ARTIKEL HUKUM
Roy Suryo dan Pitra Romadhoni Nasution, Lebih BUSUK
daripada BANGKAI TIKUS. Oops, Maaf, Penulis Kepleset Lidah, Tidak Sengaja,
Nanti akan Minta Maaf Jika Roy Suryo Marah dan Cukup Semudah Menghapus
Postingan Ini
Roy Suryo sang PENISTA Agama Buddha, Agama Orang Lain
Dijadikan Bahan Lelucon yang Tidak Lucu dan Tidak Etis, Cerminan Arogansi dan
Kedangkalan Intelektual
Jika begitu, kita sebut saja Roy Suryo adalah CELENG HITAM DEKIL, lalu penulis akan semudah meminta maaf dan menghapus postingan ini, selesai, cara jitu untuk berkelit dan jadi “alasan pemaaf” yang murah plus mudah nan memuaskan. Roy Suryo yang notabene bukan seorang umat Buddhist, tidak boleh melakukan “standar ganda” dimana ia boleh menista seenaknya, namun mengharap dirinya tidak dinista seenaknya oleh pihak lain. Pengacara sang penista Agama Buddha, Roy Suryo, menuntut agar umat Buddhist memaafkan Roy Suryo yang telah meminta maaf, dengan argumentasi manipulasi bahwa Sang Buddha mengajarkan para umatnya untuk bersikap pemaaf.
Kini, mari kita rujuk kasus Ahok
dimana Ahok telah meminta maaf, namun apa hasilnya, apakah para Muslim
memaafkan dan memberi maaf? Ini bukan soal memaafkan atau tidak memaafkan,
namun mendidik atau tidaknya. Sang Buddha mengajarkan, berbuat baik artinya
bukan hanya tidak merugiakn orang lain, namun juga tidak merugikan diri sendiri
serta tidak menjelek-jelekkan diri sendiri. Artinya, pengacara Roy Suryo bukan
hanya membela seorang penista Agama Buddha namun juga telah memfitnah
Dhamma—ajaran Sang Buddha—seolah-olah Sang Buddha mengajarkan para siswa-Nya
untuk menjadi orang bodoh yang diam saja bak mayat yang hanya bisa bungkam diam
membisu ketika disakiti dan dilukai. Ketika diam saja hanya akan menyakiti diri
kita sendiri, maka adalah tanggung-jawab diri kita untuk menjerit
sekeras-kerasnya.
Terdapat perbedaan antara “alasan
pemaaf” dan “minta maaf”. Adapun “minta maaf”, artinya bisa tidak dimaafkan,
hak prerogatif korban untuk memaafkan ataupun untuk tidak. Sementara itu
“alasan pemaaf”, tidak membutuhkan persetujuan korban untuk pelakunya
dimaafkan, karena sudah dimaafkan dan diatur oleh Undang-Undang sebagai alasan
pembebas dari kesalahan semisal karena terjadi kondisi “overmarcht” ataupun “force
majeure” yang mana terjadinya diluar kehendak sang pelaku.
Pelakunya Muslim, maka para
Muslim dilarang komentar jika para Buddhist merasa “geram” juga “gerah”. Para
Muslim merasa berhak membela agama dan nabi junjungannya, maka mengapa para
Buddhist dilarang untuk melakukan hal serupa? Musuh dari negara hukum ialah
praktik ber-“standar ganda”. Jangan suruh atau tuntut para Buddhsist untuk menjadi
pemaaf, lihat sendiri kelakuan jutaan para Muslim yang tidak memaafkan Ahok,
lihat kelakuan ribuan Muslim kepada Meiliana di Tanjung Balai tahun 2017, jadi
janganlah BERSTANDAR GANDA! Ini adalah
negara hukum, buat apa ada hukum jika penegakannya berat sebelah dan pandang
bulu? Kini para Muslim yang harus membayar mahal apa yang dahulu mereka umbar,
sebagaimaan pepatah : Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang.
Negara bernama Indonesia ini,
merupakan negara Buddhist, negara milik nenek-moyang pada Buddhist sejak abad
ke-5 sampai dengan abad ke-15 dimana Majapahit memberi toleransi para ulama
Islam untuk masuk dan berkembang di Nusantara, dimana Sutasoma ketika
mencetuskan “bhinneka tunggal ika”
juga merupakan warisan toleransi dalam Buddhisme pada era Majapahit, namun
kemudian membalas toleransi dengan intoleransi—lihat kasus Tanjung Balai tahun
2017 dimana belasan Vihara dibakar dan dijarah oleh ribuan Muslim semata karena
seorang warga Tionghua mengeluhkan suara toa masjid, dimana kasus yang disebut
dalam Serat Kitab Sastra Jawa Kuno bernama “Dharmo Ghandul” selalu terulang
sejarahnya, sehingga para Muslim memiliki hutang budi serta berhutang darah
pada para Buddhist di Nusantara. Dahulu kala para Muslim menuntut dan menikmati
toleransi pada era Majapahit, namun ketika para Muslim telah menjelma
mayoritas, para Muslim hendak membumi-hanguskan toleransi di Bumi Pertiwi.
Ada ketidakadilan jika pelaku
kejahatan meminta maaf lantas tidak dihukum oleh negara, kebiasaan buruk yang
tidak mendidik dan tidak menggugu disamping tidak mendewasakan—terlebih bila
hukum bersikap diskrimiantif dalam artian ber-“standar ganda” wajahnya, dimana
bila pelaku penista agama ialah berlatar-belakang Muslim maka seolah korbannya (para
umat agama nonMuslim) hanya bisa “gigit jari”, serta teori ilmu hukum pidana
telah secara eksplisit menyatakan bahwa meminta maaf bukanlah “alasan pemaaf”. Seseorang
dengan status sebagai “public figure”,
justru jadi pertimbangan yang memberatkan hukuman karena budaya masyarakat Indonesia
masih bersifat patronase, alih-alih diperlakukan sebagai “anak emas”.
Dalam kasus penistaan agama,
korbannya ialah segenap atau seluruh umat agama yang dinista oleh pelaku. Adalah
tidak dapat dibenarkan oleh hukum formil atau hukum acara pidana, seseorang
atau sebagian dari korban tidak diterima aduan ataupun laporannya, dengan
alasan telah ada pihak lain yang lebih dahulu melaporkan—dapat menjadi modus
politis untuk “memeti-es-kan” aduan korban, dimana disinyalir pelapor pertama
ialah fiktif belaka semata untuk menjegal para korban lainnya untuk mengadukan
atau melaporkan pelaku penista agama. Mengingat korban penistaan adalah ialah
jutaan umat agama yang dinista sebagai stakeholders,
maka baik sebagian atau seluruhnya, atau bahkan satu orang umat dari agama yang
dinista sekalipun, berhak melaporkan, sekalipun sudah ada orang lain yang terlebih
dahulu melaporkan.
JIka umat agama yang dinista
ternyata diposisikan sebagai pelapor kedua, maka jadikan “para pelapor” beserta
pelapor pertama, tidak boleh dijadikan alasan sudah ada yang terlebih dahulu melapor
sehingga korban-korban lainnya dilarang melapor atau tidak diterima laporannya.
Penistaan agama, merupakan jenis peristiwa pidana bercorak atau bersifat “kasus
massal”, para / jutaan umat Agama Buddha di Indonesia pada khususnya dan
miliaran umat Buddhist di dunia pada umumnya, menjadi korbannya dan
berkepentingan juga punya “legal standing”
untuk melaporkan bila ada pihak-pihak yang menista Agama Buddha.
Menggugat dengan “class action” / “citizen law suit” saja boleh, mengapa tidak boleh melapor lebih
dari satu phiak pelapor untuk dapat dikategorikan sebagai pihak “para pelapor”?
Pihak berwajib cukup menampung seluruh aduan, lalu memprosesnya, bukan justru
menolak laporan umat yang merupakan salah seorang korban penistaan, sehingga
menjadi vulgar adanya “hidden agenda”
dibalik tiadanya “political will” aparatur
penegak hukum—jangankan mempidanakan pelakunya, menerima aduan para umat selaku
salah satu korban lainnya pun tidak diterima oleh pihak kepolisian. Mengingat
korbannya lebih dari satu orang umat, maka seluruh umat berkepentingan
dihadapkan sebagai saksi korban, ataupun untuk melaporkan dan mengadukan serta ditindak-lanjuti
dengan memproses pidana terhadap pelaku penistaan selaku terlapor.
Dilansir dalam pemberitaan oleh
Wartaekonomi, mempublikasikan kabar yang melukai perasaan para umat Buddhist di
Indonesia pada khususnya maupun para umat Buddhist di dunia pada umumnya,
dengan tajuk “Ditolak! Sudah Ada yang Lebih Dulu Laporkan Roy Suryo, Kuasa
Hukum Kevin Wu: Polisi Rahasiakan Siapa Pelapor Sebelumnya”, 17 Juni 2022,
mengungkapkan bahwa kuasa hukum Kevin Wu selaku Ketua Dharmapala Nusantara,
Antoni mengungkapkan bahwa laporan terhadap Roy Suryo perkara cuitannya yang
menyinggung Ummat Buddha terkait editan foto Patung Buddha yang menyerupai
wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditolak.
Hal tersebut diungkapkan pihak
kepolisian lantaran sebelum adanya laporan dari Dharmapala Nusantara, sudah ada
yang melaporkan Roy Suryo atas perkara yang sama. “Bahwa laporan tadi tidak diterima, karena ternyata pada 16 Juni kemarin
sudah ada yang melapor dengan kasus yang sama, terhadap orang yang sama, pasal
yang sama kita laporkan, sehingga tidak bisa diproses,” ujar Antoni dikutip
dari Detik. Namun, yang patut menjadi sorotan publik ialah, Antoni
mengungkapkan bahwa pihak kepolisian merahasiakan siapa nama pelapor terkait
pekara Roy Suryo. Namun, Antoni menyebut bahwa pelapor itu juga melaporkan
Roy Suryo atas perkara soal foto editan Patung Buddha yang diedit dengan wajah
mirip Jokowi.
“Obstruction of justice”, lebih banyak dilakukan oleh kalangan
internal Kepolisian itu sendiri, seperti modus mengabaikan aduan korban
pelapor, menelantarkan korban pelapor, tidak menindak-lanjuti keadilan bagi
korban pelapor, dimana seringkali terjadi bahkan tidak menanggapi aduan korban
pelapor. Sehingga, bukan lagi sekadar “justice
delay is justice denied”, namun terang-benderang dan secara seronok Kepolisian
telah melanggar kewenangan monopolistiknya dalam penegakan hukum pidana maupun
akses pemidanaan, disamping melanggar sumpah jabatan serta mengangkangi korban
pelapor yang dibuat tidak berdaya dan tanpa daya seolah negara ini adalah
negara yang tidak memiliki hukum dimana negara tidak pernah benar-benar hadir
di tengah masyarakat, dimana hukum hanya dijadikan komoditas politik pihak
mayoritas maupun yang berkuasa dan para aparaturnya menghamba pada mereka yang
memiliki kekuatan uang ataupun jabatan.
Sebelumnya, melalui video di
akun Instagram Dharmapala Nusantara, Roy Suryo dilaporkan lantaran menyinggung
umat Buddhist. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Dharmapala Nusantara. “Kenapa
melaporkan Bapak Roy Suryo? Karena beliau termasuk bagian dari yang menyebarkan
gambar yang berpotensi memecah belah dan membuat keresahan di masyarakat ini,” urai
Kevin Wu, yang juga menuturkan bahwa hal yang dilakukan Roy Suryo tidak
mengarah pada kritikan terhadap tarif Candi Borobudur. Kevin menyebut bahwa hal
itu tidak berhubungan dan tentunya menyinggung simbol agama Buddha. Jika dibiarkan,
maka kedepannya akan menjadi ancaman nyata perilaku-perilaku menyimpang lainnya
yang merongrong Agama Buddha, agama para nenek-moyang penduduk Nusantara yang
memiliki “piutang budi” kepada seluruh umat beragama di Indonesia.
“Wajah Pak Presiden, yang merupakan kepala negara, kita tentu hal ini
tidak elok dan tidak baik. Kalau dimaksud berupa kritik, tentu ini tidak
berhubungan dengan kritik yang dimaksud. Yang kedua, tentu hal ini menyinggung
dari simbol agama yang diakui negara. Di mana simbol-simbol suci ini hendaknya
tidak disandingkan atau tidak diedit dengan tujuan apalagi untuk menghina,”
tutur Kevin.
Dilansir pula dengan tajuk “Dipolisikan,
Eh Roy Suryo Malah Ingin Memenjarakan Orang Lain: Betapa Liciknya Dia,
Pengecut!”, 17 Juni 2022, diberitakan bahwa meskipun sudah menghapus cuitan di
Twitter dan meminta maaf atas unggahan itu, akan tetapi tangkapan layar cuitan
tersebut sudah terlanjur tersebar di media sosial, dimana “teori kesengajaan”
dalam ilmu hukum pidana mengenal “kesengajaan sebagai kemungkinan” dimana patut
diduga dan diperkirakan bahwa sosial-media mampu membuat efek berantai berupa
tersebar-luasnya suatu konten digital sekalipun hanya dilakukan satu sentuhan jempol
pada tombol di layar handphone.
Sikap-sikap tidak bertanggung-jawab
seperti menista lalu menghapus konten yang berisi substansi penistaan,
sejatinya tetap saja telah pernah terjadi tindak pidana berupa pelanggaran
hukum, dimana “tempus delicti”-nya
ialah peristiwa penistaan itu terjadi yakni saat konten berisi penistaan di-upload
sampai konten tersebut eksis entah karena dihapus ataupun karena faktor terkena
“take down” oleh pihak lain maupun
oleh otoritas dunia maya. Karena itulah, meminta maaf dan menghapus konten
berisi penistaan, bukan merupakan “alasan pemaaf”.
Hingga akhirnya, mantan kader
Partai Demorkat ini dilaporkan ke pihak kepolisian terkait pelangaran
Undang-Undang ITE. Akan tetapi, Roy Suryo malah balik melaporkan pengunggah
pertama meme stupa Candi Borobudur berwajah Presiden Joko Widodo ke Polda Metro
Jaya. Laporan ini dibuat melalui kuasa hukum Roy, yakni Pitra Romadoni
Nasution. Warganet yang geram langsung menyebut Pakar Telematika ini sebagai
orang yang licik. “Betapa liciknya
@KRMTRoySuryo2, dia ingin memenjarakan orang lain. Pdhl twittnya sendiri sudah
melanggar UU ITE pasal 45 A ayat 2,” celoteh akun @tukangrosok.
Cuitan ini mendapat komentar
beragam dari warganet di sosial media, salah satunya respons berikut : “Akibat dijadikan sebab.”, “Klo pecundang
ya begitu sifatnya”, “Biasa pengecut.”,
“Ini disinformasi!vRoy Suryo patut diduga
sejak awal telah berniat meneruskan meme tersebut dengan maksud yg tidak
menyenangkan thdp Kepala Negara (mengejek atau menghina). Jaksa tinggal cari
pembuktian itu. Sikatt!!!.” Ingin mengkritik pemerintah secara konstruktif,
silahkan sepanjang cara-caranya benar serta sehat, namun mengapa harus dengan cara-cara
yang tidak kreatif semacam menista agama orang lain?
Berlanjut pada pemberitaan bertajuk
“Roy Suryo Polisikan 3 Orang Ini, Muannas Alaidid: Akal-akalan, Modusnya Selalu
Playing Victim Setelah Gaduh Takut Ditangkap”, 17 Juni 2022. Ketua Cyber
Indonesia, Muannas Alaidid menyoroti soal Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga
(Menpora) Roy Suryo yang melaporkan 3 akun media sosial pengunggah pertama foto
editan Patung Buddha menjadi wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal tersebut
ditanggapi Muannas Alaidid melalui akun Twitter pribadinya, dengan mengatakan
bahwa aksi Roy Suryo hanyalah akal-akalan saja. Muannas Alaidid juga menyebut
bahwa modus Roy Suryo selalu melimpahkan kesalahannya kepada orang lain. “Roy Suryo akal2an, modusnya selalu begitu
‘playing victim’,” ucap Muannas Alaidid melalui akun Twitter pribadinya.
Kemudian, Muannas Alaidid juga
mempertanyakan bahwa setelah kegaduhan terjadi, mengapa ada 3 akun sekaligus
yang dilaporkan. “Setelah gaduh takut
ditangkap dia lapor duluan & knp 3 akun bukan 1 akun kalo mmg yg disoal
pengunggah pertama kali,” imbuhnya. Sehingga, tidak konsisten terhadap
pernyataan Roy Suryo sang penista agama, lewat pengacaranya yang bersikukuh
bahwa yang menyebarluaskan tidak tidaklah bisa dipidana karena sekadar menyebarkan
konten yang berisi penghinaan, penghasutan, maupun penistaan, dirinya bukan selaku
pembuat konten. Secara logika paling awam sekalipun, kita mengetahui bahwa
creator atau pembuat konten hanyalah satu orang, tidak mungkin tiga orang.
Yang paling konyol dari semua
tingkah Roy Suryo sang penista agama, pengacaranya yang bernama Pitra Romadhoni
Nasution menuntut agar umat Buddhist untuk memaafkan Roy Suryo sang penista
agama, namun disaat bersamaan Pitra Romadhoni Nasution dengan atas nama Roy
Suryo sang penista agama, justru mencoba mempidanakan dan tidak memaafkan
mereka yang ia laporkan—praktik “berwajah ganda” alias ber-“standar ganda”,
pamer kemunafikan. Pitra Romadhoni Nasution pengacara Roy Suryo sang penista
agama, seolah-olah berkata, “Umat
Buddhist diajarkan Sang Buddha untuk bersikap pemurah penuh maaf dan memaafkan,
namun kami, penista Agama Buddha, tidak perlu memaafkan orang lain juga tidak
perlu jadi pemaaf”. Besar kemungkinan, Roy Suryo sang penista agama telah
disesatkan oleh pengacaranya sendiri yang bernama Pitra Romadhoni Nasution,
sehingga menjadi “kesetanan” dengan melaporkan pihak lain dengan tanpa maaf
bila melaporkan dimaknai sebagai tidak memaafkan.
Sementara itu, Roy Suryo telah
melayangkan laporan ke Polda Metro Jaya terhadap pengunggah pertama foto editan
Patung Buddha menjadi wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu diungkapkan
Roy Suryo melalui cuitan di akun Twitter pribadinya. Ia mengatakan bahwa telah
melaporkan pelaku pengunggah pertama foto editan atau meme Patung Buddha. “Malam
ini (Kamis, 16/06/22) Kuasa Hukum saya, Pitra Romadhoni Nasution SH MH, membuat
LP ke Polda Metro Jaya utk Para Pengunggah Meme Awal sesungguhnya -yg digoreng2
BuzzerRp- seolah2 Editan saya," ucap Roy Suryo melalui akun Twitter
pribadinya. Sudah tahu konten berisi penistaan, mengapa ikut-ikutan menyebarluaskan?
Artinya, niat batin Roy Suryo sang penista agama ialah memang untuk memancing
di air keruh. Kini, sejarah juga telah mencatat, Pitra Romadhoni Nasution merupakan
pengacara penista agama yang turut serta mendukung praktik penistaan agama
pelaku penista agama.
Lanjut, Roy Suryo juga
mengungkapkan permintaan maafnya lantaran telah membuat heboh. Serta Roy Suryo
juga meminta maaf terkait cuitannya yang diduga menghina penganut agama Buddha.
“Namun demikian secara gentle saya tetap Mohon maaf, khususnya kpd Ummat
Buddha,” imbuh Roy Suryo. TIDAK, TIDAK TERMAAFKAN. Berani berbuat, berani
bertanggung-jawab, YOU ASKED FOR IT! Anda
menuntut umat Buddhist untuk toleran dan pemaaf, namun apa perilaku mereka
terhadap umat Buddhist, toleran dan pemaafkah?
Dalam berita lain bertajuk “4
Alasan Roy Suryo Harus Diproses Pidana Karena Unggah Foto Stupa Borobudur
Berwajah Jokowi”, 17 Juni 2022, masih seputar unggahan Roy Suryo tentang foto
stupa Borobudur berwajah Jokowi, banyak yang menyerukan agar ia dipidanakan
karena dinilai menghina agama Buddha. Pegiat media sosial Rudi Valinka
mengomentari terkait unggahan Roy Suryo tentang foto stupa Borobudur berwajah
Jokowi, menurutnya ia tentu harus dipidana. “Orang ini harus diproses pidana karena: 1. Berulang2 kali. 2. Punya
niat jahat. 3. Paham akan UU ITE tapi dia lakukan juga. 4. Polisi harus
buktikan ‘keadilan’ di kasus minoritas terlindungi,” cuitnya.
Hal tersebut Rudi Valinka
sampaikan terkait pemberitaan bahwa Roy Suryo akan dipolisikan karena dianggap
menodai agama Buddha, ia pun membeberkan 4 alasan tersebut.
Roy Suryo dinilai mempunyai
niat jahat dan ia tentu saja paham akan UU ITE, namun mengabaikannya dan tetap
mengunggah meme Borobudur. Rudu Valinka juga meminta agar polri memberikan
atensi maksimal dan membuktikan bahwa keadilan di kasus minoritas terlindungi. “Mohon pak @ListyoSigitP berikan atensi
maksimal jangan masuk angin. @CCICPolri,” pungkasnya yang dikutip dari
Twitter @kurawa. Namun kami, para umat Buddhist, tidak perlu mengemis-ngemis kepada
polisi yang selama ini lebih banyak mengabaikan tanggung-jawab serta
menyalah-gunakan kekuasaan monopolistiknya dalam penegakan hukum pidana, karena
umat Buddhist punya mekanisme bernama Hukum Karma, dimana pelakunya tidak akan
mampu bersembunyi sekalipun melarikan diri ke dalam gua di pulau terpencil
ketika Karma Buruknya berbuah pada sang penanam Karma Buruk lewat perbuatan,
ucapan, maupun pikiran.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.