Jangan Bersikap Seolah-Olah Tidak Ada Jalan atau Cara Lain untuk Menyelesaikan Masalah Selain dengan Cara Kekerasan Fisik
Seri Artikel Sosiologi : EQ artinya Empati
Question: Ada diberitakan, seorang perwira di kepolisian (Indonesia)
berpangkat jenderal, tapi tega melanggar hukum (yang semestinya ia tegakkan)
dengan merampas hak hidup orang lain hanya karena alasan “cemburu buta” karena istrinya
dilecehkan oleh korban, bahkan para perwira dan anggota kepolisian lainnya pun
turut melindungi sang pelaku pembunuhan dari aksi kejahatannya agar tidak terungkap
oleh publik dan bisa lolos dari penghukuman.
Mengapa masyarakat bahkan aparatur penegak hukum kita, selalu saja corak dan watak budayanya ialah mengatasi segala masalah dengan cara kekerasan fisik seperti ancaman penganiayaan hingga pembunuhan, bahkan sekalipun itu seorang polisi sehingga kami selaku warga tidak pernah nyaman ketika berada dekat-dekat dengan seorang polisi alih-alih merasa aman dan terlindungi (polisi arogan bak “preman ber-pistol”)? Bukankah bangsa kita, Indonesia, adalah bangsa yang “agamais” dimana warga dan penduduknya selama ini rajin beribadah?
Brief Answer: Justru karena itulah, karena ajaran agama mereka
memang seperti itu diajarkan, menyelesaikan segala masalah dengan cara
kekerasan fisik dan pembunuhan, cara-cara “instan” yakni membungkam dan
pembungkaman terhadap pihak-pihak yang tidak disukai ataupun yang tidak sejalan.
Misi misionaris yang murni, ialah gerakan “ahimsa”, alias tanpa kekerasan, tanpa pembunuhan, tanpa
pertumpahan darah, tanpa intimidasi, tanpa merugikan, tanpa melukai, tanpa
ancaman, tanpa arogansi, tanpa diktatoriat.
Bila kiblatnya ialah kekerasan, maka tidak mengherankan
bila budaya suatu bangsa tersebut ialah fenomena sosialnya akan diwarnai rona penuh
kekerasan, dimana kekerasan fisik selalu dikemukakan dan dikedepankan dalam menghadapi
setiap tantangan maupun fenomena sosial apapun masalahnya. Itulah ketika, umat
manusia justru merosot serta terperosok ke dalam sifat-sifat “hewanis”, “premanis”,
“predatoris”, dan “barbariknis” yang mencerminkan mentalitas “anti beradab”—alias
belum beradab, masih “biadab”.
PEMBAHASAN:
Bahkan, dogma berisi perintah untuk
merampas hak hidup manusia lainnya, dianggap sebagai misi suci jalan menegakkan
“kerajaan Tuhan”, menjadi bagian dari ibadah dan pembuktian iman, di-halal-kan,
dikampanyekan, dipromosikan—alih-alih di-tabu-kan, di-haram-kan, ataupun
dilarang—serta diberi iming-iming imbalan “bidadari di surga”, bahkan diberi
kemasan “Agama SUCI”, salah satunya berupa perintah-perintah sebagai berikut: [“perintah”
bermakna, wajib dilaksanakan, kepatuhan secara mutlak bagi para umat pemeluknya]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH',
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi Nomor 2533]
- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan)
tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap
mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam
dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana
saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan
janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka
memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka
bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas
dizolimi dengan pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar.
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”.
Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.
[Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang,
alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang
sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi
orang-orang untuk dibunuh?]
Hanya karena masalah keyakinan
keagamaan orang lain, alih-alih cukup berfokus pada agama dan keyakinan diri sendiri
yang dipeluk, justru menghakimi keyakinan warga lainnya seolah-olah masing-masing
tidak punya hak untuk bebas memilih keyakinan, sekalipun juga keyakinan
bersifat privat dan personal, konsekuensinya ialah berupa ancaman dibunuh dan
pembunuhan. Maka, menjadi dapat kita maklumi bila budaya yang dilestarikan
ialah corak watak “sedikit-sedikit bunuh, sedikit-sedikit bunuh, dan sedikit-sedikit
bunuh”, ketika merasa cemburu, iri hati, tersinggung karena disinggung,
persinggungan pendapat, tersenggol / terserempet sedikit, ataupun bentuk-bentuk
ragam emosi lainnya, maka akan diselesaikan oleh pola paradigma serupa, yakni
bungkam orang-orang yang tidak kita sukai atau tidak sependapat alias yang berseberangan
dengan kita, dengan cara membunuhnya.
Mengapa sikap-sikap demikian, ialah salah dan tercela? Karena
mereka bersikap seolah-olah tidak ada jalan atau cara lain untuk menyelesaikan
masalah—cerminan
mentalitas yang kering dan miskin dari kreativitas, inovasi, ataupun sifat-sifat
seperti toleransi, kesabaran, tenggang-rasa, keluhuran, maupun kewelas-asihan
karakter, dimana nyawa dan hidup setiap makhluk hidup tidak diberikan
penghormatan ataupun penghargaan, sama artinya mencabut akar hidup diri sang
pelaku kekerasan itu sendiri. Dengan tidak memperlakukan individu lain sebagai “objek”,
barulah cara menghargai harkat dan martabat serta eksistensi diri kita sendiri
sebagai seorang “subjek”.