Penghapusan Dosa artinya PRO terhadap Pelaku Kejahatan, bukan kepada Korban
Seolah-olah Tuhan Lebih PRO terhadap PENDOSA PENJILAT
PENUH DOSA, alih-alih Bersikap Adil sebagai Hakim yang Adil bagi Kalangan
KORBAN dari para PENDOSA tersebut
Question: Ada yang bilang dan promosikan hukum agama, katanya hukuman “potong tangan” bagi pencuri, akan membuat efek jera bagi pelakunya (si pencuri yang dihukum vonis “potong tangan”) maupun bagi masyarakat luas agar mengurungkan niatnya untuk mencuri, apakah betul demikian atau justru bahkan secara kontradiktif sebaliknya, menciptakan “lingkaran setan” tidak berkesudahan, kemiskinan melahirkan tindak kriminalitas ditengah-tengah masyarakat sementara itu dengan dihukum “potong tangan” mengakibatkan pelakunya terjerat dalam kemiskinan untuk seumur hidupnya yang pada akhirnya “lingkaran setan” ini tidak pernah terputuskan, anak si pencuri terpaksa ikut mencuri dengan menjadi pencuri cilik, kemiskinan melahirkan kemiskinan baru lainnya?
Brief Answer: Untuk menjawabnya, kita perlu merujuk sumber
asli “hukum agama” dimaksud, apakah betul itu yang dinyatakan secara eksplisit
ataukah semua ini hanyalah semata penafsiran atau interpretasi sebagian pihak
tertentu. Sebetulnya, kita tidak perlu jauh-jauh, lihat saja fenomena sosial
dimana seorang pencuri dibakar hidup-hidup oleh masyarakat kita secara “berjemaah”—persekusi,
alias “main hakim sendiri”—yang notabene “agamais” di Indonesia, namun tindak
pidana pencurian yang merupakan kriminalitas paling primitif sejak zaman
manusia era purbakala, telah ternyata masih eksis dan merajalela hingga masa modernisasi
ini dan saat kini.
Jangankan hukuman “potong tangan” di depan
publik, seorang pencuri dibakar hidup-hidup di depan umum bukanlah satu atau dua
kali terjadinya, bahkan dipukul, dianiaya, dan dikeroyok hingga tewas di
tempat, telah ternyata aksi pencurian masih dapat kita jumpai di tempat umum,
di pusat kota, maupun di lingkungan pemukiman padat penduduk. Tanya mengapa?
Sehingga, atas dasar asumsi-delusif apakah, hukum potong tangan dipandang dan
diyakini sebagai solusi untuk menciptakan ketertiban bangsa dan negara? Sering masyarakat
kita menyebutkan, para koruptor di Negeri Tirai Bambu China dihukum mati oleh
pemerintah RRC, namun mengapa masih juga ada koruptor dan aksi korupsi di republik
tersebut?
PEMBAHASAN:
Kita buka bahasan ini, dengan
merujuk langsung sumber otentik apa yang selama ini dibangga-banggakan dan didengung-dengungkan
oleh para penggigat “hukuman potong tangan bagi pencuri”, sebagaimana ternyata
dalam “Partial Translation of Sunan Abu-Dawud, Book 33: Prescribed Punishments”
(Kitab Al-Hudud) Book 33, Number 4396:
Narrated Jabir ibn Abdullah:
A thief was brought to the
Prophet (peace_be_upon_him). He said: Kill him. The people said:
He has committed theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his hand. So
his (right) hand was cut off. He was brought a second time and he said: Kill
him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he
said: Cut off his foot.
So his (left) foot was cut off.
He was brought a third time
and he said: Kill him.
The people said: He has
committed theft, Apostle of Allah!
So he said: Cut off his hand.
(So his (left) hand was cut off.)
He was brought a fourth time
and he said: Kill him.
The people said: He has
committed theft, Apostle of Allah!
So he said: Cut off his foot.
So his (right) foot was cut off.
He was brought a fifth time
and he said: Kill him.
So we took him away and killed
him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over
him.
===
Narrated Jabir ibn Abdullah: A
thief was brought to the Prophet Muhammed (saw). He said: Kill him. The
people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he said: Cut off
his hand. So his (right) hand was cut off.
He was brought a second time
and he said: Kill him. The people said: He has committed theft,
Messenger of Allah! Then he said: Cut off his foot. So his (left) foot was cut
off.
He was brought a third time
and he said: Kill him. The people said: He has committed theft,
Messenger of Allah! So he said: Cut off his hand. (So his (left) hand was cut
off.)
He was brought a fourth time
and he said: Kill him. The people said: He has committed theft,
Messenger of Allah! So he said: Cut off his foot. So his (right) foot was cut
off.
He was brought a fifth time
and he said: Kill him. So we took him away and killed him. We then
dragged him and cast him into a well and threw stones over him. (Abu Dawud: Book 38, Number
4396)
Other sources:
Sunan Abu Dawud, 4410.
Sunan Abu Dawud, Vol. 5, Book
of Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396.
Sunan Abu Dawud, Book of
Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396
Dapat kita simak dan buktikan
sendiri pada sumber rujukan otentik di atas, bahwa hukuman “potong tangan” sama
sekali tidak efektif melahirkan “efek jera” (deterrent effect) bahkan terhadap sang pelaku pencurian itu sendiri,
tetap “hobi” mencuri sekalipun kedua kaki dan kedua tangannya telah dipotong
sebagai hukumannya. Ketika untuk kali pertamanya sang pencuri diberi vonis
“potong tangan”, telah ternyata untuk kedua kalinya ia kembali dibawa dan diberi
vonis yang serupa, hingga kelima kalinya sampai pada akhirnya dijatuhi vonis
hukuman “bunuh”, terbukti tidak kunjung jera sebagaimana diharapkan. Itu
menjadi bukti tidak terbantahkan dari sumber “hukum agama” itu sendiri,
bahwasannya hukuman “potong tangan” sama sekali tidak efektif untuk
menciptakan “efek jera”, sekalipun tangan kiri, tangan kanan, kaki kiri,
dan kaki kanannya telah dipotong sebagai vonis atas pencurian-pencurian
sebelumnya, sang pencuri kembali melakukan aksi kriminalitas serupa, mengapa?
Mengapa juga agama “Tuhan” yang
semestinya “Tuhanis”, namun justru memamerkan sikap-sikap yang tidak “humanis”
terlebih dapat disebut sebagai “Tuhanis”? Mengapa setiap kali kaum “mereka”
dalam menyelesaikan setiap masalah yang ada, selalu dengan cara-cara instan ala
kekerasan fisik serta pertumpahan darah, seolah-olah misi misionaris agama
bersangkutan ialah semata dan sebatas “BUNUH”, “BUNUH”, dan “BUNUH” dibawah
ancaman pedang? itu sama artinya “pembungkaman”, bukan menolong ataupun
mencerahkan terlebih menginsipirasi umat manusia sebagaimana misi misionaris
yang semestinya dan ajaran agama yang lebih otentik. Membunuh, adalah cara
militeristik menumpas serta menyingkirkan musuh yang tidak disukai dari muka
Bumi, anti kemajemukan, intoleran (namun kompromistik terhadap dosa dan maksiat
lewat iming-iming “penghapusan dosa”), bukan ideologi agama yang seharusnya
memanusiakan manusia, akan tetapi membinasakan manusia.
Keberatan kedua atas praktik
demikian, telah ternyata “hukum (buatan) kaf!r” masih jauh lebih mengedepankan
asas “fairness” sebagaimana Hukum
Acara Pidana yang memberi ruang kesempatan bagi seorang Tersangka maupun
Terdakwa untuk membela diri serta menyampaikan keterangan di depan persidangan.
Karena tidak diberi kesempatan untuk membela diri serta menyampaikan
latar-belakang kondisi sehingga aksi pencurian itu sampai terjadi, dimana bisa
jadi akibat faktor tekanan ekonomi sekadar untuk menyambung hidup, namun
seketika divonis dan dieksekusi “potong tangan”, maka jelas itu tidak dapat
dibenarkan dalam prinsip-prinsip hukum dalam bangsa yang mengaku telah beradab.
Bagaimana ia si terhukum, dapat bekerja mencari nafkah, bilamana menjadi
disabilitas akibat tangannya untuk modal bekerja diamputasi dan dirampas dengan
mengatasnamakan “hukum agama” yang barbaristik ini?
Kekeliruan paling fatal ialah “teladan
buruk” berupa praktik penghakiman yang timpang dan bias perspektif. Betapa
tidak, sang nabi menghakimi semata berdasarkan keterangan saksi “de auditu”, yakni keterangan penuding
yang sifatnya sekadar “katanya, katanya, dan katanya” atau bisa jadi “kabar
burung” yang tidak jelas verifikasinya atau bahkan tanpa klarifikasi fakta. Telah
ternyata pula “hukum (buatan) kaf!r” masih lebih humanis dan lebih beradab
ketimbang “hukum agama” yang mendangkalkan cara berpikir umat manusia demikian—betapa
tidak, Hukum Acara Pidana tidak membenarkan tuduhan yang dilandasi oleh tudingan
yang sekadar “katanya, katanya, dan katanya”, dimana bahkan Hukum Acara Pidana di
Indonesia mensyaratkan keterangan saksi “materiil” yang melihat maupun
mendengar secara langsung, lengkap dengan prasyarat ketat berupa “minimal dua
alat bukti” untuk dapat menetapkan seseorang warga sebagai tersangka maupun
terdakwa.
Lantas, apakah juga yang
disebut sebagai “hipokrit” (hypocrit)?
Mencuri adalah dosa itu sendiri, dimana telah ternyata puluhan nabi diturunkan
Tuhan, lengkap dengan larangan dan perintah serta “hukum Tuhan”—seolah-olah ada
sesuatu yang dapat terjadi tanpa seizin, kuasa, maupun rencana Tuhan. Jika ada
pihak-pihak yang secara “dungu” menyatakan bahwa Pancasila maupun hukum negara
adalah bukan buatan Tuhan, pertanyaannya ialah “lantas buatan siapa, Tuhan
kedua?”, siapakah juga yang telah menciptakan sang pencuri lengkap dengan “software” pikirannya berupa sifat-sifat jahatnya
yang gemar mencuri?—namun berbagai kejahatan paling primitif yang dikenal umat
manusia masih eksis dan meluas hingga saat kini maupun dikemudian hari. Berikut
alat bukti berupa PENGAKUAN, alat bukti tertinggi menurut hukum acara pembuktian:
Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya sholat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukur?” [Bukhari Muslim]
HANYA SEORANG PENDOSA YANG
BUTUH PENGAMPUNAN DOSA! Bukankah
menjadi sebentuk “standar ber-ganda”, bilamana kepada umat diancam “potong
tangan” untuk dosa “sekaliber” mencuri—terlebih kriminalitas lain yang lebih
serius—namun bagi sang nabi ialah menolerir segala bentuk ancaman hukuman atas dosa-dosanya
yang tidak hanya dosa masa lampau maupun dosa-dosanya yang akan datang di
kemudian hari (pesta dosa)? Bila hukuman bagi pencuri yang mencuri ialah sanksi
“potong tangan”, lantas apakah yang menjadi hukuman atau sanksi vonis bagi
pelaku perampokan serta pembunuhan, untuk hal “sepele” (trivial matter) semacam memeluk keyakinan dan beribadah berdasarkan
agama yang berlainan?
“Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH
DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan
kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA
mereka.”
[Hadist Tirmidzi No. 2533]
Dicitrakan seolah-olah hukuman
“potong tangan” ialah dalam rangka PRO terhadap korban. Namun, fakta realita
menyatakan sebaliknya, setiap kali para umat kaum “mereka” beribadah setiap
harinya, setiap hari raya, bahkan saat sang umat meninggal dunia, yang selalu
diumbar ialah permohonan “penghapusan / pengampunan dosa” (abolition of sins), dimana juga kita ketahui bahwa
ideologi-ideologi “korup” demikian ialah lebih PRO terhadap pendosa (pelaku
kejahatan) alih-alih menunjukkan simpati ataupun empati terhadap kalangan
korban-korban dari sang “pendosa penjilat penuh dosa”.
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka
saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun
dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
Terhadap dosa dan maksiat,
demikian kompromistik. Namun mengapa terhadap kaum yang berbeda keyakinan,
demikian intoleran serta “haus darah”? Kabar gembira bagi pendosa, disaat
bersamaan bermakna kabar buruk bagi korban-korban dari para pendosa tersebut.
Pendosa, hendak berceramah dan menyerukan perihal hidup yang lurus, mulia,
bersih, dan suci? Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming
“korup” berupa ideologi “too good to be
true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—sekali
lagi sebagai penegasan, kabar gembira bagi pendosa, sama artinya kabar buruk
bagi korban-korban para pendosa tersebut.
Sebagai penutup, tanpa kenal
letih, penulis kembali menguraikan tiga kategorisasi agama, untuk
memperlihatkan agama jenis manakah yang lebih PRO terhadap kalangan korban,
disaat bersamaan akan menyingkap tabir delusi yang selama ini menutup mata umat
manusia bagaikan awan hitam menutupi cahaya mentari sehingga manusia tidak
dapat melihat dengan jernih akibat kegelapan batin yang menyanderanya atau
bahkan dipelihara dalam dirinya. Silahkan para pembaca menilai sendiri, apakah
“judge the book by the cover”,
ataukah menilai suatu Kitab sebagai “Kitab SUCI” ataukah “Kitab DOSA”
berdasarkan ajaran yang dipromosikan di dalamnya, apakah gaya hidup sehat
(tanpa dosa) ataukah justru mengumbar dan meng-kampanyekan gaya hidup produktif
mencetak dosa (iming-iming penghapusan / pengampunan / penebusan dosa), dengan
rincian sebagai berikut:
- Agama SUCI. Para
umatnya, disebut sebagai “kalangan suciwan”, tentu saja. Kalangan suciwan
adalah kalangan yang paling anti serta paling tidak bersentuhan (alias menjauhkan
diri) dari ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”. Suciwan mana pula yang butuh iming-iming berupa ideologi korup bagi para
pendosa demikian? Tidak semua orang sanggup menjadi suciwan, namun semua orang adalah
sanggup dengan mudahnya menjadi sampah masyarakat bernama “pendosa penjilat
penuh dosa”—apa susahnya menjadi penjilat yang berdosa?
Di mata kalangan suciwan, dosa sekecil apapun
adalah bersifat mencemari, kotor, menjijikkan, serta “toxic”. Para suciwan, menjadi suci berkat gaya hidup bersih dan
higienis dari dosa, lewat latihan pengendalian diri (self-control) yang ketat, mawas diri, eling, serta penuh kewaspadaan
baik terhadap ucapan, pikiran, maupun perbuatannya sendiri alih-alih lebih
sibuk menghakimi perbuatan orang lain.
- Agama KSATRIA. Para umatnya,
dijuluki sebagai kaum “ksatria”, karena memang hanya mereka yang berjiwa
ksatria yang berani dan sanggup memeluk agama jenis kedua ini. Kaum ini disebut
sebagai ksatria, semata karena lebih memilih untuk bertanggung-jawab dan penuh
tanggung-jawab terhadap korban-korban yang telah pernah atau masih dapat mereka
sakiti, lukai, maupun rugikan, baik akibat perbuatan disengaja ataupun
perbuatan lalai sang ksatria. Karenanya, kaum ksatria adalah jauh dari praktik memohon-mohon
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Kaum ksatria tidak suka lari dari tanggung-jawab,
terlebih cuci tangan, cuci dosa (sins
laundring), terlebih-lebih “hit and
run”. Seorang pengecut tidak akan sanggup menjadi bagian dari kalangan
ksatria, karena seorang pengecut lebih menyukai untuk memilih menjadi bagian
dari para “pendosa penjilat penuh dosa”—karena itulah, kalangan ksatria
memandang jijik para “pendosa penjilat penuh dosa” demikian yang setiap harinya
mencetak dosa secara produktif dan disaat bersamaan memohon-mohon penghapusan
dosa tanpa berani bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri. Berani berbuat,
maka harus berani bertanggung-jawab, itulah prinsip hidup seorang ksatria yang
tidak akan pernah berani dilakoni oleh para pengecut.
- Agama DOSA. Para umatnya,
tentu saja, disebut sebagai “pendosa” yang notabene kalangan “pengecut” alias “pendosa
penjilat penuh dosa”. Disebut sebagai “Agama DOSA”, semata karena umatnya ialah
para pendosa, dimana juga disebut demikian berkat mengkampanyekan gaya hidup “berlinang
dan bergelimang dosa” dan disaat bersamaan mempromosikan “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” alih-alih gaya hidup higienis dari
dosa. Alhasil, berkat termakan ideologi korup demikian, para pendosa berbondong-bondong
dan berlomba-lomba memproduksi dosa, lewat slogan “merugi jika tidak menjadi
pendosa”, mubazir iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”.
Tidak semua orang sanggup menghindari dirinya
dari perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para bijaksanawan, namun semua
orang sanggup dengan mudahnya menjadi “pendosa penjilat penuh dosa” (apa
susahnya?). Tidak semua orang sanggup dengan rajinnya merepotkan diri menanam benih-benih
perbuatan baik dalam rangka menanam Karma Baik, namun semua orang sanggup dengan
senang dan gemarnya menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”. Tidak semua
orang sanggup memurnikan hati dan pikirannya sendiri dari segala kekotoran
batin, namun semua orang dapat dengan mudahnya menjalani gaya hidup khas
seorang “pendosa penjilat penuh dosa”. Absurdnya, para pendosa tersebut
berbangga diri serta berdelusi diri sebagai agama yang paling suprematif dan
paling luhur juga unggul di dunia ini. bukankah itu ironis?