JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Modus Pelaku Pidana Penipuan, Mengajukan Gugatan agar Seolah-Olah Sengketa Murni Perdata bukan Pidana

LEGAL OPINION

Modus Pelaku Penipuan dalam Mengamputasi Laporan Pidana Korban

Question: Apa yang harus diwaspadai atau perlu diperhatikan benar-benar oleh korban, ketika korban penipuan akan melaporkan pidana si penipu, agar pelakunya ini tidak dapat berkelit dari hukuman penjara atas perbuatannya yang telah menipu korban?

Brief Answer: Langkah preventif pertama ialah, jangan buat akta perdamaian apapun ketika perkara pidana sudah berproses di pengadilan ataupun ketika laporan pidana telah benar-benar diajukan kepada pihak kepolisian, tolak seluruh permohonan damai dari pihak terlapor. Ketika batas waktu sebagaimana somasi perdata tidak diindahkan oleh pelaku, maka sebaiknya tutup rapat-rapat ruang negosiasi maupun perdamaian, mengingat sekalipun pelaku penipuan telah dipidana penjara atas perbuatan melawan hukumnya, korban tetap dapat dan berhak untuk menggugat secara perdata agar kerugiannya dapat dipulihkan, sehingga proses pidana tetap dibiarkan berlanjut hingga tuntas.

Sebaliknya, bila pelaku membuat suatu akta perdamaian dengan korban, maka ia dapat menyalah-gunakan akta perdamaian tersebut sebagai “alasan pemaaf” untuk berkelit dari jerat hukum pidana, sekalipun ia kelak kembali ingkar janji untuk menunaikan apa yang disepakati dalam perjanjian maupun dalam akta perdamaian, alias dua kali ingkar janji, dan fatal akibatnya karena proses pidana menjadi teramputasi akibat eksistensi akta perdamaian yang menjelma “batu sandungan” bagi pihak korban pelapor, yang mana dikemudian hari tidak diindahkan oleh pihak pelaku itu sendiri—sehingga korban benar-benar telah tertipu untuk kedua-kalinya.

Modus lainnya ialah pihak pelaku seketika mengajukan gugatan perdata saat dirinya hendak dilaporkan pidana, sehingga menjadi alasan sempurna untuk berkelit dengan semudah menyatakan bahwa sengketa diantara pelapor dan terlapor adalah murni sengketa perdata wanprestasi, bukan pidana penipuan sebagaimana laporan pihak pelapor. Untuk itu pelapor perlu benar-benar menekankan kepada aparatur penegak hukum maupun hakim saat pihak saksi korban pelapor diminta keterangannya di muka persidangan perkara pidana dimana terdakwanya ialah pihak terlapor, bahwa itu adalah modus klasik pelaku pidana penipuan untuk berkelit dari jerat pidana.

PEMBAHASAN:

- Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang PENIPUAN telah mengatur, “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

- SURAT PUTUSAN PIDANA SEBAGAI BUKTI PERDATA : “Suatu putusan dari Peradilan Pidana memiliki kekuatan bukti yang sempurna di dalam proses perkara Perdata, baik terhadap Terpidana itu sendiri maupun terhadap pihak ketiga, dengan tidak menutup diajukannya bukti lawan.” (Putusan Mahkamah Agung No. 199 K/Sip/1973 tanggal 27 November 1975)

Terdapat sebuah dilematika sekaligus dinamika yang menarik seputar perkara pidana penipuan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan secara nyata lewat telaah putusan Mahkamah Agung RI register Nomor 412 K/Pid/2015 tanggal 30 Juni 2015, dimana Terdakwa didakwa karena telah dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP.

Bermula saat Terdakwa selaku Direktur Utama sebuah badan hukum Perseroan Terbatas (PT.) yang bergerak dalam bidang industri kayu menyerahkan 6 buah Bilyet Giro bank senilai Rp11.158.607.500 telah membeli kayu logs merbau milik korban dengan menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Kayu dengan total harga Rp 3.077.500 / m3, sebagai pembayaran atas pembelian kayu logs merbau milik korban.

Terdakwa lalu datang menemui korban, meminta agar 6 lembar Bilyet Giro bank tidak dicairkan dulu dan minta dimundurkan dengan cara mengganti jatuh tempo pada Bilyet Giro tersebut dengan menandatangani surat tentang penggantian tanggal pada Bilyet Giro dan saat itu Terdakwa meyakinkan korban bahwa Bilyet Giro dapat dicairkan dan ada dananya. Namun ternyata, saat jatuh tempo Bilyet Giro yang diundur tersebut, Tersangka tidak kunjung menyediakan dana yang cukup, dimana Terdakwa meminta penggantian mundur jatuh tempo yang kedua kalinya, akan tetapi Terdakwa juga lagi-lagi belum menyediakan dana yang cukup, bahkan rekening tersebut malah ditutup berdasarkan laporan Polisi yang diajukan oleh pihak Terdakwa sendiri, dengan menyuruh pegawai Terdakwa agar melaporkan ke Kepolisian mengenai Bilyet Giro yang hilang dimana kenyataannya Bilyet Giro tersebut ada di tangan korban.

Dengan adanya pelaporan kehilangan Bilyet Giro tersebut, Terdakwa melakukan perdamaian dengan korban dengan menandatangani Surat Perjanjian Perdamaian, kemudian Terdakwa mengganti Bilyet Giro tersebut dengan menggunakan 33 buah lembar cek Bank atas nama Perseroan Terbatas yang dikelola Terdakwa, dimana dari 33 lembar cek yang dibayarkan senilai Rp8.368.955.625, 11 buah cek dapat dicairkan, namun berbagai cek selebihnya tidak dapat dicairkan karena rekening ditutup. Sehingga, dari 11 buah lembar Cek senilai Rp 4.000.000.000 dapat dicairkan, sedangkan sisanya tidak dapat dicairkan dikarenakan Terdakwa telah menutup rekeningnya sebagaimana bukti penolakan dari bank.

Akibat perbuatan Terdakwa, korban pelapor menderita kerugian sebesar Rp4.368.955.625.

Dalam dakwaan alternatif kedua, Terdakwa dituntut sebagai telah melakukan “penipuan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 KUHP. Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1276/Pid.B/2014/PN.Sby. tanggal 09 Oktober 2014, dengan amar:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana;

2. Melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum;

3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”

Pihak Kejaksaan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Negeri dalam pertimbangan hukumnya telah berpendapat seluruh unsur Pasal 378 KUHP sebagaimana Dakwaan Kedua yaitu:

1. Barang Siapa;

2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;

3. Secara melawan hukum memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan;

4. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya;

adalah telah terpenuhi, akan tetapi perbuatan Terdakwa tersebut diawali Surat Perjanjian Jual Beli Kayu dengan alat pembayaran berupa bilyet giro, namun tidak dapat dicairkan korban. Akan tetapi menurut Pengadilan Negeri, perbuatan Terdakwa bukanlah perbuatan Pidana.

Menurut Jaksa, terdapat suatu perbuatan melawan hukum yang dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana, karena terdapat beberapa cek yang tidak dapat dikliringkan dan rekening telah ditutup. Perbuatan melawan hukum semakin jelas terlihat dari adanya rangkaian kejadian sebelumnya yaitu BG yang sudah jatuh tempo diganti tanggalnya, kemudian dinyatakan hilang sehingga pelaku pernah dilaporkan ke pihak Kepolisian namun karena ada upaya perdamaian maka dicabutlah laporan Polisi sebelumnya oleh pihak korban. Dengan ditutupnya rekening milik pelaku, telah membuktikan adanya upaya tipu muslihat dan rangkaian kata bohong dari si pelaku dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hak.

Pemberian cek yang tidak dapat dikliringkan dengan alasan apapun atau sering disebut cek kosong merupakan perbuatan melawan hukum, karena apabila seseorang telah memberikan cek sebagaimana / alat pembayaran atau jaminan maka orang tersebut mempunyai kewajiban untuk memastikan di dalam rekeningnya cukup tersedia dana. Jika ternyata di dalam rekeningnya tidak cukup tersedia dan atau bahkan ditutup tanpa memberitahukan kepada pihak penerima / pembawa cek tersebut, maka terhadap orang tersebut dapat dikenai sanksi pidana.

Pengadilan Negeri dinilai telah mencampur-adukkan antara perselisihan yang timbul akibat pelaksanaan perjanjian (yang dikenal dengan istilah “wanprestasi”) dan perbuatan penipuan dengan menggunakan media perjanjian. Perbuatan menyerahkan barang sesuatu atau perbuatan memberi hutang maupun perbuatan menghapuskan piutang, adalah merupakan perbuatan keperdataan, namun perbuatan tersebut terjadi akibat adanya perbuatan melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, yang mana tidak dapat dikualifikasikan sebagai sebatas wanprestasi, karena ada tipu muslihat terlibat didalamnya sebagai “mata rantai”.

Untuk menilai suatu perbuatan sebagai tindak penipuan, pengadilan tidak perlu berpatokan pada sah atau tidaknya suatu perjanjian sebagaimana Arrest tanggal 14 Januari 1981 yang menyatakan : ”tidak menjadi soal apakah perikatan utang yang telah diadakan itu mempunyai dasar yang dapat dibenarkan atau tidak. Untuk memberlakukan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP, orang itu tidak perlu memperhatikan apakah perikatan utang yang bersangkutan sah atau tidak”.

Dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir namun diwarnai perbedaan pendapat oleh seorang Hakim Agung, sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

- Terhadap alasan-alasan kasasi Jaksa / Penuntut Umum dalam Memori Kasasinya tanggal ... , tidak dapat dibenarkan karena putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri Surabaya tidak salah menerapkan hukum. Lagi pula alasan-alasan Kasasi Jaksa / Penuntut Umum adalah tentang berat-ringannya pidana sedangkan alasan Kasasi lainnya adalah menyangkut penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, ... karenanya beralasan hukum untuk metolak alasan-alasan Kasasi / Memori Kasasi Penuntut Umum;

“Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Dr. Drs. H. DUDU D. MACHMUDIN, S.H., M.Hum. selaku Hakim Anggota I dengan pendapat sebagai berikut:

- Bahwa alasan-alasan Kasasi Jaksa / Penuntut Umum dapat dibenarkan, sebab apabila perkara aquo termasuk ke dalam ranah Hukum Perdata maka pengajuan gugatan oleh Terdakwa merupakan penyelundupan hukum agar perkara aquo masuk ke dalam ranah Hukum Perdata. Dan ketika perkara perdata (telah) inkracht van gewijsde (telah ternyata) Terdakwa (masih) belum juga membayar hutangnya (kepada korban), sehingga Saksi Korban dirugikan. Perbuatan Terdakwa yang membayar dengan Bilyet Giro yang tidak dapat dicairkan sudah termasuk perbuatan melawan hukum yang termasuk ranah Hukum Pidana karena Terdakwa mengetahui bahwa Bilyet Gironya tidak mencukupi dananya.

“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 182 Ayat (6) KUHAP Majelis Hakim setelah bermusyawarah mengambil keputusan dengan suara terbanyak yaitu menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan tersebut ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surabaya tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.