Konon, Indonesia adalah Negara (Berdasarkan) Hukum
Namun apakah Betul Kita Benar-Benar Aman dan
Terlindungi oleh Hukum maupun oleh Aparaturnya?
Seorang kepala Divisi Propam POLRI, yang menjadi kepala tertinggi “polisinya polisi”, justru melakukan aksi mafioso “yang lebih preman daripada premanisme biasa” berupa pembunuhan berencana yang tersistematis—memakai tangan milik orang lain, pemunuhan spontan selalu bersifat memakai tangan milik sendiri. Memberi perintah untuk membunuh sudah merupakan jeda waktu yang menderogasi sifat spontanitas aksi pembunuhan—serta aksi persekusi (main hakim sendiri) bahkan para perwira berpangkat Jenderal-Polisi turut terlibat dalam “obstruction of justice” berupa press release berisi “prank”, menghapus alat bukti, rekayasa olah Tempat Kejadian Perkara yang penuh adegan fiktif, menutup-nutupi, dan segala kejahatan lain yang sukar dipercaya oleh orang awam kejahatan.
Polisi justru menjadi “beking” aktivitas
kejahatan para penjahat. Ketika pembentuk peraturan perundang-undangan justru
lebih kerap menampung aspirasi para pemodal kuat membentuk jejaring oligarkhi,
suatu relasi berupa “perselingkuhan secara diam-diam” antara “government” dan “businessman”, menjelma suatu “law
as a tool of crime”. Para mafia terus berkeliaran dan merajalela menguasai sendi-sendi
kehidupan kerakyatan, mulai dari mafia pupuk bersubsidi, mafia pada bandara terminal
khusus kedatangan para “pahlawan devisa”, mafia bawang merah, mafia gula pasir,
mafia benih lobster, mafia garam, mafia mafia ayam potong dan telur (para
kartel harga), mafia minyak goreng, dimana bahkan seorang pejabat sekelas
Menteri Sosial justru mengorupsi hak-hak rakyat dengan merampok nasi dari
piring orang-orang yang lebih miskin daripada sang menteri, dikala pandemik
sedang menghantam kesehatan maupun ekonomi rakyat banyak—jika perilaku Polisi
dan Menteri Sosial kita di republik bernama Indonesia ini demikian “satanic”, maka bagaimana dengan pejabat
publik kita lainnya maupun menteri-menteri non-sosial lainnya? Pejabat daerah
dipilih langsung, namun durhaka dengan mengorupsi hak-hak konstituennya.
Lebih banyak aduan warga korban
pelapor yang diabaikan dan ditelantarkan atau bahkan dijadikan objek pemerasan
ala “sapi perahan” oleh kalangan aparatur penegak hukum kita—para preman
berpistol—ketimbang yang benar-benar ditindak-lanjuti. Itupun, realita selalu dihadapkan
pada pemberitaan klise perihal “overcapacity”
lembaga pemasyaratakan kita, sehingga para kriminil menikmati “obral remisi”,
meski negeri ini tidak pernah kekurangan kaum “agamais”. Masyarakat “agamais”
kita, begitu kompromistik terhadap dosa maupun maksiat, berkat iming-iming korup
“too good to be true” bernama “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, namun disaat bersamaan masyarakat “agamais”
kita begitu intoleran terhadap kemajemukan. Belum lagi kita berbicara perihal
fakta empirik dimana para preman berkeliaran di jalan-jalan seolah dilestarikan
oleh “negara yang tidak benar-benar hadir di tengah masyarakat”.
Selama ini masyarakat kita
dikenal sangat korup terhadap sesama warga, bukan hanya pejabat negara yang
korup, sehingga aksi korupsi mungkin sudah dianggap sebagai “endemik” alih-alih
“pandemik”—sebagaimana kebijakan pemerintah Indonesia yang sama sekali tidak
pernah menerapkan kebijakan “lockdown”
disaat wabah pandemik masih mengganas meneror dunia global sehingga puluhan
ribu warga kita menjadi korban jiwanya terutama mengancam kalangan komorbit yang
rendah sistem imunnya maupun kalangan lanjut usia, dimana sedari sejak awal warga
dibiarkan “hidup berdampingan” dengan wabah (dengan alibi agar tercipta “kekebalan
komunal”, selayaknya selama ini masyarakat kita “hidup berdampingan” dengan
para pejabat korup, masyarakat korup, maupun para pelaku aksi premanisme. Lihatlah,
negeri ini sama sekali tidak memiliki apa yang dinamakan “tertib niaga”, dimana
alih-fungsi pemukiman menjelma tempat usaha lengkap dengan “dampak sosial”, “dampak
lingkungan”, maupun “dampak lalu lintas” yang meresahkan dan mengganggu
ketenangan hidup warag pemukim, namun terjadi pembiaran bahkan “di-beking-i”
oleh pejabat setempat. “Oknum”-nya terlampau banyak untuk masih dapat disebut sebagai
“oknum”, alias “oknum berjemaah”.
Ketika terdapat gelontoran dana
bantuan sosial maupun bahan kebutuhan pokok bantuan dari pemerintah pusat
maupun daerah bagi masyarakat, itu pun masih pula dikorup oleh pejabat setempat
hingga oleh pejabat rukun tetangga dan rukun warga. Hakim yang semestinya lebih
pandai mengadili, justru lebih pandai menghukum, bahkan sudah menjadi “rahasia
umum” para kalangan hakim kita menjual-belikan putusan, mulai dari Hakim Agung,
Hakim Konstitusi, tidak terkecuali hakim pada Pengadilan Negeri, Jaksa Penuntut
Umum pada institusi Kejaksaan, maupun Penyidik Kepolisian. Lihatlah ulah sikap
para Aparatur Sipil Negara kita pada berbagai kementerian, meskipun upah dan
remunerasi mereka secara rata-rata pendapatan per kapita sudah lebih dari cukup
memadai yang bersumber dari pajak yang dibayar oleh masyarakat, terhadap masyarakat
sipil selalu mereka pandang dan sikapi selayaknya melihat “sapi perahan” untuk
mereka peras. Taring mereka ibarat jarum nyamuk yang serakah menghisap darah, akan
tetapi masih pula mengharap dan berdelusi yakin akan masuk alam surgawi saat
ajal menjelang.
Contoh paling kasat-mata yang
dapat siapapun jumpai dengan mata-kepala sendiri sejak zaman lampau hingga
detik ini, ialah para petugas loket maupun para pejabat “civil servant” di balik meja “pelayanan namun minta dilayani” pada
Kantor Pertanahan. Papan, merupakan salah satu kebutuhan pokok penduduk
disamping pangan dan sandang, namun masih juga kebutuhan pokok warga tersebut dijadikan
objek pungutan liar alias pemerasan, secara terang-terangan tanpa rasa malu
ataupun rasa takut, seolah sudah lazim praktik kotor dan jahat demikian terjadi
ruang terbuka sekalipun, sebuah kultur. Lihatlah egoisme para penghisap bakaran
tembakau kita, tidak peduli terhadap hak kesehatan para anggota masyarakat yang
alergi pernafasannya atau yang bisa berpotensi terjangkit penyakit akibat menghirup
asapnya, terlebih mereka kerap memegang puntung menyala dengan ujung jari lalu
mengayun-ayunkan jarinya hingga mengenai mata orang yang melintas di dekatnya.
Berbagai lembaga keuangan
perbankan maupun lembaga pembiayaan mengklaim (gimmick) bahwa lembaganya diawasi oleh otoritas saat berjaulan
maupun mengkampanyekan “brand”
usahanya ke publik dan calon konsumen—dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan—sehingga
calon nasabah ataupun konsumen tidak perlu khawatir karena terlindungi. Namun lihatlah
kasus derita ribuan nasabah Jiwasraya maupun Asabri, yang notabene “plat merah”
serta diawasi oleh otoritas. Lihatlah pula kasus-kasus seperti yang dialami
oleh nasabah Asuransi Kresna, bukanlah lembaga tersebut diawasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan? Jangankan lembaga bisnis berbasis / berorientasi profit, lembaga
filantropi seperti Aksi Cepat Tanggap (Yayasan ACT), didapati menyetorkan
sejumlah dana donasi donatur untuk kegiatan aksi teror!sme, sekalipun bertahun-tahun
sebelumnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan telah memberikan “early warning” serta laporan kepada
Kementerian Sosial, namun Kementerian Sosial bergeming, izin operasional
Yayasan ACT baru dicabut saat jurnalis sipil (dari Majalah TEMPO) melakukan reportase
investigasi yang mendapati para petinggi dan pejabat Yayasan ACT mengutip 30%
dari total dana donasi yang mereka himpun untuk memperkaya diri mereka sendiri,
bahkan mengorupsi dana hibah Corporate
Sosial Responsibility dari produsen / manufaktur pesawat terbang kepada
ahli waris korban jiwa penumpang pesawat produksi mereka.
Belum lama ini masyarakat kita
juga digemparkan oleh kasus gagal ginjal pada anak yang diakibatkan cemaran
etil glikol dan dietil glikol pada produk obat bersirup—sekalipun kesemua itu
diedarkan dan distribusikan secara luas berdasarkan izin edar dari BPOM, Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Apa yang kemudian terjadi, ketika jatuh korban jiwa
akibat produk-produk yang berlabel “izin BPOM” tersebut? BPOM hanya sibuk
menindak produsennya, namun tidak memberi pertanggung-jawaban kepada rakyat
yang menjadi korban, sehingga kini nasabah Asuransi Kresna menggugat OJK dan
juga terdapat gugatan warga sipil terhadap BPOM terkait kasus gagal ginjal pada
anak, keduanya atas dasar kelalaian otoritas negara.
Baru-baru ini saat ulasan ini
disusun, sedang viral berita yang dilansir oleh detikNews dengan tajuk “Bripka
Madih yang Viral soal ‘Polisi Peras Polisi’ Mundur dari Polri” pada 04 Feb
2023, dimana anggota Provos Polsek Jatinegara, Bripka Madih, mengaku diperas
sesama polisi saat mengurus kasus sengketa lahan. Terkini, Madih mengundurkan
diri dari Polri. Madih menyampaikan sejumlah alasan terkait pengunduran dirinya
itu. Salah satunya karena merasa lelah menghadapi kasus sengketa lahan yang
dilaporkan ibunya ke Polda Metro Jaya yang tak kunjung tuntas. “Mengapa mengundurkan diri, karena kita sudah
capek. Capek karena nggak diusut-usut.”
Bripka Madih, mengaku diperas
sesama polisi saat mengurus soal sengketa lahan milik orang tuanya. Bripka
Madih menjelaskan duduk perkara postingan viral dirinya itu. Madih mengatakan
melaporkan soal sengketa sebidang lahan di Bekasi ke Polda Metro Jaya pada
2011. Lahan tersebut, menurutnya, kini dikuasai oleh sebuah perusahaan. Ia juga
mengklaim ada beberapa akta jual beli (AJB) yang tidak sah karena tidak
disertai cap jempol. “2011 itu setelah
pemeriksaan berkas-berkas, kita sangkal di situ ada surat pernyataan bahwa
tempat yang ditempatin itu dibeli dari calo-calo. Terus ada akta-akta yang
nggak (dicap) dijempol. Ini kan murni kekerasan, penyerobotan, kok bisa timbul
akta?”
Saat diminta mengusut, penyidik
dari Polda Metro Jaya berinisial TG, yang saat ini sudah purnatugas, meminta “uang
pelicin”. Kata Madih, TG meminta kepada dia uang Rp 100 juta serta sebidang
tanah seluas 1.000 meter persegi. “Makanya
ane bilang waktu itu kita diminta dana penyidikan dan hadiah, ya terlalu miris.
(Permintaannya) Rp 100 juta sama (lahan) 1.000 meter.” Sekalipun, dalam hal
ini dirinya adalah korban yang telah dirugikan dengan kasus sengketa tanah
milik orang tuanya atas penyerobotan tanah yang dilakukan pihak lain. Mengapa
korban yang justru diperas oleh poliis? Kendati sudah diserobot, Madih mengaku
masih harus membayar pajak tanah tersebut. “Ane
ini korban karena yang terserobot ini 6.500 (persegi), 6.500 itu kan besar
nilainya. Dan kita masih bayar pajak, masih ada giriknya, masih utuh giriknya.
Di girik 191 jumlahnya 4.411, yang diserobot 3.600-an, kita menguasai 1.800-an.
Yang saat ini di girik 815 jumlahya 4.954, sekarang kita menguasai 2.000, yang
2.954, dikuasi sama PT.”
Itulah potret atau cerminan
nyata budaya aparatur penegak hukum kita di Indonesia, dimana penegakan hukum
pidana dijadikan komoditas bisnis yang mana rakyat sipil dijadikan “sapi
perahan” untuk diperas sekalipun para aparatur penegak hukum tersebut sejatinya
memenopolistik kewenangan penindakan dan penegakan hukum pidana, akses
peradilan pidana, disumpah jabatan, memiliki kewajiban profesi, kode etik,
serta digaji dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Terhadap pemberitaan
demikian, netizen bersuara dengan antara lain kutipan sebagai berikut:
Kalo zaman dulu seribu satu
orang jujur, zaman sekarang semilyard satu orang jujur.
===
Sama sesama polisi aja begitu
ya, gimana ama rakyat biasa? percuma pencitrasn trs di TV tp faktanya masih gak
berubah.
===
Bukti nyata bhw Presisi itu
hanya jargon doang boss, coba deh berbenah yg bener.
Tiada yang pasti—terlebih
jaminan—dalam hidup ini kecuali ketidakpastian—dan tiadanya jaminan—itu
sendiri. Terlampau banyak “toxic people”
yang membuat hati kita mengerut, membiru, sebelum kemudian tenggelam. Untuk
menyikapi ketidakpastian tersebut dalam keseharian, secara pribadi penulis
menciptakan kredo berikut yang dijadikan “mantra” untuk penulis ucapkan secara
internalisasi ke dalam diri, hati, dan pikiran sendiri, yakni sebuah “self talk” dalam rangka penguatan jiwa
dan mental berikut, yang dapat Anda tiru serta terapkan sesering yang Anda mampu
bila memang membawa manfaat:
“Menyakiti diri sendiri,
Barulah tercela.
Membiarkan diri kita disakiti (oleh orang lain),
Barulah menakutkan.
Lebih baik disakiti (oleh orang lain),
Daripada menyakiti diri kita sendiri.
Lebih baik orang lain tidak mampu memahami diri kita,
Daripada gagal memahami diri kita sendiri.
Ibarat seorang badut,
Telah siap mental dari sejak awal,
Sehingga ketika orang lain menertawai sang badut,
Sang badut tetap kukuh dan bergeming jiwanya.
Orang lain bisa saja mengomentari diri kita secara tidak bijaksana,
Namun kita tidak butuh komentar mereka.
Orang lain bisa saja memiliki delusi bahwa mereka punya
hak untuk melarang atau mengatur diri kita,
Namun kita tidak butuh izin mereka atas hidup yang kita
jalani sendiri.
Si vis pacem para bellum,
Jika ingin hidup damai,
Maka kita harus siap untuk berperang.
(Seperti juga kata Pepatah Inggris)
BE A GOOD PERSON, BUT DON’T WASTE TIME TO PROVE IT!
Jadilah orang baik,
Namun jangan buang waktu untuk membuktikannya.
Biarlah orang lain menilai kita sebagai apa,
Itu bukan urusan kita.
Urusan kita ialah mengurusi urusan kita sendiri.”
Atau, bila kita singkat dengan
versi yang lebih singkat, maka berikut inilah “mantra” versi lebih sederhana yang
perlu Anda ulangi sebagai “self talk”
saat memulai hari atau saat menjalani hari-hari Anda di keseharian yang bisa
jadi berjalan secara tidak ideal, hal-hal tidak terduga, ataupun atas kejadian-kejadian
dimasa mendatang yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan:
“Menyakiti diri sendiri,
Barulah tercela.
Lebih baik disakiti (oleh orang lain),
Daripada menyakiti diri kita sendiri.
Lebih baik orang lain tidak mampu memahami diri kita,
Daripada gagal memahami diri kita sendiri.
Ibarat seorang badut,
Telah siap mental dari sejak awal,
Sehingga ketika orang lain menertawai sang badut,
Sang badut tetap kukuh dan bergeming jiwanya.”
Terkadang dan acapkali, kita
butuh “mantra” dengan versi yang lebih singkat dan ringkas namun efektif sesuai
tuntutan kondisi. Untuk itu, versi yang lebih ringkasnya lagi untuk para
pembaca hafal dan lafalkan lewat repetisi membatin ke dalam hati di keseharian ialah
dengan kutipan yang sangat bermanfaat—setidaknya bagi diri pribadi penulis—sebagai
berikut:
“Menyakiti diri sendiri,
Barulah tercela.
Yang terpenting kita tidak menyakiti diri kita sendiri.
Yang terpenting kita memahami diri kita sendiri.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.