“Bukan karena Berkepala Beruban Seseorang disebut Sesepuh. Ia Yang Berusia Lanjut itu Disebut SI TUA HAMPA” [Sang Buddha]
Kebijakan Pembodohan Rakyat, Membodohi Rakyat yang
Bodoh dan Mudah Dibodohi
Dalam kesempatan ini, kita akan mengangkat serta membahas topik-topik “ringan” namun bukan berarti untuk kita remehkan makna tersirat dibalik makna tersuratnya. Pada satu sisi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim bahwa kabinet yang dikomandoi olehnya adalah “kabinet KERJA”. Namun disaat bersamaan sang Bapak Presiden tercatat oleh sejarah Bangsa Indonesia sebagai presiden yang paling banyak bicara, umbar klaim prestasi, serta melontarkan jargon-jargon yang miskin esensi. Pada satu sisi pula, pemerintahan dibawah kepemimpinan Jokowi, memaksa secara terselubung hingga secara eksplisit, mewajibkan seluruh Warga Negara Indonesia untuk menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Namun disaat bersamaan pemerintahan era Jokowi membuat pernyataan bahwa “orang kaya jangan memakai program Jaminan Kesehatan Nasional untuk berobat, karena menghabiskan anggaran negara”.
Tidaklah mengherankan bilamana
Presiden Jokowi kerap dianugerahi gelar dengan julukan sebagai “The King of LIP SERVICE”. Begitu banyak
persoalan negeri ini yang butuh dibenahi secara lebih urgen, namun sang
Presiden justru lebih sibuk berpolitik-ria dengan secara prematur menyatakan
kursi jabatan presiden periode selanjutnya adalah jatah bagi lawan politiknya
dalam pemilihan umum sebelumnya, sementara itu era kepemimpinan sang Presiden
belum genap lima tahun masa jabatan yang artinya “PR” (Pekerjaan Rumah) sang
Presiden masih menumpuk untuk dikerjakan dan mengantri untuk diselesaikan. Sang
Presiden, bersikap seolah-olah tidak punya pekejaan yang lebih penting untuk
dikerjakan, sehingga lebih sibuk mengurusi “trivial
matters”. Banyak pihak, yang dahulu mempromosikan Jokowi sebagai calon presiden,
dengan segudang pujian dan sanjungan, namun ketika Presiden Jokowi jusru
mengecewakan rakyat, kemanakah dan apakah tanggung-jawab moril dari sang “marketer” maupun para simpatisan “tim
sukses” dari Jokowi?
Hingga baru-baru ini Presiden
Jokowi yang masih menyisakan dua tahun masa jabatannya sebagai presiden,
alih-alih memanfaatkan sisa masa jabatan untuk menyelesaikan banyak persoalan
terkait negeri ini maupun untuk secara lebih fokus membenahi mentalitas dan
reformasi birokrasi yang “mandek” sebagaimana janji-janji politik sang presiden
(“revolusi mental”), bila tidak dapat disebut sebagai gagal total, Presiden
Jokowi justru lebih sibuk mengumbar orasi kepada para mantan “tim sukses”-nya,
“Pilih pemimpin yang rambutnya putih
karena pusing memikirkan rakyat! Pilih calon presiden yang mau terjun langsung
ke tengah-tengah masyarakat!” demikian pekik Presiden Jokowi.
Dimanakah letak relasi atau
relevansi antara rambut putih dan banyak berpikir? Kurang “blusukan”-kah, para
“preman pasar” kita? Politik pencitraan menjadi khas era kepemimpinan Presiden
Jokowi, terutama selalu hadir saat hajatan “bagi-bagi sertifikat tanah”, dan
menghilang tanpa jejak ketika menerbitkan Undang-Undang (Pengerdilan) KPK
maupun Undang-Undang Cipta Kerja yang sangat tidak demokratis dan tidak pro
rakyat kecil, dimana terkesan tidak memiliki etika (code of conduct) sebagai seorang Kepala Pemerintahan plus Kepala
Negara. Kita tentu masih teringat “dagelan” saat seorang calon Kepala Daerah
pernah sesumbar saat pemilihan Kepala Daerah, “Pilih AHLI-nya! AHLI mengatasi banjir, AHLI mengatasi kemacetan, dsb.”
Ketika benar-benar terpilih dan menjabat, tiada satupun solusi dihadirkan oleh
sang Kepala Daerah. Publik pun melayangkan somasi kepada sang Kepala Daerah,
dan dengan enteng-nya menanggapi sebagai berikut : “Masalahnya, apakah pernah saya menyatakan bahwa saya ini adalah
AHLI-nya itu?!”
Yang paling tidak dapat penulis
benarkan aksi atau manuver kepemimpinan Presiden Jokowi ialah, kerap melakukan
pemaksaan terhadap publik lewat modus “pemaksaan secara terselubung”—semisal
bila tidak mengikut-sertakan diri pada program Jaminan Kesehatan Nasional, maka
sang warga tidak dapat mengakses layanan publik—sekalipun pemerintah secara
ambigu apakah Jaminan Kesehatan Nasional adalah asuransi kesehatan ataukah
bukan, dan jika asuransi maka mengapa mewajibkan masyarakat yang telah memiliki
asuransi swasta pribadi, disamping kerancuan istilah “gotong royong” namun
sifatnya dipaksakan dan pemaksaan (kepesertaan secara wajib).
Ketika dipaksa mengikut-sertakan
diri sebagai peserta, iuran ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dalam
rangka menutup defisit anggaran program, dimana bila menunggak bahkan warga
peserta dikenakan denda dan akses pelayanan publik pun ditutup baginya. Lihat,
pemilihan presiden berlangsung secara demokratis, namun sikap sang presiden
terpilih yang dipilih secara demokratis tersebut dapat demikian “komun!stik”
terhadap rakyat pemilihnya. Jaminan Kesehatan Nasional memang penulis akui
sebagai “keren” dan berguna bagi sebagian masyarakat, namun mengapa cara-caranya
harus demikian tidak demokratis? Tiada skema “option in” maupun “option out”, sekali masuk maka sang warga
menghadapi dilema “point of no return”,
tersandera seumur hidup, sekalipun telah pernah dikecewakan oleh pelayanan
pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) maupun fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan milik pemerintah yang dibiayai oleh program pemerintah ini.
Bila kita konsisten pada
paradigma pemerintah tersebut, maka kita sejatinya telah bergotong-royong
dengan membayar pajak, bahkan orang-orang “borjuis” telah sangat bergotong-royong
dengan berkontribusi besar membayar “Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah”.
Jika pajak yang kita bayarkan bukan atau tidak tergolong sebagai
“gotong-royong” karena sifatnya wajib bukan faktor kesukarelaan, maka apa
bedanya dengan program Jaminan Kesehatan Nasional yang sifatnya juga imperatif
tanpa landasan kesukarelaan? Pemerintah selaku regolator bersikap “separuh
hati” menaikkan cukai produk tembakau, lalu membebani pembiayaan Jaminan
Kesehatan Nasional kepada para penghisap asap bakaran tembakau “pasif” yang
selama ini menjadi korban keegoisan para penghisap “aktif”.
Secara pribadi, penulis tidak
anti terhadap program pemerintah tersebut, namun masih menyisakan sebuah pertanyaan
dibenak penulis yakni, Jaminan Kesehatan Nasional ialah “program pemerintah”
ataukah “program rakyat”? Jika “program pemerintah”, maka mengapa rakyat yang
harus disandera menanggung pembiayaannya? Fakta empirik menunjukkan, menjaga
kesehatan jauh lebih mahal (biaya pola makan bergizi seimbang plus suplemen)
daripada gaya hidup tidak sehat (tidak berolah-raga dan konsumsi junk-food bahkan barang madat),
sehingga mengapa falsafah Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia justru
terbalik : warga yang bergaya hidup sehat mensubsidi dan membiayai warga yang
tidak mau jaga kesehatan, alih-alih yang bersusah-payah bergaya hidup sehat
yang dibiayai oleh yang bergaya hidup tidak sehat—semisal penghisap produk
bakaran tembakau dipaksa membayar tinggi biaya cukai tembakau untuk membiayai
mereka yang bergaya hidup sehat.
Konsepsi “gotong royong”
dilandasi oleh kesukarelaaan disamping sebagai norma sosial yang berpulang
kepada kesadaran masing-masing individu serta menjadi “program rakyat”. Namun norma
hukum dibalik tegaknya supremasi Jaminan Kesehatan Nasional tidak memenuhi
kriteria “gotong royong” disamping semata “program (milik) pemerintah”. Kembali
ke persoalan “rambut ber-uban putih”, tampaknya Bapak Presiden kita perlu memberi
edukasi politik kepada rakyatnya secara lebih cerdas, dengan merujuk apa yang
telah disabdakan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada, dengan kutipan beberapa
syair sebagai berikut:
DHAMMAPADA
122. Janganlah meremehkan
kebaikan (dengan berpikir), ‘Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.’
Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak
dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit.
123. Ibarat saudagar beharta
banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang
berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari
keburukan.
124. Jika tiada luka di tangan,
seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke
tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.
125. Keburukan akan
(balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak
berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.
126. Sejumlah makhluk masuk rahim
terlahir. Para pelaku keburukan masuk ke neraka. Para penimbun perbuatan
sumber kebahagiaan masuk ke surga. Mereka yang tidak memelihara kekotoran batin
mencapai kepadaman derita.
131.
Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia
yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat
dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.
132.
Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri
tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan
setelah ajal tiba.
136.
Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang
berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak
terbakar api.
137.
Barangsiapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak mencelakai dan
tidak mendera, ia akan segera menemui salah satu di antara sepuluh keadaan:
138.
perasaan menyengat, keterpurukan, cacat tubuh, sakit keras, gangguan jiwa,
139.
usikan raja, hasutan menyakitkan, kehilangan sanak keluarga, kemusnahan harta
benda,
140.
kebakaran rumah oleh api hutan, atau, setelah si dungu itu tiba ajal, masuk ke neraka.
143.
Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada
beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda
tangkas mengelak cambuk.
144.
Bersemangatlah! Kerahkan kekuatan, seperti kuda tangkas tersabet cambuk! Dengan
berlengkap keyakinan, tata susila, semangat, keteguhan batin, kemampuan
menimbang, pengetahuan dan tindak tanduk sempurna, dan perhatian teguh, Kalian
akan dapat melenyapkan derita nan tidak sedikit ini.
145.
Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah.
Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.
157.
Jika menyadari bahwa diri sendiri adalah tercinta, seseorang patut merawat diri
dengan baik. Orang bijak patut menjaga diri sepanjang salah satu di antara tiga
kurun waktu.
158.
Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu
orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.
159.
Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah
sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.
160.
Diri sendirilah pelindung diri.
Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri
terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.
161.
Oleh diri sendiri keburukan dilakukan,
lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu,
laksana berlian melukai intan.
162.
Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon
sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.
163.
Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya
perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.
164.
Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan
mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri,
layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.
165.
Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang
menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri
pula seseorang menjadi suci. Suci tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada
sosok lain dapat menyucikan lainnya.
167.
Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul
dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak
seyogianya menjadi pengeruh dunia.
172.
Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi
dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.
173.
Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat
menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.
174.
Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas.
Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam
bahagia.
186.
Kesenangan inderawi tidak pernah bisa kenyang oleh hujan kepingan emas.
Kesenangan inderawi mengandung sekelumit suka, mendatangkan duka. Setelah
memahami demikian,
193.
Manusia unggul jarang ditemukan. Ia tidak terlahir di sebarang tempat. Di
keluarga mana manusia unggul terlahir, keluarga itu mengenyam kebahagiaan.
206.
Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka
mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa
berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.
207.
Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu
mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa
membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya,
bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan
sanak keluarga.
208.
Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana,
berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih,
budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!
227.
Wahai Atula, celaan dan pujian itu adalah perihal lama. Itu bukan laksana hanya
ada di hari ini. Mereka mencela ia yang diam, mencela ia yang banyak bicara,
mencela ia yang bicara secukupnya. Tiada siapa pun di dunia bebas dari celaan.
228.
Belum pernah ada, akan tidak ada, dan tidak ada di saat ini, seseorang yang
melulu mendapat celaan atau melulu mendapat pujian.
229.
Jika para bijaksanawan, setelah menimbang matang, memuji ia yang bertindak penuh kewaspadaan,
cendekia, teguh dalam kebijaksanaan dan kesusilaan,
230.
siapakah pantas mencelanya yang bagaikan emas jambonada. Para dewa pun
memujinya, demikian pula brahmâ.
231.
Seseorang patut menjaga luapan (nafsu)
jasmani, mengendalikan jasmani. Setelah menjauhi laku buruk melalui jasmani, ia
patut berlaku baik melalui jasmani.
232.
Seseorang patut menjaga luapan ucapan, mengendalikan ucapan. Setelah menjauhi
laku buruk melalui ucapan, ia patut berlaku baik melalui ucapan.
233.
Seseorang patut menjaga luapan batin, mengendalikan batin. Setelah menjauhi
laku buruk melalui batin, ia patut berlaku baik melalui batin.
234.
Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan
jasmani, juga adalah mereka yang telah mengendalikan
ucapan. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan batin. Mereka sungguh adalah orang yang telah
berpengendalian secara menyeluruh dengan baik.
244.
Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak
tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari
muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.
245.
Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa
berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan
menyadari (hakekat penghidupan bersih).
246.
Barangsiapa di dunia ini membunuh kehidupan makhluk lain, bertutur kata bohong,
mengambil barang yang tidak diberikan, dan menggauli istri orang lain,
247.
juga barangsiapa biasa minum arak dan barang ragian, ia disebut sedang mencabut akar tunggang sendiri di
dunia ini.
252.
Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena
itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi
noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.
256.
Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam
Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang
menjadi perkara dan bukan perkara.
257.
Ia yang memeriksa orang-orang dengan tidak terburu, berlandaskan dhamma, sesuai
kaidah, penjaga dhamma, dan cendekia itulah disebut ‘yang tegak dalam Dhamma’.
258.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia
yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak berpenakut itulah disebut
‘bijaksanawan’.
259.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma,
melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara
batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang
dhamma’.
260.
Bukan karena berkepala beruban seseorang
disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.
261.
Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti,
berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut
‘sesepuh’.
262.
Bukan sekadar karena bertutur teratur atau berperawakan rupawan seseorang yang
masih memiliki keirihatian, kekikiran, dan kecongkakan disebut budiman,
263.
melainkan ia yang telah menumbangkan keirihatian, kekikiran, kecongkakan,
mencabut akarnya – melunturkan kebencian, dan cendekia itulah disebut
‘budiman’.
264.
Bukan sekadar karena berkepala gundul, seseorang yang tidak berdisiplin,
bertutur dusta Aku sebut ‘petapa’.
Mana mungkin orang yang berlumur ambisi dan keserakahan sebagai petapa.
265.
Akan tetapi, ia yang meredam total
keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’
karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.
269.
menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia
disebut ‘petapa bijaksana’.
Seseorang disebut petapa bijaksana
karena mengetahui kedua dunia.
270.
Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk
lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak
mencelakai segala jenis makhluk.
306.
Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar
akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak
berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya
menuju ke alam lain, akan bernasib sama.
307.
Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak
berpengendalian. Mereka yang buruk itu
akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.
308.
Menelan bongkah besi panas laksana berlidah api adalah lebih baik. Apatah
mulianya ia yang dursila, tidak berpengendalian, memakan gumpalan nasi
penduduk.
314. Perbuatan buruk,
tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si
pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan
adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.
315. Jagalah diri di dalam dan
di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan
waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan,
berdesak sesak di neraka!
316. Barangsiapa malu
terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut
terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap
tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela;
mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa
menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai
yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam
bahagia.
327. Bergembiralah dalam
ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari
kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!
328. Andaikata seseorang
mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan
berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan
menegakkan perhatian – berjalan dengannya.
329. Andaikata seseorang
tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai
kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi
meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian
di hutan.
330. Berjalan sendirian
adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia
patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan
di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.
331. Ketika timbul suatu
pengharapan, para sahabat mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan,
berpuas dengan seadanya. Ketika ajal tiba, kebajikan mendatangkan
kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, pelenyapan segala derita.
407. Nafsu ragawi, kebencian,
pembandingan diri, dan pelecehan orang telah seseorang tanggalkan, laksana biji
sawi yang jatuh dari ujung jarum. Aku menyebutnya ‘brâhmana’.
408. Ia yang bertutur kata
tidak kasar, jelas, benar, dan tidak mengundang kemarahan siapa pun itu Aku
sebut ‘brâhmana’.
409. Ia yang di dunia ini tidak
mengambil barang yang tidak diberikan, baik yang panjang ataupun pendek, yang
kecil ataupun besar, yang indah ataupun jelek itu Aku sebut ‘brâhmana’.
Lalu, terhadap isu terkait
fenomena sosial berbagai Aparatur Sipil Negara kita yang semula tampak
bersahaja terhadap masyarakat sipil, beretika tinggi, penuh tanggung-jawab,
berkinerja optimal, serta idealis, namun kemudian setelah sekian lama menduduki
“zona nyaman” pada kursinya selaku sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), justru
menjelma bekerja “ala kadarnya”, melayani publik secara “akal kadarnya”,
beretika “ala kadarnya”, antusiasme yang “ala kadarnya”, pragmatis, bahkan
memiliki tendensi secara gradual mulai berani untuk menyalah-gunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, bahkan tidak malu dan tidak takut untuk
melanggar ketentuan hukum yang berlaku baginya, sebagaimana dapat kita rujuk khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara:
“Para bhikkhu, seorang yang
memiliki empat kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang jahat. Apakah
empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
seorang yang jahat mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain bahkan ketika
tidak ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika ditanya. Tetapi
ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, dengan diarahkan oleh
pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain tanpa sela
atau pengurangan, melainkan secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti:
‘Orang ini adalah orang jahat.’
(2) “Kemudian, seorang yang
jahat tidak mengungkapkan kebaikan-kebaikan orang lain bahkan ketika ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apalagi ketika tidak ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, walaupun diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kebaikan orang lain dengan sela dan pengurangan,
tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang jahat.’
(3) “Kemudian, seorang yang jahat
tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahannya sendiri bahkan ketika ditanya
tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika tidak ditanya. Tetapi ketika
ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, walaupun diarahkan oleh
pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahannya dengan sela dan
pengurangan, tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat
dimengerti: ‘Orang ini adalah orang jahat.’
(4) “Kemudian, seorang yang
jahat mengungkapkan kebaikan-kebaikannya sendiri bahkan ketika tidak ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apa lagi ketika ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kebaikan-kebaikannya tanpa sela atau pengurangan,
melainkan secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang jahat.’
“Seorang yang memiliki keempat
kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang yang jahat.
“Para bhikkhu, seorang yang
memiliki empat kualitas [lainnya] ini dapat dimengerti sebagai seorang baik.
Apakah empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
seorang yang baik tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain bahkan
ketika ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika tidak ditanya.
Tetapi ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, walaupun
diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahan orang
lain dengan sela dan pengurangan, tidak secara lengkap atau secara terperinci.
Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang baik.’
(2) “Kemudian, seorang yang
baik mengungkapkan kebaikan-kebaikan orang lain bahkan ketika tidak ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apalagi ketika ditanya. Tetapi ketika ia ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan
membicarakan kebaikan orang lain tanpa sela atau pengurangan, melainkan secara
lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang baik.’
(3) “Kemudian, seorang yang
baik mengungkapkan kesalahan-kesalahannya sendiri bahkan ketika tidak ditanya
tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahannya tanpa sela atau pengurangan,
melainkan secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang baik.’
(4) “Kemudian, seorang yang
baik tidak mengungkapkan kebaikan-kebaikannya sendiri bahkan ketika ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apa lagi ketika tidak ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kebaikan-kebaikannya dengan sela dan pengurangan,
tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang baik.’
“Seorang yang memiliki keempat
kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang yang baik.
“Para bhikkhu, ketika seorang
pengantin pertama kali dibawa pulang ke rumah, apakah pada malam hari atau
siang hari, pertama-tama ia akan menegakkan rasa malu dan rasa takut
yang mendalam terhadap ibu mertuanya, ayah mertuanya, suaminya, dan bahkan
budak-budaknya, para pekerja, dan para pelayannya. Tetapi setelah beberapa
lama, sebagai akibat dari hidup bersama dan keakraban dengan mereka, ia
berkata kepada ibu mertuanya, ayah mertuanya, dan suaminya: ‘Pergilah! Engkau
tahu apa?’
“Demikian pula, ketika seorang
bhikkhu di sini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga
menuju kehidupan tanpa rumah, apakah pada malam hari atau siang hari, pertama-tama
ia akan menegakkan rasa malu dan rasa takut yang mendalam terhadap para
bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, umat awam perempuan, dan bahkan
terhadap para pekerja dan para sāmaṇera di vihara. Tetapi setelah beberapa lama, sebagai akibat dari hidup
bersama dan keakraban dengan mereka, ia berkata bahkan kepada gurunya dan
penahbisnya: ‘Pergilah! Engkau tahu apa?’
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berdiam dengan pikiran
seperti pengantin yang baru datang itu.’ Dengan cara demikianlah kalian
harus berlatih.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.