JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hukum POTONG TANGAN, sebuah EUFORIA ataukah UTOPIA?

ARTIKEL HUKUM

Hukuman POTONG TANGAN Tanpa Dilandasi FAIR TRIAL, adalah PERADILAN SESAT

Apa yang dimaksud dengan FAIR TRIAL?

Terdapat satu kalangan yang membangga-banggakan dan mengagung-agungkan sanksi berupa hukuman “potong tangan”, tanpa mau melihat bahaya dibaliknya. Salah satu asas terpenting serta paling utama dari sistem peradilan yang adil dan berimbang, atau yang lebih dikenal dengan istilah “fair trial”, ialah sistem peradilan dimana : Pertama, pemutus perkara ialah seorang pihak ketiga yang netral serta objektif (bebas dari anasir “conflict of interest”), baik berupa sesosok hakim maupun juri, untuk memutuskan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa yang disangkakan telah melakukan suatu pelanggaran hukum berupa tindak kriminal.

Kedua, tidak mendengar secara sepihak aduan pelapor, namun hakim juga perlu mendengar keterangan pihak terdakwa dan diberi hak untuk melakukan pembelaan diri bagi pihak terlapor. Lebih jauh lagi, Hukum Acara Pidana di Indonesia mensyaratkan bagi Majelis Hakim pemerika dan pemutus perkara pidana untuk yakin seyakin-yakinnya, tanpa keraguan yang tersisa, bahwa sang terdakwa ialah bersalah sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Tersisa satu titik keraguan, terdakwa wajib dibebaskan, sebagai penerapan asas “lebih baik membebaskan dua puluh terpidana daripada menghukum satu orang yang ternyata tidak bersalah”. Jika seorang terpidana, telah dieksekusi “potong tangan” atau bahkan “penggal kepala”, bagaimana cara memulihkannya? Umat manusia bukanlah Tuhan yang tidak bisa keliru, termasuk pihak Penyidik Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, maupun Hakim di Pengadilan, bisa saja tidak luput dari “keliru tahu” dan “keliru yakin” dalam memutus suatu perkara yang dihadapkan ke hadapannya untuk diproses secara pidana.

Ketiga, ialah apa yang dikenal dengan istilah “asas legalitas”. Asas ini, bermakna bahwa suatu penghukuman berupa pemidanaan, baik sanksi denda, penjara, atau bahkan hukuman mati, hanya dapat dijatuhkan kepada seorang terdakwa yang mana pelanggaran hukum yang dilakukan olehnya ialah pelanggaran terhadap “hukum positif”—yang maknanya ialah aturan-aturan normatif hukum yang memang sudah diatur dasar hukumnya dan diberlakukan secara umum sebelum peristiwa pelanggaran tersebut terjadi, yang mana asas publisitas serta transparansi perihal norma imperatif berupa larangan dan perintah menjadi pilar penopangnya.

“Asas legalitas”, dibentuk dalam rangka terwujudnya “negara hukum” (rechtsstaat), alias negara berdasarkan hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan dimana mulut seorang raja atau seorang penguasa adalah hukum itu sendiri. Dahulu, kala peraturan atau hukum pada suatu negara belum menjadikan asas tersebut sebagai jembatan yang menjembatani hubungan antara negara dan rakyatnya, seorang raja berhak secara bebas menentukan seseorang dianggap bersalah atau tidaknya, lengkap dengan jenis maupun berat-ringan sanksinya, dimana pada saat sang raja menjatuhkan hukuman itulah sang terhukum baru mengetahui bahwa perbuatannya itu dianggap melanggar hukum—semata karena memang tidak pernah diterbitkan aturan hukum sebelum ini perihal larangan bagi warganya untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang dilakukan oleh sang terhukum.

Hukum modern bahkan mengenal lapis kedua dari “asas legalitas”, yakni bukan hanya perihal norma “hukum positif” berupa “norma primer” berisi pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur larangan maupun perintah bagi rakyatnya selaku para subjek hukum, namun juga disertai pengaturan perihal “norma sekunder” berupa ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pelanggarnya. Kedua norma tersebut, saling berpasangan, norma yang satu menjadi sebab dan norma sekundernya menjadi akibat atau konsekuensi logisnya bagi seorang pelanggar.

Keempat, asas kesetimpalan serta proposionalitas. Adalah tidak dapat dibenarkan, memenggal tangan seorang pencuri hanya karena melakukan tindak pidana pencurian terhadap sebutir semangka ketika seseorang sedang berada di tengah hutan, merasa haus lalu memakannya, dan ternyata ada yang mengaku sebagai pemiliknya meski hutan itu tampaknya tidak bertuan. Hukuman penggal tangan, hanya cocok dan patut bagi para pelaku aksi tindak pidana korupsi, tidak terkecuali hukuman mati (perampasan hak untuk hidup) bagi koruptor yang melakukan aksi korupsi disaat “keuangan negara” dan ekonomi rakyat sedang dilanda krisis akut.

Kelima, subjek hukum yang menjadi pengemban hukum, bukan hanya rakyat sipil dan jelata, namun juga para penguasa hingga para aparatur penegak hukum itu sendiri. Semisal, kewenangan para aparatur penegak hukum yang terdiri dari Penyidik Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, hingga Hakim di Pengadilan, diatur kewenangannya dalam suatu “koridor hukum” bernama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang juga mengatur hak-hak serta kewajiban-kewajiban seorang saksi, terpidana, hingga terdakwa.

Keenam, alat bukti haruslah memadai dan terukur. Semisal, dalam ilmu dan norma hukum pidana di Indonesia, dalam perkara umum maupun perkara khusus tindak pidana korupsi, seseorang barulah dapat didakwa sebagai terdakwa bilamana minimal telah terdapat dua alat bukti yang membuktikan kesalahan dan pelanggaran yang telah pernah dilakukan oleh sang terdakwa, bahkan diatur pula bahwa “satu saksi bukanlah saksi”. Yang terpenting dari ketentuan ini, ialah keharusan seorang “saksi mata” untuk memberikan keterangan dibawah sumpah, serta benar-benar mengetahui secara langsung, seperti melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar dengan telinga kepala sendiri, ataupun mengalami dengan pengalaman pribadi secara langsung.

Karenanya, saksi yang memberikan kesaksian atau keterangan semata berdasarkan “katanya, katanya, dan katanya” (saksi “de auditu”), tidak berkompetensi untuk didudukkan sebagai seorang saksi mata terlebih didengar maupun dipercayai keterangannya. Untuk itu, mari kita telaah contoh kasus norma agama sebagaimana dapat kita jumpai dalam Partial Translation of Sunan Abu-Dawud, Book 33: Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud) Book 33, Number 4396:

Narrated Jabir ibn Abdullah:

A thief was brought to the Prophet (peace_be_upon_him). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off. He was brought a second time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his foot.

So his (left) foot was cut off.

He was brought a third time and he said: Kill him.

The people said: He has committed theft, Apostle of Allah!

So he said: Cut off his hand. (So his (left) hand was cut off.)

He was brought a fourth time and he said: Kill him.

The people said: He has committed theft, Apostle of Allah!

So he said: Cut off his foot. So his (right) foot was cut off.

He was brought a fifth time and he said: Kill him.

So we took him away and killed him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over him.

Apakah Anda menemukan asas-asas “fair trial” diterapkan pada kasus di atas? “Nabi”, bukanlah Tuhan. “Nabi”, adalah seorang manusia, sama seperti manusia yang ia jatuhi hukuman, sesama manusia. Bahkan seorang “nabi” juga belum sempurna karena menjadi tabu bila dikultuskan dan menjadi “kompetitor Tuhan” (Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya sholat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [Bukhari Muslim]). Dalam versi lain yang senada:

Narrated Jabir ibn Abdullah: A thief was brought to the Prophet Muhammed (saw). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off. He was brought a second time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he said: Cut off his foot. So his (left) foot was cut off. He was brought a third time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off his hand. (So his (left) hand was cut off.) He was brought a fourth time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off his foot. So his (right) foot was cut off. He was brought a fifth time and he said: Kill him. So we took him away and killed him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over him. (Abu Dawud: Book 38, Number 4396)

Other sources:

Sunan Abu Dawud, 4410.

Sunan Abu Dawud, Vol. 5, Book of Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396.

Sunan Abu Dawud, Book of Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396

Terdapat seorang penulis tidak bernama, menguraikan tanggapan satiris yang cukup relevan bilamana norma agama di atas benar-benar diberlakukan akan menjelma fatalistis menyerupai “lingkaran setan” tidak berkesudahan, dengan kutipan sebagai berikut:

Bayangkan seorang lelaki kepala rumah tangga yang adalah pengrajin anyaman tikar merangkap tukang becak dengan 5 orang anak terpaksa mencuri karena sudah tidak mungkin mendapatkan nafkah lagi karena becaknya di buang ke laut dan industri kerajinan tangan terkena dampak bom Bali. Hudud, sebagai bagian dari penerapan Syariah Islam yang “sempurna” dan menurut contoh (sunnah) Muhammad di atas maka orang itu terpaksa dipotong tangan kanannya. Alhasil lelaki malang itu tidak mungkin lagi kembali bekerja sebagai pengrajin anyaman tikar karena tangan kanannya barusan dipotong walaupun dampak bomb Bali sudah mulai reda dan export mulai bangkit kembali.

Karena masih tidak bisa mencari nafkah sedangkan kebutuhan anak isteri semakin mendesak, maka si lelaki tsb terpaksa nekat mencuri lagi. Ketika tertangkap maka kaki kirinya yang menjadi sasaran berikutnya dari hukum Hudud yang maha adil dan manusiawi. Lelaki yang sudah kehilangan tangan kanan kini juga kehilangan kaki kiri padahal sekarang penguasa Islam setempat baru saja mengatakan bahwa becak boleh beroperasi lagi. Karena tinggal satu kaki maka lelaki itu agak kesulitan untuk kembali menarik becak. Juga tidak mungkin kembali mengayam tikar karena tinggal satu tangan.

Dengan memberanikan diri karena anak-anak mulai terserang muntaber, maka sang lelaki tsb terpaksa mencuri untuk yang ketiga kali, dan tertangkap juga. Sesuai Hadist di atas tangan kirinya sekarang yang dipotong. Karena sudah kehilagan kedua belah tangan dan satu kaki, kesempatan sang lelaki dengan 5 anak yang terkena muntaber berat untuk mendapatkan nafkah secara wajar menjadi semakin susah. Keahliannya sebagai pengayam tikar sudah tidak mungkin dijalani lagi karena mau mengayam dengan apa. Menarik becak pun sudah tidak mungkin lagi dengan satu kaki dan tanpa tangan. Gimana besoknya?

Terpaksa si lelaki kembali mencuri untuk yang keempat kalinya karena dua anaknya sudah meninggal karena muntaber dan isterinya sekarang terserang demam berdarah. Tidak ada jalan lain kecuali mencuri lagi dan sekali inipun tertangkap basah. Sang lelaki malang itu pun diserat kehadapan pengadilan syariah yang menjalankan Hukum Allah (Hudud) dengan lurus dan sempurna. Tidak ada yang bisa menolong lelaki itu karena ini adalah Hukum Allah dan kaki kanannya pun melayang. Sekarang dengan tidak punya lagi tangan dan kaki, dan masih mempunyai tiga anak dan seorang isteri yang sakit parah, bagaimana lelaki itu bisa membiayai. Meminta-minta pun sudah tidak mungkin lagi karena tidak punya tangan, mau meminta-minta dengan apa?

Salah satu anaknya kembali meninggal karena tidak diobati dan isterinya pun meninggalkan mereka. Tinggallah seorang lelaki catat (baca dicacatkan oleh Hukum Islam yang manusiawi) dengan dua anak yang masih kecil dan belum begitu sehat. Untuk bisa melalui hari-hari yang maha sulit, mereka terpaska harus puasa penuh walaupun bukan saatnya bulan Ramadhan. Tetapi karena anak-anaknya sudah terlalu lapar dan lemas, lelaki itu dengan sisa tenaga dan keberaniannya yang didorong oleh rasa tanggung jawab seorang ayah, terpaksa mencuri lagi. Karena sudah tidak punya tangan dan kaki, kali ini ia mencuri makanan dengan mulutnya.

Tetapi dalam pencurian kelima inipun ia tertangkap basah karena memang agak sulit mencuri tanpa tangan dan kaki. Nggak bisa kabur. Sesuai dengan hukum Hudud, lelaki itu akhirnya dibunuh karena sudah tidak ada lagi yang bisa dipotong kecuali lehernya. Anak-anaknya yang sudah lemas pun akirnya menemui ajal yang kedatangannya dipercepat karena Hudud. Demikianlah, sebagai bagian dari penerapan hukum Syariah Islam yang maha adil, sempurna, dan manusiawi, melalui hukum Hudud potong tangan potong kaki, seorang yang terpaksa mencuri harus kehilanggan nyawanya. Bukan hanya dia yang kehilanggan nyawa, tetapi ada 6 lagi nyawa yang ikut melayang karena HUDUD.

Terlapor tidak diberi hak untuk didengarkan dan menjelaskan kondisi dan latar-belakang peristiwa ataupun perbuatannya, keterangannya, terlebih pembelaan dirinya apakah terdapat “alasan pemaaf” ataukah tidak. Pengadu, bisa jadi hanya sekadar mendengar “katanya, katanya, dan katanya”, tanpa pula menimbang berat-ringannya perbuatan pencurian, apakah pencurian terhadap sebutir buah-buahan ataukah seekor ternak besar. Bila disebutkan bahwa Tuhan adalah “Maha Pemurah”, lantas mengapa para umatnya menghakimi manusia lain sesama ciptaan Tuhan seperti merajam pelaku perzinahan, dan melupakan janji Tuhan berikut:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah?’ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.” [Bukhari 6933]