LEGAL OPINION
Modus Pelaku Penipuan dalam Mengamputasi Laporan Pidana Korban
Question: Apa yang harus diwaspadai atau perlu diperhatikan benar-benar oleh korban, ketika korban penipuan akan melaporkan pidana si penipu, agar pelakunya ini tidak dapat berkelit dari hukuman penjara atas perbuatannya yang telah menipu korban?
Brief Answer: Langkah preventif pertama ialah, jangan buat
akta perdamaian apapun ketika perkara pidana sudah berproses di pengadilan
ataupun ketika laporan pidana telah benar-benar diajukan kepada pihak
kepolisian, tolak seluruh permohonan damai dari pihak terlapor. Ketika batas
waktu sebagaimana somasi perdata tidak diindahkan oleh pelaku, maka sebaiknya
tutup rapat-rapat ruang negosiasi maupun perdamaian, mengingat sekalipun pelaku
penipuan telah dipidana penjara atas perbuatan melawan hukumnya, korban tetap
dapat dan berhak untuk menggugat secara perdata agar kerugiannya dapat
dipulihkan, sehingga proses pidana tetap dibiarkan berlanjut hingga tuntas.
Sebaliknya, bila pelaku membuat suatu akta
perdamaian dengan korban, maka ia dapat menyalah-gunakan akta perdamaian
tersebut sebagai “alasan pemaaf” untuk berkelit dari jerat hukum pidana,
sekalipun ia kelak kembali ingkar janji untuk menunaikan apa yang disepakati dalam
perjanjian maupun dalam akta perdamaian, alias dua kali ingkar janji, dan fatal
akibatnya karena proses pidana menjadi teramputasi akibat eksistensi akta
perdamaian yang menjelma “batu sandungan” bagi pihak korban pelapor, yang mana dikemudian
hari tidak diindahkan oleh pihak pelaku itu sendiri—sehingga korban benar-benar
telah tertipu untuk kedua-kalinya.
Modus lainnya ialah pihak pelaku seketika
mengajukan gugatan perdata saat dirinya hendak dilaporkan pidana, sehingga
menjadi alasan sempurna untuk berkelit dengan semudah menyatakan bahwa sengketa
diantara pelapor dan terlapor adalah murni sengketa perdata wanprestasi, bukan
pidana penipuan sebagaimana laporan pihak pelapor. Untuk itu pelapor perlu benar-benar
menekankan kepada aparatur penegak hukum maupun hakim saat pihak saksi korban pelapor
diminta keterangannya di muka persidangan perkara pidana dimana terdakwanya
ialah pihak terlapor, bahwa itu adalah modus klasik pelaku pidana penipuan
untuk berkelit dari jerat pidana.
PEMBAHASAN:
- Pasal 378 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang PENIPUAN telah mengatur, “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.”
- SURAT PUTUSAN PIDANA SEBAGAI
BUKTI PERDATA : “Suatu putusan dari
Peradilan Pidana memiliki kekuatan bukti yang sempurna di dalam proses perkara
Perdata, baik terhadap
Terpidana itu sendiri maupun terhadap pihak ketiga, dengan tidak menutup
diajukannya bukti lawan.” (Putusan Mahkamah Agung No. 199 K/Sip/1973
tanggal 27 November 1975)
Terdapat sebuah dilematika
sekaligus dinamika yang menarik seputar perkara pidana penipuan, sebagaimana
dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan secara nyata lewat telaah putusan
Mahkamah Agung RI register Nomor 412 K/Pid/2015 tanggal 30 Juni 2015, dimana
Terdakwa didakwa karena telah dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai
milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP.
Bermula saat Terdakwa selaku
Direktur Utama sebuah badan hukum Perseroan Terbatas (PT.) yang bergerak dalam
bidang industri kayu menyerahkan 6 buah Bilyet Giro bank senilai
Rp11.158.607.500 telah membeli kayu logs merbau milik korban dengan
menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Kayu dengan total harga Rp 3.077.500
/ m3, sebagai pembayaran atas pembelian kayu logs merbau milik korban.
Terdakwa lalu datang menemui korban,
meminta agar 6 lembar Bilyet Giro bank tidak dicairkan dulu dan minta
dimundurkan dengan cara mengganti jatuh tempo pada Bilyet Giro tersebut dengan
menandatangani surat tentang penggantian tanggal pada Bilyet Giro dan saat itu
Terdakwa meyakinkan korban bahwa Bilyet Giro dapat dicairkan dan ada dananya. Namun
ternyata, saat jatuh tempo Bilyet Giro yang diundur tersebut, Tersangka tidak kunjung
menyediakan dana yang cukup, dimana Terdakwa meminta penggantian mundur jatuh tempo
yang kedua kalinya, akan tetapi Terdakwa juga lagi-lagi belum menyediakan dana
yang cukup, bahkan rekening tersebut malah ditutup berdasarkan laporan Polisi
yang diajukan oleh pihak Terdakwa sendiri, dengan menyuruh pegawai Terdakwa agar
melaporkan ke Kepolisian mengenai Bilyet Giro yang hilang dimana kenyataannya
Bilyet Giro tersebut ada di tangan korban.
Dengan adanya pelaporan
kehilangan Bilyet Giro tersebut, Terdakwa melakukan perdamaian dengan korban dengan
menandatangani Surat Perjanjian Perdamaian, kemudian Terdakwa mengganti Bilyet
Giro tersebut dengan menggunakan 33 buah lembar cek Bank atas nama Perseroan
Terbatas yang dikelola Terdakwa, dimana dari 33 lembar cek yang dibayarkan
senilai Rp8.368.955.625, 11 buah cek dapat dicairkan, namun berbagai cek selebihnya
tidak dapat dicairkan karena rekening ditutup. Sehingga, dari 11 buah lembar
Cek senilai Rp 4.000.000.000 dapat dicairkan, sedangkan sisanya tidak dapat dicairkan
dikarenakan Terdakwa telah menutup rekeningnya sebagaimana bukti penolakan dari
bank.
Akibat perbuatan Terdakwa, korban
pelapor menderita kerugian sebesar Rp4.368.955.625.
Dalam dakwaan alternatif kedua,
Terdakwa dituntut sebagai telah melakukan “penipuan”, sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 378 KUHP. Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum,
yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1276/Pid.B/2014/PN.Sby.
tanggal 09 Oktober 2014, dengan amar:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan
dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan
suatu tindak pidana;
2. Melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya.”
Pihak Kejaksaan mengajukan
upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Negeri dalam
pertimbangan hukumnya telah berpendapat seluruh unsur Pasal 378 KUHP
sebagaimana Dakwaan Kedua yaitu:
1. Barang Siapa;
2. Dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
3. Secara melawan hukum memakai
nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan;
4. Menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya;
adalah telah terpenuhi, akan tetapi perbuatan
Terdakwa tersebut diawali Surat Perjanjian Jual Beli Kayu dengan alat
pembayaran berupa bilyet giro, namun tidak dapat dicairkan korban. Akan tetapi menurut
Pengadilan Negeri, perbuatan Terdakwa bukanlah perbuatan Pidana.
Menurut Jaksa, terdapat suatu
perbuatan melawan hukum yang dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana,
karena terdapat beberapa cek yang tidak dapat dikliringkan dan rekening telah
ditutup. Perbuatan melawan hukum semakin jelas terlihat dari adanya rangkaian
kejadian sebelumnya yaitu BG yang sudah jatuh tempo diganti tanggalnya,
kemudian dinyatakan hilang sehingga pelaku pernah dilaporkan ke pihak Kepolisian
namun karena ada upaya perdamaian maka dicabutlah laporan Polisi sebelumnya
oleh pihak korban. Dengan ditutupnya rekening milik pelaku, telah membuktikan
adanya upaya tipu muslihat dan rangkaian kata bohong dari si pelaku dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hak.
Pemberian cek yang tidak dapat
dikliringkan dengan alasan apapun atau sering disebut cek kosong merupakan
perbuatan melawan hukum, karena apabila seseorang telah memberikan cek
sebagaimana / alat pembayaran atau jaminan maka orang tersebut mempunyai
kewajiban untuk memastikan di dalam rekeningnya cukup tersedia dana. Jika
ternyata di dalam rekeningnya tidak cukup tersedia dan atau bahkan ditutup
tanpa memberitahukan kepada pihak penerima / pembawa cek tersebut, maka
terhadap orang tersebut dapat dikenai sanksi pidana.
Pengadilan Negeri dinilai telah
mencampur-adukkan antara perselisihan yang timbul akibat pelaksanaan perjanjian
(yang dikenal dengan istilah “wanprestasi”) dan perbuatan penipuan dengan
menggunakan media perjanjian. Perbuatan menyerahkan barang sesuatu atau
perbuatan memberi hutang maupun perbuatan menghapuskan piutang, adalah
merupakan perbuatan keperdataan, namun perbuatan tersebut terjadi akibat adanya
perbuatan melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, yang mana tidak dapat
dikualifikasikan sebagai sebatas wanprestasi, karena ada tipu muslihat terlibat
didalamnya sebagai “mata rantai”.
Untuk menilai suatu perbuatan
sebagai tindak penipuan, pengadilan tidak perlu berpatokan pada sah atau
tidaknya suatu perjanjian sebagaimana Arrest tanggal 14 Januari 1981 yang menyatakan
: ”tidak menjadi soal apakah perikatan
utang yang telah diadakan itu mempunyai dasar yang dapat dibenarkan atau tidak.
Untuk memberlakukan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP, orang
itu tidak perlu memperhatikan apakah perikatan utang yang bersangkutan sah atau
tidak”.
Dimana terhadapnya Mahkamah
Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir namun diwarnai
perbedaan pendapat oleh seorang Hakim Agung, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
- Terhadap alasan-alasan kasasi Jaksa / Penuntut Umum dalam Memori Kasasinya
tanggal ... , tidak dapat dibenarkan karena putusan Judex Facti / Pengadilan
Negeri Surabaya tidak salah menerapkan hukum. Lagi pula alasan-alasan Kasasi
Jaksa / Penuntut Umum adalah tentang berat-ringannya pidana sedangkan alasan
Kasasi lainnya adalah menyangkut penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan. Keberatan semacam itu tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, ... karenanya beralasan
hukum untuk metolak alasan-alasan Kasasi / Memori Kasasi Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa dalam
musyawarah Majelis Hakim terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari
Dr. Drs. H. DUDU D. MACHMUDIN, S.H., M.Hum. selaku Hakim Anggota I dengan
pendapat sebagai berikut:
- Bahwa alasan-alasan Kasasi Jaksa / Penuntut Umum dapat dibenarkan, sebab
apabila perkara aquo termasuk ke dalam ranah Hukum Perdata maka pengajuan
gugatan oleh Terdakwa merupakan penyelundupan hukum agar perkara aquo masuk ke
dalam ranah Hukum Perdata. Dan ketika perkara perdata (telah) inkracht
van gewijsde (telah ternyata) Terdakwa (masih) belum juga membayar hutangnya
(kepada korban), sehingga Saksi Korban dirugikan. Perbuatan Terdakwa yang membayar
dengan Bilyet Giro yang tidak dapat dicairkan sudah termasuk perbuatan melawan
hukum yang termasuk ranah Hukum Pidana karena Terdakwa mengetahui bahwa Bilyet
Gironya tidak mencukupi dananya.
“Menimbang, bahwa oleh karena
terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 182 Ayat (6)
KUHAP Majelis Hakim setelah bermusyawarah mengambil keputusan dengan suara
terbanyak yaitu menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan tersebut ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Surabaya tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.