperoleh sang nasabah debitor sementara pihak bank berkelit semudah berkata : “Developer tidak pernah menyerahkan sertifikat tanah objek fasilitas KPR kepada bank, sehingga bank juga korban dalam hal ini.” Mengapa baru membuka informasi sebenarnya, pada saat fasilitas KPR telah dilunasi selama bertahun-tahun atau bahkan selama puluhan tahun oleh sang nasabah debitor? Itulah, pertanyaan terbesarnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.