Mempermalukan Diri Sendiri namun Mengklaim
Dipermalukan, Teks yang Melenceng dari Konteksnya
Menunggak dan Memilih Dipailitkan daripada Melunasi Hutang, namun Mengharap Namanya Tetap Harum dan Bereputasi Baik? Itu DELUSI!
Sebagai seorang dengan profesi yang men-spesialisasikan diri sebagai penyedia jasa hukum telaah preseden, tentunya tidak lengkap bahasan atau ulasan hukum bila tidak disertai contoh konkret perkara-perkara di pengadilan yang telah diputus, sebagai ilustrasi, cerminan, maupun rujukan yang paling otentik. Lewat riset, penulis mencari, menemukan, serta menghimpun ribuan hingga puluhan ribu putusan pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung. Bila ada diantaranya yang relevan terhadap isu hukum yang dibahas, maka akan penulis ulas dan publikasikan.
Akan tetapi tampaknya ada
segelintir pihak, yang mencoba mendegradasi independensi maupun hak kalangan “publisher” untuk mempublikasikan apa
yang sebenarnya “domain public” (public
domain), salah satunya ialah putusan pengadilan berdasarkan Undang-Undang tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Pihak yang berkeberatan atas publikasi penulis tersebut,
mengklaim telah terjadi pencemaran nama baik, mempermalukan, pembunuhan
karakter, hingga tudingan dan tuduhan-tuduhan lainnya yang tidak rasional. Bagaimana
mungkin, mereka yang mempermalukan dan mencemarkan nama baiknya sendiri, lantas
pihak yang meliputnya hendak dituding sebagai pelaku penghinaan maupun
pencemaran nama baik?
Itu ibarat “standar ganda”,
bila diri sang pelaku itu sendiri yang mencemarkan nama baiknya, seolah-olah sah-sah
saja dan santai-santai saja seolah hal yang lazim dan biasa ia lakukan dengan
begitu mudahnya; sementara itu orang-orang yang menyiarkan apa yang memang merupakan
objek pemberitaan, akan dituding sebagai pelaku pelanggaran atas privasi, nama
baik, dan sebagainya. Jika dari sejak awal nama yang bersangkutan telah tercemar
dan ternoda, maka apanya lagi yang tersisa dari nama yang bersangkutan untuk
dicemarkan ataupun dinodai—dari sejak awal sudah ternoda dan tercemar.
Salah satu contoh baru-baru ini,
seseorang debitor “kredit macet” yang bersama istrinya dipailitkan oleh sebuah
bank swasta di Tanah Air, akibat menunggak pembayaran hutang kreditnya yang
mana yang bersangkutan beserta istrinya menjadi penjamin perseorangan (personal guarantee atau borgtocht) terhadap perusahaan miliknya yang
menjadi pihak debitor, setelah jatuh pailit dan dipailitkan oleh Pengadilan
Niaga, putusan pailit mana turut diberitakan / dibahas / diulas / disiarkan
oleh penulis dalam website pribadi penulis, sang “debitor nakal” kemudian
mengajukan protes atau berkeberatan dengan pesan dari surat elektronik berikut
ini, tanpa diawali / dibuka oleh sopan santun apapun:
“Saya atas nama ... dan Istri
atas nama ... dengan ini memohon agar nama kami dapat dihapus di hukum-hukum
.com, akibat dari pemberitaan dengan nama yang jelas kami sebagai klien
mengakibatkan rasa malu sekeluarga sehingga anak anak kami menjadi trauma, kiranya
permohonan kami selaku klien dapat segera di kabulkan, Terima kasih.”
Bila permohonan yang tidak
rasional demikian dikabulkan, maka penulis yang dikemudian hari akan direpotkan
oleh banjir-derasnya permohonan-permohonan serupa yang sama sekali tidak berdasar
juga tidak produktif, mengingat sumber primer putusan pengadilan yang penulis
ulas dan kaji, ialah bersumber dari website resmi putusan Mahkamah Agung RI,
dimana siapa saja dan dimana saja mereka dapat mengakses serta membacanya
secara penuh, lengkap dengan nama lengkap para pihak yang saling bersengketa
ataupun nama / identitas pihak terhukum.
Meski begitu, penulis
meluangkan waktu ditengah-tengah keterbatasan waktu untuk membalas pesan atau
menjawabnya—walau pada mulanya penulis hendak mengabaikannya saja—dengan uraian
respons sebagai berikut—tanpa perlu bersopan-santun pula, tentunya:
Kami menolak permohonan Anda,
mengingat Anda telah ‘putar balik fakta’ dan memfitnah kami sebagai ‘biang
keladi’ mempermalukan, dengan pertimbangan:
1. putusan pengadilan bersifat terbuka bagi umum;
2. Anda sendiri yang telah mempermalukan diri anda dan keluarga anda
sendiri dengan mengemplang kredit pihak kreditor;
3. Sudah sepatutnya anda dipailitkan karena merugikan kreditor anda (you
asked for it);
4. Anda sendiri yang memilih dipailitkan daripada mengembalikan dana
pinjaman kreditor;
5. mengetik nama anda di google, yang muncul bukanlah website kami, namun
website putusan mahkamah agung pada no. 1 hasil pencarian berisi putusan
kepailitan anda. Sehingga, anda telah ber-standar ganda dengan menuduh kami
yang tidak-tidak.
6. Anda BUKANLAH Klien kami, sehingga kami nilai anda telah mengada-ngada
disamping memiliki itikad tidak baik dengan cidera janji melunasi hutang anda
kepada para kreditor anda sendiri.
Untuk melamar kerja, pelamar
dipersyaratkan SKCK. Untuk berbisnis, orang butuh kejelasan "siapa
anda". Kini, pertanyaannya, apakah anda betul telah membayar LUNAS seluruh
hutang anda kepada kreditor2 Anda?
Anda yang memilih pailit
alih-alih melunasi, mengapa kami yang anda persalahkan sebagai mempermalukan
diri anda dan keluarga anda?
Tuduhan anda sangat tendensius
dan mencederai semangat profesi kami, sebagaimana juga profesi jurnalistik
lainnya. Kami netral dan independen dalam menjalankan Kode Etik profesi kami,
dan kami bukan afiliasi bank pemohon pailit terhadap anda.
Atas dasar pertimbangan di
atas, kami tidak akan mengabulkan permohonan anda yang sangat tidak beralasan
untuk penuhi.
Demikian, semoga dapat
dimaklumi.
Redaksi
Salah satu ciri yang paling kentara
alias paling menonjol dari orang “dungu” ialah, mereka seolah-olah menunggu
hingga tiba saat “menyesal dikemudian hari pun sudah terlambat”. Sudah jelas
pada era dimana keterbukaan informasi ini tidak dapat dibendung, tepatnya era
digitalisasi borderless sejak
internet atau dunia maya menjadi konsumsi publik dan menu keseharian, tiada
hari masyarakat kita tanpa “online” untuk atau ketika mengakses informasi dan
menghimpun data, dimana rekam jejak reputasi maupun rekam jejak aktivitas hidup
bisa menjadi konten yang mengisi dunia maya, sehingga sensitif terhadap nama
baik perlu dijaga.
Pada era sebelum digitalisasi
berkembang seperti dewasa ini, kita tidak pernah tahu apakah seseorang yang kita
hadapi untuk bekerjasama bisnis ataupun untuk kita rekrut, apakah adalah
memiliki rekam jejak yang buruk atau tidaknya, semata karena putusan pengadilan
masih sangat tertutup serta sulit untuk diakses. Namun pada era disrupsi
digital dan teknologi ini, seseorang dapat dilacak rekam jejaknya pada
aktivitas maya maupun pada kehidupan dunia konvensionalnya, hanya dalam hitungan
menit, sehingga tidaklah dapat kita secara gegabah maupun sembrono mencemarkan
nama kita pada kehidupan “offline”,
namun kemudian mengharap bahwa nama atau reputasi yang bersangkutan tetap “clean and clear” pada dunia “online”.