JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Resiko Dibalik Berdamai setelah Terlapor Resmi dijadikan Tersangka / Terdakwa

Aspek Hukum Perdamaian saat Proses Penuntutan dengan Jaksa sebagai Fasilitator antara Pelapor dan Terlapor

Akta Perdamaian Rentan Disalahgunakan Terlapor / Tersangka / Terdakwa yang Memiliki Niat Tidak Baik untuk Lolos dari Jerat Hukum Perdata maupun Pemidanaan

Question: Saat ini pihak yang kami laporkan dan pidanakan, sudah ditahan oleh pihak berwajib. Barulah ketika betul-betul ditahan oleh aparatur penegak hukum, ia mulai lunak dan menawarkan perdamaian ataupun menyatakan menerima, menyetujui, dan menyanggupi solusi kekeluargaan yang dahulu telah pernah kami dari keluarga korban Pelapor tawarkan kepada yang bersangkutan dimana baru saat kini ia benar-benar serius menanggapinya.

Sebenarnya pun keluarga kami jika boleh memilih, kerugian kami dipulihkan sesegera mungkin oleh si pelaku yang kami laporkan ini, dana pinjaman milik kami dikembalikan, tanpa berlarut-larut menunggu selesainya proses persidangan perkara pidana ataupun masih juga kami direpotkan untuk menggugat perdata pihak pelaku. Apakah ada tips aman secara hukum, bilamana keluarga kami selaku korban tampaknya terpaksa memaksakan diri untuk tetap menerima tawaran berdamai dengan pihak pelaku yang kami laporkan ini agar kerugian kami lekas dipulihkan oleh palaku tanpa perlu menunggu lebih lama lagi?

Brief Answer: Idealnya, Korban Pelapor menutup diri dari tawaran untuk membuat dan menyepakati perdamaian apapun ketika Terlapor telah atau sedang ditahan di rumah tahanan polisi saat ditetapkan sebagai Tersangka ataupun saat menjalani proses penuntutan di persidangan sebagai Terdakwa, mengingat ketika antara Pelapor dan Terlapor saling bersepakat membuat dan menyepakati Akta Perdamaian saat Terlapor telah atau sedang berada di dalam rumah tahanan, masa sewaktu-waktu dikemudian hari saat Terlapor dibebaskan / dilepaskan berkat Akta Perdamaian yang ia kantungi / peroleh, terbuka peluang kejadian berupa resiko dimana pihak tersebut kemudian menggugat Akta Perdamaian atas dasar alibi “di-tanda-tangani dibawah tekanan” (tertekan secara psikis) semata karena dirinya sedang ditahan atas dasar laporan Pelapor.

Sehingga, menjadi terlampau riskan bagi kepentingan hukum pihak Korban Pelapor bila hendak menawarkan ataupun ditawarkan perdamaian untuk berdamai antara pihak Korban Pelapor dan pihak Terlapor, ketika Terlapor telah dan sedang ditahan di rumah tahanan negara dalam rangka proses pemidanaan pada tingkat penyidikan maupun penuntutan—dimana pihak Terlapor akan semudah mendalilkan sebagai “alibi sempurna” yang bersangkutan untuk mengklaim adanya keterbatasan kebebasan sehingga daya tawarnya melemah, dimana “tiada pilihan lain” baginya yang dibawah tekanan psikologis maupun fisik terpenjara di balik sel jeruji rumah tahanan selain menawarkan ataupun menerima tawaran berdamai dengan membuat Akta Perdamaian dengan pihak Pelapor.

Alhasil, pihak Terlapor dilepaskan dari jeratan proses pemidanaan juga dalam perkara gugatan perdata yang diajukan pihak Terlapor bermuara pada dibatalkannya Akta Perdamaian oleh hakim dengan argumentasi bahwa pihak Penggugat menyepakati dan menandatangani Akta Perdamaian dibawah pengaruh tekanan psikologis dan fisik selama berada atau ditahan di rumah tahanan yang karenanya tiada kehendak bebas selama menjalani masa penahanan demikian selain sekadar menyanggupi dan menyetujui ataupun menawarkan Akta Perdamaian agar dapat segera dan lekas dibebaskan dari tahanan.

Namun demikian, bilamana benar-benar terdapat urgensi atau pertimbangan tersendiri pihak Terlapor yang hendak mencabut laporan pemidanaan terhadap pihak “Terlapor”, maka terdapat momen krusial yang masih terbuka ruang kesempatan untuk bernegosiasi dan bersepakat untuk saling berdamai antara Korban Pelapor dan Terlapor, yakni saat pihak penyidik melimpahkan berkas perkara maupun pihak Tersangka kepada pihak Kejaksaan untuk diproses penuntutan, disertai persyaratan berupa:

a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:

1. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2. mengganti kerugian Korban;

3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka.

Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka, dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi—upaya perdamaian mana dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka, maka dilanjutkan dengan proses perdamaian yang diselenggarakan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, bebas dari tekanan, paksaan, maupun intimidasi, dimana pihak Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator serta dilaksanakan di kantor Kejaksaan.

Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti diterima pihak Kejaksaan. Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis di hadapan Penuntut Umum, kesepakatan perdamaian mana berupa:

a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau

b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.

Kesepakatan perdamaian ditandatangani oleh Korban, Tersangka, dan 2 (dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum. Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan kewajiban, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat setelah pemenuhan kewajiban dilakukan. Sementara itu dalam hal kesepakatan perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat. Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesual kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:

a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil, oleh sebab permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak proporsional dari pihak Pelapor, ancaman atau intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau pelecehan berdasarkan kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik, maka dapat dijadikan pertimbangan bagi Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan—pertimbangan mana juga berlaku dalam hal pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian karena faktor ekonomi atau alasan lain namun disertai dengan adanya itikad baik dari pihak pribadi Tersangka—salah satunya dijadikan pertimbangan yang meringankan ketika Jaksa mengajukan tuntutan pidana terhadap pihak Terdakwa

Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi dari Korban, Tersangka, dan/atau pihak lain, Penuntut Umum menghentikan upaya perdamaian atau proses perdamaian. Dalam hal Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya dilakukan penghentian penuntutan oleh pihak Kejaksaan berdasarkan perdamaian yang telah disepakati serta terjadi secara tuntas oleh pihak Pelapor dan Terlapor, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.

PEMBAHASAN:

Adapun yang terlebih dahulu perlu dipahami oleh pihak Korban Pelapor, ialah keberadaan preseden dengan kaedah hukum bahwasannya perjanjian perdamaian yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah dikategorikan sebagai “misbruik van omstandigheiden”, akta mana dapat digugat pembatalan karena dianggap tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perihal unsur subjektif “kesepakatan” tanpa tekanan. Bermula ketika Penggugat (BUDI HALIMAN HALIM) selaku pemilik sertifikat merek dari Etiket merek ARISE SHINE CES tertanggal 22 Mei 2001, dimana sejak Penggugat mendaftarkan dan menggunakan merek tersebut tidak pernah ada pihak yang berkeberatan.

Pada tanggal 8 Agustus 2006, Tergugat I (YAYASAN HWA ING FONDS) dan Tergugat II (LO IWAN SETIA DHARMA) selaku pribadi maupun Ketua Yayasan HWA ING FONDS, melaporkan Penggugat ke POLWILTABES Semarang dengan dalih adanya pelanggaran Hak Cipta penggunaan logo ARISE SHINE CES. Atas laporan tersebut, POLWILTABES Semarang melakukan serangkaian pemeriksaan dan pada tanggal 5 Oktober 2006 mengeluarkan surat penahanan terhadap Penggugat. Selama Penggugat berada dalam rumah tahanan POLWILTABES Semarang, Tergugat I telah “memaksa” Penggugat untuk mengalihkan merek milik Penggugat kepada Tergugat I dengan cara Penggugat menjual merek ARISE SHINE CES kepada Tergugat I senilai Rp. 150.000.000—walaupun uang dimaksud pada kenyataannya tidak pernah diterima oleh Penggugat.

Disamping itu, Penggugat juga harus membayar kepada Tergugat II, uang senilai Rp. 400.000.000,- yang diterima oleh kuasa hukum Tergugat I dan II, dalam selembar Bilyet Giro senilai nominal tersebut, dimana menurut Tergugat II uang tersebut diperlukan untuk biaya penyelesaian perkara atau untuk mengeluarkan Pengggugat dari tahanan setelah Tergugat II mencabut laporan Polisi ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang pada tanggal 6 Oktober 2006. Kemudian pihak Kepolisian Semarang menerbitkan surat perintah Pengeluaran Tahanan terhadap diri Penggugat pada tanggal 7 Oktober 2006 dan selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 2006 diterbitkan surat ketetapan tentang Penghentian Penyidikan dengan alasan “tidak cukup bukti”.

Seluruh perbuatan yang dilakukan Penggugat dalam membuat perjanjian perdamaian disertai perjanjian jual beli merek, dilakukan atas suatu tekanan dan diluar akal sehat Penggugat, demikian dalil-dalil pihak Penggugat. Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Semarang kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana register perkara No. 237/Pdt.G/2006 tanggal 28 Juni 2007, yang mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, diantaranya menyatakan perjanjian perdamaian dan perjanjian jual beli merek yang dibuat dan ditandatangani oleh Tergugat II dengan Penggugat pada tanggal 6 Oktober 2006 adalah “batal demi hukum”.

Berlanjut pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Semarang, putusan Pengadilan Negeri Semarang di atas kemudian dibatalkan sebagaimana putusan No. 45/Pdt/2008/PT.Smg. tertanggal 17 Oktober 2008, dengan amar putusan menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Bergulir pada tingkat Kasasi sebagaimana register perkara No. 2356 K/Pdt/2008 tanggal 18 Februari 2009, putusan Pengadilan Tinggi Semarang sebelumnya kemudian dibatalkan dan untuk selanjutnya Mahkamah Agung “mengadili sendiri”, dengan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, diantaranya menyatakan perjanjian perdamaian dan Perjanjian Jual Beli merek yang dibuat dan ditandatangani oleh Tergugat II dengan Penggugat, pada tanggal 6 Oktober 2006 adalah “batal demi hukum”.

Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi Semarang telah salah menerapkan hukum, oleh karena Pengadilan Tinggi tidak mempertimbangkan keadaan Penggugat, pada saat dibuatnya perjanjian jual beli, yaitu Penggugat ditahan oleh Polisi, karena laporan dari Tergugat I dan Tergugat II untuk menekan Penggugat agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual beli tersebut. Hal semacam demikian dinilai sebagai sebentuk “misbruik van omstandigheiden” yang berpotensi mengakibatkan perjanjian demikian dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni “tidak ada kehendak yang bebas” dari pihak Penggugat untuk bersepakat—sekalipun, pada realitanya, semua Terdakwa / Tersangka berpeluang pula untuk menggunakan alibi yang serupa untuk berkelit sewaktu-waktu dikemudian hari saat Akta Perdamaian telah berhasil membuat mereka lolos dari jerat hukum sebelum kemudian menggugat Akta Perdamaian dimaksud untuk dibatalkan.

Penggugat adalah pemilik Sertifikat Hak Merek ARISE SHINE CES, dimana logo dengan merek tersebut diklaim sebagai milik Tergugat. Atas dasar klaim tersebut, Tergugat I melaporkan Penggugat ke Polisi, yang berakibat ditahannya Penggugat dan kemudian timbul perdamaian yang dibuat dihadapan penyidik, dimana Penggugat dalam keadaan ditahan. Bahwa dijualnya merek ARISE SHINE CES OLEH Penggugat kepada Tergugat atas dasar perdamaian tersebut, maka dapat dikwalifisir tujuan Tergugat melaporkan Penggugat ke Penyidik adalah untuk mengambil-alih “Merek” dimaksud—dalil mana sejatinya dapat dijadikan “alibi sempurna” oleh seluruh kalangan Tersangka / Terdakwa saat akan menggugat pembatalan Akta Perdamaian dikemudian hari saat dilepaskan dari jerat hukum pidana, dan itulah yang perlu diwaspadai oleh kalangan Korban Pelapor.

Berangkat dari pendirian Mahkamah Agung RI dalam putusannya tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung memiliki pendapat bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat saat salah satu pihak ditahan sebagai Tersangka / Terdakwa, sifatnya ialah “dibawah tekanan” dan “dalam keadaan terpaksa”, sehingga akan dikategorikan sebagai “misbruik van omstandigheiden” yang mana konsekuensi yuridisnya mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh pihak tersebut yang bisa jadi beritikad tidak baik dengan membuat klaim “dibawah tekanan”, karena hakim akan menilai tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPerdata—yakni dianggap tidak adanya “kehendak yang bebas” dari salah satu pihak yang menandatangani Akta Perdamaian.

Itulah salah satu contoh konkret kekhawatiran paling utama yang cukup beralasan untuk dipertimbangkan matang-matang oleh kalangan Korban Pelapor sebelum menawarkan ataupun menerima tawaran untuk berdamai dengan pihak Tersangka / Terdakwa yang sedang ditahan dalam proses pemidanaan terhadap dirinya. Bila kita meninjau secara normatif, perdamaian adalah hal yang niscaya dalam proses penyidikan maupun saat akan memasuki tahap penuntutan terhadap seorang Tersangka / Terdakwa, bahkan diakomodir sebagaimana peraturan berikut di bawah ini, meski potensi penyalah-gunaan dalil “tiada kehendak yang bebas” tetap berpeluang menjadi ancaman bila dikemudian hari pihak Tersangka / Terdakwa beritikad buruk dengan menggugat pembatalan Akta Perdamaian yang telah ia sepakati.

PERATURAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 2020

TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN  RESTORATIF

Menimbang :

a. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;

b. bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana;

c. bahwa Jaksa Agung bertugas dan berwenang mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani, termasuk penuntutan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, periu menetapkan Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Kejaksaan ini yang dimaksud dengan:

1. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku / Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

2. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

3. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

4. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pasal 2

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan:

a. keadilan;

b. kepentingan umum;

c. proporsionalitas;

d. pidana sebagai jalan terakhir; dan

e. cepat, sederhana, dan biaya ringan.

BAB II

PENUTUPAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN HUKUM

Pasal 3

(1) Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum.

(2) Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal:

a. terdakwa meninggal dunia;

b. kedaluwarsa penuntutan pidana;

c. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);

d. pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali; atau

e. telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).

(3) Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:

a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.

(4) Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menghentikan penuntutan.

(5) Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

BAB III

SYARAT

Pasal 4

(1) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan:

a. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi;

b. penghindaran stigma negatif;

c. penghindaran pembalasan;

d. respon dan keharmonisan masyarakat; dan

e. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

(2) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana;

b. latar belakang terjadinya / dilakukannya tindak pidana;

c. tingkat ketercelaan;

d. kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;

e. cost and benefit penanganan perkara;

f. pemulihan kembali pada keadaan semula; dan

g. adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.

Pasal 5

(1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;

b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan

c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).

(2) Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan salah satu huruf b atau hurufc.

(3) Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.

(4) Dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dikecualikan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal terdapat kriteria / keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

(6) Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:

a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:

1. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2. mengganti kerugian Korban;

3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan

c. masyarakat merespon positif.

(7) Dalam hal disepakati Korban dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan.

(8) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:

a. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;

b. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;

c. tindak pidana narkotika;

d. tindak pidana lingkungan hidup; dan

e. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Pasal 6

Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif digunakan sebagai pertimbangan Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.

BAB IV

TATA CARA PERDAMAIAN

Bagian Kesatu Upaya Perdamaian

Pasal 7

(1) Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka.

(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

(3) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua).

Pasal 8

(1) Untuk keperluan upaya perdamaian, Penuntut Umum melakukan pemanggilan terhadap Korban secara sah dan patut dengan menyebutkan alasan pemanggilan.

(2) Dalam hal dianggap perlu upaya perdamaian dapat melibatkan keluaga Korban / Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.

(3) Penuntut Umum memberitahukan maksud dan tujuan serta hak dan kewajiban Korban dan Tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian.

(4) Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka dilanjutkan dengan proses perdamaian.

(5) Setelah upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka, Penuntut Umum membuat laporan upaya perdamaian diterima kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan Negeri untuk diteruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

(6) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari pimpinan dan masyarakat, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) juga disampaikan kepada Jaksa Agung secara berjenjang.

(7) Dalam hal upaya perdamaian ditolak oleh Korban dan/atau Tersangka maka Penuntut Umum:

a. menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Bagian Kedua

Proses Perdamaian

Pasal 9

(1) Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

(2) Dalam proses perdamaian Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator.

(3) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak mempunyai kepentingan atau keterkaitan dengan perkara, Korban, maupun Tersangka, baik secara pribadi maupun profesi, langsung maupun tidak langsung.

(4) Proses perdamaian dilaksanakan di kantor Kejaksaan kecuali terdapat kondisi atau keadaan yang tidak memungkinkan karena alasan keamanan, kesehatan, atau kondisi geografis, proses perdamaian dapat dilaksanakan di kantor pemerintah atau tempat lain yang disepakati dengan surat perintah dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri.

(5) Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua).

Pasal 10

(1) Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis di hadapan Penuntut Umum.

(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau

b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.

(3) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Korban, Tersangka, dan 2 (dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum.

(4) Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat setelah pemenuhan kewajiban dilakukan.

(5) Dalam hal kesepakatan perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.

(6) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesual kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:

a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pasal 11

(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak proporsional, ancaman atau intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau pelecehan berdasarkan kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku dalam hal pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena faktor ekonomi atau alasan lain yang disertai dengan itikad baik dari Tersangka.

(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:

a. pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat;

b. keadaan yang meringankan dalam pengajuan tuntutan pidana; dan/atau

c. pengajuan tuntutan pidana dengan syarat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan tetap memperhatikan Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

Pasal 12

(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tercapai, Penuntut Umum melaporkan kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.

(2) Berdasarkan laporan Penuntut Umum sebagaimana dimaksud ayat (1), Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri meminta persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

(3) Permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lama 1 (satu) hari setelah kesepakatan perdamaian tercapai.

(4) Kepala Kejaksaan Tinggi menentukan sikap menyetujui atau menolak penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif secara tertulis dengan disertai pertimbangan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permintaan diterima.

(5) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari plmplnan, Kepala Kejaksaan Tinggi meminta persetujuan kepada Jaksa Agung dengan tetap memperhatikan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(6) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri selaku Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari sejak persetujuan diterima.

(7) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat alasan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sekaligus menetapkan status barang bukti dalam perkara tindak pidana dimaksud.

(8) Penetapan status barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(9) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicatat dalam Register Perkara Tahap Penuntutan dan Register Penghentian Penuntutan dan Penyampingan Perkara demi Kepentingan Umum.

(10) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menolak penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pasal 13

(1) Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi dari Korban, Tersangka, dan/atau pihak lain, Penuntut Umum menghentikan upaya perdamaian atau proses perdamaian.

(2) Penghentian upaya perdamaian atau proses perdamaian sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan Penuntut Umum dengan:

a. menuangkan tidak tercapai upaya perdamaian atau proses perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pasal 14

Dalam hal kesepakatan perdamaian dibuat pada tahap penyidikan dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dengan memenuhi syarat dan tata cara perdamaian sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

BAB V

PENAHANAN

Pasal 15

(1) Penahanan, penangguhan penahanan, dan/atau pembantaran penahanan terhadap Tersangka dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.

(3) Pembebasan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 16

Untuk optimalisasi pelaksanaan Peraturan Kejaksaan ini diselenggarakan bimbingan teknis dan pendidikan pelatihan.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Peraturan Kejaksaan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Kejaksaan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2020

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2020.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.