Agama SAMAWI, Versi Tuhan yang KURANG KERJAAN dan TERSANDERA oleh Manusia Ciptaan-Nya Sendiri—Tuhan Tidak Boleh Tidur, dan Segala Sesuatu adalah Atas Kehendak, Kuasa, Rencana, serta Seizin Tuhan, termasuk Setiap Hari Harus Merepotkan Diri menentukan Berapa Jumlah Telur yang akan Ditelurkan oleh Bebek-Bebek, Berapa Ekor Anak yang akan Dilahirkan oleh Sapi-Sapi, Kemana dan Berapa Helai Daun Harus Berguguran, dsb.
Jika Sudah Ada HUKUM ALAM dan HUKUM KARMA, (maka)
untuk Apa Lagi Tuhan Terlibat Merepotkan Diri dan Direpotkan oleh Urusan
Manusia, bahkan Mengatur Skor Pertandingan Sepak Bola yang Semestinya Sportif, Egaliter,
Kompetitif, dan Meritokrasi?
Si Pemalas Terlampau Malas untuk Merepotkan Diri Menanam
Perbuatan-Perbuatan baik untuk Mereka Petik Sendiri, dan Terlampau Pengecut
untuk Bertanggung-Jawab Atas Perbuatannya Sendiri. Si Dungu ini, Lebih Sibuk
Menyembah-Sujud Mengemis Sesuatu agar Jatuh dari Langit serta Mengharap
Penghapusan Dosa—Hanya Seorang Pendosa yang Butuh Penghapusan Dosa
Question: Agama-agama samawi mengajarkan dogma-dogma perihal cobaan atau ujian dari Tuhan, sehingga manusia mengalami berbagai derita, kesukaran hidup, kesedihan, ratap tangis, kerasnya hidup, tekanan hidup, hingga depresi atau bahkan tewas mengakhiri hidupnya maupun terjeblos masuk ke dalam alam neraka bila gagal lulus ujian kehidupan yang telah di-setting oleh Tuhan. Bagaimana dengan agama Buddha, apakah juga punya ajaran seperti atau semacam itu?
Brief Answer: Salah satu pembabaran yang banyak dibabarkan
oleh Sang Buddha, ialah perihal “siklus kelahiran kembali yang tidak
berkesudahan”, alias tumimbal lahir, berupa wujud perputaran siklus tiada akhir
perihal lahir, tua, sakit, mati, sebelum kemudian terlahir kembali, dan memulai
siklus perputaran yang sama secara berulang-ulang tanpa jelas ujung pangkal
maupun ujung akhirnya. Mereka yang mendalami ajaran Buddhistik perihal meditasi
Samantha Bhavana dengan berpusat pada objek konsentrasi tertentu, akan mampu
melihat berbagai kelahiran kita sebelumnya, yang jumlahnya sudah tidak lagi
terhitung—dan itulah yang tepatnya disebut sebagai “kehidupan adalah dukkha”.
Mengingat kita tidak hanya pernah terlahir satu
kali di dunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya, juga kehidupan saat
kini bukanlah lembaran penutup serangkaian episode kehidupan yang menjemukan
dan membosankan, maka siklus tumimbal lahir menyerupai “never ending stories”, yang begitu tampak mengerikan bilamana kita telah
merealisasi tingkat pencerahan spiritual tertentu : siklus kelahiran kembali
yang tidak ada akhir-akhirnya, menyerupai “perangkap” tanpa jalan keluar,
segala potensi dibalik tumimbal lahir ialah “to be continue...”, tiada “THE
END”. Maka, dogma semacam cobaan ataupun ujian dari sosok adikodrati,
menjadi tampak tidak ada maknanya sama sekali—alias “kurang kerjaan”—mengingat
seperti apa yang pernah disebutkan oleh Ajahn Chah, baik orang kaya maupun orang
miskin, sungai yang bersumber dari pegunungan maupun yang berasal dari dataran
rendah, pada akhirnya akan mengalir ke hilir yang sama, samudera yang sama :
tumimbal lahir.
Karena itulah, agama-agama samawi tidak mengenal
konsep semacam “reborn” ataupun “rebirth”, semata karena dogma yang diajarkan
oleh agama samawi semacam cobaan ataupun ujian dari suatu sosok imajinatif
penuh delusi yang mereka namakan sebagai “Tuhan”, sejatinya bertolak-belakang
alias saling berbenturan dengan ajaran yang mengungkap adanya fenomena
kelahiran kembali demi kelahiran kembali dari satu kehidupan ke kehidupan
berikutnya tanpa henti dan tanpa kenal akhir. Agama samawi hanya mengenal dua
kemungkinan : lulus ujian maka dimasukkan ke surga abadi, dimana bila seorang
umat manusia gagal lulus cobaan maka akan dilemparkan ke neraka abadi sebagai
tempat Tuhan “cuci tangan” dari “manusia-kelinci percobaannya” yang gagal dari
laboratorium ekperimental, meski umur umat manusia sudah sama tuanya dengan usia
Planet Bumi ini, seolah-olah Tuhan tidak benar-benar “Maha Tahu” dan seolah-olah
manusia bukan ciptaan Tuhan sehingga Tuhan masih merasa perlu untuk mencoba-cobai
ciptaannya sekalipun seperangkat sifat-sifat buruk manusia adalah pemberian dan
ciptaan Tuhan itu sendiri (“bundling”
sebagai satu paket kesatuan antara perangkat keras dan perangkat lunak penyusun
sesosok manusia, saat proses penciptaan manusia, yang mana tidak dapat kita
pilih ataupun tolak, dimana bila kita dapat memilih maka mungkin kita akan
memilih untuk tidak pernah dilahirkan ke dunia atau alam manapun).
Alam neraka, karenanya, merupakan “monumen KEGAGALAN
Tuhan”, pencipta yang “Maha GAGAL”. Itulah sebab yang melatar-belakanginya,
sehingga penulis kerap menyebut Tuhan versi agama samawi sebagai “Profesor LING
LUNG” yang “KURANG KERJAAN” serta “untuk anak sendiri dicoba-coba”. Beruntungnya,
Buddhisme tergolong sebagai paham agnostik, mengakui adanya Tuhan, namun Tuhan tidak
terlibat dalam kehidupan manusia paska proses penciptaan—mengingat berjalannya kehidupan
umat manusia ditentukan oleh hukum egalitarian bernama HUKUM KARMA : menanam
yang baik, memetik yang baik. Menanam yang buruk, (maka) juga memetik yang
buruk sebagai buahnya. Umat Buddhist diajarkan untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatannya
sendiri, mengingat kita berkerabat serta terlahir dari perbuatan kita sendiri.
PEMBAHASAN:
Siklus lingkaran samsara,
adalah kesengsaraan itu sendiri, karena ibarat ternak yang lehernya terjerat
rantai pengekang, tidak bisa mencari kebebasan. Sama halnya, setiap umat
manusia dirantai oleh rantai bernama Karma. Adapun tujuan akhir dari jalan yang
ditemukan serta ditunjukkan oleh Sang Buddha, ialah dalam rangka menuju
pembebasan sempurna bernama “break the
chain of kamma” alias “break the
shackle of karmic law”—memutus belenggu rantai Karma, terbebas dari malaikat
kematian karena tiada kelahiran kembali bagi yang tercerahkan sempurna
(Arahant). Si dungu, merasa senang-senang dan gembira saja lehernya dicengkeram
oleh rantai, karena ia merasa selama ini itulah kehidupannya, bahkan melekat
pada rantai dimaksud, dan merasa rantai tersebut menjadi bagian dari dirinya, sekalipun
terombang-ambing dalam penderitaan yang tiada akhirnya.
Konon, ketika seekor bocah
gajah diikat kakinya dengan seulas tali, ia mencoba meronta membebaskan diri,
namun selalu menemui kegagalan. Ketika ia beranjak dewasa dan tubuhnya menjadi
besar serta kuat, ia masih diikat oleh tali yang sama, namun demikian ia tidak
pernah lagi mencoba untuk meronta membebaskan diri. Mungkin tepat seperti itulah,
perumpamaan dengan kebanyakan manusia dungu yang pandangannya tertutupi oleh
berbagai kekotoran batin yang tebal akibat gagal berlatih disiplin diri “self control”. Agama samawi, mengikuti
arus. Sebaliknya, Buddhistik melawan arus “mainstream”
sekalipun Buddhisme sudah ada jauh sebelum agama-agama samawi yang kini menjadi
meng-hegemoni dunia.
Menjadi relevan ketika kita
menyimak langsung khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, tidak
menawarkan pandangan yang sejalan dengan pandangan konvensi “mainstream”, secara rasional dan realistik
menyatakan sebaliknya, dengan kutipan sebagai berikut:
333 (1) – 347 (15) 182
(333) “Seperti halnya, para
bhikkhu, di Jambudīpa ini, taman-taman, hutan-hutan, pemandangan-pemandangan
yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak bukit-bukit dan lereng-lereng,
sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat dengan tunggul-tunggul
pohon dan duri, dan barisan pegunungan, demikian pula makhluk-makhluk yang
terlahir kembali di atas tanah kering adalah lebih sedikit; lebih banyak
makhluk-makhluk yang terlahir di air.”
(334) “… demikian pula
makhluk-makhluk yang terlahir kembali di antara manusia adalah lebih sedikit;
lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di tempat selain daripada di
antara manusia.”
(335) “… demikian pula
makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah tengah adalah lebih sedikit;
lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah terpencil di
antara orang-orang asing yang kasar.”
(336) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang bijaksana, cerdas, cerdik, mampu memahami
apa yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk; lebih banyak
makhluk-makhluk yang tidak bijaksana, bodoh, tumpul, tidak mampu memahami apa
yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk.”
(337) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memiliki mata kebijaksanaan yang mulia;
lebih banyak makhluk-makhluk yang bingung dan tenggelam dalam ketidaktahuan.”
(338) “… … demikian pula
terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat melihat Sang Tathāgata; lebih
banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat melihat Beliau.”
(339) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat mendengar Dhamma dan disiplin yang
dibabarkan oleh Sang Tathāgata; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat
mendengarnya.”
(340) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang, setelah mendengar Dhamma, kemudian
mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang setelah mendengar Dhamma, dan
tidak mengingatnya.”
(341) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memeriksa makna dari ajaran-ajaran setelah
mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memeriksa makna dari
ajaran-ajaran setelah mengingatnya.”
(342) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang
memahami makna dan Dhamma dan kemudian mempraktikkan sesuai Dhamma;
lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak
mempraktikkan sesuai Dhamma.”
(343) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh rasa keterdesakan atas hal-hal
yang menginspirasi keterdesakan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak
memperoleh rasa keterdesakan atas hal-hal yang menginspirasi keterdesakan.”
[NOTE : Kitab Komentar menguraikan
“delapan landasan bagi rasa keterdesakan” (aṭṭha saṃvegavatthūni): kelahiran, usia tua, penyakit, kematian;
penderitaan di alam sengsara; penderitaan yang berakar dalam masa lalu saṃsāra
seseorang; penderitaan yang harus dialami di masa depan saṃsāra
seseorang; dan penderitaan yang berakar dalam pencarian makanan.]
(344) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang, ketika terinspirasi oleh rasa keterdesakan,
kemudian berusaha dengan seksama; lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika
terinspirasi oleh rasa keterdesakan, tidak berusaha dengan seksama.”
(345) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh konsentrasi, keterpusatan
pikiran, yang berdasarkan pada pelepasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang
tidak memperoleh konsentrasi, keterpusatan pikiran, yang berdasarkan pada
pelepasan.”
[Kitab Komentar : Berdasarkan
pada kebebasan (vavassaggārammaṇaṃ karitvā): kebebasan adalah nibbāna. Maknanya adalah: setelah menjadikan itu sebagai
objek. Memperoleh konsentrasi (labhanti
samādhiṃ): mereka memperoleh konsentrasi sang jalan dan
konsentrasi buah.” Ungkapan ini juga digunakan dalam definisi indria konsentrasi
pada sutta-sutta lainnya. Mungkin awalnya hanya bermakna suatu kondisi
samādhi yang didorong oleh aspirasi untuk mencapai kebebasan. Dalam sutta
lain, jalan mulia berunsur delapan, tujuh faktor pencerahan, dan lima indria
spiritual sering digambarkan sebagai vossaggapariṇāmiṃ, “berkembang menuju kebebasan”
atau “matang dalam kebebasan,” vossagga
dan vavassagga adalah bentuk
alternatif dari kata yang sama.]
(346) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh makanan-makanan lezat; lebih
banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh makanan demikian tetapi bertahan
dari makanan-makanan sisa di dalam mangkuk.”
(347) “… demikian pula terdapat
lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa
kebebasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh rasa makna, rasa
Dhamma, rasa kebebasan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih
sebagai berikut: ‘Kami akan memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa
kebebasan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”
[“Dhamma dan disiplin ini hanya
memiliki satu rasa, yaitu rasa kebebasan” (ayaṃ dhammavinayo ekaraso vimuttiraso).]
348 (16) – 377 (45)
(348) – (350) 350 “Seperti
halnya, para bhikkhu, di Jambudīpa ini, taman-taman, hutan-hutan,
pemandangan-pemandangan yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak
bukit-bukit dan lereng-lereng, sungai-sungai yang sulit diseberangi,
tempat-tempat dengan tunggul-tunggul pohon dan duri, dan barisan pegunungan,
demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia,
kemudian terlahir kembali di tengah-tengah manusia lebih sedikit. Lebih
banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(351) – (353) 353 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir
kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”
(354) – (356) 365 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir
kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”
(357) – (359) 359 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian
terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir
kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”
(360) – (362) 362 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(363) – (365) 365 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(366) – (368) 368 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(369) – (371) 371 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk [38] yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian
terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang
menderita.”
(372) – (374) 374 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu
yang menderita.”
(375) – (377) 377 “… demikian
pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak
makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita,
kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu
yang menderita.”
Bila berbagai agama samawi
menawarkan “surga murahan” yang di-OBRAL murah bagi para pendosa, sekalipun
bila memang itu bisa terjadi, maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Kehidupan
ini menyerupai “never ending stories”,
segalanya bersifat “to be continue...”,
siklus tiada berkesudahan dan tiada akhir dari lingkaran samsara, adalah “dukkha” itu sendiri, akibat
kemelakatan dan kekotoran batin, seseorang kembali menjelma di berbagai alam
kehidupan. Hanyalah ajaran yang memberikan petunjuk jalan menuju “akhir dari
dukkha” dan “jalan menuju
akhir dari dukkha” setelah
memahami “akar penyebab dukkha”,
seseorang barulah dapat tertolong dan terselamatkan, yakni “break the chain of karmic law” (Nibbana,
suatu yang “tidak lagi terkondisikan”, karena belenggu rantai karma telah
terputus sepenuhnya)—kesemua ini dikenal dengan istilah sebagai “empat
kebenaran mulia” (four noble truth).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.