JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Makna dan Contoh MENTAL PENJAJAH

SENI PIKIR & TULIS

Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Bukan Pribadi yang BEBAS dan MERDEKA. Karenanya pula, Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Tidak Punya Pikiran untuk Menilai dan Memutuskan Sendiri atas Hidup Kita Sendiri

Jangan Bersikap Seolah-olah Anda adalah Penjajah yang Memiliki Hak untuk Mengejek dan Mendiskreditkan Hidup dan Kehidupan Orang Lain

Yang dengan mudahnya gemar mengejek orang lain, artinya yang bersangkutan mencerminkan “mentalitas PENJAJAH”. Yang takut diejek, artinya yang bersangkutan memiliki “mental JAJAHAN”. Keduanya, baik “mental PENJAJAH” maupun “mental JAJAHAN” yang bersarang dalam benak sebaigan besar diantara masyarakat kita, kerap dikuasai oleh cara berpikir yang irasional, irasional “suka mengejek” dan irasional “takut diejek”. Yang satu terobsesi untuk dengan mudahnya melontarkan kata-kata ejekan dan menyakiti perasaan orang lain yang diejek, dan yang satunya lagi terobsesi untuk tidak diejek serta terobsesi tidak dilukai perasaannya oleh ejekan orang lain.

Budaya masyarakat Indonesia sungguh mencerminkan mentalitas atau watak yang suka “menjajah”, sebagaimana penulis amati dalam pengalaman pribadi selama hampir separuh abad lamanya lahir dan tumbuh besar di Indonesia, yang mana setelah penulis konfirmasi dengan kerabat yang berdomisi di luar negeri, ternyata mental “menjajah” demikian memang sangat khas Bangsa Indonesia, dalam artian negara tetangga kita tidak memiliki tabiat atau watak negatif yang merusak perasaan lawan bicara semacam budaya “gemar mengejek” seperti di Indonedia.

Apapun namanya, mengejek dan ejekan merupakan “oral / verbal bullying” itu sendiri—alias barulah benar-benar perbuatan yang tergolong jahat dan tercela, sehingga yang semestinya malu dan takut ialah mereka yang menjadi pelaku “verbal bullying” ini. Adakah orang yang suka diejek? Jika sang pelaku “perundungan secara verbal” tersebut tidak suka diejek dan dihina oleh orang lain, maka mengapa mengejek dan melukai perasaan orang lain? Jika sang pelaku mendalilkan “suka diejek”, maka mengapa tidak mengejek dirinya sendiri saja alih-alih menjadikan pribadi orang lain sebagai bahan lelucon?

Sebagai contoh sederhana, kondisi kedua bola mata penulis mengidap apa yang secara medik disebut dengan “fotofobia”, sejenis kelainan mata dimana sepasang indera penglihatan penulis sangat sensitif terhadap cahaya matahari maupun silaunya sinar lampu, sehingga dalam perjalanan di jalan umum seraya berjalan kaki, agar tidak menyakitkan mata, penulis sesekali harus berjalan dengan satu tangan memegangi ujung topi di atas kepala sehingga punggung telapak tangan dapat melindungi mata dari paparan sinar matahari langsung.

Apa yang kemudian terjadi, selalu saja ada orang-orang dewasa maupun warga setempat di tengah jalan yang dengan usilnya mengolok-olok dan mengejek penulis karena posisi tangan penulis yang melindungi kedua mata dari paparan sinar, sekalipun penulis tidak pernah menyakiti ataupun merugikan orang lain juga tidak melukai ataupun berbuat jahat yang patut dicela terhadap siapapun maupun terhadap sang pelaku pembuat ejekan. Penulis tidak pernah menyakiti mereka, lantas atas dasar apa serta mengapa mereka merasa berhak untuk menyakiti perasaan penulis? Bukankah yang semestinya malu dan takut, ialah mereka yang menanam benih Karma Buruk dengan berbuat jahat terhadap orang lain, baik lewat perbuatan maupun ucapan?

Bukan hanya satu atau dua kali kejadian, dimana sifatnya demikian meluas (pelakunya oleh orang-orang yang berbeda di lain tempat) dan memang dapat kita simpulkan sebagai watak atau budaya khas bangsa yang pernah sempat dijajah selama lima abad lamanya, namun ternyata belum sampai satu abad merdeka dari kolonialisasi sebagai mantan bangsa terjajah, Bangsa Indonesia justru menampilkan watak corak bangsa PENJAJAH. Pantaslah bangsa ini tergolong “kerdil”, sebagaimana kata pepatah dan pendapat para tokoh besar : Orang-orang besar membicarakan ide-ide dan gagasan, sementara orang-orang kerdil memperbincangkan tentang orang lain serta menggunjingkan sosok pribadinya atau meledek perihal personal orang lain sebagai kesibukan “mengisi waktu” yang menyenangkan bagi mereka—yang mana merupakan “buang-buang waktu” di mata orang-orang besar.

Adagium berbunyi, “Soal selera, tidak dapat dipersengketakan.” Bila terdapat orang-orang yang menyukai rasa pahit atau asam ataupun asin, serta berapa banyak mereka mengkonsumsi, silahkan, itu hak mereka, kita tidak punya hak untuk menghakimi mereka atas pilihan hidup mereka sendiri. Sama halnya, kita memiliki kewajiban hukum untuk menghargai dan menghormati apapun pilihan masing-masing warga atas agama yang mereka peluk, makanan maupun minuman kegemaran yang mereka konsumsi, jenis profesi yang mereka geluti, orientasi seksuil mereka, gaya berpakaian mereka, cara berjalan mereka, sikap tubuh mereka, jenis pakaian yang mereka kenakan, genre sinema yang mereka saksikan, olahraga maupun hobi yang mereka sukai, dan lain sebagainya.

Kesemua itu menjadi serta merupakan hak atas hidup mereka masing-masing, kita hanya punya hak untuk mengurus urusan diri kita sendiri (mengurusi tubuh kita sendiri, mengurusi gaya dan cara hidup kita sendiri, mengurusi pekerjaan kita sendiri, mengurusi penampilan diri kita sendiri, serta mengurus pikiran kita sendiri). Yang karenanya kita tidak pernah punya hak untuk menghakimi diri orang lain atas kehidupan, cara hidup dan pilihan hidup mereka masing-masing serta terhadap tubuh dan pikiran masing-masing warga. Bila kita merasa memiliki hak serta berhak untuk menentukan diri, hidup, serta tubuh kita sendiri, maka orang lain pun berhak atas hak serupa atas hidup dan kehidupan pribadi mereka.

Untuk bisa survive hidup di tengah-tengah bangsa yang gemar menghakimi orang lain lewat olokan, ejekan, hinaan, ledekan, diskredit, dan sejenisnya yang pada pokoknya tanpa hak mendiskreditkan pribadi ataupun personal orang lain atas hidup mereka sendiri, mau tidak mau penulis mengembangkan kredo berikut yang bilamana para pembaca tiru, suka tidak suka memang akan tampak menyerupai seorang “autis” atau setidaknya akan terbiasa menjadi pribadi yang tergolong “introvert” (karena faktor tuntutan situasi, keadaan, serta kondisi [“sikon”], yang pada akhirnya kepribadian penulis benar-benar bertendendi “introvert tulen” agar tidak menghabiskan waktu meladeni “bullying” maupun “cyber bullying”):

- Saya tidak butuh komentar orang lain;

- Saya tidak butuh izin dari orang lain atas hidup dan kehidupan maupun atas tubuh dan pikiran milik saya sendiri;

- Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya hak untuk menentukan nasib (serta cara hidup maupun tubuh) diri kita sendiri;

- Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya daya tawar dan pilihan bebas (hei, ini hidup dan tubuh serta pikiran milik saya sendiri, mengapa kita biarkan orang lain yang mengaturnya?!);

- Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya pikiran untuk menilai dan membuat keputusan atas, oleh, serta teruntuk hidup (kehidupan, aspirasi, kehendak, tubuh, cara hidup) diri kita sendiri—singkatnya : Jangan bersikap seolah-olah tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri;

- Jangan bersikap seolah-olah kita bukanlah pribadi yang BEBAS dan MERDEKA (dalam artian bukanlah bangsa jajahan dari penjajahan bangsa lain maupun penjajahan oleh bangsa sendiri); serta

- Jika takut, sungkan, malu, gengsi, merasa bersalah, jangan tunjukkan, agar tidak ‘dimakan’! (Hei Bung, ini bukan surga, namun dunia manusia dimana manusia yang satu menjadi serigala bagi sesamanya!).

Disematkan julukan sebagai seorang “penjajah” bagi para pelaku pembuat ejekan demikian, semata karena memang korban ejekan mereka tidak pernah menyakiti ataupun merugikan sang pelaku, namun sang pelaku (justru) merasa memiliki hak yang bersumber dari arogansi dan delusi diri (seakan diri mereka adalah “hakim” yang berhak menghakimi orang lain), sehingga seolah-olah berhak untuk menyakiti perasaan orang lain lewat ejekan, diskredit, hinaan, ledekan, olok-olok, dijadikan bahan lelucon, ditertawakan, dan lain sebagainya, yang mana tentu dengan maksud untuk membuat korban ejekannya merasa terluka hatinya, tersinggung, merasa malu dan merasa bersalah (keduanya, secara perspektif psikologi, merupakan pintu masuk eksploitasi dan manipulasi pikiran), kecil hati, terlecehkan, terhina, dan membenci diri sendiri.

Sungguh malang mereka yang tergolong sebagai “ekstrovert”, dapat dipastikan akan mudah “disetir” oleh omongan maupun ucapan orang lain yang penuh “manipulasi pikiran” di luar sana. Jika para pelakunya berkelit, bukan itu maksud dan niat batinnya saat mengejek, maka mengapa diri mereka tidak mengejek cukup di dalam hati saja alih-alih menyalah-gunakan lidah dan mulut yang mereka miliki serta merasa senang dan gembira ketika melakukannya secara verbal untuk diperdengarkan bagi orang lain untuk ditertawakan dan menikmatinya (menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon), maupun untuk diperdengarkan bagi sang korban itu sendiri secara frontal secara arogan?

Ilmu berupa seperangkat kredo yang perlu diucapkan sebagai “self talk” secara berulang-ulang dalam rangka “sugesti diri” di atas, dapat penulis selaku kreatornya sebut sebagai “How to be an Introvert” serta “Seni Hidup Bahagia sebagai seorang Introvert”. Hingga saat kini pun, penulis masih senantiasa melatihnya dengan menginternalisasi ke dalam diri lewat kata-kata di dalam hati secara berulang-ulang (mengingatkan diri, itulah cara memprogram ulang cara berpikir kita), dan sangat besar pengaruhnya bagi hidup penulis. Cobalah dan buktikan sendiri manfaatnya. Efek samping serta resikonya, Anda akan benar-benar tampak menyerupai seorang “autis”. Memang selalu ada harga yang harus kita bayarkan. Namun tidak mengapa, genetik “autis” memang genetik yang sama dengan “kejeniusan” (orang-orang besar).

Janganlah meremehkan sebuah ejekan yang tampak sepele sekalipun, karena itu artinya Anda menyepelekan perasaan korban. Dari pengalaman pribadi penulis, sebuah ejekan yang tampak paling “ringan” dan paling “remeh” sekalipun (di mata pelaku, semua perbuatan buruknya adalah “sepele”), benar-benar dapat membuat trauma sang korban ejekan—trauma yang rasional maupun yang irasional. Namun dari pengalaman pribadi penulis pula, pelaku pembuat ejekan ataupun hinaan, memiliki motif tidak baik berupa ingin melecehkan ataupun membuat tersinggung korban ejekannya. Ketika sang korban tidak tersinggung, akibat batin yang kokoh sehingga tenang seimbang apapun situasinya, dan sang korban menerapkan strategi “anjing menggonggong, khafilah berlalu”, dengan tetap tidak perduli dan tidak ambil hirau, sang pelakunya akan bosan sendiri pada gilirannya, bosan untuk mengejek kita, karena tidak efektif memancing emosi kita, “gayung tidak bersambut”.

Contoh sederhana lainnya, mengulas balik kejadian belasan tahun lampau, penulis merupakan orang pertama di Jakarta yang menggunakan masker penutup hidung saat berada di jalan raya yang penuh asap kendaraan bermotor dan debu beterbangan yang dapat terhidup masuk ke dalam paru-paru sehingga membuat iritasi dan radang saluran pernafasan, bahkan hingga potensi terbitnya kanker bila dihirup untuk jangka panjang karsinogenik dan oksidan radikal bebas polutan.

Namun, di tengah jalan selalu saja dijumpai orang-orang yang memandang aneh diri penulis yang memang “tampil lain sendiri”, bahkan sempat seorang ibu-ibu yang melintas dan berpapasan, mengejek penulis karena mengenakan masker saat berjalan kaki di jalan raya. Kini, baik di jalan raya maupun di transportasi umum, sudah jamak kita jumpai orang-orang mengenakan masker demi tujuan kesehatan yang mulai masyarakat kita sadari fungsi serta arti pentingnya masker—mulai “melek kesehatan”.

Benih atau bibit ide bagi mereka untuk turut mengenakan masker di jalan umum, adalah berkat penulis yang memulainya dan tidak ambil hirau segala pandangan sinis maupun cibiran. Segala sesuatu, yang positif sekalipun, sepanjang belum menjadi kebiasaan umum, akan cenderung mendapat resistensi dari warga—untuk mengatasinya, gunakan aspek psikologi sifat irasional manusia, yakni jadikan itu kebiasaan yang dibiasakan. Ketika telah menjadi terbiasa dan kebiasaan, maka pihak-pihak yang hendak mengejek kita akan menjadi jemu secara sendirinya.

Bukankah sungguh tidak logis, asap kendaraan dan debu beterbangan bahkan secara kasat mata dan berbau tidak sedap di jalan raya, namun selama ini pula masyarakat kita tidak mengenakan masker penutup hidung untuk menyaring partikel udara kotor, seolah-olah hanya menjadi hak prerogatif pengendara kendaraan bernotor roda dua, yang barulah belasan tahun lampau penulis selaku pejalan kaki yang pertama kalinya merintis penggunaan masker ketika berjalan kaki di jalan umum maupun penumpang transportasi umum.

Kini, penggunaan masker telah menjadi tren dan umum kita jumpai. Karena telah menjadi kebiasaan umum, tiada lagi warga yang menghina ataupun mengejek penulis, mereka sudah jemu mengejek penulis! Gunakanlah psikologi seorang “badut”, mereka sekalipun ditertawakan, diejek, diolok-olok, tetap tersenyum dan tegar, bahkan “happy”. Mengapa? Semata karena memang sejak sedari awal sang pengena kostum “badut” telah siap mental untuk ditertawakan dan dijadikan objek tertawaan oleh umum. Bersiap-siaplah untuk “berperang” bila hendak hidup damai, si vis pacem parabelum.

Terdapat pengalaman buruk lainnya ketika penulis menyeberangi jalan menggunakan Jembatan Pengeberangan Orang pada salah satu kawasan pusat bisnis di Jakarta. Karena tas ransel penulis berada di bagian belakang punggung ketika berjalan, terdapat maling yang tanpa izin dan secara diam-diam dengan jahatnya membuka risleting tas ransel milik penulis dalam rangka untuk mencuri benda berharga milik penulis. Dua kali kejadian demikian terjadi, dan sejak itulah penulis tidak lagi menaruh gengsi ataupun rasa malu untuk menyandang tas ransel di bagian depan tubuh alih-alih di bagian belakang punggung.

Selama ini, kita melihat orang-orang menyandang tas ransel di bagian belakang punggung, karenanya norma sosial yang berlaku hanyalah kebiasaan atau konvensi semata. Menyadari akan fakta tersebut, kita tidak perlu menjadi korban kebiasaan usang yang sudah saatnya dievaluasi ulang dan “ditulis” ulang. Tidak pernah ada norma hukum ataupun konsensus publik bahwa menyandang tas ransel haruslah di bagian belakang punggung—yang sama artinya mengundang pencuri untuk berniat mencuri.

Ingatlah semboyan klise kriminologi, kejahatan terjadi karena adanya niat jahat serta adanya kesempatan. Untuk apa pula kita membiarkan diri berpotensi dengan irasional serta secara bodohnya menjadi “mangsa empuk” baik oleh penjahat maupun oleh komentar publik. Toh, jangan lupa, ini tubuh kita sendiri, tas ransel kita sendiri, hidup kita sendiri, maka kita sendiri yang memutuskan untuk menyandangnya dengan cara seperti apa, sebagai rangka menjadi manusia yang bebas dan merdeka dari penjajahan komentar siapapun. Gengsi, membuat manusia menjadi “dungu”, itulah sebabnya orang-orang jenius tidak pernah “jaga image”.

Bagi diri pribadi penulis, kejadian dua kali tas ransel penulis yang disandang di bagian belakang punggung menjadi incaran pencuri, sudah terlampau banyak, dan penulis tidak ingin menjadi makhluk yang lebih bodoh daripada keledai dengan jatuh pada lubang yang sama berulang-ulang. Itulah sebabnya, entah di tempat umum seperti transportasi publik, di jembatan penyeberangan, di jalan perumahan maupun di jalan raya sekalipun, penulis menyandang tas ransel di bagian depan tubuh—dan menjadi pionir satu-satunya atau orang pertama di Jakarta yang menyandang tas ransel secara lebih logis dan lebih rasional.

Pada mulanya, banyak para orang-orang dewasa yang “kurang kerjaan” dan hanya sibuk mengomentari orang lain, tergoda mengejek dan menghina penulis. Namun akibat penulis tidak menaruh gentar, dan tetap “khafilah berlalu sekalipun anjing-anjing tersebut menggonggong”, akibatnya lama-lama jadilah terbiasa dan kebiasaan yang tidak lagi menarik bagi mereka untuk berkomentar dan menjadi bosan sendiri untuk kembali mengusik penulis.

Yang terpenting, isi dalam tas ransel penulis aman dari tangan-tangan “jahil” atau setidaknya tidak mengundang niat-niat jahat orang-orang buruk moralitas. Menyesal, selalu datang terlambat. Sehingga mengapa ditunggu dan menunggu penyesalan serta menyesali diri? Itulah salah satu momen bersama kejadian ketika kita tidak jadi membeli produk yang dijajakan penjual setelah sempat bertanya-tanya harga dan mencobai produk yang mereka jajakan, yang menjadi cikal bakal ketika penulis menciptakan kredo “Jika takut, sungkan, malu, gengsi, merasa bersalah, jangan tunjukkan, agar tidak ‘dimakan’!

Sekadar informasi tambahan, penulis merupakan warga paling pertama (selaku pionir) selaku penumpang Bus Transjakarta (Busway), yang ketika menumpang baik ketika menunggu di halte maupun saat berdiri di dalam bus, menyandang tas ransel di depan dada dan perut alih-alih di belakang punggung, yang mana sempat pernah ditertawakan dan diolok-olok penumpang lain sebagai “cowok hamil”, sementara dirinya yang merasa berhak menghakimi penumpang lain menyandang tas di belakang punggung mengakibatkan penumpang lain kesukaran untuk naik maupun turun dari dan ke dalam bus disamping isi tas ranselnya tergencet-gencet penumpang lain serta mengundang tangan-tangan jahil tentunya—si “dungu” yang mana dapat penulis pastikan kini turut menjadi “cowok hamil” karena akan aneh sendiri bila menumpang Bus Transjakarta dengan tas disandang di belakang punggung.

Yang dahulu kala tidak lazim, kini menjadi kelaziman. Yang dahulu lazim, kini menjadi tidak lazim. Kebiasaan, adalah tentatif serta nisbi sifatnya. Kembali pada kisah mengenai sang penumpang “dungu”, padahal dirinya sendiri yang tidak logis menyandang tas ransel di punggung (mengganggu penumpang lain untuk lewat masuk-keluar mengingat kondisi dalam bus yang sempit dan berjejalan, disamping mengundang niat buruk kalangan pencuri). Kini, semua penumang “Busway” menyandang tas di depan dada dan perutnya. Penulis dengan ini mengklaim sebagai pionirnya, awalnya ditertawakan. Berkat kegigihan dan mental tidak tergoyahkan dengan sikap rasional sebagai mercusuarnya, kebiasaan lama berhasil penulis putar-balikkan kondisinya. Para pembaca bisa belajar banyak dari ilustrasi kisah “sederhana” demikian, yang tidak sesederhana itu dibenak dan kesan bagi penulis secara pribadi.

Kesimpulan: biarkan orang bodoh tertawa dan komentar, sekalipun mereka mayoritas. Kita mandiri saja dalam berpikir dan memutuskan sikap kita sendiri (ini yang namanya “berdikari”, berdiri di atas kaki dan pikiran sendiri). Yang semestinya malu, ialah mereka yang berbuat jahat semisal menyakiti dan melukai perasaan orang lain (ada Hukum Karma, nanti juga sang pelakunya yang menanam Karma Buruk lewat ucapan yang akan dihina, dilecehkan, dan DICURI ISI TASNYA, dan adalah hina jika nantinya ia menyandang tas ransel di bagian depan dada atau perutnya).

Mengapa musti malu, bilamana kita bukanlah seorang koruptor serta tidak pula dapat dicela secara moril karena kita tidak menyakiti ataupun merugikan pihak manapun. Kenapa musti malu, menyandang tas ransel di depan? Justru adalah tidak logis menyandang tas di belakang punggung, dengan pertimbangan karena faktor rawan mengundang aksi kriminil seperti pencurian, berjalan kaki artinya menerpa angin dari bagian depan tubuh sehingga tas ransel dapat menjadi alternatif “rompi” perisai anti angin, dan jika mau ambil barang menjadi gampang seperti handphone yang tidak layak ditempatkan di saku celana karena rawan pencopetan dan sudah banyak kejadian untuk tidak perlu kita tiru dan alami sendiri.

Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan masyarakat kita, yang tidak logis serta irasional, banyak sekali dan tidak akan sempat dimuat dalam kesempatan ini. bulatkan tekad Anda, kuatkan mental Anda, dan jadilah pionir yang berani memulai benih-benih kebiasaan baru. Ketika telah menjadi terbiasa dan kebiasaan, maka kebiasaan lama pun akan tergantikan seiring berjalannya waktu. Yang dibutuhkan, hanyalah kegigihan tidak surut serta tidak berkecil hati. Coba dan buktikanlah sendiri. Kebiasaan bukanlah ayat-ayat Kitab Suci yang tidak boleh dikritisi, diubah, dan ditulis ulang. Janganlah menjadi korban kebiasaan-kebiasaan usang yang sudah saatnya dievaluasi dengan “uji moril” serta akal sehat yang menggunakan rasio.

Sebagai penutup, sekadar sebagai perbandingan, di Thailand terdapat moda transportasi publik bernama “subway”, diaman bahkan oleh pihak otoritas diberlakukan peraturan yang mewajibkan pera penumpang yang membawa tas gendong harus menggendongnya di depan tubuh. Norma hukum tersebut dibentuk oleh akal sehat serta daya nalar yang logis, bukan menjadi korban kebiasaan lama, yakni semata agar tidak mengganggu penumpang lain dan tidak penuh-penuhin ruang gerak mengingat sesama penumpang saling “berbagi ruang gerak”. Penulis tidak perlu mendebat para penghina dan pengejek, waktu yang kini telah membuktikannya—hanya soal pembiasaan dan kebiasaan, bukanlah hal terkait moralitas yang patut dicela bila seseorang atas dasar akal sehat bergerak melawan arus kebiasaan “usang” yang “dungu”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.