Tiada yang Lebih Membuat Pesimis Kehidupan ini, daripada Ideologi “Meminta” dan “Diberi” (hanya Bisa Pasrah Tanpa Daya), Menerima Apa Adanya
Paradigma Hukum Karma Membuat Kita Lebih Optimis dan
Berdaya dalam Memandang dan Menyikapi Hidup, bahwa Kita menjadi Arsitek Atas
Hidup Kita masing-masing
Question: Mengapa ada orang yang dari lulusan almamater yang sama, namun nasibnya bisa berbeda, yang satu sukses gemilang dan yang satunya lagi harus merangkak untuk sekadar bisa bertahan hidup? Mengapa atas suatu profesi, ada yang selalu lancar dan bergemilang materi namun ada juga yang terseok-seok sekadar cukup untuk kebutuhan sehari-hari, mengais-ngais demi sesuap nasi, bahkan kerapkali berkekurangan? Rasanya itu membuat iri hati, cemburu, dan tertekan, seolah-olah hidup ini tidak adil, ada yang diberi banyak dan ada yang diberi sedikit. Singkatnya, membuat pesimis dan kecil hati, bilamana ternyata nasib mujur masih jauh dari kita.
Brief Answer: Dalam ideologi “pemberian dari makhluk
adikodrati”, semuanya serba “favoritisme”, alias ada yang dianak-emaskan namun
juga ada dan banyak yang dianaktirikan. Namun, bila kita memakai paradigma “merit law” alias “merit system” dimana meritokrasi dan prinsip egaliter
(egalitarianisme) menjadi fundamen sekaligus supremasinya—maka yang ada bukan lagi
perihal adil atau tidak adil, namun mulai menyadari bahwa diri kita sendirilah
yang paling bertanggung-jawab atas hidup dan kehidupan kita sendiri, baik pada
kehidupan di masa lampau, di masa kini, maupun di masa yang akan datang.
Dengan telah dipahaminya “hukum merit” ini, yang
tidak lain tidak bukan ialah “Hukum Karma” itu sendiri dalam bahasa awamnya,
maka kita tidak lagi dicengkeram oleh perasaan-perasaan negatif semacam iri
hati, kecemburuan sosial, ataupun mengeluh dan “meradang” karena merasa
diperlakukan secara tidak adil, diskriminasi, ataupun membenci dan kecewa
terhadap kehidupan ini. Kesenjangan ekonomi, kesenjangan pengaruh, kesenjangan bentuk
wajah dan tubuh, kesenjangan status, kesemua itu adalah “buah / akibat”, bukan “sebab”.
Tiada gunanya menyesali nasib dan kehidupan,
kesemua itu adalah “buah” atau “akibat”; yang bisa kita lakukan untuk
selanjutnya ialah rajin menanam “benih Karma baik” untuk kita “petik” sendiri “buah
manisnya”—paradigma ini jauh lebih memberdayakan, melahirkan semangat
optimisme, dan kita pun memiliki harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia
yang berdaya dan memiliki pilihan serta kehendak bebas untuk memilih masa depan
kita sendiri. Kita tidak perlu mengandalkan makhluk “adikodrati” untuk
menentukan nasib hidup kita di masa yang akan datang, terlebih pasrah terhadapnya,
namun berjuang untuk dan bagi diri kita sendiri.
PEMBAHASAN:
Hukum Karma tidak mengenal
istilah “meminta” dan “diberi”, juga tidak mengajarkan manusia untuk menjadi “pengemis”,
“pemalas” terlebih “penjilat” ataupun “pengecut” yang mengharapkan “penghapusan
dosa” ataupun “menikmati buah manis tanpa perlu menanam”; namun “menanam” dan “memetik”
oleh dan untuk diri kita sendiri—karenanya diri kita sendirilah yang paling
bertanggung-jawab atas suka dan duka diri kita sendiri, sukses atau gagalnya
karir kita sendiri, bahagia atau deritanya hidup kita sendiri, cantik / rupawan
atau buruk-rupanya wajah kita sendiri, berjaya atau surutnya status sosial kita
sendiri, berkuasa atau terperosoknya kekuatan kita sendiri, mulus atau berbatu
dan berlubangnya jalan hidup kita sendiri.
Dengan mulai memahami dan
menginternalisasi prinsip egaliter ini, maka secara langsung maupun tidak
langsung kita dapat lebih menatap kehidupan ini secara lebih optimis, lebih
berdaya, lebih penuh banyak peluang disamping potensi tidak terbatas untuk kita
ekplorasi dan rancang oleh dan untuk diri kita sendiri. Karenanya, kita tidak dapat
dibenarkan bersikap “egois terhadap diri kita sendiri” seperti menanam berbagai
“Karma buruk” yang mengakibatkan kita kelak akan memetik “buah Karma buruk” dan
mengalami derita di masa mendatang. Dengan berwelas-asih kepada kehidupan kita
sendiri, kita akan mau berjuang sekuat tenaga untuk rajin menanam sebanyak-banyaknya
“benih Karma baik”, agar kelak dapat kita petik sendiri “buah Karma baik”-nya
yang manis saat ranum.
Salah satu contoh pengetahuan
penting mengenai hukum sebab-akibat yang telah pernah dibabarkan oleh Sang
Buddha—guru bagi para dewa dan para manusia—ialah khotbah dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dimana seorang ratu bernama
Ratu Mallikā bertanya seputar hukum sebab-akibat mengapa seseorang bisa
terlahir buruk rupa ataukah rupawan, maupun yang makmur dan yang miskin, dengan
kutipan sebagai berikut:
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Ratu Mallikā
mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan
berkata kepada Beliau:
“Bhante, mengapakah beberapa
perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat;
miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di
antaranya berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi
kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh? Dan mengapakah
beberapa perempuan di sini berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki
kecantikan luar biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh?
Dan mengapakah beberapa di antaranya berpenampilan baik, menarik, dan anggun,
memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan
berpengaruh?”
“Di sini, Mallikā, seorang
perempuan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik
sedikit ia akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras
kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Ia tidak
memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman;
pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur,
tempat tinggal, dan penerangan. Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan
marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang
diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika
ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan
melarat; dan tidak berpengaruh.
“Perempuan lainnya rentan terhadap kemarahan
dan mudah gusar … Tetapi ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan
brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal,
atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan
yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu,
jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi ia akan
kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.
“Perempuan lainnya lagi tidak
rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak ia
tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, tidak bersikap
bermusuhan, dan tidak keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan. Tetapi ia tidak memberikan benda-benda kepada para
petapa dan brahmana … Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan
perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan
kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali
ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan baik,
menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi ia akan miskin,
papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh.
“Dan perempuan lainnya lagi
tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar … Dan ia memberikan
benda-benda kepada para petapa dan brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang
yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan,
penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika
ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana
pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan anggun,
memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan
berpengaruh.
“Ini, Mallikā, adalah mengapa
beberapa perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan
dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa
beberapa di antaranya berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan
dilihat; tetapi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh. Ini
adalah mengapa beberapa perempuan di sini berpenampilan baik, menarik, dan
anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak
berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya berpenampilan baik,
menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak
kekayaan dan harta; dan berpengaruh.”
Ketika hal ini dikatakan, Ratu
Mallikā berkata kepada Sang Bhagavā:
“Aku menduga, Bhante, bahwa
dalam suatu kehidupan sebelumnya aku rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar;
bahkan jika dikritik sedikit aku menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi
jengkel, bersikap bermusuhan, dan keras kepala, dan memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi berpenampilan
buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat.
“Tetapi aku menduga bahwa dalam
suatu kehidupan sebelumnya aku telah memberikan benda-benda kepada para petapa
dan brahmana … tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Oleh karena itu
aku sekarang menjadi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta.
“Dan aku menduga bahwa dalam
suatu kehidupan sebelumnya aku tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati,
bukan seorang yang iri, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan,
penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Oleh
karena itu aku sekarang memiliki pengaruh. Dalam kerajaan ini terdapat
gadis-gadis dari keluarga-keluarga khattiya, brahmana, dan perumah-tangga yang
tunduk di bawah perintahku.
“Mulai hari ini, Bhante, aku
tidak akan rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika
dikritik banyak aku tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak akan menjadi
jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; aku tidak akan
memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Dan aku akan memberikan
benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan
kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat
tinggal, dan penerangan. Dan aku tidak akan menjadi iri, tidak menjadi seorang
yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan,
pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain.
“Bagus sekali, Bhante! Bagus
sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara,
seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi,
menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam
kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk.
Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā
menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini
hingga seumur hidup.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.