SENI PIKIR & TULIS
Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Bukan Pribadi yang
BEBAS dan MERDEKA. Karenanya pula, Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Tidak Punya
Pikiran untuk Menilai dan Memutuskan Sendiri atas Hidup Kita Sendiri
Jangan Bersikap Seolah-olah Anda adalah Penjajah yang Memiliki Hak untuk Mengejek dan Mendiskreditkan Hidup dan Kehidupan Orang Lain
Yang dengan mudahnya gemar mengejek orang lain, artinya yang bersangkutan mencerminkan “mentalitas PENJAJAH”. Yang takut diejek, artinya yang bersangkutan memiliki “mental JAJAHAN”. Keduanya, baik “mental PENJAJAH” maupun “mental JAJAHAN” yang bersarang dalam benak sebaigan besar diantara masyarakat kita, kerap dikuasai oleh cara berpikir yang irasional, irasional “suka mengejek” dan irasional “takut diejek”. Yang satu terobsesi untuk dengan mudahnya melontarkan kata-kata ejekan dan menyakiti perasaan orang lain yang diejek, dan yang satunya lagi terobsesi untuk tidak diejek serta terobsesi tidak dilukai perasaannya oleh ejekan orang lain.
Budaya masyarakat Indonesia
sungguh mencerminkan mentalitas atau watak yang suka “menjajah”, sebagaimana
penulis amati dalam pengalaman pribadi selama hampir separuh abad lamanya lahir
dan tumbuh besar di Indonesia, yang mana setelah penulis konfirmasi dengan
kerabat yang berdomisi di luar negeri, ternyata mental “menjajah” demikian
memang sangat khas Bangsa Indonesia, dalam artian negara tetangga kita tidak
memiliki tabiat atau watak negatif yang merusak perasaan lawan bicara semacam
budaya “gemar mengejek” seperti di Indonedia.
Apapun namanya, mengejek dan
ejekan merupakan “oral / verbal bullying”
itu sendiri—alias barulah benar-benar perbuatan yang tergolong jahat dan
tercela, sehingga yang semestinya malu dan takut ialah mereka yang menjadi
pelaku “verbal bullying” ini. Adakah
orang yang suka diejek? Jika sang pelaku “perundungan secara verbal” tersebut
tidak suka diejek dan dihina oleh orang lain, maka mengapa mengejek dan melukai
perasaan orang lain? Jika sang pelaku mendalilkan “suka diejek”, maka mengapa
tidak mengejek dirinya sendiri saja alih-alih menjadikan pribadi orang lain
sebagai bahan lelucon?
Sebagai contoh sederhana,
kondisi kedua bola mata penulis mengidap apa yang secara medik disebut dengan
“fotofobia”, sejenis kelainan mata dimana sepasang indera penglihatan penulis
sangat sensitif terhadap cahaya matahari maupun silaunya sinar lampu, sehingga
dalam perjalanan di jalan umum seraya berjalan kaki, agar tidak menyakitkan
mata, penulis sesekali harus berjalan dengan satu tangan memegangi ujung topi
di atas kepala sehingga punggung telapak tangan dapat melindungi mata dari
paparan sinar matahari langsung.
Apa yang kemudian terjadi,
selalu saja ada orang-orang dewasa maupun warga setempat di tengah jalan yang
dengan usilnya mengolok-olok dan mengejek penulis karena posisi tangan penulis
yang melindungi kedua mata dari paparan sinar, sekalipun penulis tidak pernah menyakiti
ataupun merugikan orang lain juga tidak melukai ataupun berbuat jahat yang
patut dicela terhadap siapapun maupun terhadap sang pelaku pembuat ejekan. Penulis
tidak pernah menyakiti mereka, lantas atas dasar apa serta mengapa mereka
merasa berhak untuk menyakiti perasaan penulis? Bukankah yang semestinya
malu dan takut, ialah mereka yang menanam benih Karma Buruk dengan berbuat
jahat terhadap orang lain, baik lewat perbuatan maupun ucapan?
Bukan hanya satu atau dua kali
kejadian, dimana sifatnya demikian meluas (pelakunya oleh orang-orang yang
berbeda di lain tempat) dan memang dapat kita simpulkan sebagai watak atau
budaya khas bangsa yang pernah sempat dijajah selama lima abad lamanya, namun
ternyata belum sampai satu abad merdeka dari kolonialisasi sebagai mantan bangsa
terjajah, Bangsa Indonesia justru menampilkan watak corak bangsa PENJAJAH.
Pantaslah bangsa ini tergolong “kerdil”, sebagaimana kata pepatah dan pendapat
para tokoh besar : Orang-orang besar membicarakan ide-ide dan gagasan,
sementara orang-orang kerdil memperbincangkan tentang orang lain serta
menggunjingkan sosok pribadinya atau meledek perihal personal orang lain
sebagai kesibukan “mengisi waktu” yang menyenangkan bagi mereka—yang mana
merupakan “buang-buang waktu” di mata orang-orang besar.
Adagium berbunyi, “Soal selera, tidak dapat dipersengketakan.”
Bila terdapat orang-orang yang menyukai rasa pahit atau asam ataupun asin,
serta berapa banyak mereka mengkonsumsi, silahkan, itu hak mereka, kita tidak
punya hak untuk menghakimi mereka atas pilihan hidup mereka sendiri. Sama
halnya, kita memiliki kewajiban hukum untuk menghargai dan menghormati apapun
pilihan masing-masing warga atas agama yang mereka peluk, makanan maupun
minuman kegemaran yang mereka konsumsi, jenis profesi yang mereka geluti,
orientasi seksuil mereka, gaya berpakaian mereka, cara berjalan mereka, sikap
tubuh mereka, jenis pakaian yang mereka kenakan, genre sinema yang mereka
saksikan, olahraga maupun hobi yang mereka sukai, dan lain sebagainya.
Kesemua itu menjadi serta
merupakan hak atas hidup mereka masing-masing, kita hanya punya hak untuk
mengurus urusan diri kita sendiri (mengurusi tubuh kita sendiri, mengurusi
gaya dan cara hidup kita sendiri, mengurusi pekerjaan kita sendiri, mengurusi
penampilan diri kita sendiri, serta mengurus pikiran kita sendiri). Yang
karenanya kita tidak pernah punya hak untuk menghakimi diri orang lain atas
kehidupan, cara hidup dan pilihan hidup mereka masing-masing serta terhadap
tubuh dan pikiran masing-masing warga. Bila kita merasa memiliki hak serta
berhak untuk menentukan diri, hidup, serta tubuh kita sendiri, maka orang lain
pun berhak atas hak serupa atas hidup dan kehidupan pribadi mereka.
Untuk bisa survive hidup di tengah-tengah bangsa yang gemar menghakimi orang
lain lewat olokan, ejekan, hinaan, ledekan, diskredit, dan sejenisnya yang pada
pokoknya tanpa hak mendiskreditkan pribadi ataupun personal orang lain atas
hidup mereka sendiri, mau tidak mau penulis mengembangkan kredo berikut
yang bilamana para pembaca tiru, suka tidak suka memang akan tampak menyerupai
seorang “autis” atau setidaknya akan terbiasa menjadi pribadi yang tergolong
“introvert” (karena faktor tuntutan situasi, keadaan, serta kondisi [“sikon”], yang
pada akhirnya kepribadian penulis benar-benar bertendendi “introvert tulen”
agar tidak menghabiskan waktu meladeni “bullying”
maupun “cyber bullying”):
- Saya tidak butuh komentar
orang lain;
- Saya tidak butuh izin dari
orang lain atas hidup dan kehidupan maupun atas tubuh dan pikiran milik saya
sendiri;
- Jangan bersikap seolah-olah
kita tidak punya hak untuk menentukan nasib (serta cara hidup maupun tubuh)
diri kita sendiri;
- Jangan bersikap seolah-olah
kita tidak punya daya tawar dan pilihan bebas (hei, ini hidup dan tubuh serta
pikiran milik saya sendiri, mengapa kita biarkan orang lain yang mengaturnya?!);
- Jangan bersikap seolah-olah
kita tidak punya pikiran untuk menilai dan membuat keputusan atas, oleh, serta
teruntuk hidup (kehidupan, aspirasi, kehendak, tubuh, cara hidup) diri kita
sendiri—singkatnya : Jangan bersikap seolah-olah tidak punya pikiran untuk
menilai dan memutuskan sendiri;
- Jangan bersikap seolah-olah
kita bukanlah pribadi yang BEBAS dan MERDEKA (dalam artian bukanlah bangsa
jajahan dari penjajahan bangsa lain maupun penjajahan oleh bangsa sendiri);
serta
- Jika takut, sungkan, malu,
gengsi, merasa bersalah, jangan tunjukkan, agar tidak ‘dimakan’! (Hei Bung, ini bukan surga, namun
dunia manusia dimana manusia yang satu menjadi serigala bagi sesamanya!).
Disematkan julukan sebagai seorang
“penjajah” bagi para pelaku pembuat ejekan demikian, semata karena memang korban
ejekan mereka tidak pernah menyakiti ataupun merugikan sang pelaku, namun sang
pelaku (justru) merasa memiliki hak yang bersumber dari arogansi dan delusi diri
(seakan diri mereka adalah “hakim” yang berhak menghakimi orang lain), sehingga
seolah-olah berhak untuk menyakiti perasaan orang lain lewat ejekan, diskredit,
hinaan, ledekan, olok-olok, dijadikan bahan lelucon, ditertawakan, dan lain
sebagainya, yang mana tentu dengan maksud untuk membuat korban ejekannya merasa
terluka hatinya, tersinggung, merasa malu dan merasa bersalah (keduanya, secara
perspektif psikologi, merupakan pintu masuk eksploitasi dan manipulasi
pikiran), kecil hati, terlecehkan, terhina, dan membenci diri sendiri.
Sungguh malang mereka yang
tergolong sebagai “ekstrovert”, dapat dipastikan akan mudah “disetir” oleh
omongan maupun ucapan orang lain yang penuh “manipulasi pikiran” di luar sana.
Jika para pelakunya berkelit, bukan itu maksud dan niat batinnya saat mengejek,
maka mengapa diri mereka tidak mengejek cukup di dalam hati saja alih-alih
menyalah-gunakan lidah dan mulut yang mereka miliki serta merasa senang dan
gembira ketika melakukannya secara verbal untuk diperdengarkan bagi orang lain
untuk ditertawakan dan menikmatinya (menjadikan orang lain sebagai bahan
lelucon), maupun untuk diperdengarkan bagi sang korban itu sendiri secara
frontal secara arogan?
Ilmu berupa seperangkat kredo
yang perlu diucapkan sebagai “self talk”
secara berulang-ulang dalam rangka “sugesti diri” di atas, dapat penulis selaku
kreatornya sebut sebagai “How to be an
Introvert” serta “Seni Hidup Bahagia
sebagai seorang Introvert”. Hingga saat kini pun, penulis masih senantiasa
melatihnya dengan menginternalisasi ke dalam diri lewat kata-kata di dalam hati
secara berulang-ulang (mengingatkan diri, itulah cara memprogram ulang cara
berpikir kita), dan sangat besar pengaruhnya bagi hidup penulis. Cobalah dan
buktikan sendiri manfaatnya. Efek samping serta resikonya, Anda akan
benar-benar tampak menyerupai seorang “autis”. Memang selalu ada harga yang
harus kita bayarkan. Namun tidak mengapa, genetik “autis” memang genetik yang
sama dengan “kejeniusan” (orang-orang besar).
Janganlah meremehkan sebuah
ejekan yang tampak sepele sekalipun, karena itu artinya Anda menyepelekan
perasaan korban. Dari pengalaman pribadi penulis, sebuah ejekan yang tampak
paling “ringan” dan paling “remeh” sekalipun (di mata pelaku, semua perbuatan
buruknya adalah “sepele”), benar-benar dapat membuat trauma sang korban
ejekan—trauma yang rasional maupun yang irasional. Namun dari pengalaman
pribadi penulis pula, pelaku pembuat ejekan ataupun hinaan, memiliki motif
tidak baik berupa ingin melecehkan ataupun membuat tersinggung korban
ejekannya. Ketika sang korban tidak tersinggung, akibat batin yang kokoh
sehingga tenang seimbang apapun situasinya, dan sang korban menerapkan strategi
“anjing menggonggong, khafilah berlalu”, dengan tetap tidak perduli dan tidak
ambil hirau, sang pelakunya akan bosan sendiri pada gilirannya, bosan untuk
mengejek kita, karena tidak efektif memancing emosi kita, “gayung tidak
bersambut”.
Contoh sederhana lainnya,
mengulas balik kejadian belasan tahun lampau, penulis merupakan orang pertama
di Jakarta yang menggunakan masker penutup hidung saat berada di jalan raya
yang penuh asap kendaraan bermotor dan debu beterbangan yang dapat terhidup
masuk ke dalam paru-paru sehingga membuat iritasi dan radang saluran pernafasan,
bahkan hingga potensi terbitnya kanker bila dihirup untuk jangka panjang
karsinogenik dan oksidan radikal bebas polutan.
Namun, di tengah jalan selalu
saja dijumpai orang-orang yang memandang aneh diri penulis yang memang “tampil
lain sendiri”, bahkan sempat seorang ibu-ibu yang melintas dan berpapasan,
mengejek penulis karena mengenakan masker saat berjalan kaki di jalan raya.
Kini, baik di jalan raya maupun di transportasi umum, sudah jamak kita jumpai
orang-orang mengenakan masker demi tujuan kesehatan yang mulai masyarakat kita
sadari fungsi serta arti pentingnya masker—mulai “melek kesehatan”.
Benih atau bibit ide bagi
mereka untuk turut mengenakan masker di jalan umum, adalah berkat penulis yang
memulainya dan tidak ambil hirau segala pandangan sinis maupun cibiran. Segala
sesuatu, yang positif sekalipun, sepanjang belum menjadi kebiasaan umum, akan
cenderung mendapat resistensi dari warga—untuk mengatasinya, gunakan aspek
psikologi sifat irasional manusia, yakni jadikan itu kebiasaan yang dibiasakan.
Ketika telah menjadi terbiasa dan kebiasaan, maka pihak-pihak yang hendak
mengejek kita akan menjadi jemu secara sendirinya.
Bukankah sungguh tidak logis, asap
kendaraan dan debu beterbangan bahkan secara kasat mata dan berbau tidak sedap
di jalan raya, namun selama ini pula masyarakat kita tidak mengenakan masker
penutup hidung untuk menyaring partikel udara kotor, seolah-olah hanya menjadi
hak prerogatif pengendara kendaraan bernotor roda dua, yang barulah belasan
tahun lampau penulis selaku pejalan kaki yang pertama kalinya merintis
penggunaan masker ketika berjalan kaki di jalan umum maupun penumpang
transportasi umum.
Kini, penggunaan masker telah
menjadi tren dan umum kita jumpai. Karena telah menjadi kebiasaan umum, tiada
lagi warga yang menghina ataupun mengejek penulis, mereka sudah jemu mengejek
penulis! Gunakanlah psikologi seorang
“badut”, mereka sekalipun ditertawakan, diejek, diolok-olok, tetap tersenyum
dan tegar, bahkan “happy”. Mengapa? Semata
karena memang sejak sedari awal sang pengena kostum “badut” telah siap mental
untuk ditertawakan dan dijadikan objek tertawaan oleh umum. Bersiap-siaplah untuk
“berperang” bila hendak hidup damai, si
vis pacem parabelum.
Terdapat pengalaman buruk
lainnya ketika penulis menyeberangi jalan menggunakan Jembatan Pengeberangan Orang
pada salah satu kawasan pusat bisnis di Jakarta. Karena tas ransel penulis
berada di bagian belakang punggung ketika berjalan, terdapat maling yang tanpa
izin dan secara diam-diam dengan jahatnya membuka risleting tas ransel milik
penulis dalam rangka untuk mencuri benda berharga milik penulis. Dua kali
kejadian demikian terjadi, dan sejak itulah penulis tidak lagi menaruh gengsi
ataupun rasa malu untuk menyandang tas ransel di bagian depan tubuh alih-alih di
bagian belakang punggung.
Selama ini, kita melihat orang-orang
menyandang tas ransel di bagian belakang punggung, karenanya norma sosial yang
berlaku hanyalah kebiasaan atau konvensi semata. Menyadari akan fakta tersebut,
kita tidak perlu menjadi korban kebiasaan usang yang sudah saatnya dievaluasi
ulang dan “ditulis” ulang. Tidak pernah ada norma hukum ataupun konsensus
publik bahwa menyandang tas ransel haruslah di bagian belakang punggung—yang
sama artinya mengundang pencuri untuk berniat mencuri.
Ingatlah semboyan klise
kriminologi, kejahatan terjadi karena adanya niat jahat serta adanya
kesempatan. Untuk apa pula kita membiarkan diri berpotensi dengan irasional
serta secara bodohnya menjadi “mangsa empuk” baik oleh penjahat maupun oleh
komentar publik. Toh, jangan lupa, ini tubuh kita sendiri, tas ransel kita
sendiri, hidup kita sendiri, maka kita sendiri yang memutuskan untuk
menyandangnya dengan cara seperti apa, sebagai rangka menjadi manusia yang
bebas dan merdeka dari penjajahan komentar siapapun. Gengsi, membuat manusia
menjadi “dungu”, itulah sebabnya orang-orang jenius tidak pernah “jaga image”.
Bagi diri pribadi penulis,
kejadian dua kali tas ransel penulis yang disandang di bagian belakang punggung
menjadi incaran pencuri, sudah terlampau banyak, dan penulis tidak ingin
menjadi makhluk yang lebih bodoh daripada keledai dengan jatuh pada lubang yang
sama berulang-ulang. Itulah sebabnya, entah di tempat umum seperti transportasi
publik, di jembatan penyeberangan, di jalan perumahan maupun di jalan raya
sekalipun, penulis menyandang tas ransel di bagian depan tubuh—dan menjadi
pionir satu-satunya atau orang pertama di Jakarta yang menyandang tas ransel
secara lebih logis dan lebih rasional.
Pada mulanya, banyak para orang-orang
dewasa yang “kurang kerjaan” dan hanya sibuk mengomentari orang lain, tergoda
mengejek dan menghina penulis. Namun akibat penulis tidak menaruh gentar, dan
tetap “khafilah berlalu sekalipun anjing-anjing tersebut menggonggong”,
akibatnya lama-lama jadilah terbiasa dan kebiasaan yang tidak lagi menarik bagi
mereka untuk berkomentar dan menjadi bosan sendiri untuk kembali mengusik
penulis.
Yang terpenting, isi dalam tas
ransel penulis aman dari tangan-tangan “jahil” atau setidaknya tidak mengundang
niat-niat jahat orang-orang buruk moralitas. Menyesal, selalu datang terlambat.
Sehingga mengapa ditunggu dan menunggu penyesalan serta menyesali diri? Itulah salah
satu momen bersama kejadian ketika kita tidak jadi membeli produk yang
dijajakan penjual setelah sempat bertanya-tanya harga dan mencobai produk yang mereka
jajakan, yang menjadi cikal bakal ketika penulis menciptakan kredo “Jika takut, sungkan, malu, gengsi,
merasa bersalah, jangan tunjukkan, agar tidak ‘dimakan’!”
Sekadar informasi tambahan,
penulis merupakan warga paling pertama (selaku pionir) selaku penumpang Bus
Transjakarta (Busway), yang ketika menumpang baik ketika menunggu di halte
maupun saat berdiri di dalam bus, menyandang tas ransel di depan dada dan perut
alih-alih di belakang punggung, yang mana sempat pernah ditertawakan dan diolok-olok
penumpang lain sebagai “cowok hamil”, sementara dirinya yang merasa berhak
menghakimi penumpang lain menyandang tas di belakang punggung mengakibatkan
penumpang lain kesukaran untuk naik maupun turun dari dan ke dalam bus disamping
isi tas ranselnya tergencet-gencet penumpang lain serta mengundang tangan-tangan
jahil tentunya—si “dungu” yang mana dapat penulis pastikan kini turut menjadi “cowok
hamil” karena akan aneh sendiri bila menumpang Bus Transjakarta dengan tas
disandang di belakang punggung.
Yang dahulu kala tidak lazim,
kini menjadi kelaziman. Yang dahulu lazim, kini menjadi tidak lazim. Kebiasaan,
adalah tentatif serta nisbi sifatnya. Kembali pada kisah mengenai sang
penumpang “dungu”, padahal dirinya sendiri yang tidak logis menyandang tas
ransel di punggung (mengganggu penumpang lain untuk lewat masuk-keluar
mengingat kondisi dalam bus yang sempit dan berjejalan, disamping mengundang
niat buruk kalangan pencuri). Kini, semua penumang “Busway” menyandang tas di depan
dada dan perutnya. Penulis dengan ini mengklaim sebagai pionirnya, awalnya
ditertawakan. Berkat kegigihan dan mental tidak tergoyahkan dengan sikap
rasional sebagai mercusuarnya, kebiasaan lama berhasil penulis putar-balikkan
kondisinya. Para pembaca bisa belajar banyak dari ilustrasi kisah “sederhana”
demikian, yang tidak sesederhana itu dibenak dan kesan bagi penulis secara
pribadi.
Kesimpulan: biarkan orang bodoh
tertawa dan komentar, sekalipun mereka mayoritas. Kita mandiri saja dalam
berpikir dan memutuskan sikap kita sendiri (ini yang namanya “berdikari”,
berdiri di atas kaki dan pikiran sendiri). Yang semestinya malu, ialah mereka yang
berbuat jahat semisal menyakiti dan melukai perasaan orang lain (ada Hukum Karma,
nanti juga sang pelakunya yang menanam Karma Buruk lewat ucapan yang akan dihina,
dilecehkan, dan DICURI ISI TASNYA, dan adalah hina jika nantinya ia menyandang
tas ransel di bagian depan dada atau perutnya).
Mengapa musti malu, bilamana
kita bukanlah seorang koruptor serta tidak pula dapat dicela secara moril karena
kita tidak menyakiti ataupun merugikan pihak manapun. Kenapa musti malu, menyandang
tas ransel di depan? Justru adalah tidak logis menyandang tas di belakang
punggung, dengan pertimbangan karena faktor rawan mengundang aksi kriminil
seperti pencurian, berjalan kaki artinya menerpa angin dari bagian depan tubuh
sehingga tas ransel dapat menjadi alternatif “rompi” perisai anti angin, dan
jika mau ambil barang menjadi gampang seperti handphone yang tidak layak
ditempatkan di saku celana karena rawan pencopetan dan sudah banyak kejadian
untuk tidak perlu kita tiru dan alami sendiri.
Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan masyarakat kita, yang
tidak logis serta irasional, banyak sekali dan tidak akan sempat dimuat dalam
kesempatan ini. bulatkan tekad Anda, kuatkan mental Anda, dan jadilah pionir yang
berani memulai benih-benih kebiasaan baru. Ketika telah menjadi terbiasa dan kebiasaan,
maka kebiasaan lama pun akan tergantikan seiring berjalannya waktu. Yang
dibutuhkan, hanyalah kegigihan tidak surut serta tidak berkecil hati. Coba dan
buktikanlah sendiri. Kebiasaan bukanlah ayat-ayat Kitab Suci yang tidak boleh dikritisi,
diubah, dan ditulis ulang. Janganlah menjadi korban kebiasaan-kebiasaan usang
yang sudah saatnya dievaluasi dengan “uji moril” serta akal sehat yang
menggunakan rasio.
Sebagai penutup, sekadar sebagai
perbandingan, di Thailand terdapat moda transportasi publik bernama “subway”,
diaman bahkan oleh pihak otoritas diberlakukan peraturan yang mewajibkan pera
penumpang yang membawa tas gendong harus menggendongnya di depan tubuh. Norma hukum
tersebut dibentuk oleh akal sehat serta daya nalar yang logis, bukan menjadi
korban kebiasaan lama, yakni semata agar tidak mengganggu penumpang lain dan
tidak penuh-penuhin ruang gerak mengingat sesama penumpang saling “berbagi
ruang gerak”. Penulis tidak perlu mendebat para penghina dan pengejek, waktu
yang kini telah membuktikannya—hanya soal pembiasaan dan kebiasaan, bukanlah hal
terkait moralitas yang patut dicela bila seseorang atas dasar akal sehat bergerak
melawan arus kebiasaan “usang” yang “dungu”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.