SENI PIKIR & TULIS
Tempat Ibadah yang Berisik saat Beribadah, adalah
“Polusi Suara”. Penistaan Agama, juga merupakan “Polusi Suara”. Memungkiri
Fakta tersebut, artinya STANDAR GANDA.
Ketika sedang Beribadah, Praktik Ritual Mereka
Merugikan Umat Agama Lain, maka Bagaimana ketika Mereka Tidak sedang Beribadah?
Korban Bukanlah Sebongkah Mayat yang Tidak dapat
Menjerit dan Merasa Sakit, Berteriak Kesakitan adalah Hak Asasi Korban. Jeritan
Korban manakah yang “Sopan”, seolah-olah Perbuatan Pelakunya telah “Sopan”?
Kita buka dengan pertanyaan introspektif berupa teka-teki psikologi yang penulis rancang, yang dapat mencerminkan tingkat IQ sekaligus EQ dan SQ seseorang, sekaligus membuktikan bahwa IQ menentukan tingkat EQ maupun SQ seseorang, dan bahwa IQ tidak terpisahkan dari EQ dan SQ. Suatu pihak membuat “polusi” (entah udara, suara, sosial seperti menyampah atau parkir liar, dsb), lantas pihak yang merasa terganggu (korban), menjerit karena merasa terganggu atau berupa jeritan kesakitan. Pertanyaan pertama, adakah jeritan penuh kesakitan yang “sopan”? Pertanyaan kedua, apakah perbuatan pelaku yang membuat “polusi”, sudah beretika dengan menyakiti atau mengganggu warga lainnya?
Untuk lebih konkretnya,
katakanlah sebuah tempat ibadah, membuat “polusi suara” lewat speaker pengeras
suara eksternal, membuat ketenangan hidup warga terganggu (seorang bayi ataupun
lansia dengan penyakit jantung, pasti terganggu, tidak waras bila kita melarang
sang bayi menjerit akibat terganggu “polusi suara”) dan tidak bisa beribadah
sesuai keyakinan keagamaannya masing-masing tanpa saling mengganggu. Ketika
sang warga dari kalangan NON, kemudian mengajukan komplain atau bahkan protes
paling tajam sekalipun, dibalas dengan anarkhi dan kekerasan fisik oleh pelaku
pembuat “polusi suara”, dengan alasan bahwa tutur-kata sang warga adalah “tidak
sopan” dan “tidak beretika”—membalas “verbal” dengan “kekerasan fisik”, tidak
proporsional.
Komplain, bagi ukuran telinga
orang yang dikomplain, tidak pernah tidak membuat kuping terasa “panas” (subjektivitas pihak yang
dikomplain, sementara jeritan seorang bayi adalah cerminan objektif betapa
menyakitkan dan mengganggu “polusi suara”). Pertanyaan ketiga, adakah komplain
yang “sopan”? Amarah verbal merupakan cerminan emosi, adalah ekspresi
kekecewaan dan penolakan atau tidak menerima perlakuan, hal manusiawi. Bukankah
hanya sebongkah mayat (namun tidak roh jiwa-nya), yang paling “sopan” di dunia
ini, bungkam manis seribu kata diperlakukan seperti apapun? Bisakah Anda
pertunjukkan contoh, jeritan kemarahan penuh kesakitan yang sopan dan santun
bak puteri keraton yang marah dengan ayu dan anggunnya? Orang yang menyimaknya,
akan mengira sang puteri keraton justru merasa senang diberi “polusi”. Emosi
verbal, adalah bentuk komunikasi penyampaian pesan itu sendiri, yang hanya
dapat ditangkap oleh mereka dengan tingkat EQ memadai.
Pertanyaan keempat, pertanyaan
pamungkas kita ialah, “polusi suara” yang membuat derita ketenangan hidup sang
warga, katakanlah kemudian dibalas secara verbal dengan komplain caci-maki oleh
sang warga sebagai bentuk balasan verbal paling keras yang dapat kita
contohkan—meski tetap sebatas verbal semata—verbal balas verbal. Lantas,
sang pelaku pembuat “polusi suara”, merasa panas kupingnya mendengar komplain
atau bahkan caci-maki sumpah-serapah sang warga yang emosi karena terganggu,
lantas membalas dengan respons berupa anarkhi dan kekerasan fisik, bukan
balasan berupa verbal balas verbal.
Maka, apakah respons atau
balasan dari sang pelaku, telah “sopan” dan “beretika”, tidak lagi verbal
sifatnya, sementara itu sang pelaku tidak introspektif betapa dirinya sendiri
tidak tabah menghadapi “polusi suara” berupa caci-maki dan komplain?
Singkatnya, bukankah caci-maki dan sumpah-serapah ataupun protes dan
komplain, adalah “polusi suara” itu sendiri? Mengapa menuntut kaum lain
untuk bersabar menerima siksaan “polusi suara”, sementara itu pelaku pembuat
polusi itu sendiri tidak tabah menerima “polusi suara” berupa caci-maki?
Bukankah itu, praktik “standar ganda”? Faktanya, rata-rata orang Indonesia yang
konon “agamais” dan mengaku ber-Tuhan, tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut
di atas, meski sederhana saja untuk ukuran orang-orang ber-EQ rata-rata.
Untuk memudahkan pemahaman,
contoh konkret akan lebih mencerminkan realita wacana di atas. Salah satunya contohnya
ialah tragedi yang menimpa seorang umat Buddhist, agama nenek-moyang Bangsa
Indonesia (abad ke-5 Masehi hingga abad ke-15 Masehi) yang telah memakmurkan
dan menyuburkan Nusantara dan memiliki budi memberi toleransi masuknya “Agama
I”, yang telah ternyata kini membalas budi baik maupun hutang budi toleransi
dengan intoleransi, dan kini setelah menjadi mayoritas justru hendak
memusnahkan kemajemukan setelah menikmati toleransi yang melahirkan mereka di
negeri ini.
“Jeritan” korban, adalah
“AKIBAT”. Pelaku yang menyakiti, adalah “SEBAB”. Bagaimana mungkin, “AKIBAT”
disebut sebagai provokator-nya atau biang keladinya? KORBAN diputar-balik sebagai
pelaku, sementara pelakunya merasa “dizolimi”, lantas menjadi alasan pembenar
untuk melakukan tindakan radikalisme terhadap korban yang menjadi korban untuk
kesekian kalinya, sebagaimana diberitakan detikNews dalam beritanya berjudul “Kronologi
Lengkap Keluhan Volume Azan yang Berujung 18 Bulan Bui”, 22 Agustus 2018,
sumber : https:// news.detik .com/berita/d-4177634/kronologi-lengkap-keluhan-volume-azan-yang-berujung-18-bulan-bui,
diakses tanggal 20 September 2021:
Medan - Meiliana mengeluhkan
suara azan yang terlalu kencang. Akibatnya, rumahnya dirusak warga. Tidak hanya
itu, Meiliana juga dihukum 18 bulan penjara. Bagaimana kronologinya?
Berikut kronologi kasus
Meiliana yang dirangkum dari berkas dakwaan sebagaimana dikutip detikcom, Rabu
(22/8/2018):
Juli 2016
Pukul 08.00 WIB
Meiliana datang ke kios di
Jalan Karya Lingkungan I Kelurahan Tanjungbalai Kota I Kecamatan Tanjungbalai
Selatan Kota Tanjungbalai, Sumut.
“Kak, tolong bilang sama uak
itu, kecilkan suara mesjid itu kak, sakit kupingku, ribut,” kata
Meiliana ke Kasini alias Kak Uo.
“Iyalah nanti kubilangkan,”
jawab Kak Uo.
Besoknya, Kak Uo mendatangi
adiknya, Hermayanti.
“Orang China muka itu
minta kecilkan volume mesjid,” ujar Kak Uo. [Note : Belum apa-apa sudah
“sentimen rasisme”, maka bagaimana mungkin bermusyawarah baik-baik
kekeluargaan?]
“Yang mano, siapo?” tanya
Hermayanti.
“Istri si Atui,” jawab Kak Uo.
“Bilangkanlah sama bapak,” ujar
Hermayanti.
“Malas aku, kau lah bilangkan,
aku takut,” kata Kak Uno.
Besoknya, datang Kasidik ke
kedai Kak Uo.
“Ada orang China itu, datang ke
kedai kau ya?” tanya Kasidik.
“Iyo ado pak, dia minta
kecilkan suara mesjid itu Pak, bising dio katonya,” ujar Kak Uo.
“Iyolah nanti ku sampaikan ke
BKM Mesjid Al Makhsum,” jawab Kasidik.
29 Juli 2016
Pukul 10.00 WIB
Kasidik bertemu dengan Ketua
BKM, Sayuti di Jalan Bahagia, Kecamatan Tanjungbalai Selatan Kota Tanjungbalai.
“Pak Sayuti, China depan
rumah kami itu, gimana ya. Minta kecilkan suara volume mesjid kita itu,” ujar
Kasidik.
“Ya udahlah, nanti saya datang
ke mesjid nanti kita bicarakan di mesjid,” jawab Sayuti.
Pukul 16.00 WIB
Selesai salat Ashar, Kasidik
bertemu dengan saksi Sahrir alias Pak Er.
“Er, China depan itu
minta kecilkan volume mesjid ini, bising katanya telinganya. Bagimana
solusinya?” ujar Kasidik.
“Ya nantilah. Nanti kita kasih
tahu sama Pak Lobe dan Pak Dai Lami,” jawab Pak Er.
Pukul 18.00 WIB.
Sehabis salat Magrib, saksi
Kasidik bertemu dengan Pak Zul Sambas, Haris Tua alias Pak Lobe dan Dailami.
“Macam mana ini China
yang di depan itu minta suara volume mesjid dikecilkan," ujar
Kadisik.
“Ayok kita ke rumahnya,” jawab
Pak Zul Sambas dkk.
Baca juga: Ketua PBNU: Nyatakan
Suara Azan Terlalu Keras Bukan Penistaan Agama. [Note : Agama “speaker”?
Menghina speaker = menghina “Agama I”? Agama yang alih-alih menyembah Tuhan,
justru menyembah “berhala bernama speaker”?]
Pukul 19.00 WIB.
Mereka sampai di rumah
Meiliana. Tak berapa lama, Meiliana menemui rombongan tersebut.
“Ada kakak bilang kecilkan
suara mesjid itu?” tanya perwakilan rombongan.
“Ya lah, kecilkanlah suara
mesjid itu ya. Bising telinga saya pekak mendengar itu,” ujar Meiliana.
“Jangan gitulah. Kalau kecil
suara volumenya nggak dengar,” jawab Haris Tua. [Note : Rupanya, ribuan tahun
lampau, sebelum ada listrik, umat “Agama I” tidak bisa ibadah tanpa speaker,
sekalipun saat ini semua gadget sudah ada fungsi “alaram”. Meminta dikecilkan =
melarang ibadah?]
“Punya perasaanlah kalian sikit,” pinta Meiliana.
“Kakak jangan lah gitu
bercakap, haruslah sopan sikit,” ujar Pak Lobe. [Note : Membuat “polusi suara”
dan menyakiti telinga dan merusak ketenangan hidup orang lain, disebut “sopan”?
Korban yang menjerit, disebut “tidak sopan”?]
Setelah itu, rombongan itu
kembali ke masjid untuk salat Isya. Tak berapa lama, suami Meiliana, Lian Tui
datang ke masjid untuk meminta maaf. Namun pada saat itu masyarakat di
sekitar saling bercerita sehingga masyarakat menjadi ramai. [Note : Korban yang harus
meminta maaf?]
Pukul 21.00 WIB
Masyarakat mulai gaduh dan
berkumpul di kantor kelurahan.
Pukul 23.00 WIB
Masyarakat semakin ramai dan berteriak ‘Bakar, bakar’.
Lalu ada yang berteriak ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’.
Massa tidak terkendali dan melempari
dan merusak rumah Meiliani. Selain itu, vihara yang ada di kota itu juga
ikut dirusak.
2 Desember 2016
Haris Tua membuat laporan ke
kepolisan untuk mengusut kasus itu.
14 Desember 2016
Aliansi Mahasiswa dan
Masyarakat Independent Bersatu (AMIB) mengajukan Surat kepada Ketua MUI Kota
Tanjungbalai meminta audiensi dengan MUI setempat.
Baca juga: Ini Data 10 Rumah
Ibadah yang Dibakar Saat Bentrok Warga di Tanjungbalai. [Note : Perilaku “setanis”
yang “kesetanan”, hasil didikan “setan”.]
19 Desember 2016
MUI Kota Tanjungbalai memutuskan ucapan / ujar yang
disampaikan oleh Sdri Meliana atas suara azan yang berasal dari mesjid
Al-Maksum perendahan dan penistaan terhadap suatu agama Islam.
MUI merekomendasikan kepada
pihak Kepolisian untuk segera menindaklanjuti proses penegakan hukum atas
saudari Meiliana. [Note : Korban dikriminaliasi,
pelaku pembuat “polusi suara” dan pembakaran vihara, dibenarkan (tidak
dikritik).]
23 Januari 2017
Perusak dan pembakar vihara
dihukum, yaitu: [Note : Menurut pemberitaan kala itu, kejadiannya ialah ribuan umat
“Agama I” turun ke jalan dan menyerbu, sehingga pelakunya ialah ribuan umat
“Agama I”, bukan sebatas delapan orang pelaku.]
1. Abdul Rizal dihukum 1 bulan
16 hari.
2. Restu dihukum 1 bulan dan 15
hari.
3. M Hidayat Lubis dihukum 1
bulan dan 18 hari.
4. Muhammad Ilham dihukum 1
bulan dan 15 hari.
5. Zainul Fahri dihukum 1 bulan
dan 15 hari.
6. M Azmadi Syuri dihukum
pidana 1 bulan dan 11 hari.
7. Heri Kuswari dihukum 1 bulan
dan 17 hari (kena pasal kasus pencurian).
8. Zakaria Siregar dengan
pidana 2 bulan dan 18 hari.
30 Mei 2018
Meiliana mulai duduk di kursi
pesakitan sebagai terdakwa.
21 Agustus 2018
Pengadilan Negeri Medan
menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara ke Meiliana.
[Note : Meminta toleransi antar umat beragama, bermuara rumah dirusak, vihara
dibakar, dan dipenjarakan.]
Komentar Netizen:
Terkikis sudah adab kehidupan
berdampingan yang berbhineka tunggal ika di Indonesia, sudah tidak berdaya
cara2 musyawarah kekeluargaan dalam penyelesaian kekeluargaan, tergantikan
dengan hukum yang ditegakkan dengan kekuatan keyakinan, sedikit saja salah
bicara dan berpendapat, bagi yang tak punya kekuatan, bui maupun penghakiman
massa siap menanti
Biang onarnya ibu meiliana ini
.. dia yang memulai provokasi .. dia juga yang harus mempertanggung jawabkan ..
aksi bakar bakar rumah ibadah itu hanyalah ekses dari aksi provokasi ibu
meiliana ini .. jelas dia biangnya .. jangan sok salah-salah kan orang lain.
Ane sebagai umat islam amat
sedih bahwa ente tidak bisa melihat dengan jelas asal kejadiannya.
Bagaimana perasaan ente bila sekiranya ente punya bayi dan ada gereja yang
membunyikan speaker doa sekeras kerasnya tepat di depan rumah ente?
Ada rasa miris si. Lumayan
terbukti bahwa bahkan ulama sekitar dan juga MUI ga bisa memberitahu jamaahnya
sendiri, ya antara itu atau ada pembiaran. Kapan ya umat islam
bisa main cantik? Daripada bakar n rusuh ga jelas lebih baik tepo seliro atau
ga, ga usah digubris sekalian, model kaya gini2 yang menyebabkan islam dikenal
sebagai agama penuh kekerasan si..
Gila kesel banget. ckckckckc
kenapa jadi gini, solusi yang menyesatkan. KENAPA JADI BEG* BANGET. Empati ke
orang lain, jangan cuma bisa membalas, parah lagi, lalu yang lebih dihukum
adalah yang cuma protes pakai mulut. sementara orang lain membakar,
menghancurkan, dan dihukum seperti apa tidak tau? Kesel.
Masa hukuman yang bakar vihara
sama bahkan ada yang lebih kecil dari ibu ini. Toleransi dan keadilan mesti ada,
dia hanya minta suara TOA di kecilkan, bukan minta dihilangkan wajar menurut
saya, soal kasar atau tidak nah ini sulit dibuktikan, saya yakin oknum yang datang
ke rumah IBU ini mungkin juga kasar omomgannya sehingga kedua belah pihak baik
pitam.
Umumnya non muslim jika cari rumah
salah satu syarat tidak dekat masjid, karena masalah ini. Akhirnya non
muslim dianggap tidak mau membaur. Sebenarnya masalah ini sudah lama bahkan
pak JK & Gusdur juga pernah meminta agar toa masjid ditertibkan. Masalahnya
umat muslim sangat sensitif, emosional dan egois. Maaf jika ada yang
tersinggung tapi ini adalah realita.
Agama yang mempunyai ciri khas ya. Semoga ada damai di hati mereka.
Dimana bumi dipijak, disana
langit dijunjung. [Note : Mengapa Orang Indonesia memprotes dan mencoba mengatur-ngatur
urusan internal domestik Junta Militer Myanmar terhadap kaum Rohingya di
kedaulatan negara Orang Myanmar? Bukankah itu “standar ganda”?]
Dari bacaan di atas ga bisa
komentar lagi, ditambah hakimnya sudah di tahan sama KPK, jadi lucu pembakaran
rumah ibadah 1 bulan, sekian hari komentar suara 18 bulan .....yang memutuskan
18 bulan korupsi ga tau mana yang benar....
Mba meliana salah negurnya,
kalau negur liat dulu agama apa yg di tegur, cm negur volume aja lgsg di balas
bakar 8 vihara,, kan kita sudah sering liat di mana2, yg suka teriak bakar
itu dr mana, mungkin ini yg di maksud agama damai.. kalau mba
meliana negurnya lonceng gereja pasti nga di bui..
Pendatang hrs jd tamu yg sopan.
Sesuaikan diri km dengan adat setempat. Jgn dibalik. Itu sdh hukum
internasional dan berlaku dmn saja. [Note : Bangsa yang baik, tidak melupakan
sejarah maupun budi baik, bukan membalas air susu dengan radikalisme. Buddhist
menjadi agama nenek-moyang Bangsa Indonesia abad ke-5—15 Masehi, yang memiliki
budi baik memberi toleransi yang dinikmati umat “Agama I”.]
Wowww..... yang cuman minta
tolong dikecilkan dipenjara 18 bulan..... yang bakar tempat ibadah hanya 1 bulan.......
Sungguh luar biasa perkembangan matinya hati nurani ...... #sedihsangat.
Caranya ga beretika.. angkuh
sombong.. beda cerita kalo baik2 musyawarah. emang orang itu kelakuannya
sombong2.
[Note : Belum apa-apa sudah disebut “Cina”, bagaimana caranya musyawarah
terhadap sentimen rasistik demikian? “Jeritan” korban mana yang sopan? Semua
jeritan berisi kesakitan. Jangan-jangan, anjing yang menjerit karena ekornya
terinjak pun, dikatakan sebagai “tidak sopan” dan “tidak beretika”. Berisik dan
membuat “polusi suara”, disebut sebagai beretika, tidak angkuh, tidak sombong?
Korban yang tidak mau musyawarah sekalipun, apakah menjadi alasan pembenar
untuk “main kekerasan fisik”?]
Rahmatan buat yg alirannya
sama.. tp bencana buat yg beda.. waduh.. bgmn mau dibilang damai dan bawa
berkah.. males dah urusan sm yg ginian.. otaknya berat sebelah..
Dimana bumi dipijak disitu
langit dijunjung. Pahamilah kearifan lokal. Lebih baik bergeser daripada
bergesekkan. Menurut saya ucapan baik harus dibarengi dengan intonasi dan
gestur yang baik juga. [Note : Korban mana yang setiap harinya diganggu ketenangan hidupnya,
sudah bersabar bertahun-tahun hidup dalam “polusi suara”, harus santun dan
sopan saat “menjerit”? JUSTRU TELINGA PARA UMAT “AGAMA I” YANG HARUS DISETEL
AGAR SUARA “JERITAN” KORBAN (“polusi suara”) TIDAK DIMAKNAI SEBAGAI PENISTAAN! Janganlah ber-“standar ganda”,
korban dituntut santun saat “menjerit kesakitan” setelah sekian lama memendam
derita sendiri, lantas pelakunya ingin sekehendak hati dan tidak etis
memakai TELINGA-nya atas suara “jeritan” korban. Rupanya, bagi umat “Agama
I”, “jeritan” korban adalah “polusi suara” yang mana responsnya ialah
kesantunan berupa membakar dan merusak? Bila pelakunya tidak suka “polusi
suara”, maka mengapa korban dipaksa harus menyukai mendengarkan “polusi suara”
umat “Agama I”?]
Ajaran cinta damai katanya. [Note : Bagaimana wujud yang
tidak “cinta damai”?]
Colek dikit bacok. Colek dikit
bakar .Colek dikit gorok. Colek dikit dianggap menista.
#terulanglagidanlagidanlagidanlagi #guasamasekaligakkaget.
Bangsa pemarah. tong kosong.
korupsi. koar-koar. prestasi minim, sedikit. sombong, arogan sekali. diktator.
tuhan tidak tidur. bencana alam akan datang.
Jadi yang ternista siapa?
Speakernya bro.
Yang sudah jelas merusak dan
membakar Vihara hanya dihukum kurang dari 2 bulan. Tpi yang protes volume
divonis 18 bulan. Bener ini udah adil??
Sebenarnya kejadian yang
sebenarnya bagaimana ya? Saya nggak yakin berita yg kita baca ini cukup detil
memberi ilustrasi, rasanya terlalu bodoh bila faktanya seperti itu. [Note : Faktanya memang
seperti itu, semua media mainstream telah meliputnya secara konsisten. Bodoh
bukan, hasil didikan siapa?]
Nah udah baca kronologisnya,
kelihatan kan siapa yang provokator. yang ngumpulin massa siapa? dihukum
donk.
Keliatan siapa yg biasa songong dan bicara tidak sopan.
Sadis kali ya, pokoknya ngak
boleh protes.
Lost all faith in humanity...
Maaf saya pribadi tidak melihat
kata - kata yang merupakan penistaan agama, jika hanya minta dikecilkan
suaranya bukan bentuk penistaan agama, dia TIDAK mengatakan bahwa panggilan
adzan itu sebagai Panggilan yang buruk. JIKA dia mengatakan bahwa panggilan
adzan itu buruk baru bisa disebut sebagai penistaan agama. Namun lebih buruk
lagi sikap masyarakat yang membakar rumahnya dan Vihara yang hanya dihukum 1,5
bulan saja. [Note : Coba tanya, pelakunya beragama apa?]
TOA itu muncul jadi masalah
dahulu tidak ada toa hanya dengan beduk dan suara tanpa pengeras suara nyaman
dan enak didengar.
Biar adil semua rumah ibadah
berbagai agama pake toa aja...indahnya berbagi wkwkwk.
Gk sopan jg sih ngomongnya.. klw
gk kedengeran berisik ya pindah aj sih. [Note : Berisik itu sopan ya, menurut “Agama I”?
Pengalaman penulis pribadi, telah tinggal menetap selama 40 tahun pada kediaman
keluarga, mendadak tidak jauh dari rumah kediaman dibangun “M”, penulis dan
keluarga harus evakuasi diri dan menjadi pengungsi dari tanah yang telah
ditempati sejak lahir hampir separuh abad lamanya? Pindah ke mana? “M” berdiri
di setiap ruas jalan berjarak beberapa ratus meter dari “M” yang lain, praktis
tidak ada wilayah pemukiman yang bebas dari “polusi suara” satu ini yang
bersahut-sahutan, benar-benar bak “polusi suara” dalam arti harfiah.]
Besok tempat ibadah lain ente
saranin pakai Toa yang keras juga biar ente merasakan kita lihat semudah itu
ente pindah rumah.
Baca lagi yang jelas.. yang
jawabnya sopan ga... pake-pake suku segala (rasis).
Yang parah bukan Indonesia bro,
tapi kelompok itu lagi dan lagi. [Note : Sejarah selalu terulang dengan pola
serupa.]
Speechless, kenapa MUI
mengatakan itu penistaan agama ya? apakah pentapan MUI tentang meliana menista
agama jadi pemicu orang2 menjadi anarki? bagaimana MUI bisa mendisiplinkan
orang2 yang mudah menggunakan kekerasan seperti itu? apakah orang2 anarki
karena rasis? apakah tenggang rasa sudah hilang? hati nurani?
Seringkali TOA mesjid digunakan
hal2 yg tidak mendasar dan terkesan jadinya 'berisik' suara anak2 kecil
bersahut sahutan sehingga menimbulkan kegaduhan tidak berwibawa sama sekali,
kamipun sbg umat muslim pasti akan memprotes dan minta dikembalikan kepada
fungsi utamanya. [Note : Mengapa komentar yang satu ini, tidak juga disebut “tidak
sopan”?]
Emang udah dari sono nya begitu
itu.
Makin radikal. bangga kalian
rusak rumah orang hanya gara gara komplain suara azan yg terlalu bising?? ini
namanya toleransi?? sekali kali perlu suara paduan gereja pake toa kayak
mesjid.
Jadilah muslim yang beradab,
tidak mau menangnya sendiri. Membuat malu muslim yang lain.
Kalau benar kronologinya
seperti itu... SAYA SEBAGAI MUSLIM secara pribadi minta maaf kepada Meiliana
dan keluarga... ketahuilah ajaran islam itu tidak boleh ada suara yang
menggangu (bising)..PEMERINTAH MESTI TURUN TANGAN...TERTIBKAN mesjid yang pake
speaker diluar adzan dgn suara bisssiingg. [Note : Selama ini, kemana saja Pak / Bu,
mengapa baru berbicara sekarang saat semuanya telah “terlambat” dan masih juga
“polusi suara” terjadi kian ganasnya mencapai berjam-jam lamanya,
bersahut-sahutan, dan beberapa kali sehari juga di subuh hari?]
Bahkan yang seagama pun bisa
merasa bising dan terganggu apabila volume kencang di
malam hari jam istirahat. tolonglah, syiar itu baik, tapi ada waktunya. masak
sampai mengganggu waktu orang istirhat, ada anak kecil / balita yang butuh
ketenangan, orang sakit, orang jompo, dll.
Klo ibu meliana ini ya ga bagus
juga sifat nya minta ngomong sama perantara knapa ga langsung ke DKM mesjid itu
dengan sopan?? Ya udah resiko ibu itu karna mau menegur lewat perantara jadi
rame dah.
[Note : Itulah yang disebut sebagai “cari-cari alasan”, putar-balik logika
moril. Apapun alasannya, sekali lagi, apapun alasannya, anarki
adalah BIADAH dan TERCELA (jahat dan buruk)! Korban dikritik, pelakunya dibela (dengan tidak dikritik),
cerminan tiada suara hari nurani, digadaikan demi “iman yang buta”. Kelebihan
melalui perantara, penyampaian pesan tidak disertai emosi lewat nada yang bisa
jadi cerminan perasaan kesal dan geram yang dipendam selama ini.]
Klo ada yg masi nyalahin
Meiliana, mending Meiliana bakar Masjidnya sklian aja ya supaya kena penjara 2
bulan aja.
Ada asap pasti ada apinya. kalo
bicaranya sopan pasti gk rusuh lah. [Note : Berisik, “polusi suara”, bukankah itu
api / “SEBAB”-nya? Jeritan korban, hanyalah “AKIBAT” alias asapnya. Ini logika
sederhana, menjadi memprihatinkan bila “Agama I” ternyata tidak mengajarkan
umatnya logika sederhana paling mendasar perihal kemanusiaan.]
Itu kn ud sopan cuma minta
dikecilkan aja volumenya.
Semua gara gara mulut Ahok..
Gara gara mulut kamu yg tdk tau
diri, provokator semoga secepatnya musnah dari muka bumi Indonesia.
Orang ky gini yg harus di
bakar.....!!!!!!!
Ini yg bikin Indonesia bisa
pecah.. ingat bro Indonesia ini berbeda beda suku dan agamanya.
Si Ibu ini yang salah. mungkin
dia “lupa” kondisi hukum di negeri ini. salahnya dia itu karena komplen jadinya
1.8 tahun penjara. harusnya langsung aja bakar, kan cuma 1-2 bulan.. pesimis.
Kalau dari rentetan cerita
diatas, sepertinya ADA SEKELOMPOK UMAT ISLAM yang sengaja MEMBUAT ONAR, kita
musti WASPADA, jangan MAU kita diadu domba. [Note : Gaibnya, yang mengadu-domba dan
memprovokasi, tidak disebut sebagai “tidak sopan” ataupun “tidak beretika”
ucapan provokasinya, oleh umat “Agama I”. Jangan tanya mengapa, kita sudah
“sama-sama tahu” apa maksudnya.]
Coba di teliti apa yang bikin
mental manusianya emosi? Segera di teliti karena koq mudah sekali ada pelaku
yang hembuskan SARA dan massa langsung huru hara.
ini mulai kaga bener... orang yg jelas-jelas merusak dan
mencuri rumah ibadah cuma 2 bulan... ini orang yang cuma bilang kecilin sedikit
dituduh 2 tahun... ini negara apa yh? [Note : Negara dimana penduduknya tergila-gila
pada iming-iming “pengampunan dosa”, setiap harinya mengemis “pengampunan dosa”
setelah seharian sibuk berbuat beragam “dosa”—dimana kita tahu, hanya seorang
pendosa yang membutuhkan “pengampunan dosa”, alias “PENDOSA”, negeri pendosa.]
Yang teriak bakar itu provokatornya, sy doakan dibakar di api neraka, emang sorga milik nenek moyangmu,
merasa diri paling bener aja.
Semoga masih ada keadilan di
negeri ini,... ilmu senggol dikit bacok rupanya semakin menjadi..
Harusnya MUI Pusat mengeluarkan
fatwa haram utk masjid yg volume speakernya kecil / tidak bisa menggetarkan
telinga orang yg mendengar dalam radius 1 kilometer. Suara Adzan harus
disebarkan volume speaker sekeras mungkin supaya menembus atap langit & sampai
ke sorga dimana Allah SWT berada sambil mengingatkan Allah SWT waktunya
sholat..
Ampuunn deh kamu.
Emg Allah SWT perlu diingatkan?
Ini dia pemikiran orang orang yg merasa lebih hebat dari Allah.
Umat islam pada buta jam ya
sehingga buat jam sholat aja ga tau, sehingga harus dipake speaker yg kenceng
baru denger, itu jg kalo mau sholat belum tentu jg mereka mau sholat, agama yg
lain ga perlu pake speaker tp tau jam ibadah nya. [Note : Ibadah umat “Agama I”,
merampas hak beribadah umat beragama lain, semisal umat Buddhist tidak bisa
baca paritta maupun bermeditasi karena terganggu. Telinga yang sakit dan
konsentrasi yang pecah akibat “polusi suara”, adalah objektif, tidak dapat
dihakimi oleh siapapun.]
Ya begitulah orng2 yg merasa
jauh. Doa saja harus sekeras2nya. Emang Tuhan dianggapnya budeg kali yah?
Terlalu.
[Note : Kesimpulannya, siapa yang telah menista Tuhan, jika bukan sang umat itu
sendiri yang memperlakukan Tuhannya sebagai “Maha TULI”?]
Gue baru ngerti kenapa rumah yg
ada di sekeliling masjid kalau mau dijual susah lakunya... [Note : Katanya “rahmatan lil...”, mengapa justru
dijauhi? Mengapa umat “Agama I” itu sendiri tidak bersedia membeli rumah di
dekat “M”?]
Saya sih udah dari dulu paham.
Gimana cerita? Minta musyawarah
kecilkan volume 18 bulan, yg jelas2 pengrusakan 1 bulan, pengrusakan tempat
ibadah bukannya sama kayak penistaan agama ya? Bingung sm hukum Indonesia. [Note : Standar ganda alias
“mau menang sendiri”, ciri khas “Agama I”, sudah rahasia umum dan bukan cerita
baru.]
Mantap kan kelakuan pengikut
aliran yang paling cinta damai di alam semesta ini, mereka yang salah tapi
minta yg ngak salah di proses hukum, cinta damai hahahahahaha.
Zaman dulu pake beduk sdh cukup. [Note : Ingat, jangan hina
beduk, hina beduk = hina agama, “agama beduk”.]
Ribet bgt agama lu Bro... Tuhan
gw mah bs denger doa kami meskipun dlm hati. Kami jg ga perlu dipanggil2
utk beribadah, ya keinginan dari diri sendiri aja kl mau beribadah...
Katanya agama damai.. Diajak
damai, udah minta maaf dibales pake bakar 14 vihara.
“Malas aku, kau lah bilangkan,
aku takut,” kata Kak Sandi Uno. [Note : Apalagi umat agama lain yang datang
untuk bilang ke pengurus “M”?]
Orang menuntut hak kok
malah dipenjara? {Note : Hak Konstitusi NKRI,
UUD RI 1945, “Beribadah menurut keyakinan masing, merupakan hak asasi manusia”
= “Bebas dari gangguan ‘polusi’ praktik ibadah umat agama lain, merupakan hak
asasi manusia”.]
Nyanyi rame2 ga pake toa, beda
banget jangan disamakan 2 hal yg beda, mau bandingkan dg hal sama, kl kalian
masih egois damai cm slogan belum dibuktikan dg tindakan.
Tapi kan tdk hrs dihukum ....
dimana cinta kasihnya??
Soal suaranya kan yg dikomplen
bukan ibadahnya. Dibicarakan sj dan jg sdh minta maaf. Apakah perlu sampe membakar tempat ibadah lain? Dan hrs dihukum 18 bln.
Sedangkan yg membakar hanya 1.5 bln? Dulu berita ini tdk rame krn belum ada
keputusan sidang. Andai meilana jg cuma dihukum 1 bln mungkin tdk byk yg
protes. Jd permasalahannya adalah keadilan dr sebuah vonis hukum.
Eh... bro Zaman dulu cuma pake
beduk tau... [Note : Sehingga, wajar tidak, bila kita marah terhadap praktik
penggunaan speaker eksternal?]
Lho katanya beragama kok brutal dan bringas begitu..... Kasihan dan sedih.... harusnya dgn lebih beragama ... hati harus
lebih tenang.... penuh kasih..... pemaaf... kok jadi terbalik... apa yg salah
ya.... Mui harusnya lebih arif.....
Ya itulah, kalo beringas
seperti itu apa bedanya dgn yg ga beragama?
Sorry bro, kami ga beragama
tapi gapernah nyusahin orang, jangan samakan mereka dengan kami.
Lebih respek sama yang ga
beragama kalo gitu. [Note : Ada diantara Anda
yakin, klaim umat “Agama I” bahwa “Agama I” berkembang pesat di dunia ini, dari
TOLERAN MENJELMA MENJADI INTOLERAN DAN BAR-BAR?]
Di hukum brdasarkan rekumendasi
MUI ??????!!!!!......sungguh luar biasa hebatnya MUI......
ck..ck.. ck.. MUI ketuanya yg
sekarang jadi Cawapres Jokowi ya..?
Dan ketuanya bakal jadi
Cawapres...
Astagfirullah.... kok ngaku
umat Muslim sih begitu.... pantas Rosulullah sedih berkata umatku... ketika
beliau akan meninggal.
Bar, diskotik, band metal aja bisa diminta toleransinya
kalo bikin berisik lingkungan.
Hahaha, semua boleh diprotes
kecuali kelompok satu ini...
Jadi volume seberapa besarpun
kapanpun tidak perduli subuh, malam, ada anak bayi, orang sakit kafir harus
diam saja dan terima saja. Semoga negara lain yang
belum terlanjur seperti Indonesia bisa tahu akan hal ini dan lebih berhati-hati. [Note : Itulah sebabnya
Myanmar menolak Rohingya dan China menolak Uighur. Umat agama lain BUKANLAH
MAYAT yang hanya boleh diam membisu, tidak bisa sakit telinga akibat “polusi
suara”, tidak boleh menjerit, tidak bisa merasa terluka, tidak boleh protes,
hanya bisa membujur kaku “manis” di kotak ukuran 1 x 2 meter. “Agama I”
menuntut agar umat agama lain berperilaku layaknya sebongkah batu atau mayat,
agar umat “Agama I” bisa “suka-suka” menindas dan menzolimi.]
Kelompok agama yang hobby
kekerasan, pasti ada yang salah dengan mereka.
[Note : Tetap saja, yang dituding selalu ialah jika bukan Barat, Yahudi, maka
“Kaf!r” dan “Cina”. Yang dikutuk masuk neraka juga bila bukan Barat, Yahudi,
maka “Kafir” dan “Cina”.]
Waspada para pemecah persatuan
bangsa udah mulai mainkan obornya membakar semangat fanatisme agama para anak
bangsa.....mulai menghembuskan hal hal betbau sara....nkri tetap teguh...
Mengerikan sekali kehidupan di negara ini. Benar salah
diputar balikkan sesuka hati. Hukum tidak berjalan.
Kekerasan dimana mana. Negara dan bangsa gagal total. Tidak heran Indonesia
terkenal sebagai negera pengirim babu kuli terbesar di dunia. Begitu bangsa
Indonesia menginjakkan kaki di luar negeri, pandangan merendahkan tertera jelas
di muka orang asing. [Note : Rata-rata WNI intelek yang pernah belajar di luar negeri,
menolak kembali menetap di Indonesia. Investor asing, bukanlah orang bodoh,
yang tidak “melek” informasi aksi-aksi intoleransi dan radikalisme semacam ini
di Indonesia, karenanya mereka sungkan untuk masuk dan memilih investasi di
negara ASEAN lainnya. Sebaliknya, umat “Agama I” menuntut diberi toleransi di
negara-negara NON, dan menikmati toleransi itu sementara di negara-negara
mayoritas “Agama I” praktiknya ialah tiada toleransi.]
Padahal dikemuduan hari apa
masih perlu pengeras suara, kan bisa bikin apps yg tinggal download dan on kan
smartphone masing masing lalu pengurus masjid tinggal share notifikasi gambar
dan suara adzan, masak sekarang ini dihukum yang jadi ketawaan anak cucu
akan datang.
Ya TUHAN, ampunilah mereka,
sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. AMIN. [Note : Hanya PENDOSA yang
membutuhkan “pengampunan dosa”. Lantas, bagaimana dengan nasib dan keadilan
bagi korban-korban para PENDOSA tersebut? Mengapa minta ampun ke Tuhan,
alih-alih ke korban?]
Yang cuma ngomong doang dihukum
18 bulan, yang ngerusak2 cuma dihukum hitungan hari ckckck.. dimanakah
keadilan..
Beragama tapi kog jahat ya? Katanya agama tapi tidak ada
kasih. [Note : Itulah sebabnya, kita
memilih menjadi NON, dan bersyukur memiliki pilihan menjadi NON.]
Sudh lah.. biarkn saja sekeras
kerasnya.... jgn cari masalah dgn mreka.. mreka ini lah yg punya negara.. konon
ktanyaa.
Agama yang mengerikan.. Pahamnya sadis.
MENYERAMKAN.
iya
menyeramkan kelakuan ibu meiliana ini .. gara2 dia yang nggak bisa
jaga lisan .. timbullah akibat tak diharapkan yang membuat kita merasa miris dan
sedih..
[Note : Disakiti “polusi suara”, dilarang menjerit kesakitan? Siapa yang tidak
panas kupingnya, tiap kali ceramah dengan speaker, kaum NON di-kaf!r-kaf!rkan
dengan nada yang tidak lebih hormat dari seekor hewan. Menurut BNPT, mengkafir-kafirkan
adalah ciri teror!sme.]
Wow. Yang dipermasalahkan
justru ketidakmampuan Ibu Meiliana menjaga lisan..
Percuma menjelaskan pada anda,
otak dan hatimu sudah terisi dengan nasi bungkus.
Sungguh memalukan.
SANGAT MENGERIKAN.
Ini orang yang bakar2 mau
menang sendiri... Arogant.. mengerikan pahamnya..
Pengadilan ketakutan... dimana
keadilannya? [Note : Dalam tingkat kasasi, Hakim Agungnya ialah Artidjo Alkostar,
hakim yang dikenal lebih pandai “menghukum” ketimbang “mengadili”, mengukuhkan putusan
Pengadilan Negeri terhadap Meiliana.]
Koq tega2nya mereka iniiiii.
Memang gak bs dipungkiri di
dunia ini ada agama yg selalu berasa paling benar dan selalu jadi biang
konflik.. Istilahnya “lu harus toleransi ama gw tapi gw gak perlu
tolerasi ama lu”..”klo lu omong singgung dikit yaa gw bakar.. tapi gw
boleh laa jelekin lu semua”.. wkwkwkw
Ga tau mau komen apa.. keseleo
dikit bisa kena pasal penistaan jg.. Semoga ybs diberi ketabahan..
Otak dungu, kuping budeg, kerja
males mau nya disubsidi pemerintah terus, mau idup enak? Dengerin tuh Toa.
1 bln utk bakar rumah ibadah.
Hmm. Pasalnya apa ? Ada pasal penistaan tdk? lsg ditahan atau langsung bebas? 14
vihara yg bakar cuma bbrp org? Mereka patroli bawa obor dan bensin?
Berapa lama lagi dan berapa
korban lagi?.... jadi kangen nusantara yg.dulu...
Yang jelas-jelas membakar rumah
ibadah cuma diberi hukuman kurang dari 2 bulan, sedangkan ibu meliana ini
dihukum 18 bulan... keadilannya dimana ya?
Gwadeweido :biang onarnya ibu meiliana ini
.. dia yang memulai provokasi .. dia juga yang harus
mempertanggung jawabkan .. aksi bakar bakar rumah ibadah itu hanyalah ekses
dari aksi provokasi ibu meiliana ini .. jelas dia biangnya ..
Jadi menurut agama situ
membenarkan kekerasan? Emang paling damai.
Katanya beragama. Katanya toleransi.
Jangan terpancing mas.
Gwadeweido ini kayak nya punya skenario tersembunyi untuk membangkitkan
sentimen SARA.
Islam mmg agama intoleren... ini
buktinya!!!!!! Mau ngomong apa???? [Note : Ketika umat “Agama I” berada di negara
NON, mereka menampilkan strategi “mendadak alim” dan benar-benar “cinta damai”
anti kekerasan. Ketika telah mendapat serta menikmati toleransi, dan menjadi
besar, jadilah seperti nasib Bumi Pertiwi ini, memberangus toleransi. Itulah
sebabnya Myanmar belajar dari sejarah Indonesia dan tidak ingin menjadi
“Indonesia versi kedua”.]
Gwadeweido, janganlah cari
alasan untuk membenarkan perbuatan jahat itu.
komentar ga ada otaknya si
gwade.. ini kalo pemerkosaan, dia pasti nyalahin pihak ceweknya.
Buruk muka cermin di belah...!
Sumbu nya panjang apa pendek ya...?
Welcome to republic indog wkwk
land.
Pengadilan sesungguhnya yg adil
akan ada dialam aherat kelak..
Rahmatan lil alamin..wk..wk...
Dalam hal aduan masyarakat
apakah MUI setempat sudah berlaku adil terhadap semua pihak yang terlibat?
Memang sangat menakutkan agama
yang satu ini,,,
Betul... sangat mengerikan,
tidak ada rasa toleransi nya. Seenak udel sendiri.
Gokil ye. Nggak sesuai sama
slogan.
Yang sabar yaa ibu meiliana, semoga
ibu diberikan kekuatan yaa, buat para DKM apa susahnya nya hanya mengecilkan
suara adzan, toh pahala ibadah sholat bukan di ukur dr besarnya suara adzan.
MUI Tanjung biang onar nih;
usut.
Sombong bgt nih org2. Ngak bs
dikomen sdkt lsg bakar dan sll merasa paling bnr. Coba dibalik!!!
[Note : Coba tanya, itu baru komplain minta kecilkan volume, minta tolong orang
agar cara menyampaikan tidak emosi (kelebihan tidak menyampaikan secara
langsung, namun lewat perantara), bagaimana jika benar-benar memaki-maki, tidak
mustahil DIBUNUH? Itulah sebabnya, umat “Agama I” kerap kali menjawab seperti
berikut : “Masih untung kamu tidak kami
BUNUH!”]
Gambaran nyata toleransi
beragama di Indonesia: elo harus toleran sama gue tapi gue ga akan toleran sama
elo! [Note : Intoleran terhadap
kaum NON, namun kompromistis terhadap maksiat. “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan
berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
Ngak mungkin cuma bilang sakit kupingku langsung di vonis penodaan agama pasti ada
perkataan lain. [Note : Terbukti sudah, “agama yang tidak masuk akal, namun agama dengan
akal yang sakit milik orang sakit”. Sama seperti kasus sang nabi yang pedofil,
para umatnya merasa malu, lantas mereproduksi hoax bahwa nabinya tidak pernah
menikahi anak gadis dibawah umur.]
Itu buktinya kronologi yg sdh
terbukti di pengadilan. Otak lo dipake kl baca berita. Mulut doang digedein.
Jelas" kronologinya
ditulis. kaw masih bilang gk mgkn. berarti maksudnya mengada" gitu????
Hukuman pembakar vihara lebih
rendah dari si ibu. Amazing.
Rendahnya pemahaman agama,
hanya emosional yg ditonjolkan.
Terkikis sudah adab kehidupan berdampingan yang
berbhineka tunggal ika di Indonesia, sudah tidak berdaya cara2 musyawarah
kekeluargaan dalam penyelesaian kekeluargaan, tergantikan dengan hukum yang
ditegakkan dengan kekuatan keyakinan, sedikit saja salah bicara dan
berpendapat, bagi yang tak punya kekuatan, bui maupun penghakiman massa siap
menanti.
Ane sebagai umat islam amat
sedih bahwa ente tidak bisa melihat dengan jelas asal kejadiannya. Bagaimana
perasaan ente bila sekiranya ente punya bayi dan ada gereja yang membunyikan
speaker doa sekeras kerasnya tepat didepan rumah ente? [Note : Mereka memiliki SQ
yang tinggi, namun faktanya memiliki EQ yang tiarap, tidak punya EMPATI. Itulah
mengapa, IQ menentukan EQ, dan secara langsung pula tingkat IQ seseorang
menentukan SQ bersangkutan.]
ini yang dimaksud pembenaran. tenggang rasa sedikit, tidak
hanya ibu itu yang merasa terganggu, mungkin yang lain juga terganggu, tapi
tidak ada yang buka suara.
GILA.. yang BAKAR VIHARA ud
cuma ditangkep 12 vonis cuma SBULAN 2 BULAN?? orang yg cuma mnta dikecilkan,
malah suaminya lgsg bae2 dtng mnta maaf jga klo ad yg kesinggung (aduh suara
kekerasan koo kesinggung) VONIS 18 BULAN?? GILAAA BNER liat lah kronologinya,
itu jelas malah masyarakat dimasjidnya yg jd rame abs pada ngomong2 sndiri
padahal itu pas suaminya dtng ke pengurus buat nenangin mnta maaf sgala..
astaga........
Ironisnya, kalau memilih menjaga jarak dengan masyarakat
penuh kekerasan seperti itu, dibilang tidak mau membaur,
Standar ganda, si rizieq
menghina agama lain tidak ada tanggapan dr MUI.
Memprihatinkan....!!!
Dari kronologis di atas sudah
jelas lagi2 para imam besar MUI jadi biang keroknya. Benar2 tragis dan
mengenaskan. Kalau aparat atau pemerintah tidak sanggup membalas perbuatan kalian
para hamba kekerasan, Allah yang sama2 kita sembah akan membalas
perbuatan kalian!
Itu lah ciri khas asli warga
negara kita.... apa2 slalu keroyok dan bakar.... maklum lah otak tumpul. [Note
: IQ pangkal SQ, bukan sebaliknya.]
Miris, tak ada toleransi
sama sekali, uda merusak masih jg memenjarakan. Pdhl hal sperti ini bisa
dibicarakan baik2. Tidak harus sprti ini.
Yang bakar rumah ibadah dihukum
lebih ringan.. menurut saya gak adil.
Solusinya pasti rusuh.. Hadeeuhh. [Note : Itu baru “sopan” dan “beretika”, standar “Agama I”, korban WAJIB
bungkam bisu seperti mayat. Buka mulut, artinya menista dan “tidak sopan”.]
Lihat halaman ke-2, ente bakar
dan jarah vihara sama sekali bukan penistaan, hukum maksimal 2 bulan.
Ente komplain speaker kena 1,5 tahun. Meilana ini cuma salah cara doang,
mestinya langsung bakar nga perlu ngomong dulu. [Note : Membakar vihara, itulah
penistaan terbesar. Namun umat Buddhist tetap “ahimsa”. Bagaimana bila “M” yang dibakar, pasti kerusuhan oleh umat
“Agama I”.]
Harga yang Mahal saat nilai
kebersamaan yg diwariskan leluhur bangsa yg bernama tepa salero Dan tenggang
Rasa mulai hilang. [Note : Berkat agama mana yang melunturkan kebersamaan? Berkat agama
mana nenek-moyang kita mengenal tepa salero?]
Sebagai penutup, penulis
memberikan pertanyaan tambahan, untuk menguji tingkat IQ Anda, dimana sekaligus
membuktikan bahwa terkait kaitan erat yang berkelindan antara tingkat IQ
seseorang terhadap level EQ maupun SQ. Katakanlah terdapat seseorang yang benar-benar
telah menista “Agama I” sebagai agama “sesat” dan “setan bak kesetanan”.
Pertanyaannya, bukankah penistaan agama juga merupakan “polusi suara”?
Ketika umat “Agama I” membuat
“polusi suara” ketika beribadah (mengganggu ketenangan hidup umat beragama lain
dan bak “premanis”, maka bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah?) maka
warga NON yang keberatan dan merasa terganggu, diwajibkan menyampaikan komplain
dan protes secara sopan, santun, beretika. Namun, giliran ketika umat “Agama I”
kupingnya seketika panas akibat “sumbunya pendek” terhadap penistaan terhadap
agamanya, emosinya seketika tersulut membara hebat, “kesetanan bak setan”, persis
seperti contoh kasus di Tanjung Balai pada tahun 2017 di atas.
Bila umat “Agama I” memberikan
teladan betapa santun-nya cara mereka menanggapi “polusi suara”, seolah-olah
merusak, menjarah, dan membakar adalah beretika dan sopan, maka mengapa umat
agama lain diwajibkan hanya boleh diam membisu dan bungkam bak mayat yang tidak
dapat merasa sakit ataupun menjerit kesakitan? Bukankah itu merupakan cerminan
sikap “mau menang sendiri” ala “standar ganda”?
Pertanyaan final dari penulis,
percayakah Anda terhadap klaim mereka, bahwa negara-negara di Barat mulai berbondong-bondong
memeluk “Agama I”? Delusi “agama yang paling superior”, tidak ada yang komplain
atas praktik ibadahnya bukan karena tidak ada yang merasa terganggu, namun karena
takut bila “buka mulut” maka akan terjadi peristiwa serupa setelah sekian
banyak korban berjatuhan akibat pemeluk “Agama I”. Memangnya dimanakah,
istimewanya “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA” berikut ini:
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang ...
itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Rasanya kita masih cukup waras,
untuk tidak turut menjadi pemeluk praktik ritual berikut yang menyatakan “sembah
patuh adalah berhala” namun “menciumi batu adalah ritual” : Umar Khattab, sahabat
M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat
mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah mencium kau,
aku tidak akan menciummu.” [Bukhar!, No. 680]
Bahkan, melegalkan praktik
perbudakan serta eksploitasi seksuil, yang mana melanggar hak asasi manusia bangsa-bangsa
beradab. Q. AN 25 : “diharamkan bagi kamu
mengawini wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu
miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.”
Itulah ketika, dogma-dogma keyakinan keagamaan justru merusak “standar moral”
umat manusia. Laku di mata bangsa biadab, namun tidak di mata bangsa yang telah
beradab.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.