Habis Manis Sepah Dibuang, sebagai Alasan Menggugat Perceraian, Sumir namun Efektif
Question: Apakah selama ini bisa dibenarkan oleh pengadilan, suami / istri yang telah tinggal pada rumah yang saling terpisah, tidak lagi tinggal pada satu atap, sebagai alasan gugat-menggugat cerai?
Brief Answer: Tren / kecenderungan dewasa ini, alibi untuk
menggugat cerai dapat demikian sumir namun tetap dianugerahi dikabulkannya
gugatan perceraian oleh sang suami / istri. Hakim memang serba salah dalam ketika
dihadapkan kepada perkara gugat-menggugat terkait perceraian, bilamana tiada
lagi keharmonisan namun dipaksakan melangsungkan pernikahan, itu sama artinya
merampas kemerdekaan dan pengekangan yang belum tentu baik demi kebaikan kedua
belah pihak.
Namun sering pula terjadi, pihak istri telah
demikian bergantung dari segi ekonomi maupun psikologis ketika digugat cerai
oleh sang suami. Itulah pentingnya, membudayakan pola rumah-tangga dimana suami
maupun istri saling mandiri dari segi ekonomi, sebagai antisipasi terjadinya
gugat-perceraian karena tiada yang tahu apakah pasangan akan tetap konsekuen
serta berkomitmen pada janji sakral saat pernikahannya hingga belasan / puluhan
tahun kemudian. Ketika konteks yang kedua ini yang terjadi dan terungkap di
persidangan, maka hakim seyogianya tidak secara serta-merta memutus “perkawinan
putus akibat perceraian”.
PEMBAHASAN:
Salah satu contoh konkretnya
dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk cerminan dalam putusan Mahkamah Agung
RI sengketa perceraian sebagaimana register Nomor 1954 K/Pdt/2015 tanggal 25
November 2015, perkara antara pasangan suami-istri dimana sang suami selaku
Penggugat menggugat-cerai sang istri. Dari perkawinan tersebut sampai dengan
gugatan perceraian ini diajukan antara Penggugat dan Tergugat tidak dikarunia
seorang pun anak.
Penggugat mendalilkan secara
sumir saja, pada mulanya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tersebut adalah
bahagia sebagaimana layaknya pasangan suami istri dalam rumah tangga, namun
kebahagiaan tersebut pada akhir-akhir ini sirna dengan timbulnya pertengkaran
dan percekcokan yang terus menerus sedemikian memuncaknya dan tidak mungkin
untuk dapat dipulihkan kembali sebagaimana layaknya suami istri. Penggugat
sebagai suami telah berulang-kali menasehati kepada Tergugat agar berbuat baik
layaknya seorang istri, namun nasehat baik dari Penggugat tersebut tidak pernah
diindahkan oleh Tergugat sehingga membuat Penggugat merasa tertekan.
Adapun antara Penggugat dan
Tergugat sudah pisah ranjang selama lebih kurang 1 (satu) tahun lamanya. Mengingat
seringnya terjadi pertengkaran alias percekcokan dalam rumah tangga, tiada lagi
keharmonisan, maka Penggugat dapat merasakan bahwa perkawinan dengan Tergugat
sudah tidak ada kecocokan dan kebersamaan, oleh karena itu jalan satu-satunya
yang terbaik bagi kelangsungan hidup Penggugat adalah mengajukan gugatan
perceraian terhadap Tergugat. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Penggugat dalam
gugatannya memohon kepada Pengadilan Negeri Semarang agar memberikan
putusan sebagai berikut:
- Menyatakan bahwa perkawinan
antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat
hukumnya;
- Memerintahkan kepada Panitera
Pengganti Pengadilan Negeri Semarang untuk menyampaikan salinan putusan
perkara ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Catatan Sipil
dan Kependudukan Kabupaten Kudus guna dicatat didalam register yang
tersedia untuk itu dan diterbitkan pula akta perceraiannya.
Terhadap gugatan demikian oleh
sang suami, Pengadilan Negeri Semarang kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana
register Nomor 425/Pdt.G/2012/PN.Smg., tanggal 20 Maret 2013, dengan amar
sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan putus karena perceraian perkawinan antara Penggugat
dengan Tergugat yang dilangsungkan di Kudus tanggal 25 Desember 2004 dan telah
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil Kabupaten Kudus, Nomor -,
tertanggal 12 September 2006 dengan segala akibat hukumnya;
3. Memerintahkan kepada panitera Pengadilan Negeri Semarang untuk menyampaikan
salinan putusan perkara ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor
Catatan Sipil dan Kependudukan Kota Semarang agar dicatatkan pada daftar
yang diperuntukkan untuk itu dan diterbitkan akta perceraian serta memberikan
putusan ini kepada kantor Catatan Sipil dan Kependudukkan Kabupaten Kudus.”
Adapun dalam tingkat banding
atas permohonan sang istri, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi dengan Putusan Nomor 352/PDT/2013/PT.SMG, tanggal 7
November 2013. Selanjutnya pihak Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan
pokok-pokok keberatan bahwasannya sang suami selaku Penggugat notabene ialah pihak
yang mencari perselisihan sehingga tidak berhak bertindak sebagai Penggugat yang
menuntut perceraian, setelah di persidangan baru terbukti jika memang ada
wanita simpanan yang diakui oleh sang suami, dan bersikukuh bahwa perkawinan masih
dapat dipertahankan.
Tergugat selaku isteri merasa telah diceraikan secara sewenang-wenang
karena suami punya “wanita idaman lain’. Hal itu sudah terbukti di dalam
persidangan, dengan mengakui di persidangan bahwa sang suami berpacaran dengan wanita
lain dan menyimpan fotonya di dompet agar sang istri menjadi marah, sebagaimana
pengakuan sang suami bahwa ia sengaja menaruh foto wanita lain di dompet agar sang
istri menjadi marah sehingga timbul perselisihan dalam rumah tangga.
Bagaimana mungkin, pihak yang
sengaja memicu perselisihan dan percekcokan dalam rumah-tangga dapat menggugat
perceraian, Tergugat untuk itu mengutipkan kaidah hukum dari Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2751 K/Pdt/1988 tanggal 31 Mei 1989
menyatakan: “Suami atau isteri atau pihak
yang menjadi penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran tidak berhak atau
tidak dapat bertindak sebagai Penggugat menuntut perceraian berdasarkan Pasal
19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Begitupula ketika merujuk Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1981, dalam pertimbangan khususnya
angka pertama dan kedua menyebutkan:
“Menurut pengamatan Mahkamah
Agung maka gugatan-gugatan perceraian (Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975) dan surat permohonan dari suami untuk menceraikan isteri (Pasal 14
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975) berdasarkan alasan terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga (Pasal 19 f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
yang diajukan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah
terus meningkat jumlahnya.
Dalam memeriksa perkara-perkara
tersebut di atas dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung kerap menjumpai, bahwa:
1. Pemeriksaan di muka sidang dilakukan terlalu summir, tanpa nampak adanya
usaha yang sungguh-sungguh untuk memperoleh gambaran mengenai kebenaran dan
motif yang menjadi latar belakangnya;
2. tidak diselidiki siapa penyebab dari pada perselisihan tersebut
sedangkan hal ini menentukan bagi Hakim untuk memberi keputusannya, mengingat penyebab
perselisihan tidak mungkin dapat meminta cerai berdasarkan Pasal 19 f Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”;
3. Pertimbangan Judex Facti tingkat banding mengenai terbukti adanya percekcokan
dipertimbangkan secara terpisah dengan alasan yang melatar-belakanginya dan
dipisahkan dengan kaidah-kaidah yang membatasinya, sehingga apabila
dipertimbangkan secara keseluruhan maka seharusnya tidak boleh diputus cerai.”
Pengadilan mempertimbangkan
telah terbukti adanya percekcokan, karena dua hal berikut: a. Tergugat sudah
meninggalkan rumah; dan b. Pihak pemuka tempati abdah sudah berusaha untuk
mendamaikan Penggugat dan Tergugat agar tidak bercerai namun gagal. Namun demikian,
adalah suatu hal yang penting untuk diketahui penyebab perceraian adalah
apabila ternyata diketahui adanya selingkuhan, maka yang berselingkuh
seharusnya tidak dapat menjadikannya alasan bercerai, dimana juga hal semacam
itu bukanlah perselisihan yang tak dapat didamaikan kembali. Tergugat adalah
pihak yang “terzolimi”, namun kemudian tanpa empati justru diberikan “punishment” oleh hakim dengan
mengabulkan gugatan suami yang berselingkuh.
Sebuah preseden yang buruk
dalam bidang hukum perkawinan, sebab terhadap suami yang “bersalah” justru diberikan
perlindungan hukum serta “insentif”. Kaum isteri tidak diberikan perlindungan hukum
terhadap suami yang berselingkuh. Suami bersikeras bercerai agar dapat
mengawini perempuan lain. Ibarat “habis manis sepah dibuang”, sekalipun secara terang-terangan
di pengadilan Penggugat mengaku mempunyai pacar meski terikat hubungan
perkawinannya dengan Tergugat. Berani menikahi Tergugat, maka Penggugat
seharusnya berkomitmen serta konsekuen bertanggung-jawab sebagai seorang suami.
Untuk menguatkan dalilnya, Tergugat
kembali mengutip kaidah Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
2249 K/Pdt/1992 tanggal 22 Juni 1994, yang menyatakan:
“Pertengkaran antara Penggugat
(suami) dan Tergugat (istri), karena ternyata Penggugat berhubungan dengan wanita
lain (Betty) sebagai wanita simpanan dan telah hidup bersamanya, tidak dapat
dijadikan alasan untuk perceraian, karena pertengkaran tersebut bukan perselisihan
yang tidak dapat diharapkan untuk rukun kembali sebagaimana dimaksudkan pada
pasal 19 f, Peraturan Pemerintah 9/1975.”
Secara garis besarnya seputar latar-belakang
yurisprudensi di atas, Penggugat dalam perkara tersebut mendalilkan terjadi
percekcokan terus-menerus yang tak dapat didamaikan karena isterinya sering mengeluarkan
kata-kata kotor, mengabaikan kewajiban dalam mendidik anak, serta sudah tidak
serumah, padahal itu bukan alasan yang sebenarnya. Terbukti di persidangan jika
ternyata ada wanita simpanan dari Penggugat bernama Betty, walaupun Penggugat
tak akui perihal wanita simpanan tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya,
Mahkamah Agung mempertimbangkan jika perselisihan karena akibat adanya wanita
simpanan, maka hal itu bukan sebagai perselisihan terus-menerus yang tak dapat didamaikan
sebagaimana Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah 9/1975. Mahkamah Agung ternyata
juga mempertimbangkan jika di depan pemeriksaan di persidangan, tidak ternyata
bahwa saksi pemuka agama menyatakan bahwa hubungan Penggugat dan Tergugat
sebagai suami-isteri tidak dapat dirukunkan kembali, tetapi menyatakan bahwa
untuk merukunkan kembali diperlukan waktu.
Terdapat kesamaan yang nyata
antara yurisprudensi rujukan di atas dengan perkara gugatan ini, yakni adanya
wanita simpanan juga yang terungkap di persidangan. Terlebih jika dalam
yurisprudensi perkara di atas Penggugatnya tidak mengakui, maka dalam perkara
ini pihak suami mengaku jika berpacaran dengan wanita lain. Sang suami
sebenarnya tidak pernah ada perselisihan terus-menerus yang tak dapat
didamaikan dengan sang istri. Alasan yang melatar-belakangi adanya perselisihan
pun sampai dengan usainya pemeriksaan di persidangan telah tidak diketahui disebabkan
oleh apa, justru pihak suami itu sendiri ternyata mengungkap di persidangan
jika ia punya wanita simpanan, melalui pengakuannya di persidangan,
terang-terangan mengaku saat dikonfrontir sang istri bahwa memang sang suami memiliki
pacar berupa “wanita idaman lain”.
Dimana terhadap keberatan-keberatan
sang istri yang “dicampakkan” secara legal saat telah menjelma menjadi “sepah
dibuang setelah manis-nya habis”, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta
amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi
Semarang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa karena sesuai keterangan
saksi-saksi keduanya telah pisah rumah sebagai akibat percekcokan
Tergugat dengan Penggugat, bahkan telah pernah diselesaikan Gembala senior di
Gereja akan tetapi tidak berhasil;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh PEMOHON KASASI tersebut harus ditolak;
“Menimbang, bahwa dalam perkara
ini Mahkamah Agung dapat mengijinkan kepada Pemohon Kasasi untuk tidak membayar
biaya perkara;
“M E N G A D I L I :
1. Menolak permohanan kasasi dari: PEMOHON KASASI tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi
ini ditetapkan sejumlah nihil.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.