SENI PIKIR & TULIS
Mindfulness, Anatta, dan Buddhisme dalam Perspektif Sains Ilmu Pengetahuan Modern
Korelasi antara STATE
OF MIND dan GENETIK DETERMINATION
Bruce Harold Lipton, PhD, nama lengkapnya, seorang biolog sel, dalam artikel berjudul “Bruce Lipton, PhD: The Jump From Cell Culture to Consciousness”, yang sebelumnya telah diterbitkan dalam Journal Integr Med (Encinitas). 2017 Dec; 16(6): 44–50, sebagaimana dapat diakses publik pada https:// www. ncbi.nlm.nih .gov/pmc/articles/PMC6438088/, mengungkap kebenaran ajaran Sang Buddha lewat penemuan serta metode sains yang terus berkembang dan semakin mampu mencatat berbagai fenomena yang sebelumnya sekadar disebut sebagai “mitos” atau dogma.
Berikut salah satu hasil temuan
Bruce H. Lipton, ahli biologi perkembangan Amerika yang terkenal karena
pandangannya tentang epigenetik, serta penulis buku “The Biology of Belief” dimana ia membuat hipotesis bahwa
kepercayaan mengendalikan biologi manusia daripada DNA dan warisan, yang telah
redaksi terjemahkan secara bebas dari sumber rujukan aslinya yang berbahasa
Inggris, sebagaimana dikutip dari sumber rujukan berupa jurnal tersebut di
atas:
Bruce H. Lipton, PhD, cell biologist and lecturer,
is an internationally recognized leader in bridging science and spirit. Bruce
was on the faculty of the University of Wisconsin’s School of Medicine and
later performed groundbreaking stem cell research at Stanford Medical School.
His pioneering research on cloned human stem cells presaged today’s
revolutionary new field of epigenetics. He is the bestselling author of The
Biology of Belief and The Honeymoon Effect, and he is the coauthor, with Steve
Bhaerman, of Spontaneous Evolution. Bruce received the prestigious Goi Peace Award
(Japan) in honor of his scientific contribution to world harmony.
Bruce H. Lipton, PhD, ahli biologi sel dan juga seorang dosen, adalah
pelopor yang diakui secara internasional dalam menjembatani sains dan perihal jiwa.
Bruce berada di Fakultas Kedokteran Universitas Wisconsin dan kemudian
melakukan penelitian sel induk yang inovatif di Stanford Medical School.
Penelitian perintisnya tentang sel induk manusia yang dikloning menandakan
bidang epigenetik baru yang revolusioner saat ini. Dia adalah penulis buku
terlaris The Biology of Belief dan
The Honeymoon Effect, dan dia adalah
rekan penulis, dengan Steve Bhaerman, dari Spontaneous
Evolution. Bruce menerima Penghargaan Perdamaian Goi (Jepang) yang
bergengsi untuk menghormati kontribusi ilmiahnya terhadap keharmonisan dunia.
Integrative Medicine: A
Clinician’s Journal (IMCJ): Would you start by explaining how you got from
culturing what you determined to be stem cells in a Petri dish to ruminating
about belief and consciousness and evolution?
Integrative Medicine: A
Clinician's Journal (IMCJ): Apakah Anda akan mulai dengan menjelaskan bagaimana
Anda mendapatkan apa yang Anda tentukan sebagai sel punca dalam cawan Petri
hingga merenungkan tentang keyakinan, kesadaran, dan evolusi?
Dr Lipton: When I was doing my
research on cloning stem cells, at the same time I was also teaching in medical
school. Genetic determinism was, at the time, a prevailing belief—that genes
are capable of turning themselves on and off and regulating not just our
physical structure, but our emotions and our behaviors as well. Genes seem to
be the controlling factor of all characteristics of our lives. We attributed to
them, at that time, the character of self-actualization, meaning that genes can
turn themselves on and off.
Dr Lipton: Ketika saya
melakukan penelitian tentang kloning sel punca, pada saat yang sama saya juga
mengajar di sekolah kedokteran. Determinisme genetik, pada saat itu, merupakan
kepercayaan yang berlaku—bahwa gen mampu menghidupkan dan mematikan dirinya
sendiri dan mengatur tidak hanya struktur fisik kita, tetapi juga emosi dan
perilaku kita. Gen tampaknya menjadi faktor pengendali semua karakteristik
kehidupan kita. Kami menghubungkan mereka, pada waktu itu, karakter aktualisasi
diri, yang berarti bahwa gen dapat menghidupkan dan mematikan dirinya sendiri.
In summary, what I was actually
teaching future doctors, which they would then relate to their patients, is
that genes are controlling their lives. As far as we know, we did not pick the
genes that we came with. If we do not like the characteristics we have, we
cannot change the genes. That leaves us with an unfortunate conclusion: We are
victims of our heredity.
Singkatnya, apa yang sebenarnya
saya ajarkan kepada dokter masa depan, yang kemudian akan mereka hubungkan
dengan pasien mereka, adalah bahwa gen mengendalikan hidup mereka. Sejauh yang
kita ketahui, kami tidak memilih gen yang kami bawa. Jika kita tidak menyukai
karakteristik yang kita miliki, kita tidak dapat mengubah gen. Itu meninggalkan
kita dengan kesimpulan yang tidak menguntungkan: Kita adalah korban dari silsilah
garis keturunan kita.
Meaning, if there is cancer
running in your family, well, anticipate that their gene for cancer is going to
affect you and you are going to have cancer or cardiovascular disease or
diabetes or Alzheimer’s or whatever those so-called hereditary issues are. So,
we are powerless in controlling our biology, because the genes control it by
turning on and off, and we have no control over them.
Artinya, jika ada kanker dalam
keluarga Anda, antisipasilah bahwa gen mereka untuk kanker akan mempengaruhi
Anda dan Anda akan menderita kanker atau penyakit kardiovaskular atau diabetes
atau Alzheimer atau apa pun yang disebut masalah keturunan. Jadi, kita tidak
berdaya dalam mengendalikan biologi kita, karena gen mengendalikannya seperti
ketika seseorang menekan tombol saklar “ON” dan “OFF”, dan kita tidak memiliki
kendali atas mereka.
What would you do if you were
powerless? The answer is: You have to find a rescuer. Therefore, you give up
power over your life—because you believe you have no power—and hand it to
someone who is recognized as a rescuer. A medical doctor, a pharmaceutical
agency, or whatever it is, will take care of us. That is what we are teaching.
Apa yang akan Anda lakukan jika
Anda tidak berdaya? Jawabannya adalah: Anda harus menemukan penyelamat. Oleh
karena itu, Anda menyerahkan kekuasaan atas hidup Anda—karena Anda percaya
bahwa Anda tidak memiliki kekuatan—dan menyerahkannya kepada seseorang yang
dikenal sebagai penyelamat. Seorang dokter medis, agen farmasi, atau apa pun
itu, akan merawat kita. Itulah yang selama ini kita ajarkan.
At the time I was teaching
that, I was also doing work on cloning stem cells. Stem cells is just another
term for embryonic cell. They are exactly the same. The difference is, I can
call a cell an “embryonic cell” when you are an embryo. The moment you are
born, you are no longer an embryo, so I cannot call it an embryonic cell. I
change the name to stem cell. We want to equate the two. A stem cell is an
embryonic cell in the body of a person who is born.
Saat saya mengajar itu, saya
juga sedang mengerjakan kloning sel punca. Sel induk hanyalah istilah lain
untuk sel embrionik. Mereka persis sama. Perbedaannya adalah, saya dapat
menyebut sel sebagai “sel embrio” ketika Anda adalah embrio. Saat Anda lahir,
Anda bukan lagi embrio, jadi saya tidak bisa menyebutnya sel embrio. Saya
mengubah namanya menjadi sel induk. Kami ingin menyamakan keduanya. Sel punca
adalah sel embrio dalam tubuh seseorang yang dilahirkan.
Why should I have these
so-called embryonic cells in my body? We have to recognize that, on a daily
basis, we lose hundreds of billions of cells from normal attrition: dying,
old-age, damaged, or some problem with them. We have to replace them. How many
days in a row can you stay healthy when you are losing hundreds of billions of
cells every day?
Mengapa saya harus memiliki apa
yang disebut sel embrio di dalam tubuh saya? Kita harus menyadari bahwa, setiap
hari, kita kehilangan ratusan miliar sel karena gesekan normal: sekarat, usia
tua, rusak, atau ada masalah dengannya. Kita harus mengganti mereka. Berapa
hari berturut-turut Anda bisa tetap sehat ketika Anda kehilangan ratusan miliar
sel setiap hari?
At some point, if you are not
replacing those cells, you are in a lot of trouble. The fact is, our population
of stem cells, embryonic cells, are there to replace any type of cell we lost,
whether it is skin cells, bone cells, muscle cells, or brain cells. We can
replace these cells, thank God; otherwise, there would be a problem.
Pada titik tertentu, jika Anda
tidak mengganti sel-sel itu, Anda berada dalam banyak masalah. Faktanya adalah,
populasi sel induk kita, sel embrio, ada untuk menggantikan semua jenis sel
yang hilang, apakah itu sel kulit, sel tulang, sel otot, atau sel otak. Kita
bisa mengganti sel-sel ini, dan patut bersyukur; jika tidak, akan ada masalah.
My work was very simple. It was
to identify a single stem cell and put it in a tissue culture dish by itself.
The cells divide every 10 to 12 hours. I started with 1 cell, 10 hours later
there were 2, and 10 hours later 4. Every 10 hours it was doubling: 4, 8, 16,
32, etc. After a week, I had about 50 000 in the Petri dish. The most important
insight is that all 50 000 cells were derived from the same parent. By
definition, I have 50 000 genetically identical cells in my culture dish.
Pekerjaan saya sangat
sederhana. Itu untuk mengidentifikasi sel induk tunggal dan memasukkannya ke
dalam cawan kultur jaringan, sendirian. Sel-sel membelah setiap 10 sampai 12
jam. Saya mulai dengan 1 sel, 10 jam kemudian ada 2, dan 10 jam kemudian 4.
Setiap 10 jam itu berlipat ganda: 4, 8, 16, 32, dan seterusnya. Setelah
seminggu, saya memiliki sekitar 50.000 di cawan Petri. Wawasan menggugah yang
paling penting disini adalah, bahwa semua 50.000 sel berasal dari induk yang
sama. Artinya, saya memiliki 50.000 sel yang identik secara genetik dalam cawan
kultur saya.
I grow these cells in something
called culture medium, which is the environment in which cells live. In other
words, cells are like fish; they live in a fluid environment. So what is
culture medium? It is the laboratory version of blood. If I take the cells out
of the body, I want to put them in a very similar environment, so I create a
synthetic version of blood for the culture dish. Because I am creating a
synthetic version, I can change the composition in my medium.
Saya menumbuhkan sel-sel ini
dalam sesuatu yang disebut media kultur, yang merupakan lingkungan di mana
sel-sel hidup. Dengan kata lain, sel menyerupai seperti seekor ikan; mereka
hidup di lingkungan yang cair. Jadi apa itu media perkembangbiakan? Ini adalah
darah versi laboratorium. Jika saya mengeluarkan sel dari tubuh, saya ingin
meletakkannya di lingkungan yang sangat mirip, jadi saya membuat versi sintetis
darah untuk cawan kultur. Karena saya membuat versi sintetis, saya dapat
mengubah komposisi di media saya.
Now, in the experiment that
blew my mind, I created 3 slightly different versions of culture medium, by
changing some of the constituents. I put these 3 different environments in 3
different Petri dishes, but all the dishes had portions from the same culture
of genetically identical cells in them.
Sekarang, dalam eksperimen yang
mengejutkan saya, saya membuat 3 versi media kultur yang sedikit berbeda,
dengan mengubah beberapa konstituen. Saya menempatkan 3 lingkungan berbeda ini
dalam 3 cawan Petri yang berbeda, tetapi semua cawan memiliki porsi dari kultur
sel yang identik secara genetik di dalamnya.
As a result, cells in
environment A became muscle. In the second Petri dish with genetically
identical cells to the first but in a slightly different environment, the cells
became bone. Then in the third dish, again with genetically identical cells but
a different environment, the cells became fat cells. Now you are left with a
very profound question: What controls the fate of the cells?
Sebagai hasilnya, sel-sel di
lingkungan A menjadi otot. Dalam cawan Petri kedua dengan sel-sel yang identik
secara genetik dengan yang pertama tetapi dalam lingkungan yang sedikit
berbeda, sel-sel itu menjadi tulang. Kemudian pada cawan ketiga, lagi-lagi
dengan sel-sel yang identik secara genetik tetapi lingkungan yang berbeda,
sel-sel itu menjadi sel-sel lemak. Sekarang Anda memiliki pertanyaan yang
sangat mendalam: Apa yang mengendalikan nasib sel-sel ini?
You start with the first
premise: All 3 groups of cells are genetically identical. I cannot say there
were different genes in dish 1 and different genes in dish 2. That’s not true;
they are all genetically the same. The only difference was the composition, or
the chemistry, of the culture medium—the environment in which the cells live.
Kita mulai dengan premis
pertama: Semua 3 kelompok sel secara genetik identik. Saya tidak bisa
mengatakan ada gen yang berbeda di piringan 1 dan gen yang berbeda di piringan
2. Itu tidak benar; mereka semua secara genetik sama. Satu-satunya perbedaan
adalah komposisi, atau kimia, dari media kultur—lingkungan tempat sel
hidup.
The conclusion was profoundly
important. It is the environment that selects the genetic activity of the cell.
This is profoundly different than the genes making the decisions as to what
cells are going to be. So, this is a pretty interesting story about cells in a
plastic dish, but what the heck does this have to do with me as a human?
Kesimpulan itu sangat penting. Adalah
lingkungannya, yang memilih aktivitas genetik dari sel bersangkutan. Ini sangat
berbeda dari gen yang membuat keputusan seperti apa sel nantinya. Jadi, ini
adalah cerita yang cukup menarik tentang sel dalam cawan plastik, tapi apa
hubungannya dengan saya sebagai seorang manusia?
The jumpy part is that, when we
look in a mirror and see ourselves as single individual entities, that is an
illusion. It is a misperception. Because the truth is, a human body is actually
a community of 50 trillion cells. When I say the word Bruce or you say the word
Craig, that is a term that does not represent a single entity. It represents a
single community of up to 50 trillion cells.
Bagian yang menggelisahkan ialah,
ketika kita melihat ke cermin dan melihat diri kita sebagai entitas individu
tunggal, itu adalah ilusi. Ini adalah salah persepsi. Karena
kenyataannya, tubuh manusia sebenarnya adalah komunitas dari 50 triliun sel. Ketika
saya mengucapkan kata Bruce atau Anda mengucapkan kata Craig, itu adalah
istilah yang tidak mewakili satu entitas. Ini mewakili satu komunitas
hingga 50 triliun sel. [NOTE Penerjemah : Persis dengan konsep “anatta” yang menjadi ajaran utama Sang
Buddha, bahwa “tiada diri, inti, ataupun entitas tunggal” yang dapat disebut
sebagai “Aku”.]
IMCJ: … and several trillion
microbes.
IMCJ: … dan beberapa triliun
mikroba.
Dr Lipton: Yes, that is the
newer version of the human as a super organism. Instead of just human cells, we
cannot survive without our microbiome. That expands, as you just said, to
trillions of additional cells that are not ours but our microbiome’s cells.
When you look at yourself as a single entity, that is the illusion. That truth,
which is the jumpy part, is that we are skin-covered Petri dishes inside of
which are 50 trillion-plus cells. Inside the body is the original culture
medium called blood.
Dr Lipton: Ya, itu adalah versi
terbaru dari manusia sebagai organisme super. Alih-alih hanya sel manusia, kita
tidak dapat bertahan hidup tanpa mikrobioma kita. Itu berkembang, seperti yang
baru saja Anda katakan, menjadi triliunan sel tambahan yang bukan milik kita
tetapi sel mikrobioma kita. Ketika Anda melihat diri Anda sebagai satu
kesatuan, itu adalah ilusi. Kebenaran itu, yang merupakan bagian yang
menggelisahkan, adalah bahwa kita adalah cawan Petri yang tertutup kulit yang
di dalamnya ada 50 triliun lebih sel. Di dalam tubuh adalah media kultur asli
yang disebut darah.
Here is the point: It doesn’t
make a difference to the fate of the cell if it is in a plastic dish or the
skin-covered dish. Because the fate of the cell is controlled by the conditions
of the environment. The blood composition is really the factor that controls
the genetic response of the cell. So then, what controls the composition of the
culture medium? The blood. So, the brain is the chemist.
Inilah intinya: Tidak ada
bedanya dengan nasib sel jika berada di piring plastik atau piring yang
dilapisi kulit. Karena nasib sel dikendalikan oleh kondisi lingkungan. Komposisi
darah benar-benar merupakan faktor yang mengontrol respons genetik sel. Lalu,
apa yang mengontrol komposisi media kultur? Darah. Jadi, otak adalah ahli kimia.
That leads us then to the next
and more important question: I know the brain is the chemist, but what
chemistry should the brain put into the blood? The chemistry put into the blood
by the brain is a direct complement to the picture we hold in our mind. In
other words, the mind’s image is translated by the brain into chemistry, which
then goes to the body to create a physical complement to the image in the mind.
In ancient terms, back from the days of the Buddha, 2500 years ago, “What we
believe, we become.” Basically, our perception changes the chemistry of our
blood.
Itu membawa kita ke pertanyaan
berikutnya dan yang lebih penting: Saya tahu otak adalah ahli kimia, tetapi zat
kimia apa yang harus dimasukkan otak ke dalam darah? Zat kimia yang dimasukkan
ke dalam darah oleh otak merupakan pelengkap langsung dari gambaran yang kita
pegang dalam pikiran kita. Dengan kata lain, citra pikiran diterjemahkan
oleh otak menjadi kimia, yang kemudian masuk ke tubuh untuk membuat pelengkap
fisik terhadap citra yang ada dalam pikiran. Dalam istilah kuno, kembali
dari zaman Sang Buddha, 2500 tahun yang lalu, “Apa yang kita percaya, kita menjadi.” Pada dasarnya, persepsi
kita mengubah kimia darah kita.
In my lectures, I simply give
this story: If you are sitting there with your eyes closed and you open your
eyes and see someone you love, your mind holds a picture of love. A picture of
love in the mind is translated by the brain into very specific chemistry. In a
state of love, the brain releases dopamine for pleasure into the blood. The
brain releases oxytocin into the blood, which is a chemical that helps us bind
to the source of love that we are experiencing.
Dalam kuliah saya, saya hanya
memberikan cerita ini: Jika Anda duduk di sana dengan mata tertutup dan Anda
membuka mata dan melihat seseorang yang Anda cintai, pikiran Anda menyimpan gambar
cinta. Gambar cinta dalam pikiran diterjemahkan oleh otak ke dalam kimia yang
sangat spesifik. Dalam keadaan cinta, otak melepaskan dopamin untuk kesenangan
ke dalam darah. Otak melepaskan oksitosin ke dalam darah, yaitu zat kimia yang
membantu kita mengikat sumber cinta yang kita alami.
The experience of love also
releases another chemical into the growth medium—into the blood—called
vasopressin. It helps us become more attractive so that our partner sticks with
us even more. Another very important factor released by our brain while
perceiving love is growth hormone—which, by its name does exactly what it says:
It influences our growth. That result is that the chemistry of the body’s
natural culture medium—blood—is adjusted by the perception of the mind.
Pengalaman cinta juga
melepaskan zat kimia lain ke dalam media pertumbuhan—ke dalam darah—yang
disebut vasopresin. Ini membantu kita menjadi lebih menarik sehingga pasangan
kita semakin melekat pada kita. Faktor lain yang sangat penting yang dilepaskan
oleh otak kita saat merasakan cinta adalah hormon pertumbuhan—yang, sesuai
namanya, melakukan persis seperti yang dikatakannya: Hormon itu memengaruhi
pertumbuhan kita. Hasilnya adalah kimia media kultur alami tubuh—darah—disesuaikan
dengan persepsi pikiran.
The perception of love
introduces such elements as dopamine, oxytocin, vasopressin, and growth
hormone, all of which are chemicals that enhance the vitality and health of the
50 trillion cells in our skin-covered culture dish. In a state of love, the chemicals
released in love result in health and harmony and a glowing body. People say,
“Oh, look, you can see how in love they are. See how they glow.” That is a
chemical expression of the culture medium, affecting the vitality of the cells.
Persepsi cinta memperkenalkan
unsur-unsur seperti dopamin, oksitosin, vasopresin, dan hormon pertumbuhan,
yang semuanya merupakan bahan kimia yang meningkatkan vitalitas dan kesehatan
50 triliun sel dalam wadah kultur tertutup kulit kita. Dalam keadaan cinta,
bahan kimia yang dilepaskan dalam cinta menghasilkan kesehatan dan keharmonisan
serta tubuh yang bercahaya. Orang-orang berkata, “Oh, lihat, Anda bisa melihat betapa jatuh cintanya mereka. Lihat
bagaimana mereka bersinar.” Itu adalah ekspresi kimiawi dari media kultur,
yang mempengaruhi vitalitas sel.
Then I say, “Wait. The same
person could open their eyes and instead of seeing love, see something that
scares them.” In a state of fear, the brain does not release the chemicals
associated with love. It releases chemicals associated with fear, which are
stress hormones and inflammatory agents, changing the chemistry of the culture
medium. Then, go back and recognize that the fate of the cell is directly
dependent on the chemistry of the culture medium.
Lalu saya berkata, “Tunggu. Orang yang sama bisa membuka mata
mereka dan bukannya melihat cinta, melihat sesuatu yang membuat mereka takut.”
Dalam keadaan takut, otak tidak melepaskan zat kimia yang berhubungan dengan
cinta. Ini melepaskan bahan kimia yang terkait dengan rasa takut, yang
merupakan hormon stres dan agen inflamasi, mengubah kimia media kultur.
Kemudian, kembali ingat bahwa nasib sel secara langsung bergantung pada
kimia media kultur.
Now with stress hormones and
inflammatory agents released in the blood, I change the genetics and behavior
of the cells and start to express a protection posture, which is antagonistic
to growth. In fact, it actually cancels growth. The protection chemicals in the
blood allocate energy for fight or flight, getting ready to run from a
perceived fear.
Sekarang dengan hormon stres
dan agen inflamasi yang dilepaskan dalam darah, saya mengubah genetika dan
perilaku sel dan mulai mengekspresikan postur perlindungan, yang bertentangan
dengan pertumbuhan. Bahkan, itu benar-benar menggagalkan pertumbuhan. Bahan
kimia pelindung dalam darah mengalokasikan energi untuk melawan atau melarikan
diri, bersiap-siap untuk lari dari ketakutan yang dirasakan.
The genetics of the cell give
us all kinds of potentials. The potentials expressed are related to the
composition of the culture medium. The culture medium composition in a
laboratory is synthesized by me—synthetic blood. In your natural skin-covered
Petri dish, or body, the brain is the chemist and it translates your perception
into chemistry that complements that perception. The result is that your
biology becomes complementary to your mind and its perception, hence the nature
of what is called the placebo effect.
Genetika sel memberi kita semua jenis potensi. Potensi
yang diekspresikan berkaitan dengan komposisi media kultur. Komposisi media kultur di
laboratorium disintesis oleh saya — darah sintetis. Dalam cawan Petri atau
tubuh alami Anda yang tertutup kulit, otak adalah ahli kimia dan otak
menerjemahkan persepsi Anda menjadi zat kimia yang melengkapi persepsi itu.
Hasilnya adalah biologi Anda menjadi pelengkap bagi pikiran dan persepsi
Anda, oleh karena itu sifat dari apa yang disebut efek plasebo.
In the placebo effect, a person
is ill in some degree then is given an opportunity to take a very specific
medicine. The physician says, “This is the latest, greatest drug to treat you.
Look, it’s colored purple, it’s very good. Even the color is going to heal
you.” You believe, “My God, I found a drug that is going to heal me.”
Dalam efek plasebo, seseorang
sakit dalam derajat tertentu kemudian diberi kesempatan untuk minum obat yang
sangat spesifik. Dokter berkata, “Ini
adalah obat terbaru dan terhebat untuk mengobati Anda. Lihat, warnanya ungu,
bagus sekali. Bahkan warnanya akan menyembuhkanmu.” Anda percaya, “Ya Tuhan, saya menemukan obat yang akan
menyembuhkan saya.”
You take the drug, you get
better. Later, you find out that the drug was just a sugar pill. What healed
you? Well, obviously not the sugar pill. It was your perception and beliefs about
the sugar pill that healed you. Almost everybody says they are familiar with
that—how the mind can release chemistry in a belief that actually turns around
and heals us.
Anda minum obat, Anda menjadi
lebih baik. Belakangan, Anda barulah mengetahui bahwa obat itu hanyalah pil
gula. Apa yang menyembuhkanmu? Yah, jelas bukan pil gula. Persepsi dan
keyakinan Anda tentang pil gula itulah yang menyembuhkan Anda. Hampir semua
orang mengatakan bahwa mereka akrab dengan kasus semacam itu—bagaimana pikiran
dapat melepaskan zat kimiawi dengan keyakinan bahwa itu ternyata benar-benar menyembuhkan
kita.
What most people do not
recognize is the consequence of a negative belief, in reference to the fact
that a placebo is a consequence of a positive belief. A negative belief is
equally powerful in shaping our biology and our genetics. It works in the
opposite direction of a positive belief. A negative belief can result in any
illness and even cause us to die. Just a belief. It can because that belief is
translated in chemistry that will not support our vitality.
Apa yang kebanyakan orang tidak
sadari adalah konsekuensi dari keyakinan negatif, mengacu pada fakta bahwa
plasebo adalah konsekuensi dari keyakinan positif—maka akan ada pula efek
plasebo serupa namun berkebalikan terhadap keyakinan yang negatif. Keyakinan
negatif sama kuatnya dalam membentuk biologi dan genetika kita. Ia
bekerja dalam arah yang berlawanan dari keyakinan positif. Keyakinan
negatif dapat mengakibatkan penyakit apa pun dan bahkan menyebabkan kita mati.
Hanya sebuah keyakinan. Itu bisa jadi karena keyakinan tersebut diterjemahkan
kedalam kimia yang tidak akan mendukung vitalitas kita.
A negative belief relates to
something called the nocebo effect. The nocebo effect is a consequence that can
include any illness, disease, or death. That result is simple. The chemistry
that determines our biology, genetics, behavior, and life characteristics is
chemistry derived from the brain which, in turn, is derived from the brain
interpreting an image in our mind. As we change our mind, we change our
biology.
Keyakinan negatif berhubungan
dengan sesuatu yang disebut efek nocebo. Efek nocebo adalah
konsekuensi yang dapat mencakup penyakit, penyakit, atau kematian apa pun.
Hasil itu sederhana. Kimia yang menentukan biologi, genetika, perilaku, dan
karakteristik kehidupan kita adalah kimia yang berasal dari otak yang, pada
gilirannya, berasal dari otak yang menafsirkan gambar dalam pikiran kita. Saat
kita berubah pikiran, kita mengubah biologi kita.
This is the foundation of
something called spontaneous remission. Say a person is going to die of
terminal cancer. All of a sudden, there is spontaneous remission. What does
this spontaneous remission do? In every case, the remission is due to the fact
that the patient had a profound change of belief, a change of mind in regard to
the factors that affect their lives. A letting go of the stresses and of the
mind issues that were creating a nocebo effect.
Ini adalah dasar dari sesuatu
yang disebut remisi spontan. Katakanlah seseorang akan mati karena
kanker stadium akhir. Tiba-tiba, ada remisi spontan. Apa yang dilakukan remisi
spontan ini? Dalam setiap kasus, remisi disebabkan oleh fakta bahwa pasien
mengalami perubahan keyakinan yang mendalam, perubahan pikiran
sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka. Melepaskan
stres dan masalah pikiran yang menciptakan efek nocebo yang selama ini telah
membahayakan tubuh.
Letting go of those stresses
can actually cause cancer to undergo spontaneous remission. The power is not in
the genetics; the power is in consciousness. Our consciousness is translated
into biology via the chemistry of the natural culture medium called blood.
Melepaskan stres itu sebenarnya
dapat menyebabkan kanker mengalami remisi spontan. Kekuatannya tidak terletak
pada genetika; kekuatan tersebut ada dalam kesadaran. Kesadaran kita
diterjemahkan ke dalam biologi melalui kimia media kultur alami yang disebut
darah.
IMCJ: How does that relate to
your beliefs on the effects of environment on the evolution of genetics?
IMCJ: Bagaimana hubungannya
dengan keyakinan Anda tentang efek atau dampak lingkungan pada evolusi
genetika?
Dr Lipton: Let’s pretend that
the old belief of genetic determinism is valid. That would mean that the genes
you are born with are going to control the characteristics of your life. Well,
the problem is that the environment is ever-changing. There is no static
environment. Why is that relevant?
Dr Lipton: Mari kita
berpura-pura bahwa kepercayaan lama determinisme genetik adalah valid. Itu
berarti bahwa gen yang Anda bawa sejak lahir akan mengendalikan karakteristik
hidup Anda. Nah, masalahnya adalah bahwa lingkungan selalu berubah. Tidak
ada lingkungan statis. Mengapa itu relevan?
Well, if your genes are
designed to keep you alive in environment A and then the environment changes to
environment B, then those genes may not support your vitality at all. They may
actually lead to your death. Therefore, then, your life is totally under the
control of these mechanical devices, which are not connected to the
environment.
Nah, jika gen Anda dirancang
untuk membuat Anda tetap hidup di lingkungan A dan kemudian lingkungan berubah
menjadi lingkungan B, maka gen tersebut mungkin tidak mendukung vitalitas Anda
sama sekali. Mereka benar-benar dapat menyebabkan kematian Anda. Oleh karena
itu, hidup Anda sepenuhnya berada di bawah kendali perangkat mekanis ini, yang
tidak terhubung dengan lingkungan.
That would be silly. Life would
have died out a long time ago when upheavals in the environment occurred, like
we are experiencing right now in regard to climate change. Why is this new
insight important? Because the new insight says, “No, you are not controlled by
your genetics. Your genes are controlled by your environment, and more
specifically your perception of the environment.”
Itu akan konyol jadinya.
Kehidupan akan mati sejak lama ketika pergolakan di lingkungan terjadi, seperti
yang kita alami saat ini terkait dengan perubahan iklim. Mengapa wawasan baru
ini penting? Karena wawasan baru mengatakan, “Tidak, Anda tidak dikendalikan oleh genetika Anda. Gen Anda
dikendalikan oleh lingkungan Anda, dan lebih khusus lagi persepsi Anda tentang
lingkungan.”
This allows dynamic control of
your biology. If genes controlled your life, your fate would be determined
regardless of what was happening in the environment: “These are your genes,
this is your life. You have this cancer gene, you are going to get cancer and
die.” The fact is, there is no such thing as a cancer gene.
Hal ini memungkinkan kontrol
dinamis biologi Anda. Jika gen mengendalikan hidup Anda, nasib Anda akan
ditentukan terlepas dari apa yang terjadi di lingkungan: “Ini adalah gen Anda, ini adalah hidup Anda. Anda memiliki gen kanker
ini, Anda akan terkena kanker dan mati.” Faktanya, tidak ada yang namanya
gen kanker.
That is a belief that is
self-sabotaging. If you believe you have a cancer gene and you believe that
gene can turn on and give you cancer, then your belief is manifesting a
chemistry that will create cancer because you are translating your perception
into chemistry. A perception of cancer can cause cancer.
Itu adalah keyakinan yang
menyabotase diri sendiri. Jika Anda percaya bahwa Anda memiliki gen kanker
dan Anda percaya bahwa gen dapat menghidupkan aktivasi potensi kanker dan
memberi Anda kanker, maka keyakinan Anda mewujudkan suatu kimia yang akan
menciptakan kanker karena Anda menerjemahkan persepsi Anda ke dalam kimia. Sebuah
persepsi mengenai kanker dapat menyebabkan kanker.
Less than 10% of cancer has any
hereditary linkage of all. The other 90% or more of cancer is a direct response
to the environment and the perception of the individual in that environment. It
basically says, “Genetic control is a limitation, because you can only express
what your genes express.”
Kurang dari 10% kanker memiliki
hubungan herediter. 90% atau lebih kanker lainnya adalah respons langsung
terhadap lingkungan dan persepsi individu di lingkungan itu. Pada dasarnya
dikatakan, “Kontrol genetik merupakan sebuah batasan, karena Anda hanya dapat
mengekspresikan apa yang diekspresikan gen Anda.”
The new science called
epigenetic control sounds almost like the same thing. When I say genetic
control, it translates as “controlled by genes.” The new science is called
epigenetics. It sounds similar, but it is profoundly different. Epi means
“above,” so when I say epigenetic control, I am literally saying, “control
above the genes.” This is the new biology. It reveals that the environment and
our perception of the environment are what control our genetic activity.
Ilmu yang lebih baru yang
disebut kontrol epigenetik terdengar hampir sama. Ketika saya mengatakan
kontrol genetik, itu diterjemahkan sebagai “dikendalikan oleh gen.” Ilmu baru
itu disebut epigenetika. Kedengarannya mirip, tetapi sangat berbeda. Epi
berarti “di atas”, jadi ketika saya mengatakan kontrol epigenetik, saya secara
harfiah mengatakan, “kontrol di atas gen”. Ini adalah biologi baru. Ini
mengungkapkan bahwa lingkungan dan persepsi kita tentang lingkungan adalah
yang mengendalikan aktivitas genetik kita.
This is profound. A revolution
for the simple reason that the conventional belief, which most of the public is
already programmed with, is genetic determinism. That makes us victims because,
as I said, I cannot control the genes if the genes are controlling themselves.
Therefore, my life is an expression of a pattern of genes unfolding and I am a
victim of this pattern. Epigenetics changes the entire game, because it says
that genetic expression is directly due to the environment and our perception
of the environment.
Ini sangat mendalam. Sebuah
revolusi karena alasan sederhana bahwa kepercayaan konvensional, yang sebagian
besar masyarakat sudah diprogram, adalah determinisme genetik. Itu membuat kita
menjadi korban karena, seperti yang saya katakan, saya tidak dapat
mengendalikan gen jika gen mengendalikan diri mereka sendiri. Oleh karena itu,
hidup saya adalah ekspresi dari pola gen yang berkembang dan saya adalah korban
dari pola ini. Epigenetika mengubah keseluruhan permainan,
karena dikatakan bahwa ekspresi genetik secara langsung disebabkan oleh
lingkungan dan persepsi kita tentang lingkungan.
We are capable of changing the
environment we live in and we are capable of changing our perceptions.
Therefore, we are not victims, but we are actually masters of our genetic
activity. We have to recognize that the belief of being a victim is a
perception. If that is what you believe, then you can be a victim because you
are going to translate your perception into biology. This is why your work
becomes important in this case, Craig, because knowledge is power. A lack of
knowledge is by definition a lack of power.
Kita mampu mengubah lingkungan
tempat kita tinggal dan kita mampu mengubah persepsi kita. Oleh karena itu, kita
bukan korban, tetapi kita sebenarnya adalah penguasa aktivitas genetik kita.
Kita harus mengakui bahwa keyakinan menjadi korban adalah persepsi. Jika
itu yang Anda yakini, maka Anda bisa menjadi korban karena Anda akan menerjemahkan
persepsi Anda ke dalam biologi. Inilah mengapa pekerjaan Anda menjadi
penting dalam hal ini, Craig, karena pengetahuan adalah kekuatan. Kurangnya
pengetahuan menurut definisinya adalah kurangnya kekuatan.
A lack of knowledge about this
new understanding of epigenetics is actually a disempowering experience for the
individual on this planet. If you believe genes control your life, then you let
go of the control and programs take over. If you understand epigenetics and you
say, “Wait, I have the ability to change conditions environmentally or
perceptually to enhance my life, rather than to fall victim to illness,” that
is self-empowerment. That is why the new knowledge is power inducing.
Kurangnya pengetahuan tentang
pemahaman baru tentang epigenetik ini sebenarnya merupakan pengalaman yang
melemahkan bagi individu di planet ini. Jika Anda percaya bahwa gen
mengendalikan hidup Anda, maka Anda melepaskan kendali itu dan program
mengambil alih. Jika Anda memahami epigenetik dan Anda berkata, “Tunggu, saya memiliki kemampuan untuk
mengubah kondisi lingkungan atau persepsi untuk meningkatkan hidup saya,
daripada menjadi korban penyakit,” itu adalah pemberdayaan diri. Itulah
mengapa pengetahuan baru adalah kekuatan yang mendorong.
IMCJ: As a person’s belief
system manifests in their chemistry, what are the factors that come together to
constitute somebody’s belief patterns?
IMCJ: Sebagai sebuah sistem
kepercayaan seseorang yang bermanifestasi kedalam kimia mereka, apa yang
menjadi faktor yang datang bersama-sama untuk membentuk pola keyakinan
seseorang?
Dr Lipton: The more fundamental
statement is, I said, “The brain is the chemist.” But the mind is the imagery
that the brain is trying to complement with chemistry. The brain is perceiving
the mind. Whatever the mind’s image is, the brain is going to translate that
image into chemistry.
Dr Lipton: Pernyataan yang
lebih mendasar adalah, saya katakan, “Otak adalah ahli kimianya.” Tetapi
pikiran adalah citra yang coba dilengkapi oleh otak dengan kimia. Otak sedang
memahami pikiran. Apa pun citra pikiran, otak akan menerjemahkan citra itu
ke dalam kimia.
Many of us, when we were young,
played with something called paint by numbers. You get an image that is all
carved up into little pieces with numbers inside each little fraction of this
fractured image. The numbers refer to a paint color in the paint box. If you
match the paint and fill in the spaces with the right numbered colors, then lo
and behold, you create this beautiful picture.
Banyak dari kita, ketika kita
masih muda, bermain dengan sesuatu yang disebut melukis dengan angka. Anda
mendapatkan gambar yang semuanya diukir menjadi potongan-potongan kecil dengan
angka di dalam setiap fraksi kecil dari gambar yang retak ini. Angka-angka
mengacu pada warna cat di kotak cat. Jika Anda mencocokkan cat dan mengisi
ruang dengan warna nomor yang tepat, maka lihatlah, Anda membuat gambar yang
indah ini.
To simplify what life is all
about, it is doing paint by numbers in reverse. The mind starts with a
completed picture and the brain breaks down the picture into numbers. The
numbers do not represent paint. They represent neurochemicals, hormones, growth
factors, and regulatory agents. These secretions then go into the body and
cause the body to become a physical complement to the image.
Untuk menyederhanakan apa itu
hidup, itu adalah melukis dengan angka secara terbalik. Pikiran dimulai dengan
gambar yang lengkap dan otak memecah gambar menjadi angka-angka. Angka-angka
tidak mewakili cat. Mereka mewakili neurokimia, hormon, faktor pertumbuhan, dan
agen-agen pengatur. Sekresi ini kemudian masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan
tubuh menjadi pelengkap fisik dari citra itu.
IMCJ: So the brain, our
chemist, is actually doing the mind’s bidding?
IMCJ: Jadi otak, ahli kimia
kita, sebenarnya melakukan perintah ataupun tawar-menawar pikiran?
Dr Lipton: That is where a
problem arises. The term mind is actually a misinterpretation or a
misperception. The mind suggests that there is a single mind. No. The fact is
that what we refer to as the mind is actually two interdependent mechanisms
working in harmony with each other. We refer to these two different pieces of
the mind as one: the first being the conscious mind, and the other being the
subconscious mind.
Dr Lipton: Di situlah masalah
muncul. Istilah pikiran sebenarnya adalah salah tafsir atau mispersepsi. Istilah
semacam “sang Pikiran” menunjukkan bahwa ada satu buah pikiran tunggal yang
selama ini pernah ada. Tidak. Faktanya adalah apa yang kita sebut sebagai “pikiran”
sebenarnya adalah dua mekanisme yang saling bergantung yang bekerja secara
harmonis satu sama lain. Kita menyebut dua bagian pikiran yang berbeda ini
sebagai satu: yang pertama adalah pikiran sadar, dan yang lainnya adalah
pikiran bawah sadar.
This is really important
because the two minds learn in different ways, which is very critical. The two
minds are interdependent. They work together, but they have different
functions. The subconscious mind is the primal mind and constitutes about 90%
of our brain. The subconscious mind is habitual. It has programs in it—habits.
These habits play automatically without us thinking about them. It is
subconscious, meaning that these behaviors would play without our conscious
even being involved.
Ini sangat penting karena kedua
pikiran belajar dengan cara yang berbeda, yang sangat penting. Kedua pikiran
itu saling bergantung. Mereka bekerja sama, tetapi mereka memiliki fungsi yang
berbeda. Pikiran bawah sadar adalah pikiran utama dan merupakan sekitar 90%
dari otak kita. Pikiran bawah sadar adalah kebiasaan. Ia memiliki program di
dalamnya—kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan ini bermain secara otomatis tanpa kita
memikirkannya. Ini adalah alam bawah sadar, artinya perilaku ini akan memainkan
perannya, bahkan tanpa keterlibatan alam sadar kita.
When you were an infant, you
learned how to walk. It was a conscious process. Then it became a habit. Today,
you don’t have to think, “I’m going to walk from this side of the room to the
other side of the room. Left leg first, okay, now move the right leg.” All you
have to do is have the intention to move to the program, then the subconscious
mind will automatically do this without your conscious mind participating at
all.
Ketika Anda masih bayi, Anda
belajar berjalan. Itu adalah proses yang disadari. Kemudian menjadi
kebiasaan. Hari ini, Anda tidak perlu berpikir, “Saya akan berjalan dari sisi ruangan ini ke sisi lain ruangan. Kaki
kiri dulu, oke, sekarang gerakkan kaki kanan.” Yang harus Anda lakukan
adalah memiliki niatan untuk menjalankan program, maka pikiran bawah sadar akan
secara otomatis melakukan aktivitas berjalan ini, tanpa pikiran sadar Anda
berpartisipasi sama sekali.
[NOTE Penerjemah : Meditasi
Vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha justru membalikkan
mekanismenya, dari yang semula alam bawah sadar yang berperan, menjadi
sepenuhnya latihan olah alam sadar, yakni persis seperti ilustrasi di atas,
ketika meditasi berjalan, kita menyadari dan mengamati bagaimana kaki kanan
kita diangkat, dimajukan, diturunkan, menyentuh lantai, mendorong tubuh maju,
dan kaki kiri terangkat, maju, turun, sentuh, angkat, maju, turun, sentuh,
dst.]
Many of the habits are derived
from instincts built into the system. In other words, if you walk outside and
it is cold out, the reception of the cold by the nervous system will adjust the
biology to heat itself up and keep your temperature at 98 degrees by warming up
the system. If you walk outside and it is warm out, the nervous system will
pick up that information and it will adjust the body to cool itself down so it
does not go above 98 degrees. Your body temperature is not under your conscious
control; it is subconscious.
Banyak kebiasaan berasal dari
naluri yang dibangun ke dalam sistem. Dengan kata lain, jika Anda berjalan di
luar dan di luar dingin, pengenalan rasa dingin oleh sistem saraf akan
menyesuaikan biologi tubuh kita untuk memanaskan dirinya sendiri dan menjaga
suhu tubuh Anda pada 98 derajat dengan menghangatkan sistem. Jika Anda berjalan
di luar dan cuaca hangat, sistem saraf akan mengambil informasi itu dan akan
menyesuaikan tubuh untuk mendinginkan diri sehingga tidak akan melampaui 98
derajat. Suhu tubuh Anda tidak berada di bawah kendali kesadaran Anda; itu
adalah alam bawah sadar.
Those are instincts that built
in. We also acquire habits. As I said, walking is a habit. We did not have that
habit when we were born; we had to learn to how to walk. It is not just
restricted to learning as a youth. For example, when you were old enough to get
a driver’s license, you had to learn how to drive. You had to practice. You
create a habit by learning. Once you learn how to drive, you don’t have to
think about the details of driving.
Itu adalah naluri yang
tertanam. Kita juga memperoleh kebiasaan. Seperti yang saya katakan, berjalan
adalah kebiasaan. Kami tidak memiliki kebiasaan itu ketika kami lahir; kami
harus belajar cara berjalan. Tidak hanya sebatas belajar di usia muda.
Misalnya, ketika Anda cukup umur untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, Anda
harus belajar mengemudi. Anda harus berlatih. Anda menciptakan kebiasaan
dengan belajar. Setelah Anda berhasil mempelajari cara untuk mengemudi, Anda
tidak perlu lagi memikirkan detail-detail mengemudi.
Consider the first time you got
into a car. Look how overwhelming it was for the conscious mind to deal with
that. We have mirrors—rear-view mirrors, and mirrors on the door. We have this
windscreen to check out what is going on in front of us. We have the dashboard
with gauges and all kinds of things happening. We have the gas and brake
pedals, and the clutch pedal if you have a manual transmission. When you
learned how to drive, it was super complicated because so many details had to
be considered.
Pertimbangkan pertama kali Anda
masuk ke mobil. Lihat betapa luar biasanya pikiran sadar menghadapi hal itu.
Kami memiliki kaca-kaca—kaca spion, dan kaca spion di pintu. Kita memiliki kaca
depan ini untuk memeriksa apa yang terjadi di depan kita. Kita memiliki dasbor
dengan instrumen pengukur dan segala macam hal yang terjadi. Kita memiliki
pedal gas dan rem, dan pedal kopling jika Anda memiliki transmisi manual.
Ketika Anda belajar mengemudi, itu sangat rumit karena begitu banyak detail
yang harus dipertimbangkan.
Now you have been driving for a
while, and guess what? When you get in the car, you do not have to think about
any of those details. They are now automatic habits. I can get in a car, click the
ignition key, start driving the car, and never once think about the details.
Habit will manage the driving of the car for me. The subconscious mind is the
habit mind. We learn habits through life experiences, as well as those that
were programmed as instincts.
Sekarang Anda telah mengemudi
untuk sementara waktu, dan coba tebak apa yang kini terjadi? Ketika Anda masuk
ke dalam mobil, Anda tidak perlu lagi memikirkan segala detail-detail itu
seperti sebelumnya. Mereka sekarang merupakan kebiasaan otomatis. Saya bisa
masuk ke dalam mobil, mengaktifkan kunci kontak, mulai mengemudikan mobil, dan
tidak pernah sekalipun memikirkan detail-detailnya. Kebiasaan akan mengatur
mengemudi mobil untuk saya. Pikiran bawah sadar adalah pikiran kebiasaan.
Kita mempelajari kebiasaan melalui pengalaman hidup, begitupula hal-hal yang
diprogram sebagai naluri ataupun insting.
On the other hand, there is the
conscious mind. The conscious mind is completely different in its function. It
is a creative mind. It is the mind that expresses our wishes, our desires, our
aspirations, and what we want from life.
Di sisi lain, ada pikiran
sadar. Pikiran sadar benar-benar berbeda dalam fungsinya. Ini adalah pikiran
yang kreatif. Pikiranlah yang mengekspresikan harapan kita, kehendak kita,
aspirasi kita, dan apa yang kita inginkan dari kehidupan.
If I say, “Hey Craig, tell me
what you want from your life?” Whatever you offer is going to come from the
conscious mind, because that is the creative wish. That is, something that you
are looking forward to having. It does not exist, but you can visualize that it
can occur. Consciousness is creative, and subconscious is habitual.
Jika saya berkata, “Hei Craig, beri tahu saya apa yang Anda
inginkan dari hidup Anda?” Apa pun yang Anda tawarkan sebagai jawabannya,
itu akan datang dari pikiran sadar, karena itulah keinginan kreatif. Itulah
tepatnya, sesuatu yang Anda nantikan untuk dimiliki. Itu tidak eksis pada
mulanya, tetapi Anda dapat memvisualisasikannya bahwa itu dapat terjadi. Kesadaran
itu kreatif, sementara alam bawah sadar adalah kebiasaan.
IMCJ: How do the conscious and
subconscious minds work together?
IMCJ: Bagaimanakah pikiran
sadar dan bawah sadar bekerja bersama?
Dr Lipton: I could look at my
life and I say, “I want my conscious mind to run my life; that would be really
great. Behavior would be controlled by wishes, desires, and aspirations, and I
should be able to manifest it.” Well, here is the interesting conundrum: What
happens when the conscious mind is engaged and not focusing on the world?
Dr Lipton: Saya bisa melihat
hidup saya dan saya berkata, “Saya ingin
pikiran sadar saya menjalankan hidup saya; itu akan sangat bagus. Perilaku akan
dikendalikan oleh harapan, kehendak, dan aspirasi, dan saya harus dapat
mewujudkannya.” Nah, inilah teka-teki yang menarik: Apa yang terjadi ketika
pikiran sadar terlibat dan tidak fokus pada dunia?
For example, Craig, what are
you doing on Sunday at 2:00 PM? If you are going to answer that question,
recognize that you have to take your conscious mind away from observing the
world around you. It must go inside your head and look for the answer. Because
the answer to “What are you going to do in the future?” is locked in some
calendar inside your head. When you are thinking, the conscious mind has to go inside
to process the information. Wait, if you are driving your vehicle, your biology
is using the conscious mind. Then I start thinking, “Then who is controlling
the vehicle at that moment?”
Misalnya, Craig, apa yang Anda
lakukan pada hari Minggu pukul 14:00? Jika Anda akan menjawab pertanyaan itu,
sadarilah bahwa Anda harus mengalihkan pikiran sadar Anda dari mengamati dunia
di sekitar Anda. Itu harus masuk ke dalam kepala Anda dan mencari jawabannya.
Karena jawaban untuk "Apa yang akan Anda lakukan di masa depan?"
terkunci di beberapa kalender di dalam kepala Anda. Ketika Anda berpikir,
pikiran sadar harus masuk ke dalam untuk memproses informasi. Tunggu, jika Anda
mengemudikan kendaraan Anda, biologi Anda menggunakan pikiran sadar. Lalu saya
mulai berpikir, “Lalu siapa yang
mengendalikan kendaraan saat itu?”
[NOTE Penerjemah : Konsepsi
tentang pikiran dalam Buddhisme, ialah bahwa alam sadar dan alam bawah sadar
dapat saling muncul ke permukaan secara silih-berganti dalam kecepatan yang
sangat cepat, bahkan tanpa kita sadari terjadi pergantian terus-menerus antara
alam sadar dan alam tidak sadar, ketika kita mengalami ilustrasi seperti
aktivitas mengemudi sembari diinterupsi kegiatan berpikir seperti contoh di
atas.]
In the moment that the
conscious mind is engaged in thinking, all functions are taken over by the
habits stored in the subconscious mind. By definition, subconscious means
“below consciousness.” That means I can continue walking down the street while
my conscious mind is internally engaged in thought. As I am walking, I am not
going to walk into a tree or fall off the curve because my subconscious mind
functions as an autopilot.
Pada saat pikiran sadar
terlibat dalam pemikiran, semua fungsi diambil alih oleh kebiasaan yang
tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Menurut definisi, alam bawah sadar berarti
“di bawah kesadaran”. Itu berarti saya dapat terus berjalan di jalan sementara
pikiran sadar saya sedang terlibat secara internal di dalam pikiran. Saat saya
berjalan, saya tidak akan berjalan ke pohon atau jatuh dari tepi jalan karena
pikiran bawah sadar saya berfungsi sebagai semacam autopilot.
I can either use my conscious
mind to create my life, or if my conscious mind gets engaged in thinking or
focusing on something, my life is taken over by the autopilot: the
subconscious. On autopilot, the behavior that is going to be expressed comes
from programs that were already downloaded into my mind. Here comes where the
rubber hits the road on this. Before you create consciousness in your life, you
have to have programs in your subconscious to give you a parallel story.
Saya dapat menggunakan pikiran
sadar saya untuk menciptakan hidup saya, atau jika pikiran sadar saya terlibat
dalam pemikiran atau fokus pada sesuatu, hidup saya diambil alih oleh autopilot:
alam bawah sadar. Pada autopilot, perilaku yang akan diekspresikan berasal dari
program yang sudah diunduh ke dalam pikiran saya. Di sinilah ketika karet
menghantam jalan tentang ini. Sebelum Anda menciptakan kesadaran dalam hidup
Anda, Anda harus memiliki program di alam bawah sadar Anda untuk memberi Anda
cerita paralel.
Consider that I go to the Apple
Store and I am interested in buying a brand-new iPod. I am so excited; I got
this new device. I get it out of the box and on the front of the iPod is something
called the touch screen. This is where you have conscious control over the
program. On the touch screen, I push play, and nothing happens.
Pertimbangkan bahwa saya pergi
ke Apple Store dan saya tertarik untuk membeli iPod baru. Saya sangat bersemangat;
Saya mendapatkan perangkat baru ini. Saya mengeluarkannya dari kotak dan di
bagian depan iPod ada sesuatu yang disebut layar sentuh. Di sinilah Anda
memiliki kontrol sadar atas program. Di layar sentuh, saya menekan play, dan
tidak ada yang terjadi.
Now I am really upset because I
just spent all this money on a damned iPod and it does not work. There is this
little 5-year-old kid standing next to me, looking up at me like I am an idiot.
“Hey mister,” he says, “you can’t play any music until you download some
music.” I say, “Oh yeah, there is a hard drive in the iPod.” You can put
programs and music in the hard drive and then once you have these programs, you
can use the touch screen to be creative with them.
Sekarang saya benar-benar kesal
karena saya baru saja menghabiskan semua uang ini untuk iPod terkutuk dan tidak
berfungsi. Ada anak kecil berusia 5 tahun yang berdiri di sampingku, menatapku
seperti aku ini orang idiot. “Hei tuan,”
katanya, “Anda tidak dapat memutar musik
apa pun sampai Anda mengunduh beberapa musik.” Saya berkata, “Oh ya, ada hard drive di iPod.” Anda
dapat memasukkan program dan musik ke dalam ‘hard drive’ dan setelah Anda
memiliki program ini, Anda dapat menggunakan layar sentuh untuk berkreasi
dengannya.
The conscious mind is the touch
screen. The conscious mind is creative. I can imagine things and I can do all
these things, but the conscious mind cannot work if there is no program in the
subconscious mind. This is why the first part of our lives, from the last
trimester of pregnancy through the first 7 years of our lives, our brains are
functioning at a lower vibration, as determined by electroencephalograph, or
EEG. The brain predominantly operates in a vibration or frequency called theta
for the first 7 years. Theta is a frequency lower than consciousness. Theta is
actually a brain function associated with imagination.
Pikiran sadar adalah layar
sentuh. Pikiran sadar itu kreatif. Saya dapat membayangkan hal-hal dan saya
dapat melakukan semua hal ini, tetapi pikiran sadar tidak dapat bekerja jika
tidak ada program dalam pikiran bawah sadar. Inilah sebabnya mengapa bagian
pertama dari kehidupan kita, dari trimester terakhir kehamilan hingga 7 tahun
pertama kehidupan kita, otak kita berfungsi pada getaran yang lebih rendah,
seperti yang ditentukan oleh electroencephalograph, atau EEG. Otak sebagian
besar beroperasi dalam getaran atau frekuensi yang disebut theta selama 7 tahun
pertama. Theta adalah frekuensi yang lebih rendah dari kesadaran. Theta
sebenarnya adalah fungsi otak yang diasosiasikan dengan imajinasi.
Think about it. A kid under 7
years of age is riding a broom as a horse. In the mind of the child, that is
not a broom anymore; that’s an actual horse. The kid can visualize being on a
physical horse, riding it around when it is only a broom. That is theta; that
is imagination. If the mother says, “Give me the broom back,” the child thinks,
“I don’t understand what you’re talking about; this is a horse.” That is the
character of theta. Theta is also hypnosis.
Pikirkan tentang itu. Seorang
anak di bawah usia 7 tahun mengendarai sebuah sapu sebagai seekor kuda. Dalam
pikiran anak itu, itu bukan sapu lagi; itu kuda yang sebenarnya. Anak itu dapat
memvisualisasikan berada di atas kuda fisik, menungganginya sekalipun itu hanya
sebuah sapu. Itu adalah theta; itulah imajinasi. Jika sang ibu berkata, “Kembalikan sapu itu padaku,” anak itu
berpikir, “Aku tidak mengerti apa yang
kamu bicarakan; ini kuda.” Itulah karakter theta. Theta juga hipnosis.
The relevance is that
consciousness as a brain function, expressed as alpha EEG activity, does not
really kick in until about age 7. If you do not have any data in the hard
drive, you have nothing to be conscious of. Your biology provides the first 7
years as a download period. When you get to age 7, your consciousness then can
have access to these programs and create a life from them. Just like I cannot
create music playlists on my iPod until I download some music, first.
Relevansinya adalah bahwa
kesadaran sebagai fungsi otak, yang dinyatakan sebagai aktivitas alfa EEG,
tidak benar-benar muncul hingga sekitar usia 7 tahun. Jika Anda tidak memiliki
data apa pun di hard drive, Anda tidak perlu menyadari apa pun. Biologi Anda
menyediakan 7 tahun pertama sebagai periode untuk mengunduh data-data. Ketika
Anda mencapai usia 7 tahun, kesadaran Anda kemudian dapat memiliki akses ke
program-program ini dan menciptakan kehidupan darinya. Sama seperti saya tidak
dapat membuat daftar putar musik di iPod saya sampai saya mengunduh beberapa
musik, terlebih dahulu.
The issue is that the
fundamental programs in our subconscious mind did not come from our personal
wishes, our desires, or our spiritual quest. The first programs that come into
our minds go into the subconscious mind as downloads via hypnosis in the theta
period. But where did those programs come from? Observing others.
Masalahnya adalah bahwa program
mendasar dalam pikiran bawah sadar kita tidak datang dari keinginan pribadi
kita, harapan / kehendak kita, ataupun pencarian spiritual kita. Program pertama
yang masuk ke pikiran kita masuk ke alam bawah sadar sebagai unduhan melalui
hipnosis pada periode theta. Tapi dari mana program-program itu berasal? Mengamati
orang lain.
Observing our mothers, our
fathers, our siblings, and our communities in the first 7 years is how we
acquire the behaviors to become a member of the family and a member of
community. These behaviors do not reflect our wishes and desires; they are just
copied from other people.
Mengamati ibu, ayah, saudara
kita, dan komunitas kita dalam 7 tahun pertama adalah bagaimana kita memperoleh
perilaku-perilaku untuk seorang menjadi anggota keluarga dan sebagai anggota
masyarakat. Perilaku-perilaku ini tidak mencerminkan keinginan maupun
kehendak kita; mereka hanya disalin dari orang lain.
Here is the problem: The
subconscious programs do not necessarily reflect or support my own wishes or my
desires for health, happiness, and love. These things may not be in those
programs I downloaded from other people. Then you say, “Okay, I’m not going to default
to those programs. I’m just going to operate my life with my conscious mind.”
Inilah masalahnya: Program
bawah sadar tidak selalu mencerminkan atau mendukung harapan saya sendiri atau
keinginan saya untuk kesehatan, kebahagiaan, dan cinta. Hal-hal ini mungkin
tidak ada dalam program yang saya unduh dari orang lain. Kemudian Anda berkata,
“Oke, saya tidak akan tunduk begitu saja
kepada program-program itu. Saya hanya akan menjalankan hidup saya dengan
pikiran sadar saya.”
That is a wonderful intention.
Scientific assessments reveal that the wishes, desires, and aspirations of our
creative conscious minds only control cognitive behavior about 5% of the time.
Subconscious programs are in control 95% of our lives. Why should that be?
Itu niat yang luar biasa. Penilaian ilmiah
mengungkapkan bahwa harapan, keinginan / kehendak, dan aspirasi dari pikiran
sadar kreatif kita hanya mengendalikan perilaku kognitif sekitar 5% dari waktu
yang ada. Program bawah sadar mengendalikan 95% dari kehidupan kita.
Mengapa harus begitu?
The answer goes back to, “Hey,
Craig, what are you doing on Sunday?” That means your conscious, creative mind
is now going inward looking for some answer in thought. At the same time,
because it is going inward, it is not paying attention to what is going on to
the outside. That is when the autopilot subconscious kicks in and controls our
behavior.
Jawabannya kembali ke, “Hei, Craig, apa yang kamu lakukan pada hari
Minggu?” Itu berarti pikiran kreatif dan sadar Anda sekarang masuk ke dalam
mencari jawaban dalam pikiran. Pada saat yang sama, karena ia masuk ke dalam,
ia tidak memperhatikan apa yang terjadi di luar. Saat itulah alam bawah
sadar autopilot mencuat ke permukaan dan mengendalikan perilaku kita.
Of the downloaded behaviors
acquired before age 7, the vast majority—70% or more—are programs of
limitation, disempowerment, and self-sabotage. These programs were acquired
from other people, not from ourselves. Again, being subconscious, these
programs are occurring without conscious recognition and awareness.
Dari perilaku yang diunduh yang
diperoleh sebelum usia 7 tahun, sebagian besar—70% atau lebih—adalah
program-program perihal pembatasan, ketidakberdayaan, dan sabotase diri.
Program-program ini diperoleh dari orang lain, bukan dari diri kita sendiri. Sekali lagi, sebagai suatu
alam bawah sadar, program-program ini muncul ke permukaan tanpa diketahui oleh
alam sadar maupun perhatian kita.
Therefore, though we have the
perception in our mind that we are controlling our lives with our wishes and
desires, the truth is far from that. Since thought causes 95% of our cognitive
behavior to be controlled by the subconscious—ie, below conscious—mind’s
“invisible” behaviors, we struggle to manifest our conscious mind’s wishes and
desires.
Oleh karena itu, meskipun kita
memiliki persepsi dalam pikiran kita bahwa kita mengendalikan hidup kita dengan
harapan dan keinginan / kehendak kita, kebenarannya jauh dari itu. Karena
pikiran menyebabkan 95% perilaku kognitif kita dikendalikan oleh alam bawah
sadar—yaitu, di bawah kesadaran—perilaku “tak terlihat” pikiran, kita
berjuang untuk mewujudkan berbagai harapan dan keinginan-keinginan pikiran
sadar kita.
IMCJ: How does this interplay
affect genetics?
IMCJ: Bagaimana interaksi
ini mempengaruhi genetika?
Dr Lipton: Becoming aware of
the subconscious source of our behavior gives us an opportunity to change our
lives by rewriting the programs of limitation or the things that interfere with
us. If we change those programs, we are empowered; free to express the wishes
and desires of the conscious mind.
Dr Lipton: Menjadi sadar
terhadap “pikiran bawah sadar yang menjadi sumber dari perilaku kita”, memberi
kita kesempatan untuk mengubah hidup kita dengan “menulis ulang”
program-program terkait pembatasan atau hal-hal yang mengganggu kita. Jika
kita mengubah program-program itu, kita diberdayakan; bebas untuk
mengekspresikan harapan-harapan dan keinginan-keinginan pikiran sadar kita.
This is really what the whole
new biology is all about. Take us away from, “You are a victim of life,” to
introducing the fact that we are the creators of our life. Our consciousness is
the source of the great potential of creating heaven on Earth.
Ini benar-benar pemahaman baru tentang
biologi. Bawa kita menjauh dari, “Anda adalah korban kehidupan”, untuk
memperkenalkan fakta bahwa kita adalah pencipta hidup kita. Kesadaran
kita adalah sumber potensi besar untuk menciptakan surga di Bumi.
We must leave behind the notion
of victim and recognize the new science of epigenetics—the science of mind over
genes—in order for us to regain power and create the lives we would like.
Kita harus meninggalkan gagasan
tentang korban dan berkenalan dengan ilmu baru tentang epigenetik—ilmu pikiran yang
melampaui genetik—agar kita mendapatkan kembali kekuasaan dan menciptakan
kehidupan yang kita inginkan.
IMCJ: Is there a time when this
happens naturally?
IMCJ: Apakah ada waktu ketika
ini terjadi secara alami?
Dr Lipton: Yes. When we fall
head over heels in love with somebody, a profound change occurs in our lives.
Your life could suck all the way up to the day you meet person X. The next day
is like, “Oh my God, I’m so in love!” It is heaven on Earth. Things become more
beautiful and life is so much easier. You are healthier. You are happier. You
are creating a world of joy and love, and that’s called the honeymoon.
Dr Lipton: Ya. Ketika kita
jatuh cinta dengan seseorang, perubahan besar terjadi dalam hidup kita. Hidup
Anda bisa berubah sepenuhnya, sampai hari Anda bertemu orang X. Hari berikutnya
seperti, “Astaga, aku sangat jatuh cinta!”
Ini adalah surga di Bumi. Hal-hal menjadi lebih indah dan hidup jauh lebih
mudah. Anda lebih sehat. Anda lebih bahagia. Anda menciptakan dunia kegembiraan
dan cinta, dan itu disebut bulan madu.
When we fall in love, we stop
focusing our conscious mind in thought and start keeping it present. It is
called being mindful. Meaning, if you’ve been looking for this person your
whole life, why would you redirect your mind to go interior into thought when
what you have been looking for is right in front of your face?
Ketika kita jatuh cinta, kita
berhenti memfokuskan pikiran sadar kita dalam pikiran, dan mulai menjaganya
tetap ada dalam kondisi kekinian. Ini disebut menjadi penuh perhatian.
Artinya, jika Anda telah mencari orang ini sepanjang hidup Anda, mengapa Anda
mengarahkan kembali pikiran Anda untuk masuk ke dalam pikiran, ketika apa yang
Anda cari ada tepat di depan wajah Anda?
Science has recognized that
immediately after falling in love, we enter a period of mindfulness where we
keep our conscious mind present. It means when you fall in love for the first
time, you stop playing subconscious programs that have been controlling 95% of
your life. You start running programs that are based on your conscious wishes
and desires. All of a sudden, without the programs—without the subconscious
programs—we begin to experience a heavenly life.
Ilmu pengetahuan telah mengakui
bahwa segera setelah jatuh cinta, kita memasuki periode perhatian penuh
di mana kita menjaga pikiran sadar kita tetap hadir di kekinian.
Artinya, ketika Anda jatuh cinta untuk pertama kalinya, Anda berhenti memainkan
program bawah sadar yang telah mengendalikan 95% hidup Anda. Anda mulai
menjalankan program-program yang didasarkan pada harapan-harapan dan keinginan-keinginan
sadar Anda. Tiba-tiba saja, tanpa program-program—tanpa program-program
bawah sadar—kita mulai mengalami kehidupan surgawi.
The programs eventually kick
back in, because inevitably we start thinking again. Guess what? They sabotage
the entire honeymoon experience, which ultimately disappears; then life returns
to the way it was beforehand. The vast majority of those programs are
disempowering and self-sabotaging. We are quite powerful if we can get out of
the program.
Program-program itu akhirnya muncul kembali ke permukaan,
karena mau tidak mau kita mulai berpikir lagi. Tebak apa yang terjadi?
Mereka menyabot seluruh pengalaman bulan madu, yang akhirnya menghilang;
kemudian kehidupan kembali seperti semula sebelumnya. Sebagian besar dari
program-program tersebut melemahkan dan menyabotase diri sendiri. Kita cukup
kuat jika kita bisa keluar dari program.
This is where the future will
take us: Knowledge that we are powerful is quite different than the program we
receive that we are victims. We are moving into a new future where we start to
recognize, “Oh my God, my mind is creating the problems.”
Di sinilah masa depan akan
membawa kita: Pengetahuan bahwa kita adalah kuat adanya, sangat berbeda dengan
program yang kita terima bahwa kita adalah korban. Kami bergerak ke masa depan yang
baru, di mana kita mulai mengenali, “Ya
ampun, pikiran saya menciptakan masalah-masalah ini.”
Getting back to health, it
comes down to a simple fact: Less than 1% of disease is associated with
genetics. Over 90% of disease is a total reflection of environment and
especially our programming: the disempowering, self-sabotaging behaviors that
we acquired in the first 7 years. Since those disempowering programs are based
on our environment and our perception, and since we can change the environment
and our perception, we have the power to free ourselves from disease and to
start living that happily-ever-after honeymoon of life experiences that we all
believe that we can have. The way to do that is by eliminating the
self-sabotaging subconscious programs acquired during the first 7 years of our
lives.
Kembali ke isu mengenai kesehatan,
itu bermuara pada fakta sederhana: Kurang dari 1% penyakit dikaitkan dengan
genetika. Lebih dari 90% penyakit adalah cerminan total dari lingkungan dan
terutama program kita: perilaku yang melemahkan dan menyabotase diri sendiri
yang kita peroleh dalam 7 tahun pertama. Karena program-program yang
melemahkan itu didasarkan pada lingkungan dan persepsi kita, dan karena kita
dapat mengubah lingkungan dan persepsi kita, kita memiliki kekuatan untuk
membebaskan diri kita dari penyakit dan mulai menjalani bulan madu yang bahagia
selamanya dari pengalaman hidup yang kita semua yakini bahwa kita bisa
memperolehnya. Cara untuk melakukannya adalah dengan menghilangkan program
bawah sadar yang menyabotase diri sendiri ini yang diperoleh selama 7 tahun
pertama kehidupan kita.
IMCJ: What have you observed on
the cellular level that leads you believe that the cells demonstrate this
awareness?
IMCJ: Apa yang telah Anda amati
pada tingkat sel yang membuat Anda percaya bahwa sel menunjukkan adanya kesadaran
ini?
Dr Lipton: As I said, I grew
cells in tissue culture dishes and used culture medium to approximate blood. In
addition to nutrition and oxygen carried in the blood, the blood is also
sending information: signals, hormones, growth factors, and neuroregulatory
agents. Information is in the environment of the cell.
Dr Lipton: Seperti yang saya
katakan, saya menumbuhkan sel dalam cawan kultur jaringan dan menggunakan media
kultur untuk memperkirakan darah. Selain nutrisi dan oksigen yang dibawa
dalam darah, darah juga mengirimkan informasi: sinyal-sinyal, hormon-hormon,
faktor-faktor pertumbuhan, dan agen-agen neuroregulasi. Informasi ada pada
lingkungan dari sel.
This information, by
interfacing with the cell membrane—which is the brain of the cell—then enables
the cell to engage in behaviors that are elicited by this information. The cell
becomes aware of the environment by reading the information in the culture
medium, the natural culture medium called blood.
Informasi ini, dengan
berinteraksi dengan membran sel — yang merupakan otak sel — kemudian
memungkinkan sel untuk terlibat dalam perilaku-perilaku yang ditimbulkan oleh
informasi ini. Sel menjadi sadar terhadap lingkungan dengan membaca informasi
dalam media kultur, dimana media kultur alami yang ada di tubuh manusia adalah
darah.
Signal transduction, a new
science, reveals the pathways by which an environmental signal engages a
biological behavior. The interface of the cell membrane reads the environment
of the cell and, in response to the information, adjusts the behavior and
genetics of the cell to survive in that environment. The awareness process
becomes biological awareness of the interface of the cell membrane, which then
translates the environmental information into biological behaviors—signal
transduction.
Transduksi sinyal, sebuah ilmu
baru, mengungkapkan jalur di mana sinyal lingkungan melibatkan perilaku
biologis. Antarmuka membran sel membaca lingkungan yang ada disekitar sel
dan, sebagai tanggapan terhadap informasi, menyesuaikan perilaku dan genetika
sel untuk bertahan hidup di lingkungan itu. Proses berkesadaran menjadi
kesadaran biologis dari antarmuka membran sel, yang kemudian menerjemahkan
informasi tentang lingkungan sekitarnya ke dalam perilaku-perilaku biologis—transduksi
sinyal.
Part of signal transduction is
the new science we mentioned, epigenetics. Signal transduction is the whole
process: Environmental signals controlling cell behavior and cell behavior
include genetics. The environmental signal via signal transduction can go into
the nucleus and selectively change the reading of our gene blueprints.
Bagian dari transduksi sinyal
adalah ilmu baru yang kita sebutkan, epigenetik. Transduksi sinyal adalah keseluruhan
proses: Sinyal lingkungan yang mengendalikan perilaku sel dan perilaku sel
termasuk genetika. Sinyal lingkungan melalui transduksi sinyal dapat masuk
ke dalam nukleus dan secara selektif mengubah pembacaan cetak biru gen kita.
IMCJ: That can elicit a
differentiated response?
IMCJ: Itu bisa menimbulkan
respons yang terdiferensiasi?
Dr Lipton: Absolutely. This is
why a change in perception of an individual can change their biology, virtually
immediately. How fast can you change genetics? There are studies that showed
the genetic readout of some inflammatory genes in a group of people who then
went through a meditation process. After 8 hours of meditation, the activity of
the genes changed. How long did it take? Well, less than 8 hours.
Dr Lipton: Tentu saja. Inilah
sebabnya mengapa perubahan persepsi individu dapat mengubah biologi mereka,
hampir seketika. Seberapa cepat Anda dapat mengubah genetika? Ada
penelitian yang menunjukkan pembacaan genetik dari beberapa gen inflamasi pada
sekelompok orang yang kemudian menjalani proses meditasi. Setelah 8 jam
meditasi, aktivitas gen-gen menjadi berubah. Berapa lama waktu yang diperlukan?
Yah, kurang dari 8 jam.
You can change your genetic
activity by how you change your response to the environment. The commonly held
perception is that your genes are a blueprint of your life—this is totally
false. The blueprint of your life is based on your perception, because your
genes will change according to your perceptions via epigenetics.
Anda dapat mengubah aktivitas genetik Anda dengan cara
Anda mengubah respons Anda terhadap lingkungan. Persepsi yang diasumsikan
oleh kalangan umum adalah bahwa gen Anda adalah cetak biru kehidupan Anda—ini
sama sekali keliru. Cetak biru hidup Anda didasarkan pada persepsi Anda,
karena gen Anda akan berubah sesuai dengan persepsi Anda melalui epigenetik.
Rather than putting emphasis on
genes controlling life, the emphasis is fully turned around to recognize your
perceptions, via signal transduction, are translated into biological behavior.
These factors control not only your behavior but also control your genetic
activity.
Alih-alih menekankan pada gen
yang mengendalikan kehidupan, penekanan sepenuhnya berbalik untuk mengenali apa
yang menjadi persepsi Anda, melalui transduksi sinyal, diterjemahkan
ke dalam perilaku biologis. Faktor-faktor ini tidak hanya mengontrol
perilaku Anda, tetapi juga mengontrol aktivitas genetik Anda.
IMCJ: You mentioned that you
see the cell membrane as the brain of the cell. Doesn’t that conflict with
conventional wisdom at this point that the nucleus is the brain of the cell?
IMCJ: Anda menyebutkan bahwa
Anda melihat membran sel sebagai otak sel. Bukankah itu bertentangan dengan pengetahuan
konvensional pada titik ini, bahwa nukleus yang merupakan otak dari sel?
Dr Lipton: Well yes, because we
have held that the genes are self-actualizing. Which means that if genes are
capable of turning themselves on and off, like we thought, then that would make
the nucleus of the cell the brain. Because that is where the genes are located—essentially,
98% of them.
Dr Lipton: Ya memang, karena
kita berpendapat bahwa gen-gen mengaktualisasikan diri. Artinya, jika
gen mampu untuk “ON” dan “OFF” dirinya sendiri, seperti yang kita ketahui, maka
itu akan membuat inti dari sel sebagai otak. Karena di situlah letak gen-gen—pada
dasarnya, 98% di antaranya.
Since genes were then given the
opportunity of self-actualization, then all the decisions are being made by the
genes in the nucleus. Well, that turns out to be totally false. Genes are not
self-actualizing. They do not make any decisions at all. The control of genes
is not due to any inherent activity in the DNA itself. The change of genetic
activity is due to the interaction of the cell with environmental signals.
Karena gen kemudian diberi
kesempatan aktualisasi diri, maka semua keputusan dibuat oleh gen-gen di dalam
nukleus. Nah, itu ternyata benar-benar salah. Gen tidak
mengaktualisasikan diri. Mereka tidak membuat keputusan sama sekali.
Kontrol dari gen-gen bukan berdasarkan aktivitas yang melekat pada DNA itu
sendiri. Perubahan pada aktivitas genetik adalah disebabkan oleh interaksi
sel dengan sinyal-sinyal terkait lingkungannya.
When I put my cells in the
tissue culture, the fate of the cells was not determined by the genes. They all
had the same genes. The fate of the cell was determined by the information in
the environment.
Ketika saya memasukkan sel-sel ke
dalam kultur jaringan, nasib dari sel-sel tersebut tidak ditentukan oleh gen.
Mereka semua memiliki gen-gen yang sama. Nasib dari sel ini ditentukan oleh
informasi di lingkungan sekitarnya.
So, what is reading that
information? The answer is, “Not the genes directly.” It is the cell membrane
through receptors picking up the signals and translating them into biology,
which then sends signals into the nucleus, which then controls the genetic
activity. This is the essence of what the new science epigenetics is all about.
Jadi, apa yang membaca
informasi itu? Jawabannya adalah, “Bukan gen secara langsung.” Ini adalah
membran sel melalui reseptor yang mengambil sinyal-sinyal dan menerjemahkannya
ke dalam biologi, yang kemudian mengirimkan sinyal ke dalam nukleus, yang
kemudian mengontrol aktivitas genetik. Inilah esensi dari
epigenetika, sains yang baru.
Genes do not make decisions, so
then the question is this: “If they are not making decisions, where are our
decisions being made?” That takes us back to the cell membrane, which is the
first organelle to evolve in the evolution of cells.
Gen tidak membuat keputusan, jadi pertanyaannya adalah: “Jika mereka tidak membuat keputusan, di
mana keputusan kita dibuat?” Itu membawa kita kembali ke membran sel,
yang merupakan organel pertama yang berevolusi dalam evolusi sel.
If there was no membrane, of
course, there is no cell. As the interface between what is outside the cell and
inside the cell, the membrane reads both environments. In this position, the
membrane reads the external environment and then adjusts the functions of the
internal environment to keep the cell alive. The idea of genes controlling
biology is totally false.
Jika tidak ada membran, tentu
saja tidak ada sel. Sebagai antarmuka antara apa yang ada di luar sel dan di
dalam sel, membran membaca kedua lingkungan. Pada posisi ini, membran membaca
lingkungan eksternal dan kemudian menyesuaikan fungsi lingkungan internal tubuh
dirinya untuk menjaga sel ini tetap hidup. Gagasan bahwa adalah gen-gen yang
mengendalikan biologi, sama sekali salah adanya.
I understood this in 1964 when
I did my first enucleation experiments. If you remove the brain from any living
organism, the necessary consequence is death. So, if the nucleus is the brain
of the cell, then the process called enucleation, which is removing the nucleus
using a micropipette, should lead to the death of the cell.
Saya memahami ini pada tahun
1964 ketika saya melakukan eksperimen enukleasi pertama saya. Jika Anda
mengeluarkan otak dari organisme hidup apa pun, konsekuensi yang terjadi
kemudian ialah kematian. Jadi, jika nukleus adalah otak sel, maka akibat proses
yang disebut enukleasi ini, yaitu mengeluarkan nukleus menggunakan sebuah alat
bernama mikropipet, akan menyebabkan kematian sel.
Guess what? You can enucleate a
cell. The cell will survive for months without any genes in it. It is not just
sitting there; it’s doing every function it had before. It is moving around. It
is ingesting food. It is breathing. It is defecating. It is communicating with
other cells. All of this is happening without genes.
Tebak apa? Anda dapat mengenukleasi sel. Sel ini akan
bertahan hidup selama berbulan-bulan tanpa ada gen di dalamnya. Ia tidak hanya
duduk di sana; ia melakukan setiap fungsi yang dimilikinya sebelumnya. Ia
bergerak di sekitar. Ia menelan makanan. Ia bernapas. Ia membuang kotoran. Ia
berkomunikasi dengan sel lain. Semua ini terjadi tanpa gen.
Well then, obviously something
must be coordinating the behavior of the cell and there are no genes in it.
Where the heck is the control coming from? The answer is what led me to the
cell membrane. The cell membrane is the interface of control. Genes are just
responsive elements farther down the line.
Kalau begitu, jelas ada sesuatu
yang mengoordinasikan perilaku sel dan sementara itu tidak ada gen di dalamnya.
Dari mana sih kontrolnya berasal? Jawabannya adalah apa yang membawa saya ke
membran sel. Membran sel adalah antarmuka kontrol. Sementara itu gen-gen hanyalah
elemen-elemen responsif yang berada jauh di bawah sana.
The relevance is that the whole
DNA story perpetrated and propagated by Watson and Crick as “DNA controls life
and it’s self-replicating, therefore it controls itself,” led to something called
a central dogma, which is a reflection of how information flows in biology’s
conventional thought. This convention stipulates that information flows from
DNA to RNA to protein in a unidirectional manner; this flow of information led
to the belief that genes control our lives.
Relevansinya adalah bahwa
keseluruhan cerita DNA yang dilakukan dan disebarkan oleh Watson dan Crick
sebagai “DNA mengontrol kehidupan dan menggandakan diri, oleh karena itu ia
mengontrol dirinya sendiri,” mengarah pada sesuatu yang disebut dogma
sentral, yang merupakan refleksi dari bagaimana informasi mengalir dalam
pemikiran konvensional perihal biologi. Konvensi ini menetapkan bahwa informasi
mengalir dari DNA ke RNA ke protein secara searah; aliran informasi ini
mengarah pada keyakinan bahwa gen-gen mengendalikan hidup kita.
Unfortunately, Watson and Crick
left some very important stuff out of that explanation. They left out the
membrane proteins and the chromosomal proteins that control the DNA, called
regulatory proteins. But even those proteins are controlled by environmental
signals. It is not DNA to RNA to protein.
Sayangnya, Watson dan Crick
meninggalkan beberapa hal yang sangat penting dari penjelasan itu. Mereka menanggalkan
protein membran dan protein kromosom yang mengontrol DNA, yang disebut protein
pengatur. Tetapi bahkan protein-protein itu dikendalikan oleh sinyal-sinyal terkait
lingkungan. Bukan DNA ke RNA ke protein.
The new understanding is:
environmental signals to regulatory protein to DNA to RNA and then to protein.
Why is it relevant? DNA is not at the top of that information scheme; the environment
is. Leaving out the chromosomal regulatory proteins, which are responsible for
regulating DNA, we had a complete misperception on the nature and role of DNA
in controlling our lives.
Yang kini menjadi pemahaman
baru kita adalah: sinyal lingkungan ke protein pengatur, sebelum kemudian ke
DNA, ke RNA, dan kemudian ke protein sebagai alurnya. Mengapa itu menjadi
relevan? DNA tidak berada di puncak skema informasi itu; namun adalah lingkungan.
Meninggalkan peran dibalik protein pengatur kromosom, yang bertanggung jawab
untuk mengatur DNA, kita memiliki persepsi yang salah tentang sifat dan peran
DNA dalam mengendalikan hidup kita.
Dapat kita simpulkan,
memperbaiki alam bawah sadar adalah dengan cara memberdayakan alam sadar kita
dan menguatkannya, alih-alih berpasrah diri pada alam bawah sadar kita dan
menjadi korban dari alam bawah sadar kita sendiri. Kita perlu memilih untuk
menjadi berdaya atas hidup kita sendiri, bukan menjadi korban pengalaman buruk masa
lampau ataupun menjadi “robot”. Di dalam alam bawah sadar, bersemayam
deterministik genetika. Namun, di dalam alam sadar, itulah letak sumber
kehendak bebas serta keberanian dalam menjalani hidup.
Jika program atau data-data yang
tertanam di alam bawah sadar kita adalah cukup baik dan berkualitas adanya
dalam mendukung tumbuh kembang dan kehidupan masa dewasa kita, maka Anda patut
bersyukur. Namun, apakah semua orang seberuntung Anda? Bila kita tidak
seberutung mereka, karena data-data atau program dalam alam bawah sadar kita
justru cenderung merepresi mental diri kita, maka bukan artinya kita tidak
memiliki hak untuk menentukan nasib hidup kita sendiri, yakni dengan mulai
berlatih memberdayakan alam sadar kita, dengan hidup di dalam “present moment”, bukan lagi rasa takut
ataupun trauma (ingatan atas pengalaman buruk yang menghantui), “mental block”, dan lain sebagainya.
Keberanian untuk menghadapi
hidup dan hidup sepenuhnya pada “current
moment” atau pada kekinian, merupakan positive
thinking itu sendiri, apapun fakta yang ada. Sekalipun, banyak diantara
kita memilih untuk melarikan diri terhadap pahit-getirnya kehidupan, ke dalam
barang madat yang memabukkan, sehingga mereka benar-benar menjadi korban dari
keadaan serta korban dari genetik mereka sendiri. Setidaknya, walaupun kita tidak
mampu mengendalikan hal-hal yang terjadi pada eksternal diri kita yang senantiasa
diliputi banyak kejadian yang tidak ideal dan “mengecewakan”, namun kita mampu dan
berdaya mengendalikan kondisi internal diri kita, yakni genetik diri kita
sendiri dan menaklukkannya, menjadi pemenang atas hidup diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.