Kejujuran adalah Barang Langka, adalah Tuntutan yang Berlebihan Meminta Orang Lain untuk Berbaik Sangka kepada setiap Orang Asing
Terdapat seorang tokoh, yang mengemukakan bahwa jika kita memiliki sebuah kendaraan bermotor dan hendak memperbaikinya di bengkel reparasi, sekalipun itu bengkel langganan, kita sebagai pemilik kendaraan sebaiknya sedikit-banyak mengetahui hal-hal terkait kendaraan bermotor milik kita, agar tidak mudah dibodohi serta diperdaya oleh pihak montir ataupun pihak bengkel. Apakah itu artinya, sang tokoh telah melakukan “stigma negatif” kepada semua bengkel dan semua profesi montir? Justru, kita memaklumi nasehat demikian, dan mengakuinya sebagai nasehat yang bijak, agar kita selaku pengguna jasa dan pembayar tarif jasa service kendaraan menjadi lebih waspada dan mampu menjaga diri dengan baik dari segala jenis modus tipu-daya dan ketidakjujuran yang terselubung.
Menjadi tidak etis, ketika yang
mencoba melarang “stigma negatif” kepada masyarakat pengguna jasa, justru ialah
kalangan profesi montir itu sendiri—tentulah itu adalah larangan yang tidak
patut, mengingat sifatnya “conflict of
interest” dengan kepentingan profesinya sendiri selaku montir.
Ber-“negative thinking”, adalah hak asasi setiap warga, tiada siapapun yang
berhak melarang warga lainnya untuk menjaga diri baik-baik dengan memakai
haknya untuk “negative thinking”.
Seperti kata anekdot, “isi hati orang, siapa yang tahu?” Kenal puluhan tahun
dengan teman dekat sekalipun, tidak menjamin kita mengetahui isi hati dan wajah
asli yang bersangkutan. Manusia ialah makhluk “persona” (“persona”
artinya “topeng”), dimana langka dapat kita jumpai manusia yang “otentik”.
Sang montir hanya bisa
membuktikan bahwa dirinya adalah montir maupun pihak pemilik bengkel yang
berintegritas, lewat bukti konkret bekerja dengan etika bisnis dan etika
profesi yang konsisten—namun, sang montir maupun pihak pemilik bengkel tidak
berhak untuk melarang siapapun, terlebih calon konsumen barunya, untuk ber-“negative thinking” terhadap diri mereka,
terlebih bagi kalangan pemilik kendaraan yang telah pernah memiliki banyak
pengalaman buruk memakai jasa montir maupun bengkel yang tidak jujur dan tidak
bertanggung-jawab terhadap konsumennya.
Tidaklah dapat dibenarkan bila
suatu kalangan profesi “belum apa-apa sudah menuntut dipercaya” oleh calon
pengguna barang / jasa. Terlagipula, kembali pada contoh ilustrasi di atas,
pemilik kendaraan mendatangi montir atau bengkel dimaksud untuk reparasi
kendaraannya, sejatinya sudah merupakan sebentuk “positive thinking” itu sendiri, sehingga tidaklah para proporsinya
bila sang montir atau pemilik bengkel menuntut secara berlebihan. Yang disebut
dengan “negative thinking” sepenuhnya
ialah, ketika sang pemilik kendaraan tidak pernah lagi mau menghubungi ataupun
berhubungan dengan bengkel maupun montir manapun.
Terdapat seorang agen properti
yang bersikap arogan, mewajibkan penulis selaku calon pembeli properti yang ia
pasarkan dan tawarkan lewat iklan di internet, untuk ber-“positive thinking” terhadap profesi dirinya maupun SELURUH profesi
agen properti, dan melarang penulis untuk sekadar memakai hak menjaga diri dan
berwaspada diri dengan ber-“negative thinking”,
semata karena adanya “conflict on
interest” terhadap kepentingan sang “agen arogan bernama Puput Fudrianti”
yang baru akan mendapatkan komisi jual-beli bila ada yang membeli properti yang
ia pasarkan, dimana bila terdapat masalah dikemudian hari, maka konsumen yang
akan menderita kerugian ratusan juta hingga miliaran Rupiah dimana penjual yang
akan dituntut oleh pembeli dan sang agen semata “meminta maaf”, tetap saja
menikmati komisi, lalu “hit and run”.
Sang “agen arogan bernama Puput
Fudrianti” menuntut penulis untuk “survei kucing dalam karung”, dengan tidak
mau menjawab pertanyaan penulis seperti apakah objek properti yang dipasarkan
pihak developer telah dibangun, uang tanda jadi dan jual-beli apakah dibayar
langsung kepada pemilik tanah, tanda-tangan akta jual-beli antara pembeli dan
pihak siapa (dijawab “bukan dengan saya-lah, tapi dengan notaris”, sekalipun
dirinya pastilah mengetahui bahwa banyak kasus sengketa produk properti, telah
ternyata pemilik tanah dan pihak developer yang membangun dan memasarkan produk
properti adalah dua pihak yang berbeda), dalam tawaran ia menyatakan “uang
tanda jadi” tidak dapat dikembalikan namun dalam komunikasi via telepon ia
menyatakan “uang tanda jadi” dapat dikembalikan kepada konsumen yang tidak jadi
membeli, dan segala arogansi lainnya, tanpa mau menyadari ataupun menaruh
hormat dan menghargai terhadap kecemasan ataupun kekhawatiran calon pembeli
terkait uang jual-beli yang tidak menyerupai harga jual-beli kacang goreng
maupun jual-beli bahan bangunan, namun jual-beli produk properti senilai
ratusan juta hingga miliaran Rupiah hasil jirih-payah bekerja banting-tulang
mencari nafkah serta mengumpulkannya selama puluhan tahun.
Terlebih, kita hidup
ditengah-tengah bangsa yang moralitasnya amat sangat sakit serta rusak, dimana
berbuat dosa maupun maksiat seolah bukan hal tabu serta dapat
dikompromikan—sementara itu terhadap kaum “NON” bersikap intoleran dan
radikal—lewat dogma “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN /
PENEBUSAN DOSA”, seolah-olah “rugi bila tidak berbuat dosa” agar iming-iming “too good to be true” tersebut tidak
mubazir, sekalipun kita ketahui, bahwa hanyalah seorang pendosa yang
membutuhkan pengampunan / penghapusan dosa. Perhatikanlah, bagaimana
mungkin kita hidup berbaik sangka berdampingan dengan para kalangan pendosa
berikut:
“Malaikat menemuiku dan
memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak
mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka
saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab:
‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
“Kabar baik” bagi pendosa yang
tidak takut berbuat dosa, adalah “kabar buruk” bagi korban. “Kabar baik berupa
penghapusan dosa” bagi pelaku usaha nakal, kerupakan “kabar buruk” bagi konsumen
pengguna jasa maupun barang. Jadilah, umat manusia yang memeluk ideologi korup
semacam penghapusan / pengampunan dosa demikian, alih-alih “humanis”, justru
menjelma “premanis”, “hewanis”, “predatoris”, dan “setanis”—penulis menyebutnya
sebagai “Agama DOSA”, semata karena mempromosikan dan meng-kampanyekan ajaran
yang memandang remeh bahaya dibalik dosa bagi pelaku maupun menyepelekan dampak
dari kejahatan terhadap para korban sekaligus menyepelekan perasaan korban.
Dahulu kala, sebelum “agama
samawi” lahir, tiada penjahat maupun kriminil ataupun kalangan penipu yang
yakin akan masuk alam surgawi setelah ajal tiba menjemputnya. Kini, iming-iming
ideologi korup yang “too good to be true”
justru membuat para pendosa berbondong-bondong dan berlomba-lomba memproduksi
dosa secara demikian produktif. Alam surgawi pun menyerupai tong sampah bagi
para pendosa, bangga mengoleksi segudang dosa alih-alih merasa takut ataupun
malu. Itu bertolak-belakang dengan “Agama KSATRIA”, yang mengajarkan pada para
umatnya sekalipun telah pernah atau bisa jadi akan berbuat keliru dan salah,
alih-alih melarikan diri, para ksatria akan memilih untuk bertanggung-jawab
terhadap para korbannya.
Sebaliknya, para umat “Agama
DOSA”, setiap hari beribadah setiap harinya pula berdoa memohon penghapusan
dosa, tiap hari raya pun mengumbar serta mengobral iming-iming “janji surgawi”
pengampunan dosa, bahkan ketika sanak-keluarganya meninggal dunia pun tetap
mengumbar doa penghapusan dosa bagi almarhum. Lantas, bagaimana dengan nasib
para korban dari para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut? Mengapa “agama
samawi” justru miskin keadilan bagi kalangan korban, seolah-olah Tuhan lebih
PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa”?
Sang “agen arogan bernama Puput
Fudrianti” justru memaksa, memanipulasi, serta menuntut penulis untuk berbaik
sangka terhadap semua “manusia predator tidak takut dosa” (homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya)
tersebut? Sang “agen arogan bernama Puput Fudrianti” sendiri merupakan umat
pengikut “agama hapus dosa” (pemakai jilbab), yang tentunya menu ibadah
sehari-harinya ialah memohon penghapusan dosa, dosa akibat merugikan warga lain
tentunya. Bagaimana mungkin, yang bersangkutan mengharap dan menuntut agar
orang lain berbaik sangka terhadap sang “pendosa penjilat penuh dosa”? Ingat,
hanya pendosa yang butuh penghapusan / pengampunan dosa.
Ini adalah negara hukum, bukan
negara “berbaik sangka”, seolah-olah dunia ini kekurangan penipu, dan
seolah-olah berbagai penjara kita di Indonesia selalu sepi oleh penghuni dimana
fakta selalu berakta sebaliknya, sepanjang tahun “over capacity” para narapidana. JIka “berbaik sangka” adalah
kewajiban asasi, maka tidak perlu para pengusaha bersepakat dengan tanda-tangan
kontrak “hitam diatas putih”, tidak perlu juga calon pembeli diwajibkan
membayar uang tanda jadi—artinya “agen arogan bernama Puput Fudrianti” telah
ber-melakukan standar ganda dengan ber-“negative
thinking” terhadap setiap calon pembeli dengan mewajibkan mereka membayar
uang tanda-jadi atau uang DP (down
payment) bila hendak membeli dan memesan.
Berbekal “negative thinking”, akhirnya terkuak modus kejahatan dibalik topeng
“malaikat”—semua penipu selalu berkedok sebagai “malaikat” yang baik hati. Sejak
bulan Juli 2022 tagar #JanganPercayaACT trending di Twitter setelah seorang
netizen mengunggah cuitan mengenai pemberitaan majalah Tempo yang mengungkap
dugaan penyelewengan di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT, merupakan organisasi “nirlaba”
yang bergerak dibidang sosial-kemanusiaan dan kebencanaan, didirikan tahun 2005.
Mengenai uang, kita harus
berhati-hati, bahkan sekalipun itu untuk tujuan berdana / berdonasi,
sebagaimana pemberitaan tertangga 4 Juli 2022 dengan tajuk “Waduh! Lembaga ACT
Aksi Cepat Tanggap Jadi Aksi Cepat Tilep, Diduga Alirkan Dana Donasi ke Teroris
dan Perkaya Para Petingginya”, sumber https:// www. tvonenews .com /berita/nasional/51430-waduh-lembaga-act-aksi-cepat-tanggap-jadi-aksi-cepat-tilep-diduga-alirkan-dana-donasi-ke-teroris-dan-perkaya-para-petingginya,
netizen pun berburuk sangka:
Melalui akun Twitter
@ayang_utriza, seorang netizen membagikan cuitan yang mendesak Polri,
Kemenkumham dan Kemendagri untuk segera bertindak dengan tegas terkait
penyelewengan dana donasi yang dilakukan Lembaga ACT.
Bukan hanya calon pembeli
produk properti yang harus bersikap cerdas, menjadi donatur pun harus pula
cerdas. Dalam berita bertajuk “4 Pengurus Yayasan ACT Ditetapkan Tersangka
Kasus Penggelapan Donasi CSR: Gajinya Ratusan Juta”, sumber : https:// sumsel.suara
.com /read/2022/07/26/082145/4-pengurus-yayasan-act-ditetapkan-tersangka-kasus-penggelapan-donasi-csr-gajinya-ratusan-juta,
diakses tanggal 04 Agustus 2022, diberitakan:
Bareskrim Polri menetapkan
empat pengurus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai tersangka tindak pidana
dugaan penggelapan dana donasi umat dan dana CSR Boeing untuk ahli waris korban
kecelakaan Pesawat Lion Air JT-610.
Wakil Direktur Tindak Pidana
Ekonomi Khusus (Wadireksus) Bareskrim Polri Kombes Pol. Helfi Assegaf menjelaskan
total dana yang diterima ACT dari Boeing kurang lebih Rp138 miliar kemudian
digunakan untuk program yang telah dibuat kurang lebih Rp103 miliar, sisanya
Rp34 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya.
“Yang digunakan tidak sesuai
peruntukannya adalah pengadaan armada truk, kurang lebih Rp2 miliar, program
'big food bus' Rp2,8 miliar, pembangunan Pesantren Peradaban Tasikmalaya Rp8,7
miliar,” kata Helfie.
Peruntukan lainnya yang tidak sesuai, yakni untuk Koperasi Syariah 212 kurang lebih Rp10 miliar, dana
talangan CV CUN Rp3 miliar, dan dana talangan PT MBGS Rp7,8 miliar sehingga
totalnya Rp 34,6 miliar (pembulatan dari Rp34.573.069.200).
Selain itu, kata Helfie, para
pengurus menyalahgunakan dana Boeing untuk gaji para pengurus.
Helfie mengatakan saat ini
penyidik masih berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan (PPAT) untuk selanjutnya melakukan pelacakan aset atas dana-dana
yang diselewengkan pengurus.
Keempat pengurus ACT yang
ditetapkan sebagai tersangka, yakni Ahyudin saat tindak pidana terjadi menjabat
sebagai Pendiri, Ketua Pengurus / Presiden Yayasan ACT Periode 2005-2019,
kemudian sebagai Ketua Pembina Tahun 2019- 2022.
Tersangka kedua, Ibnu Khajar
sebagai Ketua Pengurus Yayasan ACT 2019 hingga saat ini. Hariyana Hermain
sebagai Pengawas yayasan ACT Tahun 2019, kemudian sebagai Anggota Pembina 2020
sampai saat ini, dan Novariadi Imam Akbari sebagai Anggota Pembina Yayasan ACT
Tahun 2019 - 2021, kemudian sebagai Ketua Pembina Periode Januari 2022 - saat
ini.
Selain dana CSR Boeing, pengurus
melakukan pemotongan donasi dana umat yang dikelolanya sebesar 20 sampai 23
persen. Nilai ini menyalahi aturan Kementerian Sosial yang mengatur besaran
potongan sebagai lembaga pengumpul uang dan barang sebesar 10 persen.
Besaran gaji yang diterima
pengurus ACT untuk Ahyudin sebesar Rp400 juta, Ibnu Khajar Rp150 juta, Hariyana
Hermain Rp50 juta, dan Novariadi Rp100 juta.
Kepala Biro Penerangan
Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan
menyebutkan keempat tersangka dijerat dengan pasal berlapis, yakni pasal tindak
pidana dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan
transaksi elektronik dan tindak pidana informasi dan/atau tindak pidana yayasan
dan/atau tindak pidana pencucian uang sebagai mana dimaksud dalam pertama dalam
Pasal 372 KUHP dan Pasal 374 KUHP dan Pasal 45 a ayat (1) juncto Pasal 28 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang ITE.
Para tersangka juga dijerat Pasal
170 juncto Pasal Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan Pasal 3,4 dan 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang,
dan Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.
“Ancaman penjara untuk TPPU 20
tahun dan penggelapan 4 tahun,” kata Ramadhan.
Berita senada dilansir Media
Indonesia dalam https:// mediaindonesia .com /opini/505510/act-penyelewengan-donasi-dan-terorisme,
diakses tanggal 04 Agustus 2022, mengungkapkan:
Aksi Cepat Tanggap atau lebih
dikenal dengan ACT tengah menjadi sorotan. Bermula dari Majalah Tempo edisi 2
Juli 2022 mengambil tema kantong bocor dana umat, lembaga filantropi Aksi Cepat
Tanggap limbung karena dugaan penyelewengan.
Pendiri dan pengelolanya
ditengarai memakai donasi masyarakat untuk kepentingan pribadi. Sontak, laporan tersebut menjadi topik banyak dibicarakan di media
sosial. Dari situ, muncul tagar #janganpercayaACT yang perbincangannya lantas
terus bergulir di linimasa.
Ketidakpercayaan bisa akan membesar dan tergeneralisasi
terhadap lembaga lainnya. Yang mungkin pada puncaknya akan menggiring
masyarakat tidak lagi percaya kepada lembaga pengumpul donasi dan kemanusiaan.
Padahal orang Indonesia yang
pemurah mendapat pengakuan pula dari World Giving Index (WGI). Laporan WGI pada
2021 yang dirilis oleh Charities Aid Foundation menempatkan Indonesia sebagai
negara paling dermawan di dunia. Dari hasil penelitian, 8 dari 10 orang
Indonesia menyumbangkan uang pada 2021.
Dalam laporan Tempo, diduga
saat Ahyudin menjadi petinggi ACT memperoleh gaji sebesar Rp250 juta setiap
bulan, sementara posisi di bawahnya seperti Senior Vice President digaji Rp200
juta per bulan, Vice President Rp80 juta, dan Direktur Eksekutif Rp50 juta.
Ahyudin saat menjabat sebagai
petinggi difasilitasi tiga kendaraan mewah, seperti Toyota Alphard, Misubishi
Pajero Sport, dan Honda CR-V. Majalah Tempo juga menemukan dugaan dana ACT
yang digunakan untuk kepentingan pribadi Ahyudin berupa keperluan rumah.
Pusat Analisis dari Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkuat dugaan penyelewengan di
tubuh ACT. Ketua PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan pihak sudah menganalisa
aliran dana dari ACT. PPATK mengungkap terjadi perputaran dana atau keluar
masuk uang sekitar Rp1 triliun setiap tahun di Yayasan Aksi Cepat Tanggap
(ACT).
PPATK menduga bahwa pengalangan
dana yang dilakukan ACT tidak secara langsung disalurkan melainkan dikelola
dulu di dalam bisnis tertentu. Dan di situ tentunya ada revenue ada
keuntungan. Bahkan PPATK menemukan dana ke sebuah perusahaan yang diduga
dimiliki langsung salah satu pendiri ACT.
Bahkan diungkap Ivan, ditemukan
transaksi yang masif. Salah satu temuan PPATK, terdapat transaksi ke salah
satu perusahaan sekitar Rp30 miliar yang diduga dimiliki salah satu pendiri ACT.
Sangat wajar, ketika publik menduga bahwa ACT mengelola
donasi dari masyarakat tidak semata untuk kepentingan kemanusiaan. Apalagi laporan-laporan PPATK ada yang terkait dengan tindak pidana
terorisme. Aksi terorisme tentu jauh dari kategori kegiatan kemanusiaan.
Selama ini mendengar pejabat
korupsi, kita sudah risih. Ini uang umat yang diselewengkan. ACT sendiri tidak
membantah gaji selangit para petingginya. Bahkan, gaji tinggi dianggap layak
karena ACT sudah level internasional.
Terkait dugaan penyalahgunaan,
Presiden ACT Ibnu Khajar mengklaim laporan keuangan lembaga amalnya selalu
mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari auditor. Ibnu mengaku, ACT disiplin melakukan audit keuangan sejak 2005. Audit
tersebut, kata dia, dilakukan setiap tahunnya sampai 2020.
Untuk itulah, perlu pemerintah
untuk turun tangan untuk membenahi polemik penyalahgunaan di tubuh lembaga
amal dan donasi. Kementerian Sosial telah mencabut izin ACT terkait
kegiatan pengumpulan uang dan barang. Ini menegaskan bahwa memang ada persoalan
di tubuh ACT. Upaya luar biasa PPATK juga telah memblokir ratusan rekening
milik ACT untuk sementara di 33 jasa penyedia keuangan karena dugaan
penyalahgunaan dana itu.
Namun hal itu jelas belum
cukup. Perlu upaya luar biasa. Karena audit saja ternyata dinilai tidak bisa
mendeteksi penyelewengan jika berkaca pada ACT yang setiap tahun laporan
keuangannya selalu WTP. Kalau memang ada unsur pidana, baik itu terkait
dengan penyelewenangan dana maupun dugaan pidana terorisme, perlu rasanya pembuktian
hingga ke meja hijau.
Karena contoh penggunaan dana
amal untuk terorisme pernah terjadi di negeri ini. Untuk membuat terang benderang, tentu kasus ini harus diusut tuntas. Tidak
hanya ACT, kalau memungkinkan semua lembaga sosial-kemanusiaan diaudit.
Apalagi ACT juga mengaku selalu bekerja sama dengan lembaga-lembaga lainnya.
Bikin regulasi yang mampu
membuat dana-dana umat tersebut digunakan digunakan semaksimal-maksimalnya
untuk kepentingan yang memerlukan. Jika dibiarkan semakin berlarut-larut,
spekulasi masyarakat juga semakin berkembang. Hal ini bisa memengaruhi minat
masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Simak juga berita berjudul “Dana
ACT Disebut-sebut Ngalir ke Jaringan Terorisme, Ini Kesaksian Eks Teroris
Pendiri Negara Islam Indonesia”, 6 Juli 2022, sumber : Pojoksatu. Id, diakses
tanggal 04 Agustus 2022, diungkapkan pula:
Tokoh atau pendiri Negara Islam
Indonesia (NII) Ken Setiawan memberikan kesaksian terkait dana Aksi Cepat
Tanggap (ACT ) disebut-sebut mengalir ke jaringan terorisme.
Mantan teroris itu mengatakan
jika dana ACT mengalir ke jaringan terorisme, maka hal tersebut merupakan
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh petinggi ACT.
“Ini tindakan kejahatan atas
nama manusia dan agama, dana donasi untuk mendukung kegiatan teroris,” kata
Ken dihubungi Pojoksatu.id mengomentari aliran dana ACT mengalir ke terorisme
ini, Rabu (6/7/2022).
Ken menilai, penyelewengan
donasi dari masyarakat yang disalurkan oleh donatur kepada ACT kejahatan luar
biasa.
Bahkan, Ken menyebutkan, bahwa
apa yang dilakukan petinggi ACT menyelewengkan dana sama halnya meninstakan
agama. Pasalnya, petinggi ACT melakukan hal tersebut atas nama kemanusiaan dan
agama.
“Penyelewengan ACT Adalah
penistaan agama yang sesungguhnya dilakukan oleh orang-orang ACT,” tutur
pendiri Negara Islam Indonesia (NII) ini.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi dana Aksi Cepat Tanggap
(ACT) yang diduga mengarah ke jaringan teroris Al Qaeda.
Dugaan ini disimpulkan PPTAK
setelah mengkaji data ACT dan menemukan nama 19 orang yang ditangkap oleh
kepolisian di Turki karena diduga terkait dengan Al Qaeda.
“Berdasarkan hasil koordinasi
dan hasil kajian dari database yang PPATK miliki itu ada yang terkait dengan
pihak, ini masih diduga ya, terkait Al Qaeda,” ujar Kepala PPATK Ivan
Yustiavandana, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Untuk memastikannya, Ivan
mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji lebih dalam terkait dengan aliran dana
yang digalang ACT tersebut.
Lebih lanjut, selain aliran
dana yang mengarah ke orang-orang yang diduga terlibat jaringan teroris, PPATK
juga menemukan beberapa transaksi dilakukan per individu oleh petinggi dari ACT
ke beberapa negara seperti Turki, Bosnia, Albania, dan India.
“Jadi beberapa transaksi
dilakukan secara individual oleh para pengurus,” ucapnya.
“Kemudian ada juga salah satu
karyawan yang melakukan transaksi selama periode 2 tahun ke negara-negara
berisiko tinggi terkait terorisme,” sambung Ivan soal dana ACT disebut mengalir
ke jaringan terorisme ini.
Apakah pengajalan belum cukup
mengajarkan kita untuk baik-baik menjaga diri dan waspada terhadap sesama
manusia, terlebih terhadap orang asing, terkait uang, terlebih-lebih uang
senilai ratusan juta hingga miliaran Rupiah? Simak berita bertajuk “Kasus
Penyelewengan Dana ACT, Mahfud MD Merasa Tertipu Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merasa tertipu dengan ulah Aksi Cepat
Tanggap ketika lembaga tersebut dilaporkan telah menyelewengkan donasi
masyarakat”, https:// kabar24.bisnis .com /read/20220705/15/1551729/kasus-penyelewengan-dana-act-mahfud-md-merasa-tertipu,
diakses tanggal 04 Agustus 2022, telah ternyata:
Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta Kepolisian dan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) segera mengusut dugaan penyelewengan
dana masyarakat yang dilakukan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Lebih lanjut, ia pun merasa
tertipu dengan ACT yang sempat dianggapnya sebagai organisasi yang aktif
menghimpun dana untuk kepentingan kemanusiaan.
Mahfud MD menulis dalam akun
Twitternya @mohmahfudmd, Selasa (5/7/2022), bahwa dirinya pernah memberikan
endorsement kepada ACT pada 2016/2017.
“Pd 2016/2017 sy prnh memberi
endorsement pd kegiatan ACT krn alasan pengabdian bg kemanusiaan di Palestina,
korban ISIS di Syria, dan bencana alam di Papua. Tp jika ternyata dana2 yg
dihimpun itu diselewengkan maka ACT bkn hny hrs dikutuk tp juga hrs diproses sr
hukum pidana,” tulisnya.
Saat meminta endorsement, ia
menceritakan, pihak ACT tiba-tiba datang ke kantornya dan menodongnya untuk
memberikan sepatah dua kata untuk lembaga tersebut. Tak hanya itu saja,
endorsement juga pernah ia berikan ketika pihak ACT menemuinya ketika dirinya
baru selesai memberi khotbah Jum'at di sebuah masjid di Sumatra.
Sebelumnya, ACT menjadi
perbincangan karena kasus penyelewengan dana umat yang terbongkar oleh
majalah Tempo. Dengan adanya dugaan tersebut Bareskrim Polri mengatakan tahapan
untuk kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) terkait masalah penyelewengan dana umat
baru masuk tahap penyelidikan.
Tempo juga memuat soal gaji
petinggi ACT yang mencapai Rp250 juta hingga deretan fasilitas mobil mewah.
Bahkan ada dugaan dana umat tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi
pendiri dan pemilik ACT. Selain itu, PPATK menemukan dugaan aliran dana
mencurigakan ACT.
Lembaga kemanusiaan ini ramai
jadi perbincangan lantaran diduga menyelewengkan dana umat. Banyak muncul tagar
#AksiCepatTilap hingga #JanganPercayaACT.
"Iya ada (transaksi
mencurigakan) bahkan sudah ada Hasil Analisisnya juga sejak lama," kata
Ivan saat dihubungi, Selasa (5/7/2022).
Ivan mengungkapkan terdapat
dugaan aktivitas terlarang yang mengarah kepada aksi terorisme. “Transaksi mengindikasikan
demikian (terorisme) namun perlu pendalaman oleh penegak hukum terkait,”
ujarnya.