Hanya Orang Baik, yang Tidak Takut Kematian Tiba
Hanya Orang Jahat, yang Takut pada Dewa Pencabut
Nyawa
Bahaya Dibalik Delusi “too Good to be True”
Ada diantara masyarakat kita, yang notabene kriminil, setelah berbuat kejahatan, bahkan tidak terhentikan sehingga dosa-dosa yang ia koleksi telah menggunung, akibat delusi “kebal hukum” maupun “kebal / imun (dari) dosa”, berhasil lolos dari jerat hukum akibat faktor penegakan hukum di negeri kita yang memang sangat amat lemah, tebang pilih, pengabaian / penelantaran oleh aparatur penegak hukum yang memonopolistik kewenangan penegakan hukum pidana maupun akses peradilan pidana, maupun aparaturnya yang mudah diberi uang suap oleh pelaku kejahatan, maupun realita “hukum tumpul keatas dan tajam kebawah”. Mereka juga lebih suka memilih untuk menyuap aparatur penegak hukum maupun hakim, agar dapat lolos dari jerat hukum, ketimbang menggunakan dana tersebut untuk berbuat kebaikan.
Sejatinya, itulah yang disebut sebagai bersikap egois terhadap diri mereka
sendiri. Setelah berbuat kejahatan, yang artinya sudah merupakan satu buah kejahatan,
mereka menambahkannya dengan memproduksi serentetan kejahatan-kejahatan baru lainnya
seperti merampas hak korban atas keadilan, menyuap aparatur penegak hukum,
maupun kembali kian menyakiti / merugikan korbannya yang melakukan upaya perlawanan
/ pembalasan. Sesukar dan serugi apapun menjadi orang baik—orang baik kerapkali
menjadi “mangsa empuk” orang-orang jahat—namun sejatinya orang-orang baik
barulah akan menemukan kebahagiaan dan kemenangan hidup saat malaikat pencabut
nyata menghampiri mereka masing-masing.
Hanya orang baik, yang tidak takut mati, karena mereka tahu tentang diri dan
kehidupan mereka sendiri selama ini—mereka adalah orang-orang yang bersih,
tulus, murni, dan baik. Sebaliknya, hanya orang jahat, yang takut mati, karena mereka
sendiri menyadari betul perbuatan-perbuatan jahat mereka sendiri selama ini—mereka
adalah orang-orang yang kotor, busuk, tercela, ternoda, dan jahat, sekalipun
orang lain tidak mengetahui perbuatan-perbuatan jahat mereka yang terselubung
namun si pelakunya itu sendiri mengetahui dan menyadarinya. Tipe pribadi yang
ketiga ialah, hanya orang yang delusif, yang tidak takut mati meski telah
melakukan banyak kejahatan, alias pemeluk ideologi korup berupa iming-iming “penghapusan
/ pengampunan” maupun “penebusan dosa”—mereka adalah umat dari “Agama DOSA”.
Pemenang kehidupan hanya menjadi monopoli milik orang-orang baik,
sekalipun selama dan sepanjang hidupnya di dunia manusia demikian menderita
oleh perlakuan orang-orang jahat, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam
“Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang menguraikan kaitan antara
kedamaian hidup saat ajal menjelang dan perbuatan bajik, sebagai berikut:
Tanpa Takut
Brahmana
Jānussoṇī mendatangi Sang Bhagavā
dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi,
ia berkata kepada Sang Bhagavā:
“Guru
Gotama, aku menganut tesis dan pandangan bahwa tidak ada seorang pun yang
tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.”
“Brahmana,
ada mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian,
tetapi ada juga mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak
takut pada kematian.
“Dan,
brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada
kematian?
(1) “Di
sini, seseorang yang tidak hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga,
hasrat, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami
sakit keras dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria
yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan
kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia
menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini adalah seorang
yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.
(2)
“Kemudian, seseorang yang tidak hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang,
dahaga, hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit keras dan
melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan meninggalkanku,
dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia berdukacita, merana, dan
meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini, juga,
adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.
(3)
“Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang baik dan
bermanfaat atau membuat naungan untuk dirinya sendiri, melainkan telah
melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor. Ketika ia mengalami sakit keras
dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, aku
tidak pernah melakukan apa yang baik dan bermanfaat atau membuat naungan untuk
diriku sendiri, melainkan telah melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor.
Ketika aku meninggal dunia, aku akan mengalami takdir yang sesuai.’ Ia
berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan
menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang yang tunduk pada kematian
yang gentar dan takut pada kematian.
(4)
“Kemudian, seseorang di sini bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap
Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit keras dan melemahkan, ia berpikir:
‘Aduh, aku bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap Dhamma sejati.’
Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan
menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang yang tunduk pada kematian yang
gentar dan takut pada kematian.
“Ini
adalah keempat orang itu yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada
kematian.
“Dan,
brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak
takut pada kematian?
(1) “Di
sini, seseorang yang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat,
dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami sakit
keras dan melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria
yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan
kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan
tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi
kebingungan. Ini adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan
tidak takut pada kematian.
(2)
“Kemudian, seseorang yang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga,
hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit keras dan
melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan
meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia tidak
berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul
dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang yang tunduk
pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.
(3)
“Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan
kotor, melainkan telah melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat
naungan untuk dirinya sendiri. Ketika ia mengalami sakit keras dan
melemahkan, ia berpikir: ‘Sesungguhnya,
aku tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan kotor, melainkan telah
melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat naungan untuk diriku
sendiri. Ketika aku meninggal dunia, aku akan menemui takdir yang sesuai.’
Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil
memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini, juga, adalah seorang
yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.
(4)
“Kemudian, seseorang di sini tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak
bimbang terhadap Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit keras dan melemahkan,
ia berpikir: ‘Aku tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak bimbang
terhadap Dhamma sejati.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap;
ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini, juga,
adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada
kematian.
“Ini,
brahmana, adalah keempat orang itu yang tunduk pada kematian yang tidak gentar
dan tidak takut pada kematian.”
“Bagus
sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan
Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik,
mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang
tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang
berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada
Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku
sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur
hidup.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.