ARTIKEL
HUKUM
Conflict of
Interest Profesi Pengacara
yang Merangkap sebagai Konsultan HuKum
Sebelum Menggugat dengan atau Tanpa Kuasa Hukum, Idealnya Konsultasikan Terlebih Dahulu Masalah Hukum Anda kepada Konsultan Hukum yang NETRAL & OBJEKTIF
Apapun masalahnya, atau bahkan sejatinya sejak semula tiada masalah sama sekali, segala sesuatunya tampak menjadi bermasalah ketika suatu pihak atau seseorang mendatangi kantor pengacara untuk berkonsultasi mengenai masalah hukumnya, dimana fenomena demikian kerap penulis dapati dari cerita berbagai klien pengguna jasa konsultasi hukum yang penulis selenggarakan maupun dari pengamatan pribadi penulis. Fenomena berikut di bawah ini, penulis temukan menjadi “gaya” atau “style” rata-rata kalangan pengacara secara merata di seluruh kota di Indonesia.
Yang paling tidak etis dari
kalangan profesi pengacara yang mengaku ber-Kode Etik, sengketa hukum yang
tidak prospektif dimenangkan, bahkan sebagai profesional dibidang hukum dapat
kita prediksi akan mengalami kekalahan atau bahkan pula berpotensi digugat-balik
oleh pihak lawan, tetap saja tiada kalangan pengacara yang akan mengatakan hal
yang sebenarnya—sebaliknya, sang pengacara justru “mengompori” sang tamu (calon
“mangsa”) yang mengunjungi kantor hukumnya agar tergerak menggugat dengan
menjadikan sang pengacara sebagai kuasa hukumnya untuk menggugat.
Fakta bukti statistik, perkara gugatan
debitor “kredit macet”, hanya 0,001% dari ribuan gugatan debitor terhadap
kreditornya yang dikabulkan dan dimenangkan oleh pengadilan, dimana kesemua
debitor memakai jasa pengacara. Modus lainnya, menahan berkas-berkas dokumen milik
sang “tamu”, bahkan meminta asli dokumen, dengan alasan hendak di-review, agar sang “tamu” tidak dapat “lari”
dan terpaksa memakai jasanya. Modus lainnya lagi, berkas dokumen tidak
dikembalikan kepada sang klien saat proses banding maupun kasasi, dengan tujuan
menyanderanya agar sang klien tidak pindah hati ke kantor hukum lain.
Adalah fakta tidak
terbantahkan, seorang pengacara yang juga memberikan jasa konseling seputar
hukum kepada masyarakat yang mendatangi kantor hukumnya, semata sebagai “gimmick pemanis” alias “perangkap” atau “jebakan”
agar masyarakat yang bertamu tergerak hatinya untuk menjadikan sang pengacara
sebagai kuasa hukumnya untuk gugat-menggugat. Mengingat sang pengacara adalah
penyedia jasa litigasi upaya gugat-menggugat, dimana tarif jasanya bernilai
bombastis jauh melampaui tarif jasa konsultasi hukum yang hanya bernilai “receh”
hitungan jam yang tiada artinya, maka “konflik kepentingan” (conflict of interest) itulah tepatnya, yang
membuat tiada satu pun profesi pengacara di Indonesia yang berbicara secara
jujur apa adanya kepada seorang tamu yang bertamu untuk meminta pendapat hukum
atas masalah hukum yang dihadapi olehya.
Terdapat dua jenis “tamu” ketika
mengunjungi “perangkap” kantor pengacara yang seolah-olah memberikan layanan
jasa konsultasi hukum (jika perlu dibuat tanpa dipungut tarif konsultasi, “pemanis”
untuk menarik mangsa). Pertama, “tamu” yang sedari sejak semula sudah menggebu-gebu
hendak menggugat. Biasanya, tipikal “tamu” semacam ini berlatar-belakang
masalah “kredit macet” dimana objek hak atas tanah yang di-agunan-kan olehnya
sebagai jaminan hutang akan dilelang-eksekusi oleh pihak kreditornya. Terhadap jenis
“tamu” tipe pertama ini, itulah yang di mata kalangan pengacara, dipandang
sebagai “mangsa empuk”, karena tidak perlu dipanas-panasi ataupun dikompori,
sang tamu memang sudah “membuta” bagai banteng menyeruduk hendak menggugat
kreditornya—tentunya, dengan memakai biaya tarif jasa hukum bersumber dari dana
kredit yang disalurkan oleh sang kreditor alih-alih dikembalikan kepada
kreditornya yang menagih, dana mana kini digunakan untuk menggugat kreditornya
sendiri. “Tamu” tipe pertama ini, tergolong “tamu” yang telah kehilangan akal
rasionalnya, sehingga masuk perangkap “sarang buaya” atas kehendaknya sendiri.
Kedua, “tamu” yang serba kebingungan.
Tipe “tamu” yang kedua inilah, sang pengacara akan bermain sandiwara (dalam
arti harfiah). Penulis memiliki seorang klien, yang mana setelah penulis
evaluasi putusan pengadilan terkait sengketa hukumnya, ternyata merupakan
putusan yang sangat baik dan sudah ideal bagi kepentingan sang klien, meski
diputus secara “verstek” (sang klien
tidak pernah hadir dalam gugatan hingga putusan), karena hakimnya memutus
memang secara profesional dan objektif berimbang. Telah ternyata, sebelum
menemui penulis, sang klien telah mengunjungi sebuah kantor pengacara yang
cukup “kondang” (memiliki nama) di wilayah daerahnya. Apa yang disebutkan oleh
sang pengacara setelah disodorkan berkas putusan terkait sang klien? Sang pengacara
marah-marah, seolah sang hakim telah memutus secara sewenang-wenang dan harus
diajukan upaya hukum, hakim yang tidak kompeten, dan lain sebagainya.
Untuk masyarakat ketahui,
memberikan pendapat hukum secara netral dan objektif, tidak diatur di dalam Kode
Etik Advokat (kode etik profesi pengacara), namun menjadi Kode Etik Konsultan Hukum
(profesi yang khusus semata menyediakan jasa konseling seputar hukum). Mengingat
fakta demikian, karenanya diasumsikan bahwa setiap anggota masyarakat yang
mendatangi sebuah Kantor Hukum Pengacara, sama artinya masuk ke dalam sarang “serigala”—yang
karenanya juga sudah harus siap bila “diterkam” hidup-hidup. Terdapat sebuah
anekdot dalam sebuah kisah, seorang klien memaki pengacaranya sebagai seorang “Penipu!”, jawab sang pengacara : “Kupikir Anda sudah tahu dari awal, bahwa
semua pengacara adalah penipu.”
Kode Etik Profesi Pengacara
juga tidak melarang seorang advokat untuk bermain dalam ranah “conflict of interest” semisal membuka
kantor hukum pengacara dengan menambahkan “pemanis” (jebakan / perangkap)
berupa embel-embel “Konsultasi Hukum”—dalam rangka menjaring tipe “tamu” jenis
kedua seperti yang telah kita singgung di atas, sehingga itulah yang sudah
sejak lama menjadi modus para pengacara menjebak “tamu” yang berkunjung. Karena
itulah, penulis secara pribadi kerap menyebutkan, Kode Etik Pengacara tidaklah
selaras dengan etika seorang manusia beradab sekalipun diberi judul “Etik”. Karena
itulah, “Etika” masih lebih tinggi hirarkhi derajatnya daripada sebatas “Kode Etik”.
Ketika “Kode Etik” bertentangan dengan “Etika”, maka yang dibenarkan secara
moril hanyalah “Etika”.
Perlu masyarakat ketahui dan
pahami juga, statistik sederhana dari pengalaman penulis menelaah ribuan
putusan pengadilan maupun dari pengalaman masalah hukum berupa putusan Pengadilan
Negeri hingga Mahkamah Agung yang dibawa oleh pihak klien untuk penulis telaah,
SEPARUH dari total gugatan bermuara pada “ditolaknya” gugatan, dimana sebagian
kecil diantaranya bahkan berujung digugat-baliknya pihak penggugat dan
dikabulkan gugatan-balik yang diajukan oleh pihak tergugat.
Karena itulah, perlu mulai dipahami
oleh setiap anggota masyarakat, tiada sejarahnya menggugat diartikan “pasti
menang” ataupun selalu menguntungkan kedudukan hukum pihak yang menggugat. Setiap
anggota masyarakat perlu mulai membiasakan berespektasi secara rasional,
bahwa hanya separuh dari total gugat-menggugat yang pernah dikabulkan oleh
pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap (inkracht),
karenanya terbuka peluang mengalami kekalahan, yang artinya merugi untuk kedua
kalinya.
Bukanlah tugas dan peran profesi
semacam pengacara untuk memberi edukasi hukum kepada kliennya, tugas pengacara
ialah untuk menyalurkan “nafsu birahi” sang klien untuk gugat-menggugat (lihat
perkara gugatan yang diajukan oleh seorang negarawaran merangkap sebagai
profesi Advokat, Yusril Izra Mahendra, yang menjadi kuasa hukum “Alfamart dan
Alfamidi grub” (pemilik waralaba usaha minimarket), untuk menggugat konsumen
sekaligus donatur dari “Alfamart dan Alfamidi grub”, yang mana justru bermuara
pada di-bully-nya pihak pemilik usaha
waralaba minimarket oleh masyarakat terutama kalangan konsumen dan donatur yang
biasanya dimintakan agar uang kembalian dari pembayaran harga belanjaan, didonasikan.
Kini, sang waralaba minimarket
tersebut menderita pukulan hebat berupa bombardir sentimen negatif dari publik,
berkat “harapan semu” yang ditebarkan oleh sang pengacara yang alih-alih memberikan
nasehat yang arif dan bijaksana agar tidak menggugat konsumen sekaligus
donaturnya sendiri, dan mulai bersikap terbuka terhadap informasi yang bersifat
“domain publik”, sehingga kini sang klien harus membayar “harga”-nya, yakni
menanggung sentimen negatif oleh publik (yang dari semula calon konsumen,
menjelma pendukung aksi “boikot produk minimarket ALFA” sebagai bentuk hukuman
oleh publik), teramat “mahal”, yakni sebentuk “potential loss”.
Di mata kalangan profesi
pengacara, Anda adalah “mangsa”, sementara sang pengacara adalah kalangan predator,
dalam arti yang sesungguhnya. Menimbang fakta tersebut, bukan lagi menjadi ambigu
ketika profesi pengacara disebut sebagai “mitra hukum”, namun selalu hanya
profesi Konsultan Hukum yang berhak menyandang gelar “mitra hukum” yang paling
ideal—dimana Anda tidak perlu menggugat bila diprediksi akan berbuah kontraproduktif
terhadap kepentingan sang klien itu sendiri, ataupun dipetakan langkah-langkah preventif
(selalu lebih baik ketimbang kuratif), mitigasi, dan alternatif penyelesaian
sengketa lainnya diluar jalur gugat-menggugat.
Jangan hanya karena demi “sikap
kikir” untuk membayar tarif jasa konseling seputar hukum yang nilainya hanya
beberapa jam sesi konsultasi hukum yang tidak seberapa nilai tarifnya, lantas
berspekulasi dengan tetap juga secara irasional mengajukan gugatan dengan
memakai jasa seorang pengacara yang selalu menyambut hangat “mangsa empuk”-nya—langkah
yang gegabah, hasilnya kerapkali ialah kesia-siaan.
Boleh percaya dan boleh juga
tidak, seseorang mengaku-ngaku sebagai mantan auditor Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), menjadikan tanah miliknya sebagai agunan (selaku penjamin
pemberi jaminan kebendaan) sebagai jaminan hutang seorang debitor yang mana merupakan
sahabatnya. Ketika sang debitor jatuh dalam kondisi “kredit macet”, sang
pemilik agunan menggebu-gebu menggugat kreditornya yang hendak
melelang-eksekusi objek jaminan yang telah diagunkan oleh sang penjamin. Hasilnya
sudah jelas, gugatan “ditolak” hakim di pengadilan. Namun, dirinya masih juga
bersikukuh sebagai pihak yang paling benar.
Yang mana bukan hanya itu, sang
mantan auditor KPK ini pun bersikap selayaknya seseorang yang “lebih hina
daripada pengemis”, karena bercerita panjang-lebar masalah hukumnya tanpa
diizinkan dan TANPA MEMBAYAR SEPESER PUN tarif konsultasi, dengan
menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis serta modus berpura-pura hendak
mendaftar sebagai klien pengguna jasa—siapa juga yang bilang, semua pegawai
atau mantan pegawai KPK adalah orang-orang suciwan bak “malaikat” atau seolah-olah
sebagai orang-orang “pilihan”?
Konflik kepentingan lapis kedua
dari profesi pengacara manapun ialah, yang mereka kehendaki bukanlah kebaikan
bagi kepentingan Anda, namun ialah memperoleh “fee KEGAGALAN” yang bernama “lawyering fee”—dimana bila bisa pula mendapatkan “success fee” maka syukur-syukur, dimana
artinya kalah atau menang gugatan sang pengacara tetap akan untung besar dari
tarif gugat-menggugat. Itulah sebabnya, menjadi tidak mengherankan, bila
seorang pengacara begitu termotivasi oleh kepentingan pribadinya mendorong
hingga menjerumuskan sang klien untuk menggugat, rasional maupun tidak gugatan
dan pokok perkaranya.
Seorang klien bercerita kepada
penulis, ia harus merogoh kocek biaya “lawyering
fee” dari tingkat Pengadilan Negeri sampai tingkat kasasi, lengkap dengan “success fee” atas kemenangan sang
pengacara dalam menggugat hingga tingkat kasasi. Artinya, dalam tingkat Pengadilan
Negeri sang klien harus membayar kedua jenis “fee” tersebut, begitupula dalam tingkat banding, serta tingkat
kasasi (total telah tiga kali membayar “lawyering
fee” serta tiga kali pula membayarkan “success
fee”. Kehilangan sapi, menggugat berpotensi kehilangan mobil).
Namun, cerita belum selesai
sampai di situ. Dalam tingkat Peninjauan Kembali, putusan tingkat kasasi
dianulir oleh Mahkamah Agung RI dan putusan tingkat Pengadilan Negeri dinyatakan
“tidak dapat diterima” karena “gugatan kurang pihak” sehingga terdapat cacat
formil surat gugatan. Maka, sia-sialah kesemua “fee” yang telah dibayarkan, dan berbagai “success fee” yang sebelumnya telah dibayarkan, tidak dapat
dimintakan kembali. Pada akhirnya, alih-alih memenangkan dan memperoleh sesuatu
setelah sekian banyak pengeluaran dikeluarkan dengan nominal yang tidak
sedikit, yang makmur ialah kantung saku sang pengacara yang “tetap untung, baik
kalah maupun menang”.
Ketika sang klien meminta
kembali berbagai tarif jasa yang pernah diberikan, karena ternyata ujungnya
mengalami kegagalan dan kesia-siaan, inilah jawaban sang pengacara, “Kami hanya MENGUPAYAKAN, tidak pernah
menjanjikan akan menang dalam gugatan ini. Kode Etik Advokat melarang kami
menjanjikan kemenangan, meski sebenarnya kami ingin menjanjikan kemenangan.”
“Jadi, apa maksud Anda dengan
mengaitkannya dengan Kode Etik Advokat?” “Silahkan salahkan saja Kode Etik Advokat yang melarang kami, para
pengacara, untuk menjanjikan kemenangan bagi pihak klien.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.