SENI PIKIR & TULIS
Prosedur Dibuat untuk Manusia, Bukan Manusia untuk
Prosedur (Prosedur yang Tidak Manusiawi)
Kesehatan dan Keselamatan, merupakan Prosedur Tertinggi diantara Kesemua Prosedur. Prosedur yang Tertinggi ialah, AKAL SEHAT Itu Sendiri!
Pelaku usaha yang hendak membuka bisnis kuliner, bahkan sudah belasan atau bisa jadi sudah puluhan tahun bergelut dalam bisnis kuliner, namun bila tidak memahami nilai terpenting dari bisnis kuliner, yakni “HIGIENIS”, sama artinya sang pelaku usaha kuliner tidak menghargai kesehatan konsumen dan pelanggannya, yang sama pula artinya segmen pasar atau target market-nya memang ialah para pembeli yang tidak menghargai kesehatannya sendiri. Namun telah ternyata tidak sedikit diantara pelaku usaha kita yang selama ini memang berusaha dibidang kuliner, akan tetapi tidak memahami nilai intrinsik terpenting dari bisnis kuliner.
Terdapat seorang pengusaha
rumah makan bakmie di dekat kediaman penulis, yang bisnisnya sangat kontras
terhadap pelaku usaha bakmie lain yang hanya terpaut arak lima puluh meter dari
tempat ia membuka rumah makan bakmie. Sang kompetitor, setiap pukul sepuluh
pagi sudah habis terjual seluruh bakmie dagangannya, dimana setiap hari
kondisinya seperti demikian, meski harga jual bakmie yang dijual oleh sang
kompetitor jauh lebih mahal. Akan tetapi pengusaha bakmie satunya lagi yang
saling bertetangga, bahkan hingga tengah hari tiada satupun pelanggan ataupun
pengunjung yang membeli bakmie jualannya, sekalipun sama-sama berlokasi persis
di tepi jalan raya besar tempat banyak warga melintas.
Pernah dua kali banyaknya,
penulis mencoba membeli bakmie dari pengusaha bakmie yang sepi kering-kerontang
dari pembeli tersebut. Sekalipun kondisi pada saat itu ialah negara kita maupun
dunia global sedang menghadapi pandemik (global
pandemic) akibat wabah virus menular mematikan antar manusia, namun sang
pelaku usaha tidak pernah mencuci tangan sekalipun habis bermain handphone,
berbelanja bahan dari pasar, dan sebagainya, lantas memegang dan
mengepal-ngepal bahan bakmie mentah dengan tangannya—bahan bakmienya tidak
lebih besar daripada ukuran kepalan tangan anak balita, tentu tidak akan
membuat kenyang bagi porsi pembeli manusia dewasa—masih juga mempertontonkan
kepada konsumennya proses memasak yang “aneh bin ajaib”, sang penjual bakmie
ketika memasak bahan mentah mengelap tangannya ke celana, dan menyentuh semua
bahan yang telah matang dengan tangan telanjang yang bisa jadi bekas “mengupil”
atau dari toilet tanpa pernah mencuci tangannya (siapa tahu? Patut dicurgai
demikian, dimana anak Sekolah Dasar pun tahu bahwa sebelum makan harus mencuci
tangan; maka terlebih memasak makanan yang dibeli dan akan dimakan oleh orang
lain. Membeli penyakit?).
Sepulangnya di rumah, penulis
membuka bungkus kemasan bakmie, dan bertambah terkejutnya, sayur yang diberikan
oleh pihak penjual bakmie berupa bonggol sayur! Dua kali banyaknya penulis membeli dari rumah makan yang sama,
dan dua kali pula melihat kejadian mengerikan betapa makanan yang akan masuk ke
mulut dan perut konsumennya yang membayar dengan harga yang tidak sedikit,
diperlakukan jauh dari sifat higienis. Enak pun tidak, sehingga tiada satupun
keistimewaan dari rumah makan tersebut. Masih juga pemilik usahanya merasa
bangga atas rumah makan miliknya, kebanggaan delusif yang “kekanakan”.
Mungkin akibat tidak dibekali
modal pengetahuan dasar perihal “psikologi konsumen” atau tidak melakukan
introspekti diri secara memadai, namun sudah nekad membuka bisnis kuliner
selama bertahun-tahun, bahwa untuk sukses atau tidaknya usaha penyediaan barang
ataupun jasa, tidak dapat menggunakan perspektif sang pemilik usaha sebagai
tolak ukurnya—yang jelas-jelas akan bersikap subjektif—namun menggunakan
perspektif atau sudut pandang konsumen. Rata-rata rumah makan yang sepi
pelanggan, bukan karena tiada pengunjung, namun kebanyakan diantara pengunjungnya
tersebut telah “kapok” untuk kembali membeli. Pernah pada suatu ketika sang
pelaku usaha mempertanyakan nasibnya yang “malang” karena sepi pengunjung dan
tidak memiliki pelanggan sebagaimana kompetitor tetanggannya yang laris-manis,
lantas menuding bahwa dirinya adalah korban “black magic”. Untuk menjadi seorang profesional, penting bagi kita
untuk melepaskan watak subjektif akibat kebanggaan yang berlebihan (namun tidak
rasional), terutama sikap “kekanakan”, karena sama sekali tidak akan membuat pelaku
usaha menjadi produktif.
Namun, penulis tidak perlu
memberikannya kuliah mengenai nilai terpenting dari bisnis kuliner, karena
memang bukanlah kewajiban penulis dimana konsumen yang membayar bukanlah babysitter sang pelaku usaha, dimana
konsumen semestinya dilayani bukan yang justru harus melayani sang pelaku usaha—dimana
sikap penulis yang tidak pernah membeli untuk ketiga-kalinya, semestinya sudah
cukup membuat sang pelaku usaha untuk introspeksi diri secara rasional dan
objektif mengenai diri dan praktik usahanya sendiri selama ini.
Sebetulnya pernah lebih dari
satu kali banyaknya penulis memberi petunjuk (bila yang bersangkutan dapat
membaca pesan dan makna tersirat), salah satunya ketika penulis bertanya, “Apakah sayur-nya sudah dicuci?” Namun
sang pelaku usaha justru mendebat input dari konsumen, yang semestinya dihargai
karena menyangkut nilai terpenting bisnis kuliner. Pernah juga penulis bertanya
sebelum membeli ketika baru pertama kali berkunjung, “Telurnya apakah telur ayam negeri ataukah ayam kampung?” Secara
reaktif sang pelaku usaha menjawab, “Ayam
negeri dong!” Dong?! Apa maksudnya
menjawab dengan embel-embel kata “dong!”?
Jangan pernah menghakimi ataupun menggurui calon konsumen
Tidak perlu penulis sampaikan
kepada yang bersangkutan, bahwa dirinya telah tidak menghargai kesehatan dan
keselamatan konsumennya. Maka, konsumen pun tidak perlu menaruh hormat ataupun
menghargai sang pelaku usaha. Sesukar itukah, saling menghargai dan menghormati
(prinsip resiprositas / resiprokal) antara pelaku usaha dan konsumennya?
Konsumen yang rasional, mendahulukan kesehatan dan keselamatan. juga menghargai
kantung ataupun isi dompet konsumennya, tentu saja. Karenanya, kepentingannya
haruslah dari dan bagi kedua belah pihak, tidak sepihak semata, “bijaksana” dan
“bijaksini”. Diluar itu, yang ada ialah “bertepuk sebelah tangan”, entah sang
pelaku usaha ataukah sang konsumen. Pada akhirnya, kekuatan konsumen
menunjukkan supremasinya, BOIKOT!
Terdapat jenis tipikal pelaku
usaha yang lebih fatal watak usahanya, dimana sekalipun produk masakan
jualannya ialah lezat luar biasa, namun bila cara marketingnya melukai dan
melecehkan martabat calon pembeli maupun pengunjung, maka jangan harap
pengunjung yang terluka harga dirinya akan kembali berkunjung dan membeli. Salah
satunya ialah ketika penulis bertanya harga makanan-makanan yang dijual rumah
makan yang bersangkutan, mengingat begitu banyak ragam makanan yang dijual akan
tetapi sang pelaku usaha tidak menyediakan daftar menu maupun harga, maka
adalah wajar bila penulis yang baru pertama kali berkunjung bertanya harga berbagai
masakan yang tersedia dan dijual. Betapa terkejutnya, sang pelaku usaha rumah
makan memarahi penulis!
Jangan pula membuat calon
konsumen ataupun konsumen merasa “dicurangi”, karena fatal akibatnya. Pernah suatu
kali penulis mengunjungi rumah makan lainnya, dan bertanya menu serta harga. Dirujuklah
penulis kepada daftar menu dan rincian daftar harganya. Namun, alangkah
terkejutnya penulis bahwa sang pelaku usaha rumah makan seolah menjebak calon konsumen
dengan masih memasang rincian harga yang baru konsumen ketahui “sudah naik
harganya, itu masih harga lama” dimana bila calon konsumen tidak bertanya
terlebih dahulu kepastian perihal harga maka dapat dipastikan akan “terkecoh”
membeli. Jangan dikira, calon konsumen tidak dapat memberikan “punishment”, setidaknya dengan cara
tidak membeli. Hargai konsumen, ketika pelaku usaha ingin dihargai oleh
konsumennya.
Minimarket maupun supermarket
retail modern kerap melakukan modus semacam itu, memasang label yang telah
kadaluarsa tanpa diubah, sekalipun staf karyawannya cukup memadai untuk
memantau dan memastikan “up to date”
sebagai SOP harian. Pernah terjadi contoh yang lebih ekstrem, suatu ketika
orangtua penulis bersama teman-temannya singgah di suatu lapak pinggir jalan
penjual sayur lontong. Tanpa terlebih dahulu bertanya harga, mereka langsung
saja memesan dan menyantap lontong sayur yang lazimnya hanya seharga beberapa
rupiah. Barulah saat selesai makan dan hendak membayar, pihak penjual secara “aji-mumpung”
menyalahgunakan keadaan tersebut dengan “mengetuk harga”, memasang harga jual
sayur lontongnya berkali-kali lipat dari harga kelaziman lontong sayur pada
umumnya. Ketika para konsumennya mengajukan komplain, inilah jawaban dari sang
penjual : “Sesekali aja.” Sesekali
memeras orang, disebut penghasilan yang benar? Tidak malu memeras, dan tidak takut
berbuat dosa dengan memeras konsumen yang menaruh kepercayaan terhadap sang
pelaku usaha. Jika saja dari sejak awal, para konsumennya mengetahui bahwa sang
penjual memiliki niat buruk ataupun harga jual dagangannya “kelewatan”
mahalnya, maka siapa yang akan bersedia singgah dan membeli?
Contoh lainnya, pada tangga 30 Desember
2021, sekalipun Negara Indonesia sedang dilanda wabah Corona Virus Disease 2019
(COVID-19), yang menjadi pandemik menular antar manusia yang dapat mematikan
mereka yang menderita gejala penyakit penyulit seperti penyakit jantung,
hipertensi, gula darah, ginjal, dsb, terutama ketika yang tertular kemudian
menulari keluarga di rumah yang telah lanjut-usia (lansia), saat penulis
berkunjung ke Bank Central Asia (Bank BCA kantor cabang Bojong Indah,
Cengkareng, Jakarta Barat), petugas Customer Service meminta (mewajibkan)
penulis selaku nasabah lama untuk membuka masker dengan alasan untuk difoto dan
itu adalah prosedur mereka sehingga wajib dituruti nasabah bila hendak dilayani
permintaan penulis untuk migrasi kartu ATM magnetik ke sistem chip.
Telah ternyata, bagi Bank BCA,
prosedur mereka adalah lebih penting ketimbang kesehatan dan keselamatan nasabahnya
dari potensi resiko tertular wabah, mengingat kondisi dalam ruang kantor Bank
BCA saat itu ialah penuh sesak oleh nasabah lain yang antri, ruang tertutup
TANPA VENTILASI, serta ber-AC sehingga praktis tiada sirkulasi udara serta
“kerumunan” itu sendiri. Tingginya potensi tertular akibat pengkondisian
semacam itu, dimana petinggi Bank BCA tentu tahu resiko ruang tertutup dan
berpendingin udara dari bertahan dan menyebarnya “bio aerosol” alias “micro
droplet” halus yang berterbangan di udara dan tersekap tanpa adanya pertukaran
udara dari dalam dan dari luar ruangan tertutup.
Terlebih tinggi, ketika petugas
pelayanan Bank BCA justru mewajibkan nasabahnya untuk MELEPAS MASKER di ruang
tertutup, berpendingin udara, tanpa ventilasi untuk pertukaran udara, penuh
sesak oleh antrian pengunjung (kerumunan itu sendiri artinya dalam udara
tersekap), dikala WABAH / PANDEMIK virus menular mematikan antar manusia. Telah
ternyata pula, yang baru penulis sadari dan ketahui sejak kejadian tersebut,
segala keramahan dan kehangatan petugas Bank BCA adalah artifisial belaka,
tidak tulus, munafik, hiprokrit, dimana bagi mereka prosedur mereka lebih
penting ketimbang kesehatan dan keselamatan nasabah lama mereka sendiri.
Berbagai perbankan nasional,
saat pandemik terjadi, telah berinovasi dengan layanan membuka rekening bagi
nasabah baru mereka, bahkan sama sekali tanpa perlu datang ke kantor cabang bank,
namun cukup mendaftar secara daring “online”, dimana foto diri di-“caption”
oleh nasabah baru secara mandiri cukup dari rumah sendiri. Namun, hingga
pandemik telah dua tahun berlangsung di Indonesia, masih juga mewajibkan
nasabahnya untuk MELEPAS MASKER DI RUANG TERTUTUP PENUH SESAK OLEH NASABAH LAIN
TANPA VENTILASI UDARA DAN BERPENDINGIN UDARA HANYA UNTUK ALASAN SEPELE SEMACAM
DI-FOTO SEKALIPUN PENULIS MERUPAKAN NASABAH LAMA.
Beberapa waktu kemudian,
penulis jatuh sakit, entah akibat tertular atau karena lain sebab. Sepanjang
masa pandemik, penulis tidak pernah melepas masker bila beraktivitas di luar rumah,
sehingga bila memang jatuh sakitnya penulis ialah diakibatkan oleh tertular
wabah, maka tudingan yang paling patut penulis tujukan ialah kejadian di kantor
cabang Bank BCA sebagai pelaku utamanya. Merasa adanya “moral hazard” dibalik
praktik Bank BCA yang menurut penulis sangat tidak sehat bagi pengunjung maupun
bagi nasabahnya sendiri, penulis mengirim pesan via messenger kepada staf
petugas Bank BCA yang tempo hari meminta (mewajibkan alias memaksa) penulis
untuk melepaskan masker dikala wabah, dengan isi pesan sebagai berikut:
Hari ini kesehatan saya bermasalah, kemarin mbak yang minta dan wajibkan
saya untuk buka masker untuk di foto di ruang tertutup banyak orang dan sedang wabah.
Jika saya tempo hari tertular
dan menularkan keluarga dan fatal, maka mbak dan BCA punya tanggung jawab moral
dan karma.
Sungguh menyesal saya tempo
hari dipaksa untuk membuka masker di ruang tertutup berisi banyak orang dan
sedang wabah.
Bank BCA ternyata tidak menghargai kesehatan maupun
keselamatan nasabahnya.
Tidak terdapat jawaban ataupun
permintaan maaf apapun dari pihak Bank BCA maupun oleh staf petugas Customer
Service-nya tersebut. Sebenarnya bukan sejak saat itulah, penulis telah
bertekad untuk tidak lagi menggunakan layanan Bank BCA. Namun kejadian dimana
nasabah tidak dihargai kesehatan dan keselamatannya itulah, puncak dari
kekecewaan penulis terhadap arogansi dan kemunafikan Bank BCA. Kepada diri
pribadi penulis dan juga kepada para pembaca, berikut inilah nasehat yang dapat
penulis berikan : Jangan bersikap seolah-olah tidak ada bank lain selain Bank
BCA. Di luar sana terdapat beragam pilihan lain alternatif yang dapat kita
pilih sebagai penyedia layanan jasa keuangan. Jangan bersikap seolah-olah kita
tidak punya opsi lain dan pilihan bebas, sehingga harus memaksakan diri
menggunakan layanan Bank BCA yang TIDAK MENGHARGAI KESEHATAN DAN KESELAMATAN NASABAHNYA.
Kita punya pikiran untuk menilai dan membuat keputusan sendiri.
Untuk apa bakmie yang enak,
untuk apa punya banyak uang, untuk apa dilayani dengan ramah dan penuh senyum
bak sahabat karib, namun bila resiko yang mereka berikan tidak sebanding, mengancam
kesehatan dan keselamatan. Ketika seseorang telah benar-benar jatuh
sakit—akibat selama ini dikuasai delusi arogansi kesombongan terhadap
kesehatannya—barulah “menyesal dikemudian hari sudah terlambat”, dan barulah
menyadari bahwa “kesehatan adalah harta tertinggi yang tidak ternilai
harganya”. Ramah, namun mencelakai kesehatan dan keselamatan pengguna jasa /
barangnya, harga yang terlampau mahal harus dibayarkan oleh konsumennya.
Karena itu, bukan kesemua itu
yang kita selaku pengguna barang / jasa butuhkan, yang kita butuhkan ialah
kesehatan dan keselamatan kita dihargai dan dihormati sebagai prioritas
utamanya dikala wabah. Selebihnya, adalah nomor dua. Namun, memang penulis
akui, tidak semua konsumen pengguna barang / jasa yang tergolong sebagai
konsumen yang rasional, bahkan banyak diantara kita yang dapat di-kriteria-kan
sebagai konsumen yang irasional, membeli semata mengikuti kemauan lidah atau
keramahan fiktif nir-makna.
Jadilah konsumen / pengguna
jasa yang rasional (cerdas, artinya tidak mudah dibodohi ataupun didikte), agar
tidak “dimakan” oleh pelaku usaha yang tidak rasional yang tidak juga menghargai
kesehatan maupun keselamatan pengguna barang / jasanya. Ketahui hak-hak
konsumen, sehingga kita mengetahui apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pelaku
usaha. Jangan bersikap seolah kita tidak punya hak untuk berkata “TIDAK!” pada pelaku usaha yang tidak
bisa menghargai hak-hak paling mendasar pihak konsumen / pengguna jasanya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.