Pemaksaan artinya Merampas Hak serta Merampas Kemerdekaan Orang Lain untuk Memilih Diam dan untuk Tidak Diganggu (Hak untuk Bebas dari Gangguan)
Jangan Bersikap Seolah-olah Orang Lain Punya
Kewajiban untuk Menjawab dan Meladeni Orang yang Tidak Dikehendakinya
Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Tidak Punya Hak
untuk Diam dan Hak untuk Tidak Menjawab
Baik itu berupa penyerobotan, pemaksaan, pemerasan, maupun aksi semacam pencurian dan perampokan, sejatinya ialah ekses dari sifat-sifat picik kalanganorang dengan pikiran kerdil, yang mana genus dari kesemua contoh aksi tercela di atas ialah suatu perbuatan “merampas”—tidak terkecuali “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik” yang khas dipertontonkan oleh masyarakat kita di Indonesia di depan umum maupun di berbagai ruang publik, seyogianya yang terjadi ialah suatu bentuk perampasan terhadap kesehatan maupun keselamatan jiwa milik orang lain.
Bila kita menghormati serta menghargai lawan bicara kita,
maka etika komunikasi mengajarkan kita untuk tidak memaksa lawan bicara kita
untuk menjawab setiap pertanyaan kita, dan membebaskan lawan bicara kita
sepenuhnya untuk bicara ataupun tidak bicara, untuk menjawab / meladeni ataupun
tidak menanggapi pertanyaan maupun ucapan kita. Dengan demikian, lawan bicara
kita mendapatkan pengakuan penuh atas hak serta martabatnya, diperlakukan secara
hormat sebagai sesama warga yang saling sederajat di mata hukum, tidak
terkecuali bahwasannya ia memiliki hak penuh atas dirinya sendiri (the right to self determination), disamping
(tentunya) hak untuk diam maupun hak untuk tidak menjawab—termasuk didalamnya
pengakuan atas hak untuk tidak diganggu aktivitas / pekerjaan serta hak untuk
tidak disita waktu miliknya untuk beristirahat dan lain sebagainya. Namun telah
ternyata, pengakuan dan penghormatan mata merupakan hal langka dan istimewa di
republik ini.
Sebaliknya, segala bentu sikap
yang merendahkan harkat dan martabat individu lainnya, seperti komunikasi yang
penuh pelecehan ataupun pemaksaan yang merendahkan martabat, patut diganjar
dengan “punishment” alih-alih
dituruti dan diladeni atas dasar rasa takut atas intimidasi verbal maupun
intimidasi bahasa tubuh yang bersangkutan—orang-orang yang akan “main fisik”
seperti menganiaya atau menyakiti / melukai kita semata karena kemauannya tidak
dituruti ataupun untuk menyelesaikan setiap masalah, adalah pertanda “bukan
orang baik, namun orang yang tidak benar” alias orang yang tidak takut berbuat
dosa. Tips berikut dapat para pembaca terapkan ketika berhadapan atau
dihadapkan kalangan “premanis” pelaku aksi premanisme yang tidak segan
melakukan aksi kekerasan fisik terhadap warga lainnya:
“Jadi, mau kalian apa? Mau pukul
saya? Mau lukai dan sakiti saya dengan kekerasan fisik? Kalian takut dosa tidak
dengan aniaya dan lukai orang lain? Kalau kalian ternyata datang untuk
menyakiti kami / saya, itu pertanda kalian bukan orang baik-baik, namun ORANG
TIDAK BENAR, ORANG JAHAT!”
Setakut apapun kita karena
ditakut-takuti oleh intimidasi, tetap sisakan ruang kebebasan berupa “pikiran
bebas dan jernih untuk menilai dan memutuskan sendiri”—lebih baik disakiti oleh
orang lain daripada kita menyakiti diri kita sendiri. Jika sekalipun Anda
merasa takut, gentar, sungkan, merasa “tidak enakan”, atau belum siap secara
mental, maka jangan tunjukkan perasaan-perasaan yang “melemahkan hati” diri kita
tersebut, baik bahasa tubuh maupun intonasi suara, semata agar Anda tidak
“dimakan” (dijadikan objek “mangsa empuk”). Anda, tanpa terkecuali, adalah
individu yang bebas dan merdeka, bukan anggota dari bangsa terjajah juga budak
kasat budak siapapun, Anda sederajat di mata hukum dengan warga lainnya. Pemaksaan,
artinya perampasan terhadap kemerdekaan memilih pihak-pihak yang dipaksa. Karenanya,
bersikaplah “seolah-olah” Anda merupakan bangsa yang bebas dan merdeka, alias
bukan bangsa terjajah maupun jajahan siapapun. Karena Anda, tanpa terkecuali, memang
bebas dan merdeka!
Ada sebentuk mentalitas
“premanis” ala “aroganis” yang kental mewarnai sikap dan watak bangsa kita yang
dipertontonkan secara vulgar tanpa malu terlebih dijadikan “tabu”, budaya yang
sudah penulis jumpai bahkan sedari sangat muda bertumbuh dan hidup di Republik
Indonesia selama hampir separuh abad lamanya—sikap-sikap mana jelas tidak
menaruh respek terhadap harkat maupun martabat warga lainnya. Untuk memudahkan
pemahaman para pembaca, ilustrasi sederhana berikut ini memiliki kedekatan (proximity) dengan keseharian para
pembaca yang dapat penulis prediksi kerap atau tidak jarang mengalaminya
sendiri pengalaman serupa yang pernah atau sering penulis hadapi secara
langsung.
Beberapa waktu lampau, penulis
pernah beberapa kali membeli makanan ringan yang dijajakan oleh penjual makanan
ringan pikulan yang melintas di depan kediaman rumah penulis. Namun sikap atau
cara pendekatan sang penjual menjajakan tampak tidak berkenan di-benak penulis,
membuat konsumen merasa tidak nyaman membeli dagangan yang ia jajakan—membuat
calon pembeli tersandera oleh “perangkap mental”, seolah-olah adalah jahat bila
warga tidak membeli dari yang bersangkutan—sehingga penulis putuskan untuk
tidak lagi membeli darinya. Keesokan harinya, penulis sedang sibuk menyapu
halaman depan rumah, dimana sang penjaja makanan kembali lewat di depan rumah.
Kali ini, penulis tidak menyambutnya, bungkam seribu bahasa, dan tetap
tenggelam dalam aktivitas menyapu, sementara itu sang penjaja makanan
menjajakan dagangannya dengan berhenti di depan kediaman penulis sembari
menaruh barang jualannya—sekalipun penulis tidak pernah memanggilnya, juga
tidak pernah mengatakan hendak membeli, sehingga tiada yang meminta ataupun
memaksa yang bersangkutan untuk bersikap demikian (karenanya juga penulis tidak
bersedia “dipaksa secara halus ataupun secara kasar”.
Dengan berisiknya sang penjaja
menjajakan dagangannya kepada penulis, sekalipun tidak penulis hiraukan yang
tetap dengan kesibukan menyapu, sekalipun juga penulis punya hak untuk tidak
diganggu disamping hak atas privasi. Sampai pada akhirnya, sang penjaja makanan
merasa kesal dan jemu sendiri, lalu mengambil pikulannya dari tanah dan kembali
berjalan sembari memaki atau menggerutu kepada penulis—memaki sikap diam dan
bungkam penulis, seolah-olah penulis tidak punya hak untuk itu dan punya
kewajiban untuk menjadi “objek pemuas nafsu” orang tidak diundang. Sesingkat
ini saja yang kemudian menjadi tanggapan dan ucapan pertama penulis pada pagi
hari itu kepada yang bersangkutan, “Jualan
kok, MAKSA!”
Yang bersangkutan merasa
(berdelusi) memiliki hak untuk merampas kemerdekaan berpikir maupun kemerdekaan
bersikap penulis (kehendak bebas maupun kebebasan untuk memilih), suatu bentuk
mentalitas yang tidak menghargai “self
determination” maupun “pilihan bebas” (free
will) atas hidup kita sendiri sebagai individu. Yang bersangkutan juga telah
berdelusi seolah-olah orang lain memiliki kewajiban terhadap diri yang
bersangkutan, yang penulis maknai sebagai bentuk-bentuk kasar dari
mentalitas arogansi itu sendiri.
Sekalipun, sejatinya bisa saja
penulis membuang-buang waktu berdebat dengan sang “aroganis” dengan kalimat
sebagai berikut : “Saya tidak pernah
bilang mau beli, dan juga tidak pernah memanggil kamu. Jadi, jangan memaksa.
Saya tidak mau diganggu, juga merasa terganggu!” Meski, belajar dari
pengalaman sebagaimana kejadian yang sudah-sudah, akan lebih galak yang ditegur
ketimbang yang memberi teguran, sebagaimana lebih galak pelaku kejahatan daripada
korbannya yang menjerit tidak senang, sekalipun “menjerit kesakitan merupakan
hak asasi korban”—korban mana pula yang akan dengan senang hati disakiti
ataupun dilecehkan? Itulah ketika, pelaku menghakimi dan melakukan penghakiman
untuk kali keduanya terhadap sang korban.
Ia pikir siapa dirinya?
Urusannya bukanlah urusan penulis, urusan penulis ialah mengurus urusan penulis
sendiri—itulah yang disebut sebagai menjadi individu yang saling bersikap
profesional, yakni bersikap menghormati hak, martabat, serta kebebasan sesama
rakyat sipil disamping kemerdekaan berpikir diri kita sendiri maupun
kemerdekaan orang lain. Seorang polisi saja ketika menangkap dan menahan
seorang tersangka, wajib menyatakan kalimat peringatan berikut ini : “You have RIGHT to remain SILENT!”,
kita punya hak untuk tetap diam juga hak untuk tidak menjawab (prinsip “Miranda
Rule”, preseden yang bersumber dari best
practice peradilan pidana di Amerika Serikat).
Kejadian yang berikut ini lebih
sering terjadi pada berbagai ruas jalan yang terdapat “tukang ojek ‘offline’ pangkalan”, penulis yang
melintas dengan berjalan kaki secara “diam manis” (akan tetapi kemudian tetap
juga disalahkan dan dipersalahkan, meski pepatah orang beradab mengatakan “silent is golden”), namun secara mendadak
ada “tukang ojek” yang meneriaki penulis dengan sikap seolah hendak meneriaki
seorang maling sembari menatap penulis seperti serigala kelaparan hendak
menerkam dan memangsa mangsa target incaran-nya, “OJEK! OJEK!” seraya menepuk-nepuk tangannya meminta perhatian—nama
penulis bukanlah “ojek”, bagai “ojek teriak ojek”, juga sikap “sok kenal” mengiritasi
yang membuat penulis merasa risih.
Yang membuat penulis kian
merasa jijik terhadap sang “tukang ojek” ialah, semakin penulis tidak
menghiraukannya dan semakin penulis tidak ingin diganggu olehnya yang meneriaki
orang lain secara tidak hormat demikian (layak diberi “punishment”, bukan justru menjadi takut-terintimidasi dan
memberinya “reward”), semakin
menjadi-jadi sang “tukang ojek” yang “annoying”,
bahkan dapat berpotensi membahayakan penulis yang semestinya berkonsentrasi para
arus lalu-lintas yang padat agar tidak mengalami kecelakaan ataupun membahayakan
pengguna jalan lainnya.
Ia bersikap seolah-olah orang
lain “tuli”. Orang yang bila memang hendak menyewa ojek—hari gini, masih butuh
“ojek offline”?—maka sekali diteriaki
“ojek” sudah cukup, yang bila benar-benar butuh akan menghampiri sang “tukang
ojek” untuk menyewa jasa transportasinya secara bebas tanpa intimidasi apapun (sama-sama
ikhlas barulah sumber nafkah yang bersih). Namun ini tidak, secara “toxic” sang pekerja “dengkul” (alih-alih
bekerja secara cerdas dengan otak, akibat otaknya telah tergadaikan demi otot
untuk mengintimidasi) justru meneriaki (bahkan menepuki tangannya keras-keras
menyita perhatian) tanpa sikap respek, “OJEK!
OJEK! Hoooi, OJEK! OJEK! OJEK! OOOIII!!!” Calon konsumen mana yang akan
senang diperlakukan seperti seorang maling? Itulah cerminan EQ yang tiarap,
sudah sesuai dengan profesinya yang (mohon maaf) “rendahan”.
Ia bersikap seolah-olah penulis
tidak punya hak untuk diam dan tidak diganggu, hak untuk memilih secara bebas
atau “kebebasan memilih”, ataupun hak untuk menolak. Ia juga bersikap
seolah-olah penulis punya kewajiban untuk disita perhatiannya serta meladeni
dan memuaskan yang bersangkutan, seolah-olah warga lainnya adalah “alat pemuas
nafsu” bagi orang lain. Derajat ketidak-beradaban yang bersangkutan, tidak lagi
sekadar tidak menaruh hormat ataupun penghargaan terhadap warga lainnya, namun
juga mempertontonkan secara vulgar di depan umum sikap-sikap pemaksaan alias
merampas kemerdekaan orang lain untuk memilih “tetap diam”, kebebasan untuk
tidak meladeni, hak untuk tidak diganggu, maupun pilihan bebas untuk berbicara
maupun tidak berbicara.
Sesukar itukah, mencari nafkah tanpa
memaksa terlebih mengintimidasi pihak lainnya? Sumber nafkah yang bersih dari
segala noda cela, ialah dalam konstruksi dimana penyedia barang / jasa sama-sama
saling ikhlas (ada unsur “pilihan bebas”) bersama dengan pengguna barang /jasa,
dimana penyedia barang / jasa dengan senang hati menyerahkan barang / jasa yang
diperdagangkan / dijual olehnya sementara itu pihak pengguna barang / jasa
dengan rela menyerahkan sejumlah uang pembayaran sebagai bayaran / imbalannya. Sesukar
itukah, saling menghormati dan menghargai martabat sesama warga satu sama
lainnya, tanpa ada pihak dirugikan sehingga tercipta “simbiosis mutualisme”?
Karena masyarakat kita tergiur
oleh iming-iming korup-picik “membersihkan uang kotor” (money laundring) hanya dengan cukup berderma 2,5% (alias “recehan”),
akibatnya masyarakat kita tidak lagi ambil hirau apakah pendapatannya sejatinya
adalah kotor penuh cela ataukah bersih dari hasil merampas, mengancam,
mengintimidasi, memaksa, merampok, mencuri, memanipulasi, menipu, ataupun
korupsi. Sungguh, tiada yang lebih “toxic”
serta merusak beradaban “standar moralitas” umat manusia, sebagaimana berbahaya
dibalik ideologi “too good to be true”
berupa iming-iming korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”—sekalipun kita ketahui, hanya seorang pendosa yang butuh iming-iming korup
semacam penghapusan dosa atau apapun itu istilahnya, seolah-olah Tuhan lebih
PRO terhadap pendosa ketimbang bersikap adil bagi kalangan korban.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.