ARTIKEL
HUKUM
Hukuman POTONG TANGAN Tanpa Dilandasi FAIR TRIAL, adalah
PERADILAN SESAT
Apa yang dimaksud dengan FAIR TRIAL?
Terdapat satu kalangan yang membangga-banggakan dan mengagung-agungkan sanksi berupa hukuman “potong tangan”, tanpa mau melihat bahaya dibaliknya. Salah satu asas terpenting serta paling utama dari sistem peradilan yang adil dan berimbang, atau yang lebih dikenal dengan istilah “fair trial”, ialah sistem peradilan dimana : Pertama, pemutus perkara ialah seorang pihak ketiga yang netral serta objektif (bebas dari anasir “conflict of interest”), baik berupa sesosok hakim maupun juri, untuk memutuskan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa yang disangkakan telah melakukan suatu pelanggaran hukum berupa tindak kriminal.
Kedua, tidak mendengar
secara sepihak aduan pelapor, namun hakim juga perlu mendengar keterangan pihak
terdakwa dan diberi hak untuk melakukan pembelaan diri bagi pihak terlapor. Lebih
jauh lagi, Hukum Acara Pidana di Indonesia mensyaratkan bagi Majelis Hakim pemerika
dan pemutus perkara pidana untuk yakin seyakin-yakinnya, tanpa keraguan yang
tersisa, bahwa sang terdakwa ialah bersalah sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut
Umum. Tersisa satu titik keraguan, terdakwa wajib dibebaskan, sebagai penerapan
asas “lebih baik membebaskan dua puluh terpidana daripada menghukum satu orang
yang ternyata tidak bersalah”. Jika seorang terpidana, telah dieksekusi “potong
tangan” atau bahkan “penggal kepala”, bagaimana cara memulihkannya? Umat manusia
bukanlah Tuhan yang tidak bisa keliru, termasuk pihak Penyidik Kepolisian, Jaksa
Penuntut Umum, maupun Hakim di Pengadilan, bisa saja tidak luput dari “keliru
tahu” dan “keliru yakin” dalam memutus suatu perkara yang dihadapkan ke
hadapannya untuk diproses secara pidana.
Ketiga, ialah apa yang dikenal
dengan istilah “asas legalitas”. Asas ini, bermakna bahwa suatu
penghukuman berupa pemidanaan, baik sanksi denda, penjara, atau bahkan hukuman
mati, hanya dapat dijatuhkan kepada seorang terdakwa yang mana pelanggaran
hukum yang dilakukan olehnya ialah pelanggaran terhadap “hukum positif”—yang
maknanya ialah aturan-aturan normatif hukum yang memang sudah diatur dasar
hukumnya dan diberlakukan secara umum sebelum peristiwa pelanggaran tersebut
terjadi, yang mana asas publisitas serta transparansi perihal norma imperatif
berupa larangan dan perintah menjadi pilar penopangnya.
“Asas legalitas”, dibentuk
dalam rangka terwujudnya “negara hukum” (rechtsstaat),
alias negara berdasarkan hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan dimana mulut
seorang raja atau seorang penguasa adalah hukum itu sendiri. Dahulu, kala peraturan
atau hukum pada suatu negara belum menjadikan asas tersebut sebagai jembatan
yang menjembatani hubungan antara negara dan rakyatnya, seorang raja berhak
secara bebas menentukan seseorang dianggap bersalah atau tidaknya, lengkap dengan
jenis maupun berat-ringan sanksinya, dimana pada saat sang raja menjatuhkan
hukuman itulah sang terhukum baru mengetahui bahwa perbuatannya itu dianggap melanggar
hukum—semata karena memang tidak pernah diterbitkan aturan hukum sebelum ini
perihal larangan bagi warganya untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang
dilakukan oleh sang terhukum.
Hukum modern bahkan mengenal
lapis kedua dari “asas legalitas”, yakni bukan hanya perihal norma “hukum
positif” berupa “norma primer” berisi pasal-pasal dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur larangan maupun perintah bagi rakyatnya selaku
para subjek hukum, namun juga disertai pengaturan perihal “norma sekunder”
berupa ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pelanggarnya. Kedua norma
tersebut, saling berpasangan, norma yang satu menjadi sebab dan norma
sekundernya menjadi akibat atau konsekuensi logisnya bagi seorang pelanggar.
Keempat, asas kesetimpalan
serta proposionalitas. Adalah tidak dapat dibenarkan, memenggal tangan seorang
pencuri hanya karena melakukan tindak pidana pencurian terhadap sebutir
semangka ketika seseorang sedang berada di tengah hutan, merasa haus lalu
memakannya, dan ternyata ada yang mengaku sebagai pemiliknya meski hutan itu
tampaknya tidak bertuan. Hukuman penggal tangan, hanya cocok dan patut bagi
para pelaku aksi tindak pidana korupsi, tidak terkecuali hukuman mati
(perampasan hak untuk hidup) bagi koruptor yang melakukan aksi korupsi disaat “keuangan
negara” dan ekonomi rakyat sedang dilanda krisis akut.
Kelima, subjek hukum yang
menjadi pengemban hukum, bukan hanya rakyat sipil dan jelata, namun juga para
penguasa hingga para aparatur penegak hukum itu sendiri. Semisal, kewenangan para
aparatur penegak hukum yang terdiri dari Penyidik Kepolisian, Jaksa Penuntut
Umum, hingga Hakim di Pengadilan, diatur kewenangannya dalam suatu “koridor
hukum” bernama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang juga mengatur hak-hak
serta kewajiban-kewajiban seorang saksi, terpidana, hingga terdakwa.
Keenam, alat bukti haruslah
memadai dan terukur. Semisal, dalam ilmu dan norma hukum pidana di Indonesia,
dalam perkara umum maupun perkara khusus tindak pidana korupsi, seseorang
barulah dapat didakwa sebagai terdakwa bilamana minimal telah terdapat dua alat
bukti yang membuktikan kesalahan dan pelanggaran yang telah pernah dilakukan
oleh sang terdakwa, bahkan diatur pula bahwa “satu saksi bukanlah saksi”. Yang terpenting
dari ketentuan ini, ialah keharusan seorang “saksi mata” untuk memberikan keterangan
dibawah sumpah, serta benar-benar mengetahui secara langsung, seperti melihat dengan
mata kepala sendiri, mendengar dengan telinga kepala sendiri, ataupun mengalami
dengan pengalaman pribadi secara langsung.
Karenanya, saksi yang
memberikan kesaksian atau keterangan semata berdasarkan “katanya, katanya, dan
katanya” (saksi “de auditu”), tidak
berkompetensi untuk didudukkan sebagai seorang saksi mata terlebih didengar maupun
dipercayai keterangannya. Untuk itu, mari kita telaah contoh kasus norma agama sebagaimana
dapat kita jumpai dalam Partial Translation of Sunan Abu-Dawud, Book 33: Prescribed
Punishments (Kitab Al-Hudud) Book 33, Number 4396:
Narrated Jabir ibn Abdullah:
A thief was brought to the
Prophet (peace_be_upon_him). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he
said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off. He was brought a
second time and he said: Kill him. The people said: He has committed
theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his foot.
So his (left) foot was cut off.
He was brought a third time and
he said: Kill him.
The people said: He has
committed theft, Apostle of Allah!
So he said: Cut off his hand.
(So his (left) hand was cut off.)
He was brought a fourth time
and he said: Kill him.
The people said: He has
committed theft, Apostle of Allah!
So he said: Cut off his foot.
So his (right) foot was cut off.
He was brought a fifth time and
he said: Kill him.
So we took him away and killed
him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over him.
Apakah Anda menemukan asas-asas
“fair trial” diterapkan pada kasus di
atas? “Nabi”, bukanlah Tuhan. “Nabi”, adalah seorang manusia, sama seperti
manusia yang ia jatuhi hukuman, sesama manusia. Bahkan seorang “nabi” juga
belum sempurna karena menjadi tabu bila dikultuskan dan menjadi “kompetitor
Tuhan” (Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya sholat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa
Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah
menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [Bukhari Muslim]). Dalam versi lain
yang senada:
Narrated Jabir ibn Abdullah: A
thief was brought to the Prophet Muhammed (saw). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he
said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off. He was brought a
second time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft,
Messenger of Allah! Then he said: Cut off his foot. So his (left) foot was cut
off. He was brought a third time and he said: Kill him. The people said: He has
committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off his hand. (So his (left)
hand was cut off.) He was brought a fourth time and he said: Kill him. The
people said: He has committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off
his foot. So his (right) foot was cut off. He was brought a fifth time and he
said: Kill him. So we took him away and killed him. We then dragged him and
cast him into a well and threw stones over him. (Abu Dawud: Book 38, Number
4396)
Other sources:
Sunan Abu Dawud, 4410.
Sunan Abu Dawud, Vol. 5, Book of Prescribed
Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396.
Sunan Abu Dawud, Book of Prescribed Punishments
(Kitab Al-Hudud), Hadith 4396
Terdapat seorang penulis tidak
bernama, menguraikan tanggapan satiris yang cukup relevan bilamana norma agama
di atas benar-benar diberlakukan akan menjelma fatalistis menyerupai “lingkaran
setan” tidak berkesudahan, dengan kutipan sebagai berikut:
Bayangkan seorang lelaki kepala
rumah tangga yang adalah pengrajin anyaman tikar merangkap tukang becak dengan
5 orang anak terpaksa mencuri karena sudah tidak mungkin mendapatkan nafkah
lagi karena becaknya di buang ke laut dan industri kerajinan tangan terkena
dampak bom Bali. Hudud, sebagai bagian dari penerapan Syariah Islam yang “sempurna”
dan menurut contoh (sunnah) Muhammad di atas maka orang itu terpaksa dipotong
tangan kanannya. Alhasil lelaki malang itu tidak mungkin lagi kembali bekerja
sebagai pengrajin anyaman tikar karena tangan kanannya barusan dipotong
walaupun dampak bomb Bali sudah mulai reda dan export mulai bangkit kembali.
Karena masih tidak bisa mencari
nafkah sedangkan kebutuhan anak isteri semakin mendesak, maka si lelaki tsb
terpaksa nekat mencuri lagi. Ketika tertangkap maka kaki kirinya yang menjadi
sasaran berikutnya dari hukum Hudud yang maha adil dan manusiawi. Lelaki yang
sudah kehilangan tangan kanan kini juga kehilangan kaki kiri padahal sekarang
penguasa Islam setempat baru saja mengatakan bahwa becak boleh beroperasi lagi.
Karena tinggal satu kaki maka lelaki itu agak kesulitan untuk kembali menarik
becak. Juga tidak mungkin kembali mengayam tikar karena tinggal satu tangan.
Dengan memberanikan diri karena
anak-anak mulai terserang muntaber, maka sang lelaki tsb terpaksa mencuri untuk
yang ketiga kali, dan tertangkap juga. Sesuai Hadist di atas tangan kirinya
sekarang yang dipotong. Karena sudah kehilagan kedua belah tangan dan satu
kaki, kesempatan sang lelaki dengan 5 anak yang terkena muntaber berat untuk
mendapatkan nafkah secara wajar menjadi semakin susah. Keahliannya sebagai
pengayam tikar sudah tidak mungkin dijalani lagi karena mau mengayam dengan
apa. Menarik becak pun sudah tidak mungkin lagi dengan satu kaki dan tanpa
tangan. Gimana besoknya?
Terpaksa si lelaki kembali
mencuri untuk yang keempat kalinya karena dua anaknya sudah meninggal karena
muntaber dan isterinya sekarang terserang demam berdarah. Tidak ada jalan lain
kecuali mencuri lagi dan sekali inipun tertangkap basah. Sang lelaki malang itu
pun diserat kehadapan pengadilan syariah yang menjalankan Hukum Allah (Hudud)
dengan lurus dan sempurna. Tidak ada yang bisa menolong lelaki itu karena ini
adalah Hukum Allah dan kaki kanannya pun melayang. Sekarang dengan tidak punya
lagi tangan dan kaki, dan masih mempunyai tiga anak dan seorang isteri yang
sakit parah, bagaimana lelaki itu bisa membiayai. Meminta-minta pun sudah tidak
mungkin lagi karena tidak punya tangan, mau meminta-minta dengan apa?
Salah satu anaknya kembali
meninggal karena tidak diobati dan isterinya pun meninggalkan mereka.
Tinggallah seorang lelaki catat (baca dicacatkan oleh Hukum Islam yang
manusiawi) dengan dua anak yang masih kecil dan belum begitu sehat. Untuk bisa
melalui hari-hari yang maha sulit, mereka terpaska harus puasa penuh walaupun
bukan saatnya bulan Ramadhan. Tetapi karena anak-anaknya sudah terlalu lapar
dan lemas, lelaki itu dengan sisa tenaga dan keberaniannya yang didorong oleh
rasa tanggung jawab seorang ayah, terpaksa mencuri lagi. Karena sudah tidak
punya tangan dan kaki, kali ini ia mencuri makanan dengan mulutnya.
Tetapi dalam pencurian kelima
inipun ia tertangkap basah karena memang agak sulit mencuri tanpa tangan dan
kaki. Nggak bisa kabur. Sesuai dengan hukum Hudud, lelaki itu akhirnya dibunuh
karena sudah tidak ada lagi yang bisa dipotong kecuali lehernya. Anak-anaknya
yang sudah lemas pun akirnya menemui ajal yang kedatangannya dipercepat karena
Hudud. Demikianlah, sebagai bagian dari penerapan hukum Syariah Islam yang maha
adil, sempurna, dan manusiawi, melalui hukum Hudud potong tangan potong kaki,
seorang yang terpaksa mencuri harus kehilanggan nyawanya. Bukan hanya dia yang
kehilanggan nyawa, tetapi ada 6 lagi nyawa yang ikut melayang karena HUDUD.
Terlapor tidak diberi hak untuk
didengarkan dan menjelaskan kondisi dan latar-belakang peristiwa ataupun
perbuatannya, keterangannya, terlebih pembelaan dirinya apakah terdapat “alasan
pemaaf” ataukah tidak. Pengadu, bisa jadi hanya sekadar mendengar “katanya,
katanya, dan katanya”, tanpa pula menimbang berat-ringannya perbuatan
pencurian, apakah pencurian terhadap sebutir buah-buahan ataukah seekor ternak
besar. Bila disebutkan bahwa Tuhan adalah “Maha Pemurah”, lantas mengapa para umatnya
menghakimi manusia lain sesama ciptaan Tuhan seperti merajam pelaku perzinahan,
dan melupakan janji Tuhan berikut:
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.”
Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah?’ Nabi menjawab: ‘Meskipun
dia mencuri dan juga berzinah’.” [Bukhari 6933]